Ku Berikan Cinta Pertamaku Padamu (cerpen)





Ku Berikan Cinta Pertamaku Padamu


Cash:
Mario Stevano Aditya Haling as Rio
Alyssa Saufika Umari as Ify
Alvin Jonathan Sidunata as Alvin
Sivia Azizah as Via
Gabriel Stevent Damanik as Gabriel
Agni Tri Nubuwati as Agni

Prolog


"Kisah cintaku punya batasan waktu. Waktuku itu lebih pendek dibandingkan dengan orang lain. Jadi, aku tidak punya waktu untuk berlama-lama. Seperti kembang api di musim panas, yang bersinar hanya dalam sekejap waktu. Aku sudah tahu hal itu sejak berumur 8 tahun."

Ditengah musim panas saat dedaunan mulai berguguran. Sudah sekian hari Rio kecil dirawatdirumah sakit. Didalam sebuah kamar rawat, Rio kecil sedang bermain bersama Ify, seorang gadis manis yang menjadi temannya selama dirawat dirumah sakit.
"Luar biasa." ujar Ify kecil pelan saat menempelkan stetoskop didada kiri Rio. "Jantung Rio berdetak dengan cepat."
"Dokter, aku tidak tahu penyakit apa yang kuderita." ujar Rio kecil.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Ify, berpura-pura menjadi dokter.
"Aku merasa tidak nyaman dan dadaku sakit." jawab Rio.
"Aku harus mengobatimu." kata Ify. "Buka celanamu."
"Apa?"
"Kau tidak perlu malu." ujar Ify. "Aku dokter jadi kau tidak perlu malu."
Karena Rio menolak, Ify memaksa Rio. Terjadilah saling tarik menarik celana diantara mereka. Ify terus memaksa dan Rio tetap menolak. Mereka berhenti berebut ketika kembang api meledak di atas langit.
"Itu kembang api!" seru Rio saat melihat kilauan cahaya yang menari indah dilangit malam.

Rio dan Ify pergi ke atap rumah sakit.
"Cantik sekali!" seru Ify, melompat-lompat girang.
"Ify, aku akan memanggil ayah dan ibu." kata Rio seraya berlari pergi. Ia menuruni tangga ke bawah.

Dibawah, Rio melihat ayah dan ibunya sedang bicara di sebuah ruangan bersama dokter. Dokter tersebut bernama Tian, ayah dari Ify.
Rio membuka pintu hendak memanggil orang tuanya. Namun saat itu dia melihat ekspresi sedih dari wajah kedua orang tuanya. Niatnya terhenti saat sebuah pertanyaan keluar dari mulut Ayah Rio.
"Apa tidak ada kesempatan bagi Rio untuk sembuh?" tanya Ayah Rio.
"Tentu saja kita tidak boleh menyerah." ujar Dokter Tian. "Tapi tolong mengerti bahwa dengan teknologi saat ini, hal tersebut masih sulit. Walaupun perawatan memang masih sulit, tapi dengan makanan dan latihan fisik..."
"Jadi nyawanya bisa diperpanjang dengan cara itu?" tanya Ayah Rio penuh harap.
Dokter Tian terdiam.
"Jika kami mengatur makanan dan latihan fisiknya, berapa tahun yang ia miliki?" tanya Ayah Rio lagi.
"Jangan tanyakan!" seru Ibu Rio takut.
"Tidak." bantah Ayah Rio. "Lebih baik kita tanyakan sekarang."
Dokter kelihatan ragu. "Jantung Rio tidak akan mengalami perubahan besar saat ia tumbuh. Tapi jika ia terus seperti ini, mungkin ia akan bertahan hidup sampai umur 20 tahun."
Ayah dan Ibu Rio sangat terpukul mendengar semua itu.

Rio berdiri diam di depan pintu. Dia mendengar semua tanpa satupun yang terlewat. Saat menoleh, dia melihat Ify berdiri tidak jauh darinya. Ify menangis terisak.

"Kisah cintaku punya batasan waktu."
"Tidak, biar kuperbaiki. Kisah cinta KAMI punya batasan waktu."

Para perawat mengikat seluruh tubuh Rio agar ia tidak bisa bergerak.

"Ini mungkin kejam." kata Dokter. "Tapi jika dia bergerak dengan bebas, ada kemungkinan ia akan terluka."

"Kami mengerti." ujar Ayah Rio.

Rio berteriak dan menolak diperlakukan seperti itu, tapi Ibu Rio menenangkannya. Orang tua Rio sangat sedih, namun tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan untuk memperpanjang nyawa putranya kecuali dengan cara tersebut.
Rio mengatakan pada ibunya bahwa ia ingin pipis. Tapi ibunya menyuruh Rio pipis di pampers.

Diluar ruang rawat Rio, Ify menemui ayahnya dengan wajah cemberut, kesal karena ayahnya mengikat Rio di ranjang.

"Aku sudah selesai pipis." kata Rio. "Ibu bisa menggantinya sekarang!”
"Bagus." ujar ibunya, tersenyum.
"Maafkan aku." ujar Rio dengan mata berkaca-kaca, memalingkan wajahnya agar orang tuanya tidak bisa melihat ia menangis.

Ibu Rio mengambil pengganti pampers. Tapi mendengar ucapan maaf Rio, ibunya tidak bisa menahan air matanya.
"Biar aku yang melakukannya." kata Ayah Rio cemas. Takut Rio melihat tangisan ibunya. "Kau tunggulah diluar."
Ibu Rio mengangguk dan keluar ruang rawat Rio.

"Maafkan ayah, Rio." ujar Ayah sedih. "Jika bisa, ayah ingin mengganti tempatmu dengan ayah. Tapi ayah tidak bisa melakukan apapun untuk membantu. Maafkan ayah."

Di luar, ibu Rio menangis. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Sungguh sangat berat  menjalani semua ini. Melihat anak tercintanya diperlakukan seperti itu untuk memperpanjang hidupnya.

Diruangannya, Dokter Tian duduk termenung memandang hasil ronsen Rio beberapa hari lalu. Hingga seorang suster datang mengambil beberapa berkas diruangannya.
"Agni!!." panggil Dokter Tian, menunjuk ke bagian belakang rok perawat. "Apakah itu olok-olok dari Ify lagi?"

Perawat Agni melihat ke bagian belakang roknya. Rok itu sudah kotor. Penuh dengan cat warna yang digunakan untuk melukis. "Ah, dimana tadi aku duduk?" keluhnya. Ia berjalan mendekati dokter. "Apakah itu Rio...?" tanyanya sambil ikut melihat hasil ronsen yang dihadapan dokter Tian.

"Ya." jawab Dokter sedih. "Jika aku tidak bisa membantunya, aku bukan lagi seorang dokter. Aku juga cemas pada putriku. Kita tidak bisa melakukan apa-apa saat ibunya meninggal dan kini temannya. Mungkin lebih baik aku tidak membawanya ke rumah sakit, bukan?"

"Mereka berdua bukan hanya sekedar teman." kata Perawat.
Dokter Tian tertawa pahit. "Cinta pertama?"

Ketika Ify sedang bermain di pinggur hutan, Rio mendekatinya. Rio duduk jongkok tidak jauh dari tempat Ify duduk.

"Ify, apa yang kau lakukan?" tanya Rio.

"Aku ingin menemukan semanggi berdaun 4." jawab Ify. "Dengan begitu, permohonan apapun yang kuminta akan terkabul."

"Aku tidak pernah mendengar itu." ujar Rio heran.

"Aku pernah."

Rio ikut membantu Ify mencari semangggi. 

"Jika kau bisa menemukan semanggi berdaun 4, permohonan seperti apa yang akan kau minta?" tanya Rio

"Tidak ada yang istimewa." jawab Ify.

"Kalau tidak ada yang istimewa, kenapa kau mencarinya?" tanya Rio polos.

"Kau sangat menyebalkan." kata Ify. "Aku hanya bosan karena tidak bisa bermain denganmu. Apa kau sudah berhenti memakai pampers?"

Rio cemberut. Ify meneruskan pencariannya.
"Jika kita bisa menemukan semanggi berdaun 4, bisakah aku membuat permintaan? Jika aku besar, aku ingin menjadi astronot. Jika itu terjadi, ayo kita menikah. Itu impianku. Aku ingin menjadi astronot dan menikah denganmu." ujar Rio.

Ify terdiam, menatap Rio.
Rio menunduk. Matanya menangkap sesuatu yang sedari tadi mereka cari.
"Ah, aku menemukannya." katanya, menunjuk daun semanggi itu.

Ify mendorong Rio hingga jatuh dan berteriak pada daun semanggi.
"Semanggi berdaun 4, tolong bantu Rio!" serunya. "Jangan biarkan Rio mati! Biarkan kami bersama selamanya! Tolong sembuhkan penyakitnya! Kumohon padamu! Kumohon padamu! Kumohon padamu!"

Ify menangis keras.
"Ify!" panggi Rio. Ia mendekati Ify dan mencium bibirnya. Ciuman pertama mereka.

"Saat itu, aku tidak tahu apa artinya kematian. Karena itulah, aku membuat janji yang tidak bisa kupenuhi. Itu janji yang sangat buruk."

Ify kecil memotong tirai jendelanya dan membuat gaun pengantin. "Rio ingin menikah denganku." katanya senang pada ayahnya.
Ayahnya memandang Ify heran. Dia hanya tertawa kecil didalam kemarahannya.

Di lain sisi, saat Rio sedang duduk seorang diri di taman, sebuah bola menggelinding di kakinya.
"Bisakah kau melempar bola itu?" tanya seorang anak kecil.
Rio menatap bola itu dengan senang dan ikut bermain.
Setelah itu kondisi Rio kembali  kritis. Rio tidak boleh melakukan olahraga berat. Karena akan berpengaruh buruk pada Jantungnya.

"Aku membuat janji yang tidak bisa kupenuhi."
"Ayo kita menikah saat kita sudah dewasa."


***


Beberapa tahun berlalu tanpa terasa. Semua tumbuh dan berkembang. Dan kini sudah 8 tahun sejak janji menikah itu terucap.

Kembali Rio harus mengunjungi gedung menyeramkan bernuansa putih itu. Sudah tidak terhitung berapa kali dia mengunjunginya. Baik untuk check up ataupun dirawat disalah satu kamar didalam bangunan itu.

Rio dewasa memeriksakan dirinya ke Dokter Tian. Kata Dokter, kondisinya baik. Tapi ia mengingatkan Rio agar tidak berolahraga berat dan tidak memakan makanan yang terlalu manis atau asin diakhir perjumpaan mereka.

"Aku tahu itu." ujar Rio santai. "Sampai jumpa."
Rio meninggalakan ruangan Dokter Tian dengan santai sambil menenteng jaket hitam ditangannya.
Dokter hanya tertawa melihat sikap Rio itu.

Setelah dari rumah sakit, Rio menemui Ify. Ify sedang mendengarkan I-Ponnya sambil bersandar di pembatas jalan di taman depan rumah sakit saat Rio menghampirinya. Lalu mereka berdua bergandeng tangan dan berjalan bersama. Menikmati senja yang indah.

"Apa yang ayah katakan?" tanya Ify.
"Dia bilang aku baik-baik saja." jawab Rio.

Mereka menghabiskan senja itu dengan canda tawa didalam kebersamaan mereka. Membawa tawa kemanamun mereka menginjakkan kaki.


***


Ify dan Rio bersekolah di sekolah yang sama dan duduk di kelas yang sama. Saat ini, mereka duduk di SMP kelas 3 IPA 2.
Saat guru bahasa Inggris sedang menjelaskan di depan, Ify malah menggambar wajah Rio di bukunya.

"Siapa yang bisa menjelaskan arti dari kalimat ini?" tanya Guru sambil menunjuk deretan kata berbahasa inggris d\yang tertulis dipapan putih didepannya. "Alyssa Saufika, coba jelaskan!!"
Ify bangkit dari duduknya dan membaca tulisan bahasa Inggris di papan tulis. Tidak ada satu katapun yang ia mengerti.

"Rio, bantu aku." bisik Ify pada Rio yang duduk disebelahnya.

Rio membacakan arti kalimat di papan tulis. Ify mengatakannya lagi pada Guru.
Guru bahasa Inggris mengangguk. "Orang yang membantumu sangat luar biasa." katanya. "Bagus, Mario."

"Terima kasih." jawab Rio sambil tersenyum.

Ify kembali duduk ditempatnya. Dia mendengus sebal. Rio tertawa kecil melihatnya.

Saat pelajaran olahraga, seperti biasa Rio hanya bisa duduk diam dipinggir lapangan, menonton teman-temannya berolahraga. Ify bermain basket bersama teman-temannya. Ia sangat canggih melakukan olahraga itu.

Ketika Ify dan kedua temannya berjalan seusai berolahraha, tiga orang murid laki-laki menyiram air pada Ify.

"Maafkan kami." kata salah satu murid laki-laki. "Kami ingin membersihkan lapangan."

"Apa yang ingin kalian lakukan?!" seru Ify kesal.

"Wah, merah jambu!" seru murid laki-laki lain, melihat baju dalam Ify.
Ify menunduk.

"Minta maaf!" seru teman-teman Ify.

"Untuk apa? Kami tidak melakukan apapun." jawab murid laki-laki.

Mendadak Rio datang. Ia menyelimuti badan ify dengan jaket hitamnya.
"Itu kecelakaan! Kecelakaan!" seru murid laki-laki.

Ketiga murid itu beranjak pergi, tapi Rio mengejar dan menyerang mereka. Ia memukuli salah seorang dari mereka.

"Kalian pikir apa yang kalian lakukan?!" seru Rio marah.

Kedua murid lain berusaha menarik Rio, namun Rio tidak menggubris dan terus memukuli murid itu.

Ify berlari cemas. "Aku tidak apa-apa!" katanya, mendorong Rio. "Aku tidak apa-apa!"
Rio terus berusaha menyerang. Ify terpaksa menamparnya.

"Tolong hentikan!" seru Ify cemas.

Rio berhenti memukul mereka. Dia terduduk dihadapan Ify dengan nafas yang tidak beraturan. Semantara ketiga murid tadi sudah kabur entah kemana.

Ify membawa Rio ke ruang kesehatan. Rio tiduran diatas tempat tidur diruangan itu.
"Kenapa kau marah karena hal kecil seperti itu?" tanya Ify. "Itu hanya olok-olok."

"Mereka melihat pakaian dalammu." kata Rio, membelakangi Ify. "Aku belum pernah melihatnya."

"Apa?" Ify tertegun heran.

"Bagaimana bisa mereka melihat pakaian dalam merah jambumu sebelum aku?" keluh Rio.

"Bodoh!" seru Ify, memukul kepala Rio. "Kenapa kau membahayakan nyawamu hanya demi masalah sepele?"

"Itu tidak sepele!" seru Rio, bangkit dari tidurnya. "Itu penting! Aku pacarmu! Tentu saja pacar harus melihatnya lebih dulu. Kita sudah berjanji ketika masih kecil."

Ify diam sejenak, kemudian menutup tirai pembatas.
"Baik, aku akan membiarkanmu melihatnya pertama kali." ucapnya.
"Apa?" Rio memandang Ify tidak mengerti.

"Aku bisa menunjukkan padamu kapan saja." kata Ify. "Tolong jangan lakukan tindakan gegabah seperti ini lagi."

Ify  melepas jaket Rio. Dari luar baju olahraganya yang basah, baju dalam merah jambunya terlihat. Ketika Ify hendak membuka kaosnya, mendadak Rio berteriak.
"Tunggu!" seru Rio, memegangi dadanya. "Dadaku sakit."

Ify memakai kembali jaket Rio. "Jika kau begitu antusias, aku tidak akan pernah menunjukkan padamu! Tidak akan pernah!" seru Ify sambil membuka kembali tirai pembatas dan pergi dari sana.

Ify hendak berjalan keluar dari ruang kesehatan, tapi Rio mengejarnya.
"Tunggu!"

Ify berlari, menghindari Rio. Rio mengejar Ify. Yah, kejar-kejaran deh!
Akhirnya Rio berhasil menangkap Ify dan memeluknya dari belakang.

Mendadak terdengar suara murid lewat. Rio dan Ify menunduk, bersembunyi agar tidak terlihat.

Didalam tempat persembunyiannya, Rio dan Ify saling berhadapan. Rio meraih tangan Ify, kemudian mencium bibirnya.

"Alyssaku tersayang, aku menyadari sesuatu ketika aku dirawat di rumah sakit untuk ke tujuh kalinya. Ada sesuatu yang kuinginkan. Jika aku bisa keluar dari rumah sakit, aku ingin menciummu. Menggenggam tanganmu. Memelukmu dengan erat, kemudian putus denganmu. Ketika kau bersamaku, kau selalu menangis. Ketika di pikiranku hanya ada Ify, tapi bagi Ify, di dalam pikirannya selalu ada penyakitku. Kau selalu cemas mengenai kapan aku mati. Agar kau tidak selalu menangis, kurasa seharusnya aku putus saja denganmu, saat aku masih hidup."

Ketika berciuman dengan Rio, Ify menangis. Rio kemudian memeluknya erat. Sangat erat seolah tidak ingin dipisahkan oleh ada dan siapapun. Termasuk waktu dan takdir Tuhan.


***


Didalam rumah yang sederhana, Rio dan kedua orang tuanya duduk bersama diruang keluarga. Rio mengatakan pada kedua orang tuanya bahwa ia ingin bersekolah di SMA Prasetya. Tapi orang tuanya menolak. Jika bersekolah disana, maka Rio harus tinggal di asrama. Kedua orang tuanya tidak akan bisa menjaga Rio.

"Aku ingin membuat kenangan indah sebelum aku mati." kata Rio. "Aku ingin mencoba segalanya tanpa takut. Agar aku tidak menyesal."

Kedua orang tuanya diam sejenak.
"Apa karena Ify?" tanya Ibu Rio. "Kau melihat pilihan sekolah Ify, bukan?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan Ify."

Setelah itu Ibu Rio mendatangi Ify dan memohon pada Ify agar membujuk Rio mengambil SMA lokal. Dia mengatakan kalau Rio memilih disekolah Prasetya High School karena Ify juga bersekolah ditempat itu.
"Tante, kurasa kau salah." kata Ify, terlihat terkejut mendengar informasi itu. "Dengan nilaiku, mustahil bagiku diterima di SMA Prasetya. Aku baru tahu kalau Rio mendaftar di Prasetya." ucap Ify.


***


Di sekolah.
"Rio sudah mempersiapkan ujian masuknya?" tanya Ify, menoleh ke arah Rio yang sedang serius menekuni bukunya. "Kemana kau akan mendaftar?"

"Prasetya." jawab Rio singkat.
"Wah!" seru Ify  keras, membuat semua murid menoleh. "Orang ini akan mendaftar di Prasetya High School!"

"Diam!" seru Rio.
"Aah, nilaiku tidak akan cukup." keluh Ify. "Aku tidak ingin masuk SMA. Aku punya rencana lain. Rencana yang sudah kita buat saat masih kecil. Apa kau lupa?"

Rio diam.
"Sepertinya kau lupa." gumam Ify.

Rio menunjukkan surat penerimaan SMA Prasetya pada ibunya. "Dengan ini, aku bisa putus dengan Ify secara wajar."


Hari kelulusan.
Rio mencari-cari Ify, namun tidak bisa menemukannya.
Mendadak, seseorang memukul kepalanya dengan keras. Dia Ify. "Siapa yang kau cari?" tanya Ify.

"Aku tidak mencari siapa-siapa." jawab Rio.
"Begitukah?!" seru Ify, berjalan mendahului.
"Bagaimana hasil ujian masuk ke SMA pilihan keduamu?" tanya Rio.
"Aku gagal." jawab Ify. "Aku kagum pada diriku sendiri. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku sebodoh ini."
"Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Mungkin aku akan mencari kerja." jawab Ify acuh. Ia mengeluh. "Sepertinya aku hanya bisa berada di samping Rio sampai SMP."
"Ify..." panggil Rio ragu. Walaupun berusaha, tapi Rio tidak sanggup mengucapkan selamat tinggal pada Ify.

Malam itu, Rio duduk diam di kamarnya, memandang foto-fotonya bersama Ify sejak kecil. Ia merasa bimbang dan frustasi. Beberapa kali dia berusaha memantabkan hati akan jalan yang dia pilih. Dia ingin Ify bisa hidup bahagia, tanpa harus ikut menanggung akibat dari penyakitnya. Lagipula, waktu yang diberikan tuhan padanya sudah diujung batas.


***


Rio masuk ke Prasetya. Saat Kepala Sekolah mengucapkan pidatonya, Rio terlihat sangat bosan dan mengantuk. Walau dia siswa berprestasi, dia tipikal orang yang tidak betah mendengarkan pidati berbau ceramah. Karena sudah sering dia mendengarnya.
Pidato akhirnya selesai.

"Selanjutnya." ujar pembawa acara. "Kata sambutan dari murid baru. Perwakilan murid baru adalah Alyssa Saufika."

Rio kaget dan menoleh.
Ify berjalan dengan percaya diri ke depan untuk mengucapkan sambutannya.

Ify berdiri di podium. Matanya jelalatan ke arah murid-murid, mencari sosok Rio.

"Mario Stevano! Aku menemukanmu!" seru Ify setelah menemukan Rio duduk diantara murid lelaki. "Kau terkejut? Kau ingin putus denganku? Terlalu cepat sejuta tahun! Aku belajar! Aku mencari guru private dan belajar dengan keras."

Para murid bingung mendengar celotehan Ify.
"Terima kasih padamu aku mendapat nilai tertinggi di ujian masuk." kata Ify. "Aku murid perwakilan dan kau hanya murid biasa. Rio bodoh! Kau meremehkan aku! Terlalu cepat sejuta tahun!"

"Aku tidak meremehkanmu!" seru Rio, bangkit dari duduknya.
"Rio bodoh!" teriak Ify. "Aku sama sekali tidak berniat masuk SMA! Aku ingin masuk organisasi!"

"Hentikan!" seru pihak Prasetya, menarik Ify dari podium.
Ify  mendorong mereka dengan kasar hingga jatuh ke lantai. "Hari minggu aku ingin ikut kelas memasak dan belajar merangkai bunga. Dan bahasa Inggris. Aku ingin menikah. Hanya tinggal 2 tahun lagi. Aku senang menunggu Rio berumur 18. Apa kau lupa? Janji masa kecil kita?"

Rio terdiam. Kata-kata Ify memenuhi otak dan hatinya. Membuatnya tidak mempunyai kekuatan  untuk membalas dan berucap.

"Jangan meremehkan aku." ujar Ify. "Aku tidak akan pernah melupakan janji itu. Ingin mencampakkan aku? Terlalu cepat seratus juta tahun! Aku ingin menjadi pengantin paling cantik di dunia! Apa kau dengar?!"

Makin banyak orang yang naik ke podium untuk menarik Ify turun, tapi Ify mendorong mereka semua. "Lepaskan aku!" serunya, meronta. "Aku belum selesai!"
Hingga akhirnya, mereka berhasil menarik Ify turun dari podium.

Rio dan Ify meneruskan berdebatan mereka di taman sekolah. Mereka jadi bahan tontonan murid-murid lain. Semua mata memandang mereka dengan tatapan aneh. Baru mereka temui spesies manusia seperti dua orang itu.

"Tentu saja aku tidak lupa!" seru Rio. "Tapi, walaupun tidak lupa..."
"Kau melamar dan menciumku!" seru Ify. Mengingatkan Rio akan kejadian dimasa kecil mereka bertahun-tahun lalu. "Dan kau masih bisa mengatakan itu?"
"Yang ingin kukatakan..."
"Apa?" potong Ify.

Rio terdiam sejenak. Hingga dia menemukan kata yang lebih baik saat ini.
"Dan dananmu terlalu berlebihan!" kata Rio, mengejek.
"Diam!" seru Ify, membalas. "Apa yang salah dengan itu. Lihat rambutmu!"
"Mereka benar-benar akan menikah." celetuk salah seorang murid.
"Diam! Siapa yang bilang?"
"Memang!" kata Ify. "Karena itu, tidak ada seorangpun yang bisa mengambil orang ini dariku." Dia merangkul lengan kiri Rio dengan erat. Menunjukkan kebersamaan mereka.
"Diam." kata Rio, berjalan pergi. "Kau bahkan tidak tahu apa yang dirasakan orang lain."
"Tunggu!" seru Ify, mengejar Rio.

Tanpa mereka ketahui, seorang murid laki-laki menonton mereka. Tersenyum sinis dengan tataan mata yang tajam. Seorang mengisyaratkan akan terjadinya tragedi didalam hubungan mereka suatu saat nanti.

Rio membereskan barang-barang di kamar barunya. Tidak lama kemudian seorang pria berkacamata masuk.
Pria itu terlonjak kaget melihat Rio. "Ah! Bukankah kau laki-laki yang dilamar di podium?" tanyanya. "Aku teman sekamarmu, Gabriel Stevent."
Gabriel mengulurkan tangannya dan disambut dengan hangat oleh Rio.

Di lain sisi, Ify masuk ke kamar barunya.
"Permisi." kata Ify.
"Kau orang yang mengungkapkan cinta di podium." kata gadis teman sekamar Ify.
"Aku Alyssa Saufika. Biasa dipanggil Ify." ujar Ify memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya.
"Aku teman sekamarmu, Agni Tri Nubuwati." ujar Agni, menyambut uluran tangan Ify.

Seorang laki-laki duduk diam di depan asrama putri.
"Permisi." kata seorang murid perempuan. "Disini asrama putri."
Murid-murid perempuan keluar untuk melihat laki-laki itu. Laki-laki yang tertawa saat melihat Ify dan Rio bertengkar.
"Aku akan keluar, tapi jika aku bisa, aku ingin tinggal bersama kalian disini." kata laki-laki itu. Laki-laki itu berjalan mendekati gadis yang menegurnya. Ia melepas kacamata gadis itu. "Ah, sudah kusangka, kau memang manis. Halo semua! Aku murid baru. Namaku Alvin Jonathan."

Ify belajar memanah di klub memanah. Ia memanah dengan sangat canggih dan menjadi satu-satunya murid yang bisa memanah tepat di tengah target.
Rio dan Gabriel melihat dari jauh.
"Ify bisa melakukan segalanya, ya?" tanya Gabriel.
"Dia menunjukkan kemampuannya lebih dari sebelumnya." jawab Rio. "Dia pasti akan unggul dalam segala hal jika tidak perlu menjagaku."
Tidak sengaja Ify melihat Rio dan langsung melambaikan tangan senang. Sebagai akibatnya, ia kena marah ketua klub.
Rio menertawakannya.

Ify menempel terus pada Rio. Bahkan ketika Rio naik bus hendak check up, Ify membuntutinya. Ify  menggandeng tangan Rio dan menyandarkan kepala di bahunya.
"Aku hanya check up." kata Rio. "Kenapa kau ikut?"
"Karena kita bisa bersama lagi dan itu adalah anugerah." jawab Ify.
"Jangan dekat-dekat!" seru Rio, menarik tangannya dari pelukan Ify.
"Karena kita bisa bersama lagi dan itu adalah anugerah!" teriak Ify dan memeluk Rio lagi, hingga Rio terjatuh ke bangku bus.
Semua penumpang menoleh ke arah mereka.
"Hentikan!" teriak Rio kesal.
"Hussshh..." bisik Ify.
"Maafkan aku. Maafkan aku." ujar Rio pada para penumpang bus. Ia berpaling pada Mayu. "Sudah kubilang jangan dekat-dekat."
"Tidak apa-apa." kata Ify, tidak menggubris kata-kata Rio. "Tidak apa-apa. Tidak apa-apa."

Rio memeriksakan diri ke Dokter Tian. Dokter mengatakan kesehatan Rio baik-baik saja.
"Dokter, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Rio. "Sejauh mata batasan olahraga yang boleh kulakukan?"
"Apa maksudmu?"
"Karena aku tidak bisa lari, bolehkan aku melakukan olahraga yang tidak perlu lari?" tanya Rio.
"Olahraga tanpa lari?" gumam Dokter.
"Sebagai contoh, memanah." kata Rio.
"Memanah?" gumam Dokter.
"Dan bercinta?" tanya Rio lagi.
Dokter Tian mematahkan pulpennya dan hendak memukul Rio. Rio kaget.
"Kau akan melakukan olahraga itu dengan siapa?" tanya Dokter, mencoba menahan emosinya.
"Aku tidak akan melakukannya dengan Ify." kata Rio takut-takut. "Aku tidak akan melakukannya dengan putri Dokter. Karena aku belum pernah melakukannya, aku ingin tahu bagaimana melakukannya."
"Itu akan menghabiskan banyak tenaga." kata Dokter, duduk lagi ke kursinya. "Sebagai Dokter, aku tidak menyarankan hal itu."
Rio  tersenyum. "Begitu." ujar Rio seraya memutar-mutar kursinya.. "Untuk seseorang yang tidak bisa bercinta, menikah adalah hal yang mustahil juga. Gadis itu tidak akan mengerti hal ini."

Ify menggandeng dan memeluk tangan Rio erat. Ia juga menyandarkan kepalanya di bahu Rio.
"Aku tidak bisa berjalan begini!" seru Rio.
"Sekarang kau sedang jalan." kata Ify. "Kenapa kau malu?"
"Aku tidak malu!" kata Rio, mencoba melepaskan diri dari Ify.
Rio menekan tombol elevator.
"Rio?" sapa seorang gadis ragu.
"Kau Via , bukan?" tanya Rio. "Lama tidak bertemu."

Rio dan Via berbincang berdua di taman rumah sakit.
"Aku tidak percaya!" seru Via. "Rio si anak kecil sekarang sudah menjadi seorang pria tampan."
"Kita terakhir bertemu saat SD, bukan?" tanya Rio.
Sebuah bola menggelinding ke kaki Via. Via melemparkannya lagi pada seorang anak kecil.
"Kau masih bersama Ify." ujar Via, memandang Ify yang duduk sendirian dari jauh. "Dulu, para perawat menyebut kalian 'Pasangan Suami Istri kecil'."
Rio tertawa, melihat Ify.
Via bertanya pada Rio apakah Rio sudah mendaftar transplantasi organ.
Tentu saja Rio sudah mendaftar. "Karena hanya itulah cara untuk menyelamatkan kami."
Via dan Rio memiliki penyakit yang sama, yakni penyakit jantung. Via pergi ke rumah sakit itu untuk dirawat.

Mendadak Ify menjadi marah dan menjauh dari Rio. Di bus, ia tidak lagi lengket pada Rio.
"Kenapa kau marah?" tanya Ify.
"Tidak apa-apa." jawab Ify ngambek.
"Kalau masalah Via, kau sudah mengenalnya, bukan?" tanya Rio. "Dia biasa bermain bersama kita ketika masih kecil."
"Aku tidak ingat!" seru Ify, pindah ke kursi depan. "Kenapa laki-laki seperti ini? Ketika melihat gadis yang cantik sedikit saja, mereka akan pergi."
"Perempuan juga begitu!" balas Rio tidak mau kalah. "Ketika melihat pria tampan, mereka akan tersenyum dari telinga sampai telinga."

Ify mencari Rio di kelasnya, tapi teman-teman Rio mengatakan bahwa Rio pergi ke rumah sakit.
Ify kesal. "Aku tahu kenapa ia ke rumah sakit." ujarnya marah.

Rio menjenguk Ify di rumah sakit dan membawakanya bunga.

Ify  keluar dari kelas Rio dengan kesal dan langkah kasar. Ketika ia membuka pintu dan berjalan, tanpa sengaja ia menabrak seorang pria hingga terjatuh. Alvin.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Alvin, mengulurkan tangan untuk membantu Ify.
"Aku tidak apa-apa." jawab Ify, tidak menerima uluran tangan Alvin.
Alvin menatap tangannya sendiri. "Kau Alyssa Saufika, bukan?" tanyanya. "Aku adalah Alvin Jonathan, murid yang menempati posisi tertinggi kedua saat ujian masuk."
Lagi-lagi Alvin mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Ify, tapi Ify diam saja.
Para murid menonton mereka. Gadis-gadis menjerit histeris. Alvin adalah murid populer di sekolah.
Karena Ify diam saja, Alvin meraih tangan Ify. "Tuan Putri, ayo kita nikmati masa-masa sekolah."
Ify meronta, melepaskan tangannya dari Alvin. Tapi Alvin memegang tangannya dengan erat hingga Ify  tidak bisa berkutik.
"Lepaskan!" seru Ify marah, kemudian berlari pergi.
Alvin tersenyum.

Ketika Rio pulang dari rumah sakit malam harinya, ia melihat Alvin sedang menemui seorang wanita. Wanita itu memberi Alvin makanan.
"Aku akan datang lagi." kata wanita itu. Sepertinya ia adalah ibu Alvin.
"Jangan datang lagi." ujar Alvin dingin.
Wanita itu berjalan pergi.
"Kangan katakan pada siapapun apa yang baru saja kau lihat." kata Alvin pada Rio. "Jika seseorang tahu bahwa murid paling populer di sekolah ini berasal dari keluarga miskin, imageku akan rusak."
Rio diam.
"Kudengar jantungmu sakit." kata Alvin. "Sejak kapan itu terjadi?"
"Itu bukan urusanmu." jawab Rio dingin seraya berjalan pergi.
"Mario Stevano!" panggil Kou. "Ikutlah denganku."

Alvin mengajak Rio ke pinggir lapangan. Ia memberikan botol minuman pada Rio. Rio diam saja, tidak menerimanya.
"Minuman manis ini buruk untuk tubuhmu?" tanya Alvin. Melihat ekspresi bingung di wajah Rio, Alvin berkata, "Aku mengenal seseorang yang punya penyakit sama sepertimu, karena itulah aku tahu. Dibandingkan kau, mungkin aku lebih mengerti apa yang dirasakan... AlyssaSaufika."
Rio tidak mengatakan apapun.
"Orang itu mati." kata Alvin. "Sama sepertimu, ia menunggu donor jantung, tapi tidak ada yang mendonorkannya. Pada akhirnya, ia mati. Dia adalah ayahku. Aku sama sekali tidak tertarik pada orang yang sekarat. Aku hanya tertarik pada orang yang ditinggalkan. Ibuku. Ibuku masih saja menangis jika memikirkan ayah."
Rio mulai mengerti apa yang dimaksudkan Alvin.
"Sama seperti ibuku, Ify hanyalah manusia biasa." ujar Alvin. "Seorang gadis yang sudah jatuh cinta dan memiliki pacar di awal SMA. Dan pacarnya ini... memiliki penyakit yang sama dengan ayahku. Ketika mengetahui hal itu, aku berpikir.... jika kau mati, ia akan menangis selamanya. Untuk mencegah itu, aku akan membuatnya menjadi milikku sebelum kau mati."
Alvin berjalan mendekati Rio dan bicara dengan sangat dekat. "Kau... kenapa kau masuk SMA ini? Bukankah karena ingin putus dengannya? Kalau begitu, putus dengannya."

Ketika ify sedang berjalan bersama teman-temannya, Alvin datang mendekatinya.
"Tuan Putri!" panggil Alvin.
Ify menarik napas kesal.
Alvin mendekati dan berdiri di samping Ify. "Aku ingin kau berkencan denganku." katanya.
Ify  menoleh kaget. "Hah?"
"Atau dengan kata lain, aku ingin kau menjadi kekasihku." kata Alvin seraya merangkul pundak Ify.
"Sudah kubilang padamu bahwa aku sudah punya Rio!" seru Ify, menghempaskan tangan Alvin dari pundaknya.
"Aku akan menunggu jawabanmu dengan sabar." kata Alvin, tidak menggubris kata-kata Ify.

Saat para murid laki-laki berolahraga, seperti biasanya, Rio hanya duduk menonton di pinggir lapangan. Bukan hanya Rio yang menonton, para murid perempuan juga ikut menonton dan menjerit-jerit kecentilan melihat Alvin.
Alvin dan beberapa murid laki-laki lain melakukan balap lari. Alvin memimpin dan menang mutlak. Para gadis berteriak-teriak.
Rio  berdecak lidah dan berjalan pergi.

Seperti biasa, saat guru sedang mengajar, Ify malah menggambar karikatur guru itu. Ia tersenyum sendiri dan tanpa sengaja menoleh ke luar jendela. Disana, ia melihat Rio sedang berjalan seorang diri melewati taman.
"Guru!" seru Ify. "Bolehkah aku pergi ke toilet sebentar?"

"Mau kemana kau?" seru Ify, berlari mengejar Rio.
Rio menoleh. "Aku mau ke rumah sakit." jawabnya. "Hari ini bukan hari aku check up, jadi aku tidak mendapat izin pulang cepat."
"Kau ingin menjenguk orang itu lagi?" tanya Rio.
"Kau tidak mengerti bagaimana rasanya tinggal di rumah sakit sendirian." ujar Rio. "Daripada membuang-buang waktu untuk cemburu, bukankah lebih baik kau menjadi wanita yang lebih sensitif?" tanya Rio.
Rio mengambil meja dan melompati pagar sekolah. Ketika ia melompat, sebuah kertas tidak sengaja jatuh dari sakunya.
Ify  mengambilnya.

Di rumah sakit, Rio bingung mencari-cari kertas tersebut. "Ah, dimana aku menjatuhkannya?" gumamnya.
"Apa yang kau jatuhkan?" tanya Via.
"Sebuah jimat. Sebuah harapan." jawab Rio. "Aku menulisnya saat masih kecil. Karena aku selalu tidak mati saat membawanya, maka kertas itu menjadi jimat untukku. Mungkin aku menjatuhkannya saat melompati pagar. Tidak masalah jika Ify mengambilnya, tapi..."
Via tertawa. "Kau sangat beruntung karena memiliki seseorang yang manis disisimu." katanya. "Aku tidak memiliki siapapun. Aku malu mengatakan ini, tapi sampai saat ini aku belum pernah jatuh cinta. Dan aku akan menjalani transplantasi jantung. Jika aku memiliki bekas luka yang lebih besar dari yang kumiliki sekarang, mungkin aku tidak akan mampu memperlihatkan bekas menakutkan ini pada pria. Aku seperti biarawati."
"Itu tidak benar." kata Rio. "Walaupun begitu, tidak masalah. Kau seorang gadis yang sangat cantik."

Via diam sejenak. "Rio, maukah... kau menciumku?" tanyanya pelan.
Rio diam, menunduk.
"Aku tidak pernah jatuh cinta dan belum pernah dicium." kata Via sedih. "Aku... tidak ingin mati seperti ini. Rio, apa kau membenciku? Jika kau membenciku..."
"Bukan seperti itu." jawab Rio.
"Jadi kau menyukaiku?" tanya Via. Ia bangkit dari duduknya dan mendekati Rio. Via menunduk dan mengecup bibir Rio.
Rio hanya diam, tapi juga tidak membalas ciuman Via.
"Ini ciuman pertamaku." ujar Via tersenyum.

Rio duduk sendirian di Observatorium. Ify menyusulnya.
"Aku melihatmu datang ke sini." ujar Ify. "Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku datang kesini jika ingin sendirian." jawab Rio.
"Kau ingin menjadi astronot, bukan?"
"Kau tidak dengar, aku datang kemari jika ingin sendirian." ujar Rio mengulangi.
"Hmm." Hanya itulah yang diucapkan Ify, namun ia tetap tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Rio diam sejenak. "Maafkan aku." katanya. "Via dan aku... berciuman."
Ify terdiam.
Rio bangkit dari dudunya, mendekat pada Ify. "Dia bertanya apakah aku membencinya dan kujawab tidak. Dia beranggapan aku menyukainya, lalu..."
"Apa kau bodoh?!" seru Rio. "Dia menanyakan itu dengan tujuan tertentu, bukan? Hanya karena dia lebih cantik..."
"Itu tidak benar!" seru Rio.
"Lalu apa?!"
"Dia bilang, ia tidak ingin mati seperti ini." ujar Rio, menjelaskan. "Aku tidak bisa bersikap dingin pada orang yang belum menemukan jantung yang cocok."

"Itulah yang kubenci darimu!"
"Kalau begitu, kita putus." kata Rio. "Hari ini adalah pertama kalinya aku mengerti pikiranmu, Ify. Mendengar seseorang yang tidak tenang meminta ciuman, aku tidak bisa menolaknya. Aku ingat, akulah yang selalu mengatakan bahwa aku menyukaimu, Ify. Aku menyukaimu karena kau baik dan tidak pernah menolakku. Setiap kali aku berpikir mengenai semua yang telah kau lakukan untukku, aku merasa tidak bisa menolak Via."
Ify  menangis. "Rio, kau sama sekali tidak mengerti pikiranku." katanya. "Kenapa kau tidak bisa menolaknya? Jika seorang laki-laki menyukai seorang gadis, dan gadis lain bertanya apakah laki-laki itu membencinya atau tidak, jawabannya seharusnya iya."
Ify mengambil kertas Rio yang terjatuh dari saku dan melemparnya ke arah Rio. "Jika kau memang ingin putus, baik. Kita putus."

Keesokkan paginya, Rio berjalan ke gedung kelas sendirian. Dari jauh, ia melihat Ify, namun kemudian memalingkan wajah.
"Tuan Putri!" seru Alvin, berlari dan memeluk Ify dari belakang.
"Lepaskan aku!" seru Ify, mencoba melepaskan diri dari Alvin.

Rio pergi ke rumah sakit. Ia berjalan ke kamar Via, namun Via sudah tidak ada disana.
"Permisi." panggil Rio pada seorang perawat. "Dimana pasien yang ada dikamar ini? Sivia Azizah?"
"Dia sudah meninggal tadi malam." jawab perawat. "Penyakitnya mendadak memburuk. Tidak ada yang bisa kami lakukan."
Rio sangat terpukul mendengarnya. Ia pergi keluar karena jantungnya terasa sakit.
Rio terjatuh dan bertumpu pada pagar.

Ify berlatih memanah, tapi tidak satupun panahnya mengenai sasaran.
"Tuan Putri." panggil Alvin dari pintu. Ia melambaikan tangannya pada Ify. "Aku sudah mengatakan akan menunggu jawabanmu. Bukankah ini waktunya kau memberiku jawaban?"
Ify diam, tidak memedulikan Alvin.
"Tuan Putri, apa kau membenciku?" tanya Alvin.
"Bukan begitu."
"Kalau begitu, kau pasti menyukaiku!" seru Alvin bersemangat. Ia berjalan mendekati Ify. "Aku termasuk tipemu, bukan?"
"Aku... jauh lebih menyukai Rio dibanding kau." kata Ify. "Aku menyukainya lebih dari semua orang yang ada di dunia ini."
"Dia akan segera mati." kata Alvin. "Dia tidak punya banyak waktu."
Ify meledak marah dan menampar Alvin. "Jika kau mengatakan hal seperti itu lagi, aku akan membunuhmu! Rio tidak akan mati dan meninggalkanku sendiri! Jika kau bicara sembarangan mengenai nyawa Rio, aku tidak akan memaafkanmu!"
Ify beranjak pergi, namun Alvin berteriak. "Kau tidak mengerti apapun!" serunya. "Apa kau tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang sangat penting untukmu? Jika ia mati dan meninggalkanmu... apa yang akan terjadi padamu?” Alvin berjalan perlahan dan memeluk Ify. "Aku tidak bisa melihat kau sedih!"
"Lepaskan aku!" teriak Ify.
"Tidak akan!"
"Lepaskan!" Ify  mendorong Alvin hingga jatuh terjerembab ke lantai.
Alvin tertawa, kemudian berjalan pergi.
Setelah rasa sakitnya berkurang, Rio duduk bersandar pada pagar dan menatap langit.

"Kita akan berlomba apa?" tanya Alvin, menepuk wajah Rio. "Lihat wajahmu yang pucat!"
"Lari 100 meter." jawab Rio.
"Itu sama halnya dengan menemanimu bunuh diri." jawab Alvin. "Aku tidak bisa melakukannya." Alvin berjalan pergi meninggalkan Rio.
"Jika aku kalah, Ify akan menjadi milikmu." seru Rio. "Jika aku menang, jangan ganggu dia lagi. Aku tidak mau melihatmu bicara dengannya. Aku tidak mau melihatmu berjalan di jalan yang sama dengannya. Jangan berani memandangnya jika kau bertemu dengannya di sekolah."
Alvin berbalik, menatap Rio dan menimbang sejenak.
Akhirnya Alvin setuju berlomba lari melawan Rio.
"Kalian berdua siap?" tanya seorang murid yang bertindak sebagai juri. "Lari lurus menuju garis finish."

Alvin dan Rio memasang kuda-kuda start.
"Bersedia! Siap! Go!" seru juri.

Alvin dan Rio mulai berlari. Rio kalah jauh dibandingkan Alvin.
"Demi gadis yang kucintai, Ify, aku tidak akan mati." pikir Rio dalam hatinya.
Rio berlari sekuat tenaga mengejar hingga akhirnya bisa menyalip Alvin.
Rio menang.

"Kita sudah sepakat." kata Rio, terengah-engah. "Menjauh dari Ify." Ia terjatuh dan berbaring di tanah. "Ah, sudah lama aku tidak lari. Rasanya menyenangkan. Sangat menyenangkan!"



Ify duduk di kamarnya. Mendadak, terdengar bunyi kerikil beradu dengan kaca jendela.
Ify membuka tirai dan jendela. Rupanya Rio yang melempar kerikil ke kaca jendela kamar Ify.
Ify dan Agni mendongakkan kepala mereka keluar jendela.
"Rio, apa yang kau lakukan?" tanya Ify.
"Tri!" sapa Rio.
"Bukan 'Tri'." protes Ify. "Ini asrama putri."
"Selamat malam, Agni Tri." sapa Rio.
"Selamat malam."
"Ify!" panggil Rio. "Bulan sangat indah. Ayo berkencan."
"Hah?"
"Ayo!"
"Bukankah kita sudah putus?" tanya Ify.
"Benarkah?" Rio bertanya balik. "Kapan itu? Aku tidak ingat."
"Kenapa dia? Apa dia mempermainkan aku?" gumam Ify.

Ify turun menemui Rio. "Ini sudah terlalu malam untuk berkencan."
Rio menggandeng Ify dan mengajaknya ke klub memanah.

"Sebenarnya aku ingin sekali ikut klub memanah." kata Rio. "Kurasa akan sangat menyenangkan bergabung dikegiatan apapun bersamamu. Ditambah lagi, seragam memanah menunjukkan sisi feminimmu."
"Karena itu? Dasar bodoh!" gumam Ify.

Rio mengambil salah satu busur dan mencobanya.
"Itu salah." protes Ify. "Kau harus membuka dadamu."
"Seperti ini?" tanya Rio, mencontohkan.
Ify menggeleng dan mendekati Rio untuk membantunya. "Pegang seperti ini." katanya.
"Ify..." ujar Rio pelan. "Apakah tidak apa-apa jika kita bercinta?"
"Apa?"
"Hadiah untukku karena menang." ujar Rio.

"Apa yang kau menangkan?" tanya Ify bingung.
"Hadiah karena aku masih hidup." kata Rio.
Ify menunduk.
"Aku ingin bercinta denganmu, Ify." kata Rio, menghadap Ify. Ia memeluk Ify dengan erat.
"Rio, Hentikan! Kita tidak bisa." tolak Ify, berusaha melepaskan diri dari Rio. "Tidak disini."
"Tapi aku ingin." kata Rio, mencium Ify dengan paksa.
Karena Ify terus menerus meronta, Rio melepaskannya. Tapi begitu Rio melepaskannya, Ify malah mencium Rio.
Ok, that's first night between those two, in archery club.

Keesokkan harinya, Rio melompati pagar sekolah lagi.
"Kau mau kemana?" tanya Ify.
"Makam Via." jawab Rio. "Dokter Tian mengatakan padaku dimana tempatnya. Kau mau ikut?"
"Aku ikut." kata Ify seraya melompati pagar tanaman.
"Mario." panggil Alvin. Entah kenapa mendadak ia ada di samping mereka, ikut melompat pagar. "Sebenarnya, aku sudah punya pacar dari luar sekolah. Dia sangat seksi. Pasti sekolah akan gempar jika tahu aku sudah memiliki pacar yang luar biasa. Sekarang, aku ingin menemuinya." Alvin diam sejenak. "Kalian tahu, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di sekolah."
Rio dan Ify menunduk diam.


"Apakah tidak apa-apa, kau menceritakan rahasia besarmu pada kami?" tanya Rio, mengalihkan pembicaraan.
"Kau dan Tuan Putri adalah pengecualian." jawab Alvin. "Aku masih menyukai Tuan Putri. Di luar itu... Mario, ayo kita berteman."
"Apa?"
"Ini pertama kalinya aku mengungkapkan perasaanku pada laki-laki." kata Alvin, tertawa. "Aku akan menunggu jawabanmu dengan sabar."


Ify dan Rio mengunjungi makan Via.
"Sejak masih kecil, aku sudah diberitahu bahwa aku akan mati." kata Rio. "Mereka mengatakan padaku bahwa aku tidak akan hidup lebih dari umur 20."

Saat senja, Alvin pergi dari tempat pacarnya. Pacarnya melambaikan tangan senang.
Alvin berjalan sendirian.
Suara di pembatas jalan dan rel kereta api berbunyi, pertanda bahwa kereta akan segera lewat.
Alvin terkejut dan bergegas berlari terburu-buru melewati rel.
Begitu lewat, Alvin berhenti karena menghindari sepeda. Tanpa ia sadari, sebuah truk besar berjalan cepat dan menabrak Alvin.

"Hari ini, ada seorang pemuda yang dibawa kemari karena kecelakaan." ujar Dr. Tian pada Rio dan kedua orang tuanya. "Ia memiliki kartu donor. Kami sudah menghubungi Asosiasi Donasi Organ. Mereka memutuskan bahwa jantungnya akan didonorkan pada Rio. Tapi tentu saja, kami harus mendapat persetujuan dari keluarganya terlebih dulu. Kita sudah menunggu lama untuk ini, tapi akhirnya kita bisa memberi Rio jantung pengganti."
Kedua orang tua Rio menunduk berterima kasih.
"Rio, operasi akan dilakukan lusa." ujar Dokter. "Kau harus cukup istirahat untuk mempersiapkan operasi. Jangan keluar dari ruangan ini."
Rio tersenyum lega. "Dokter Rio, setelah operasi, apakah aku boleh lari? Apakah aku boleh memakan makanan apapun yang kusuka? Aku bisa masuk ke universitas? Aku bisa menikah? Bisakah aku melakukan semua itu?"
"Tentu saja." jawab Dokter. "Mulai saat itu, kau bisa menjalani hidup yang kau suka."
Rio menangis.

Ify duduk sendirian di atap rumah sakit, menunggu Rio. Tidak lama kemudian, ia turun dan tidak sengaja melihat teman-teman sekolahnya berjalan lewat sambil menangis.
"Ada apa?" tanya Ify.
"Alyssa, kau ada disini juga?" tanya salah seorang murid perempuan. "Apa kau belum dengar? Alvin mengalami kecelakaan. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyadarkannya."
"Mereka bilang, otaknya sudah mati." tangis seorang murid.
Ify terkejut.

Ify bergegas menemui ayahnya.
"Ada apa, Ify?" tanya Dokter Tian.
"Orang yang mendonorkan jantungnya pada Rio... bukan dia, kan?" tanya Ify.
Dokter diam sejenak. "Kau tidak perlu memikirkan itu. Pergi dan temani Rio."

Di sebuah kamar ICU rumah sakit, Alvin tidak juga sadar dan dalam kondisi kritis.
"Kau mengikuti program donor?" ujar Kakek pada Alvin, walaupun Alvin mungkin tidak bisa mendengarnya. "Apa aku melakukan ini untuk mewujudkan mimpi ayahmu karena ia mati sebelum mendapat donor jantung?"
Ibu Alvin menangis.
"Aku selalu mengatakan hal yang kejam padamu." tangis Kakek, menyesal. "Aku pernah mengatakan bahwa kau orang yang menjengkelkan. Tapi, kau adalah anak yang penuh pengertian. Aku mengerti. Jantungmu akan terus hidup."

Ify mengintip Rio dari luar kamarnya. Rio sedang berbincang dengan orang tuanya mengenai makanan apa saja yang ingin ia makan setelah sembuh. Rio dan kedua orang tuanya terlihat senang. Terlebih Rio. Dari matanya nampak sebuah harapan besar.
Ify  hanya diam dan berdiri di luar kamar. Dia tidak tahu bagaimana reaksi Rio bila tahu siapa yang mendonorkan jantungnya.
"Ify." panggil Rio. "Lusa aku akan operasi."
Ify tersenyum. "Selamat ya!"
"Terima kasih." jawab Rio senang. "Aku sungguh berharap operasi ini lebih cepat. Ayo pergi ke kolam renang setelah operasi ini berhasil."
"Kolam renang?"
"Aku ingin melihatmu dengan pakaian renang."
Ify tertawa.

Keesokkan harinya, Ify berjalan perlahan melewati ruang ICU. Ia melihat beberapa teman sekolahnya berlari masuk ke ruang tersebut.

Setelah itu Ify menjenguk Rio dan bermain kartu dengannya.
"Aku tahu peraturan mengenai transplantasi, tapi Dr. Taneda tidak mau mengatakan apapun mengenai pendonor." kata Rio. "Aku hanya ingin berterima kasih pada keluarga pendonor."
Rio bangkit dari duduknya.
"Mau kemana kau?" seru Ify cemas.
"Ke toilet." jawab Rio.
Ify mengangguk. Kemuadian Rio masuk kedalam toilet yang ada dikamarnya.
"Ada seorang murid dari sekolah kita yang dibawa kemari." kata Rio dari dalam toilet. "Apa kau tahu sesuatu mengenai itu?"
"Apa?"
"Ketika aku melihat keluar pagi ini, ada beberapa murid yang mengenakan seragam sekolah kita datang kemari." kata Rio.
"Aku tidak tahu." kata Ify berbohong. "Mungkin kakak kelas kita?"
"Mungkin."

Lagi-lagi Ify berdiri di depan ruang ICU, mencoba memberanikan diri untuk masuk.
Akhirnya Ify berani masuk dan mengintip ke kamar Alvin. Ada beberapa murid perempuan bersama Ibu Alvin disana.

Di lain pihak, beberapa murid laki-laki masuk ke kamar Rio.
"Apakah kita salah masuk kamar?" tanya salah seorang dari mereka. "Tapi dia juga dari sekolah kita."
"Siapa lagi yang dirawat di rumah sakit ini?" tanya Rio.
"Alvin Jonathan dari kelas kami." jawab mereka. "Dia mengalami kecelakaan. Mereka bilang, ia tidak mungkin sembuh."
Rio terkejut dan langsung berlari keluar.

Kembali ketempat Ify,
Ibu Alvin menoleh ke luar jendela dan melihat Ify berdiri diam disana. Begitu ibu Alvin melihatnya, Ify bergegas berlari takut.
Rio berlari menuruni tangga dan berpapasan dengan Ify.
"Kau tahu?" tanya Rio.
Ify menunduk diam.

Rio dan Ify berbicara diatap rumah sakit.
"Kau tahu! Kau dan Dr. Tian tahu!" seru Rio. "Karena itulah ia melarangku pergi keluar kamar!"
"Aku tidak tahu!" seru Ify. "Itu hanya kebetulan!"
"Kau hanya beralasan!"seru Rio. "Mungkin ini adalah kesempatan terakhirku, tapi aku tidak akan mau menerima operasi. Aku tidak bisa menerima jantung temanku hanya untuk menyelamatkan nyawaku sendiri."
"Tapi tidak apa-apa jika jantung itu milik orang yang tidak kau kenal?" tanya Ify. "Tadi malam kau sangat senang. Memangnya apa masalahnya jika itu jantung milik siapa? Yang penting adalah kau bisa selamat." Ify menangis. "Bagiku, itu sudah cukup."
Rio diam.
"Aku tidak akan membiarkanmu menolak operasi!" seru Ify. "Jika kau mati aku akan..."
"Ify!" teriak Rio, memotong ucapan Ify. "Jika kau bicara lagi, aku benar-benar akan membencimu."
Ify diam, menangis.
"Kau dan Dr. Tian tidak mengerti." kata Rio. "Apa artinya kematian? Bagaimana mengerikannya kematian? Rasanya mungkin sama untuknya. Ify, apa artinya hidup? Haruskah aku mencuri jantung temanku hanya untuk hidup lebih lama? Aku tidak bisa melakukannya."

Sementara itu, dalam tidurnya, Alvin menangis.

Didalam kamar Rio,
"Apa maksudmu tidak mau melakukan operasi?" tanya Ibu Rio. "Rio, apa yang terjadi? Kenapa kau memutuskan seperti ini?"
Rio tidak mau menjelaskan dan menyembunyikan dirinya dibalik selimut.
"Rio!"

Ibu Alvin melapor pada Dokter Tian bahwa putranya mengeluarkan air mata.
"Itu bukan kejadian tidak biasa jika putramu mengeluarkan air mata." jawab Dokter. "Itu hanya refleks. Maafkan aku."
"Dokter, masih bisakah aku membatalkan operasi putraku?" tanya Ibu Alvin. "Aku sungguh minta maaf. Otak putraku mungkin sudah mati, tapi aku adalah ibunya. Aku akan menolak operasi."
Dokter Tian sangat terpukul mendengarnya.

Dokter Tian menyampaikan informasi tersebut pada Rio, Ify dan kedua orang tua Rio bahwa pihak keluarga Alvin tidak memberi izin pendonoran jantung Alvin. Ify dan kedua orang tua Rio sangat terpukul. Sementara Rio hanya diam tidak menunjukkan reaksi apapun.
"Aku tidak bisa menerima ini!" seru Ayah Rio. "Mereka harus memberi..."
"Ayah!" seru Rio. "Tidak apa-apa. Dr. Tian, bisakah aku keluar dari rumah sakit sekarang? Aku ingin kembali ke sekolah. Ify, ayo kembali bersama."
Rio turun dari tempat tidur.

Rio dan Ify duduk diam di dalam bus. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan diantara mereka. Masing-masing hanya diam dalam dunia berbeda. Rio sibuk menerawang jalanan yang mereka lewati.
"Rio, kau tidak boleh menyerah." kata Mayu pelan, memulai pembicaraan. "Aku tidak akan membiarkanmu bersiap mati. Tidak akan."
Rio tersenyum. "Ini aneh." katanya. "Ketika kau mengatakan itu, rasa sakit di dadaku lenyap."
Ify tertawa. "Karena aku adalah obatmu."

Pagi di asrama, Rio hanya duduk diam. Sepertinya ia menahan sakit dan wajahnya pucat.
"Perlukah aku melaporkan pada guru mengenai kondisimu?" tanya Gabriel.
"Hari ini aku ingin tidur saja." kata Rio.
"Beristirahatlah kalau begitu." Gabriel keluar dari kamar, bersekolah.
Malamnya, Ify berlari sekuat tenaga begitu mengetahui kondisi Rio yang kritis. Ia memanggil ambulans dan membawa Rio ke rumah sakit.
"Rio!" teriak Ify  panik. "Rio!"

Setelah sampai di Rumah sakit, Dr. Tian dan krunya bergegas berusaha keras menyelamatkan Rio. 
Ify dan kedua orang tua Rio menunggu dengan cemas di depan ruang operasi.
Beberapa saat kemudian, Dr. Tian keluar.
“Masuklah." katanya pada kedua orang tua Rio. "Aku takut mungkin ini adalah saat-saat terakhirnya."
Ibu Rio menangis keras. Ayah Rio menuntunya masuk.

"Ayah..." panggil Ify pelan pada dokter Tian.
"Masuklah!" ujar Dr. Tian. "Kau juga harus bersamanya."

Perlahan, Ify masuk ke dalam ruangan. Dia melihat Rio sedang berbaring disana. Dengan alat-alat aneh yang bersarang ditubuhnya.
"Rio, maafkan ibu." tangis Ibu Rio sambil membelai rambut anaknya itu dengan lembut. "Seharusnya ibu menjagamu lebih baik. Maafkan ibu."
"Rio, rasanya menyakitkan, bukan?" tanya Ayah Rio sedih. "Tapi kau sudah berusaha keras."
"Tidak, tidak, tidak, tidak tidak..." tangis Ify, melihat Rio, kemudian berlari keluar. Hatinya tidak kuasa menerima kenyataan itu. Dia belum sanggup meninggalkan Rio.


Ify berlari menemui Ibu dan Kakek Alvin ICU, tempat Alvin dirawat.
"Kumohon padamu, kumohon padamu, kumohon padamu!" seru Ify, menangis dan bersujud pada Ibu dan Kakek Alvin. "Tolong berikan jantung Alvin pada Rio. Aku tahu aku mengatakan hal yang kejam, tapi jika terus seperti ini, Rio bisa mati. Kumohon padamu, tolong berikan jantung Alvin pada Rio. Tolong selamatkan Rio!"

Dr. Tian masuk ke kamar Alvin dan melihat putrinya dengan iba.
"Kumohon padamu, tolong selamatkan Rio!" seru Ify. “Kumohon.. Kumohon... Kumohon..."
Dr. Tian berusaha menghentikan Ify.
"Hentikan. Hentikan."
Kakek Alvin berlutut di depan Ify.
"Aku mengerti apa yang kau katakan." katanya. "Tapi saat ini, kami tidak bisa mengizinkan. Cucuku mengeluarkan air mata. Tadi pagi, ia menggerakkan jari-jarinya. Walaupun dokter mengatakan itu hanya refleks, tapi bagi kami, keluarganya, itu adalah secercah harapan. Ini adalah keajaiban. Mungkin ia akan bangun besok pagi dan bertanya, 'Kakek, dimana aku?'. Kami harus menggenggam keajaiban itu. Kau mengerti, bukan?"

Ibu Alvin berjalan mendekati mereka. "Siapa Rio?" tanyanya.
"Dia kekasihku." jawab Ify lemah.
"Maafkan aku." tangis Ibu Alvin. "Aku sungguh minta maaf."

Ify keluar dan duduk seorang diri di lorong rumah sakit, menangis keras. Hati dan perasaannya benar-benar kacau. Takut yang teramat sangat menguasai hati dan pikirannya. Takut akan kehilangan. Takut akan ketidakabadian manusia. Takut akan kematian.


Didalam ketidaksadarannya, Rio dapat mendengar tangisan Ify yang memecah keheningan.
"Semanggi berdaun 4, apa artinya tetap hidup?" tanya Rio dalam lelapnya. "Sekarang Ify sedang menangis lagi. Tolonglah... beri aku waktu sedikit lagi. Waktu terakhir. Tolong biarkan aku hidup."

Rio menggerakkan jari-jarinya, kemudian membuka matanya perlahan.

Saat Ify berjalan gontai ke kamar Rio, namun kamar tersebut sudah kosong.
Tidak lama kemudian, Rio keluar dari toilet. Dia tidak seperti orang sakit.
"Hay, Ify!" panggilnya. "Ini kesempatan kita sekarang. Saat aku bangun, Ibu dan Ayah sangat terkejut dan berlari menemui Dr. Tian." Rio mengambil jaket di lemari dan memakainya.
Ify memandangnya bingung dan tidak percaya.
"Oke, ayo kita pergi!"
"Pergi kemana?" tanya Ify bingung.
"Apa maksudmu? Tentu saja bulan madu." jawab Rio seraya berjalan keluar kamar.

Ify  mengejar Rio. "Rio, ini tidak baik untukmu! Ayo kembali!" serunya.
"Tidak, lihat! Cuaca sangat bagus hari ini!" bantah Rio. "Kemana kau ingin pergi?"
"Rio, dengarkan aku!" seru Ify, menghentikan jalan Rio.
"Kau sangat mengganggu." protes Rio. "Aku sungguh baik-baik saja. Ini pertama kalinya aku merasa baik dalam beberapa waktu belakangan."
"Ini tidak benar, Rio!" seru Ify. "Kumohon padamu, kembalilah. Biarkan ayahku memeriksamu."
Rio mendorong Ify.
"Kemana kita akan pergi berbulan madu?" tanyanya, mengacuhkan kata-kata Ify.
"Bulan madu? Tapi kita belum menikah."
"Kita tidak perlu mengikuti aturan." ujar Rio. "Aku akan membawamu kemanapun kau suka."

Rio mengajak Ify ke taman bermain. Mereka naik roller coaster, bombom car, menonton pertunjukkan lumba-lumba, pergi ke akuarium dan makan spaghetti.

Setelah puas bermain di taman bermain, Rio mengajak Ify pergi ke pantai dan bermain disana.

Lalu, berdesak-desakan di bus. Rio melindungi Ify dengan tubuhnya.

Diakhir perjalanan, mereka duduk di bukit. Ify bersandar ke bahu Rio.
"Hari ini sangat menyenangkan." kata Ify. "Kuharap hari lain seperti ini akan datang lagi."
Rio terdiam sejenak dengan ekspresi sedih.
"Ify." panggilnya. "Sangat menyenangkan, bukan?"
"Ya." jawab Ify, tersenyum.
"Sejak awal sampai hari ini."
Ify terkejut dan mengangkat kepalanya menatap Rio.
"Maafkan aku." ujar Rio. "Aku tidak bisa menepati janjiku padamu. Bahkan semanggi berdaun 4 bisa merasakan bahwa sekarang sudah mencapai batas waktuku. Ayo kembali ke rumah sakit."
Rio mengeluarkan sebuah kertas dari saku celananya dan menyerakan kertas tersebut pada Ify.
Ify menerima kertas tersebut.
Rio tersenyum.
"Ayo, Fy!” ajaknya.


Sesampainya di rumah sakit, Ibu Rio menampar Ify karena membawa Rio pergi dari rumah sakit. Dan saat itu kondisi Rio kembali kritis. Ify tidak memberikan reaksi apapun.
"Kenapa kau membawa pasien keluar dari rumah sakit?!" bentaknya. "Kau tahu kondisi Rio!"
"Tenang." ujar Ayah Rio, membawa istrinya pergi.
Ify  melihat ke dalam ruangan. Dr. Tian dan perawat melakukan perawatan dan pengobatan pada Takuma yang saat itu berada dalam kondisi kritis.
Pandangannya kosong. Tidak seceria biasanya.


Tepat pukul 6.27 pagi, Rio menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah sekian tahun dia berjuang, akhirnya takdir membebaskannya dari segala rasa sakit yang terus menghantui langkahnya.
"Maafkan aku." ujar Dr. Tian. "Aku sungguh minta maaf dari hatiku yang terdalam."
Ibu dan Ayah Rio menangis, mendekati jenazah putranya.
Ify hanya berdiri diam di luar ruangan dengan tatapan kosong. Cairan bening sudah siap mengalir membasahi pipinya. Dr. Tian menatapnya cemas.

Ify berjalan pergi ke atap rumah sakit. Ia bersandar pada pagar dan memasukkan tangan dalam saku jaketnya. Mencoba menahan cairan bening itu mengalir. Ia mengeluarkan tangannya dan menemukan kertas pemberian Rio.
Ify membuka kertas tersebut.


"Untuk semua orang yang kucintai,
Walaupun aku pergi, aku berharap kalian semua bahagia.

Rio….”


Ify tersenyum pahit membaca surat itu. Kemudian terjatuh ke lantai dan menangis terisak sambil terus memandang tulisan Rio saat masih kecil itu.

***

Beberapa hari berselang setelah kepergian Rio. Duka belum memudar dihati orang-orang yang mengenalnya.
Ify sedang melihat-lihat kamar Rio. Diperhatikannya setiap inci kamar itu. Kamar tersebut sangat berantakan. Di dinding, tertempel banyak fotonya bersama Rio.
Dulu, Rio sering berada didalam ruangan itu. Bau khas Rio menusuk tajam didalam indra penciumannya.

Ayah dan Ibu Rio menyerahkan botol abu Rio pada Ify.
"Maafkan aku karena mengatakan hal yang egois." ujar Ify.
"Tidak apa-apa." kata Ayah Rio. "Aku yakin Rio akan senang. Ia memang mengharapkan sesuatu seperti ini."
"Terima kasih banyak." ujar Ify seraya beranjak pergi.
"Ify!!" panggil Ibu Rio. "Walaupun sampai sekarang aku belum sempat mengatakannya, tapi terima kasih. Kau memberi kesempatan pada putraku untuk merasakan cinta. Terima kasih."
Ify tersenyum.

***

Dr. Tian berjalan dan duduk di sebuah bangku taman menghadap gereja. Dari sana, ia bisa melihat gereja dengan jelas. Pikirannya jauh menerawang.

Di dalam gereja, Ify berdiri seorang diri mengenakan baju pengantin. Ia memegang botol berisi abu Rio. Dia memandang kedepan dengan penuh keyakinan.

"Rio, mimpi kita akhirnya terwujud." ujar Ify. "Tapi ini tidak mudah. Rio, tetap hidup adalah hal yang menyedihkan. Tapi kau tahu, aku sama sekali tidak menyesal. Karena aku bertemu denganmu. Karena aku mencintaimu. Jika aku bertemu kau lagi atau jika sudah aku tahu resiko menyedihkan apa yang menantiku, aku akan tetap jatuh cinta padamu lagi."

***

Beberapa tahun sebelumnya, saat Rio dan Ify kecil pertama kali bertemu.
Ify bediri di balik pohon, menunggu seseorang duduk di bangku jebakan yang sudah dibuatnya.
Rio datang dan duduk di bangku itu.
"Kenapa kau duduk disini?" tanya Ify, keluar dari persembunyiannya. "Aku sedang akan mengolok-olok seorang wanita tua."
Rio bangkit dan melihat belakang celananya kotor.
Ify meminta Rio mencoret-coret bangku, kemudian ia duduk diatasnya. Rio memandangnya bingung.
"Sekarang celanaku juga kotor." kata Ify. "Kau akan memaafkan aku, bukan?"
"Untuk apa aku memaafkanmu?" tanya Rio. "Sejak awal aku memang tidak marah."
"Walaupun aku melakukan itu padamu? Kenapa?"
"Aku tidak tahu." jawab Rio polos.
"Siapa namamu?"
"Mario Stevano."
"Namaku Alyssa saufika." ujar Ify, mengulurkan tangannya. "Senang berkenalan denganmu."
Rio menyambutnya senang.
Saat indah itulah awal dari cinta yang singkat ini.

"Aku tidak menyesal." ujar Ify. "Tidak peduli sebanyak apapun aku dilahirkan kembali, tidak peduli sebanyak apapun kita bertemu lagi, aku akan selalu jatuh cinta padamu."
~~~ THE END ~~~

Komentar

  1. Maaf aku copas ya buat tugas sekolahkuu di blogku. keren bgt kok :) tapi sumbernya tak tulis

    BalasHapus
  2. mana link copasnya saya mau cek

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer