Another Way to Love Part 12
Sambil
menengguk air dalam botol minumannya, rio memandang sekelilingnya.
Sebuah lapangan basket indoor, tempat dimana rio suka menghabiskan
waktunya. Dia menatap ke arah ring basket, saksi bisu dari setiap
tembakan spektakulernya. Lalu dia melangkahkan kakinya ke ruang ganti
pemain, dia menatap loker teman-teman setimnya satu persatu, menatap
foto-foto kemenangan mereka, menatap foto-foto teman-temannya yang
sedang merayakan kemenangan mereka, sesuatu hal yang sering rio
lewatkan.
Dia
duduk di bangku pemain, masih terngiang jelas di telinganya, apa yang
tadi dia dengar. Pembicaraan yang tidak sengaja mampir ke telinganya,
dan terasa pedih di hatinya.
_Flashaback_
Rio
berniat mengambil beberapa buku catatannya dari dalam lokernya. Ketika
terdengar kasak-kusuk dari ujung lorong. Rio yang penasaran berniat
menghampiri sekelompok murid yang ada di ujung lorong tersebut. Tapi
langkahnya terhenti, ketika ia mendengar namanya di sebut-sebut.
“Gue heran deh, kok si rio itu bisa tetep jadi kapten basket ya ?”
“Iya, padahalkan dia latihan aja jarang banget, main juga kalo ada pertandingan doang !”
“Betul ! oke, gue akuin permainannya dia emang hebat, tapi kapten apaan kaya gitu !”
“Ya, maklumlah, gitu-gitu sekolah ini punya kakeknya, jadi suka-suka dialah mau kaya apa”
“Tapi
harusnya pelatih juga objektif dong ! masih ada yang lain, yang kalopun
mainnya kalah sama dia, tapi seenggaknya punya waktu buat tim, dia sih
apaan !”
“Setuju tuh gue !”
_Flashbackend_
Dan
sekarang suara-suara itu terus saja mendominasi pikiran rio. Tanpa
sempat melihat siapa yang sedang membicarakannya, rio langsung pergi
begitu saja. Seandainya dia bisa bersikap tidak peduli akan hal seperti
itu, tapi sayangnya, semua yang ia dengar itu memang benar apa adanya,
sehingga membuat ia terus saja memikirkan hal-hal itu.
Basket
adalah hidupnya buat rio. Meski ia bahkan harus mencuri waktu, hanya
untuk mendribel bolanya. Ini semua bukan keinginannya, tapi
kewajiban-kewajiban yang telah di bebankan padanyalah yang membuat ia
harus melepaskan sedikit kesukaannya. Mulai dari rapat osis, rapat
dengan guru, hingga mengikuti rapat papanya, membuat rio harus
mengalihkan waktunya dari basket.
Setelah
merasa cukup puas bermain sendiri, rio memutuskan untuk keluar dari
lapangan basket itu. Dia berjalan gontai ke arah parkiran, menjalankan
mobilnya, menuju suatu tempat yang akhir-akhir ini juga sering
terabaikan olehnya.
“Pa..” rio mengusap nisan berbahan dasar marmer putih di hadapannya tersebut.
“Maaf
rio udah jarang kesini, papa pasti bisa ngertiin rio kan ? pa, rio
kangen..” dia area pemakaman yang luas itu, hanya ada rio dan beberapa
orang di kejauhan, membuat suasana sepi sangat terasa.
“Kalo
papa masih hidup, apa papa bakal ngelakuin hal yang sama ke rio
sekarang ? apa papa bakal bikin rio jadi sempurna, walaupun rio enggak
nyaman sama hal ini. Bener kata temen-temen rio, rio enggak pantes jadi
kapten, rio enggak pernah dateng latihan, enggak pernah ada di
tengah-tengah tim, rio terlalu sibuk sama dunia rio....”
Rio
berhenti sejenak, ia menatap makam itu sebentar. Rio tidak tahu menahu
tentang papanya, menurut cerita mamanya, papanya meninggal hanya
beberapa bulan sebelum rio di lahirkan. Hal itu membuat rio, hanya
mengenal sosok papanya dari foto dan cerita mamanya saja. Hal
itu juga yang membuat rio, sangat menghormati papanya yang sekarang,
orang yang telah merawatnya sejak ia kecil dan membimbingnya menjadi
laki-laki dewasa.
“Rio
cuma enggak mau di cap jadi anak durhaka, gimanapun, walaupun dia bukan
papa kandung rio, tapi papalah yang udah ngajarin rio banyak hal, rio
enggak mau sampe nyusahin papa dan ngecewain mama”
“Pa, rio pamit, udah sore, rio janji bakal lebih sering kesini ketemu papa”
Akhir-akhir
ini, suasana hati alvin, secerah matahari yang bersinar terang sore
ini. Sejak kejadian tempo hari, tersesatnya ia di hutan berdua bersama
via, alvin memang jadi lebih banyak tersenyum. Membuat beberapa orang
sekelilingnya bingung, dengan perubahan energi positifnya itu. Seperti
sore ini, entah kesambet angin apa, alvin dengan sukarela, menyirami
tanaman mamanya di depan rumah. Membuat pembantu dan satpam di rumahnya
sampe geleng-geleng kepala sendiri.
“Woi
bro, dari mana aja lo ?” sapa alvin saat melihat rio baru kelur dari
mobilnya. Satu lagi perubahan alvin, dia sudah ada di rumah, padahal ini
baru jam 4 sore.
Rio
melirik ke arah alvin, sedikit kaget melihat alvin sedang menyirami
tanaman, tapi ia hanya tersenyum tipis “ gue masuk ya vin” ujar rio
pelan. Alvin meletakkan selang air yang ia pegang, dia ngekorin rio ke
dalam kamarnya, dia bisa menebak bahwa rio sedang ada masalah.
“Sejak kapan lo disini ?!”
“Sejak tadi, sejak lo masuk ke kamar ini, sampe pas lo masuk kamar mandi juga gue udah duduk disini” jelas alvin santai.
“Perasaan tadi gue ngelihat lo lagi nyirem tanaman di depan ?”
“Buset
deh ! lo kenapa yo ? lo beneran enggak sadar gue ikutin dari tadi ?”
rio menggeleng lemah, menjawab pertanyaan alvin. Dia duduk di samping
alvin.
“Ada masalah ya ? cerita dong ke gue, enggak asik banget di simpen sendiri” bujuk alvin.
“Enggak apa-apa kok, gue cuma cape aja”
“Cape ngapain ? nguli dimana emangnya lo ?” alvin mencoba bercanda untuk sedikit memberi senyum di wajah muram rio.
“Di pasar” jawab rio sekenanya. Alvin menatap rio, tampaknya saudaranya itu benar-benar ada masalah saat ini.
“Perlu
gue omongin ke bokap, biar dia enggak usah nyuruh-nyuruh lo lagu buat
nurutin semua permintaannya dia” gantian rio yang menatap alvin.
“Jangan, entar yang ada ujung-ujungnya lo berdua berantem lagi. Lagian bukan gara-gara itu kok..”
“Terus ?”
"Basket"
“Kenapa ?”
“Gue
mau mundur jadi kapten basket” alvin membelalakan matanya, dia tahu
banget kalo cintanya rio ke basket enggak ada bedanya sama cintanya
alvin ke bola.
“Lo kepentok apaan ? ada apaan sih ? gue enggak ngerti deh”
“Gue udah mutusin buat mundur jadi kapten, besok gue mau bilang ke pelatih, gue mau ngun...”
“Stop ! gue mau denger alasan lo mau berhenti karena apa”
“Gue enggak pantes jadi kapten basket”
“Sadar
dong rio, siapa lagi yang pantes jadi kapten kalo bukan elo ?! semua
juga pasti setuju sama gue, kalo enggak akan ada yang ngalahin permainan
lo main basket, jangan gila dong lo !”
“Mana
ada sih vin kapten basket kaya gue ?! jarang latihan, enggak pernah
ikut kumpul, suka ilang sendiri, susah bagi waktu ! mana ada ?!”
“Tapi
semua orang kan juga tahu, kalo jabatan lo itu dobel-dobel di sekolah,
mereka pasti ngertilah apa alasan lo ! lo itu pinter rio, jadi please
jangan sedangkal ini !”
“Kalo
mereka tahu, mereka enggak bakal ngomongin gue di belakang gue !!” rio
menutup mulutnya sendiri. Dia kelepasan ngomong, padahal dia udah
mewanti-wanti dirinya sendiri, supaya alvin tidak mengetahui ini.
Semenjak mereka kecil, alvin tidak pernah tinggal diam bila melihat rio
kesusahan sedikitpun.
“Siapa yang ngomongin elo enggak pantes jadi kapten ?! siapa ?!”
“Enggak penting vin, toh apa yang mereka omongin bener kan”
“Penting ! gue harus tahu siapa yang udah jadi pengecut ngomongin lo kaya gitu ! apa hak mereka bisa ngejudge lo kaya gitu !”
“Gue enggak mikirin itu kok vin, santai aja”
“Enggak
mikirin ? eh, kalo lo enggak mikirin, kenapa lo pengen berhenti jadi
kapten basket, kalo lo enggak mikirin, lo harusnya enggak perlu jadi
down kaya gini !” rio diam tidak berkutik, dia enggak bisa ngebantah
kata-kata alvin lagi.
“Vin,
gue tahu maksud lo baik, gue tahu banget, tapi gue mohon banget, biarin
gue selesein ini pake cara gue sendiri, biarin gue selesein ini
sendiri, gue enggak mau ngelibatin lo atau siapapun, gue udah gede vin,
lo harus percaya sama gue” tanpa memandang alvin, rio berkata demikian.
Alvin
memandang rio, dia emang enggak suka kalo orang-orang terdekatnya
terusik hidupnya. “Ya elo bener yo, udah saatnya gue enggak nyampurin
urusan lo, gue percaya sama lo. Pesen gue cuma, daripada lo kemakan
omongan mereka, mending lo buktiin ke mereka kehebatan lo” sambil
menepuk-nepuk pundak rio, alvin lantas berlalu meninggalkan rio, yang
sedang meresapi kata-katanya.
***
Via
menatap dua orang laki-laki yang duduk di hadapannya, alvin dan rio.
Sudah lama mereka tidak pergi bertiga seperti ini, dan entah mengapa,
tiba-tiba saja alvin mengajak mereka untuk pergi bertiga. Rio
menggenggam lembut jari jemari via, dan itu membuat via risih karena ada
alvin disitu, meski alvin berlaku seolah ia tidak peduli.
“Eh, toilet bentar ya..” ujar rio tiba-tiba, meninggalkan via dan alvin berdua.
“Vin, lo kenapa ngadain acara kaya gini ?” tanya via langsung.
“Kenapa ? ya enggak apa-apalah, gue cuma mau lo hibur rio, dia lagi tertekan sekarang” jelas alvin tanpa menatap via.
“Tapi..”
“Tapi
apa vi ? lo enggak nyaman sama gue disini, emang kita ada hubungan apa ?
emang gue selingkuhan lo ?” pertanyaaan bertubi-tubi dari alvin terasa
telak untuk via. Alvin mengutuk kata-katanya barusan, dia bingung,
kenapa dia jadi jutek lagi ke via. Dia mencoba menatap via, yang masih tampak shock dengan kata-katanya.
“Maaf
vi, maksud gue, apapun yang kita rasain, sedalam apapun kenangan yang
ngikat hati kita, lo punya rio sekarang, dan rio jauh lebih butuh lo
saat ini, dia lagi butuh support dari orang yang dia sayang, dan orang
itu elo” jelas alvin, via tahu alvin benar, tapi semakin hari, apalagi
semenjak ia tahu, bahwa alvin juga masih menyimpan semua kenangan
mereka, via semakin ragu akan hatinya untuk rio.
“Iya
vin, gue tahu..” jawab via lirih, bisakah ia memutar waktu. Tidak
mungkin baginya untuk memberhentikan ini semua sekarang, terlalu banyak
yang akan sakit, meski ia tahu, kebohongan yang menumpuk tidak akan
menuai hasil yang baik.
Alvin
hanya tersenyum, bohong bila hatinya tidak merasa panas melihat rio dan
via. Tapi alvin tahu diri, ia yang telah memberi jalan untuk rio
bersama via, ia yang telah melepaskan via begitu saja, tak pantas
untuknya sekarang, bila harus merebut via begitu saja dari rio.
***
Tidak
ada suara yang tercipta di antara mereka, hanya terdengar goresan
pensil yang beradu dengan kertas. Laki-laki itu menatap sendu ke arah
perempuan yang sedang menulis tersebut.
“Gue tahu gue salah, gue tahu. Lo boleh pacaran sama cakka”
Acha
yang dari tadi sengaja menyibukkan dirinya dengan menulis saat melihat
alvin memasuki kamarnya, mulai menoleh ke arah alvin.
“Kenapa ?”
“Karena
gue enggak mau kehilangan lo” acha menatap kakaknya heran. Di banding
dengan rio yang sibuk, acha memang lebih sering menghabiskan waktunya
bersama alvin.
“Maksud kakak apa ?”
Alvin
memegang pundak acha, memaksa acha menatap matanya “Lo tahu kan cha,
posisi gue di rumah ini. Seorang anak yang enggak di harepin...”
Acha melihat mata alvin lirih, ia tidak mengerti maksud pembicaraan alvin, dia hanya diam berusaha mendengarkan.
“Enggak
selamanya mama bisa belain gue, gue juga enggak mau mama terus-terusan
dimarahin papa cuma karena belain gue, rio, lo tahu sendirilah betapa
sibuknya dia, cuma elo cha, gue bisa dapet perhatian utuh. Elo yang
selalu obatin gue kalo gue pulang dalam keadaan babak belur, lo yang
selalu berusaha ngeredam amarah saat gue, kalo gue lagi berantem sama
papa...” alvin diam sesaat, acha sengaja tidak mau memberikan tanggapan,
ia ingin alvin menyelesaikan semuanya dulu.
“Gue
tahu, sekarang gue egois banget, childish banget, tapi kalo lo mau
tahu, gue takut cha, gue takut kehilangan satu-satunya perhatian yang
utuh buat gue, gue enggak siap kalo elo juga harus ngebagi perhatian elo
ke gue sama cakka, gue jealous sama cakka, gue takut kehilangan
perhatian, enggak banyak yang perhatian sama gue, dan sekarang, satu
persatu semua mulai punya kepentingan masing-masing buat lebih di
perhatiin..”
“Kak
alvin, jangan bilang kaya gitu, gue enggak akan pernah berhenti
merhatiin lo, gue sayang sama elo kak” acha memeluk alvin, ia tidak
menyangka kakaknya yang tampak tidak pernah peduli pada orang lain itu,
sebegitu takutnya kehilangan perhatian dari orang-orang sekitarnya, air
mata acha turun perlahan, ia jadi merasa bersalah telah mendiamkan
kakaknya.
“Ya cha, jangan nangis dong..” alvin menghapuskan air mata acha dengan ujung jarinya, acha berusaha tersenyum.
“Gue janji kak, gue enggak akan bikin kakak ngerasa tersisish, gue janji, jadi sekarang kakak ijinin gue sama kak cakka kan ?”
“Iya cha, entar biar gue yang bilang ke cakka, gue suruh dia cepet-cepet nembak lo ya..hehehe...” goda alvin.
“Boleh tuh kak, ide bagus banget dah !” ujar acha semangat.
“Yee,
elo ginian aja semangat banget ! awas aja sampe entar nilai ujian lo
jelek, gue cabut ijinnya” kata alvin sambil mengacak-acak rambut acha.
“Oke kak, gue jamin gue bakal jadi juara di sekolah !” acha hormat ke arah alvin.
“Iya dong, jangan jadi kaya gue, jadi kaya rio aja”
“Sip-sip, kakak sendiri ya yang minta. Kak, hubungan lo sama kak via gimana ?”
“Enggak gimana-gimana, emang kenapa ?”
“Gue tahu kok, cara kakak mandang kak via itu beda, kakak sayang kan sama kak via ?”
“Apa sih anak kecil, mau tahu aja..”
“Gue
emang tahu kak, kakak itu kalo udah perhatian sama orang beda tahu
enggak. Gue salut sama lo kak, lo berjiwa besar banget ngelihat kak rio
sama kak via, gue bangga” alvin hanya tersenyum. Dia jadi bertanya-tanya
sendiri dalam hatinya, apa benar dia berjiwa besar melihat via dan rio
bersama.
“Ya udah, kalo lo emang tahu, enggak usah ember ya, apalagi ke rio, dia udah bahagia sama via, udah cukup buat gue”
“RIO
!!” tiba-tiba terdengar suara teriakan papanya dari ruang tengah rumah
mereka, acha dan alvin tentu saja langsung keluar ke arah sumber suara,
mereka bingung melihat papanya dan rio sedang berdiri di tengahi oleh
mama mereka.
“Ada apa ma ?” tanya acha pelan.
“Ah,
pasti kamu ! pasti kamu yang udah pengruhin rio buat lebih milih basket
kan !” tiba-tiba papanya mengalihkan perhatiannya ke alvin.
“Bukan
alvin pa ! ini semua mau rio, rio kan cuma mau papa ngasih rio sedikit
kelonggaran buat main basket ! rio cuma butuh lebih banyak waktu buat
ngumpul sama temen-temen rio !” alvin kaget, tidak pernah selama ini rio
berbicara dengan nada kerasa seperti ini ke papa mereka.
“Buat apa ?! kamu itu udah jago basket, tanpa latihan juga kamu bakal menang !”
“Bisa enggak sih anda menghargai sedikit pendapat anak anda !”
“Diam kamu, papa sedang bicara dengan rio, bukan kamu alvin !”
“Apa
? anda heran kenapa rio yang biasanya nurut jadi seperti ini ?! dia
lagi nuntut sedikit haknya, setelah selama ini dia ngelakuin semua yang
anda perintahkan, semua !”
“Diam kamu alvin !!”
“Kenapa gue harus diam ?! gue punya mulut dan suka-suka gue mau ngomong apa ?!”
“PLAKK
!” sebuah tamparan keras sukses mendarat di pipi alvin. Mamanya
langsung menenangkan papanya, sementara rio dan acha menghampiri alvin.
“Papa
harap kamu enggak terpengaruh sama dia rio, kita bicarakan ini lagi
nanti !” ujar papanya tegas sambil berlalu meninggalkan mereka bertiga.
“Vin, harusnya lo enggak belain gue, harusnya gue aja yang tadi di tampar” ucap rio penuh sesal.
“Kalo gue sih mau di tampar kaya apa juga udah enggak kebal yo, santai aja..”
“Kak alvin enggak apa-apa ?”
“Ya
elah cha, ini sih emang hobi papa ke gue..hahaha..enggak usah pada
lebai gitu deh” alvin malah nyengir-nyengir, padahal rio sama acha
ngenes lihat pipi putih alvin ada cap lima jarinya.
“Gue
mau cari angin di luar dulu ya, bilangin ke mama atau bibi jangan kunci
pintu depan, mungkin gue pulang malem” lanjut alvin lagi.
“Mau kemana ? perlu gue temenin ?” tawar rio.
“Ampun
deh yo, gue bukan anak lima tahun kali, lo kenapa dah jadi gini amat,
kaya gue pertama kalinya pulang malem aja” ujar alvin sambil
menepuk-nepuk pundak rio dan tersenyum ke acha.
Angin
berhembus di sekelilingnya, sekencang alvin memacu motornya.
Sesungguhnya ia lelah, lelah dengan hubungannya yang tidak kunjung
membaik dengan papanya. Lelah berharap papanya akan berubah suatu saat
nanti. Alvin sudah lupa caranya menjadi anak baik, lupa caranya menjadi
anak baik untuk papanya.
Dia
memberhentikan motornya, ketika ia merasa melihat seseorang yang di
kenalnya sedang berjalan sendirian di gelapnya malam, alvin memelankan
laju motornya, membuka kaca helmnya.
“Ngapain lo disini ?”
"Alvin?"
“Diturunin riko lagi di pinggir jalan ?” orang yang tak lain adalah zeva itu, hanya tersenyum tipis sambil mengangguk.
“Naik
gih..” perintah alvin. Tanpa banyak bertanya, zeva langsung naik ke
atas motor alvin. Dari kaca spion, alvin bisa melihat kemuraman wajah
zeva, entah mengapa, alvin menemukan sebuah kenyamanan sebagai sahabat
saat ia bersama zeva.
“Ini dimana vin ?”
“Yee, elo sih ngelamun mulu, sampe enggak nyadar kan gue enggak nganterin lo pulang”
“Dimana sih ini ? lo jangan macem-macem deh vin !”
“Udah
sini lo ikut gue dulu, bau komentar !” alvin menarik tangan zeva, zeva
hanya bisa pasrah. Tapi kemudian ia menatap takjub pemandangan di
depannya. Sebuah danau penuh ketenangan dengan pohon-pohon di
sekitarnya, tempat yang sepi tapi tidak terasa menyeramkan, tempat yang
cocok untuk menyendiri.
“Bagus banget vin”
“Iya dong ! disini tempat gue suka ssendirian...”
“Kenapa lo ajak gue kesini ?” tanya zeva bingung.
“Ya mungkin lo lagi butuh ketenangan” jawab alvin cuek, zeva hanya tersenyum.
“Gue
enggak akan nyerah vin, enggak akan, gue bakal selalu sayang sama riko,
gue enggak akan peduli sama apa yang dia lakuin ke gue, gue bakal
selalu nemenin dia kemanapun, gue bakal selalu ada buat dia, gue enggak
akan berhenti, gue enggak mau berhenti...” ujar zeva lirih, untuk
pertama kalinya, alvin melihat zeva menjadi rapuh, air matanya mengalir
deras.
“Lo diapain lagi sama dia ?”
“Gue
juga enggak tahu, gue cuma bilang ke dia jangan berantem lagi, tapi dia
langsung marah-marah, dia nampar gue, dia maksa gue turun dari
mobilnya..”
“Kok lo bego banget sih jadi cewek ?!”
“Iya, lo bener, gue emang bego banget, gue udah mati rasa...gue enggak tahu lagi harus gimana..”
“Udah-udah, jangan nangis lagi ! entar dikira gue lagi yang nangisin lo, udah apus air mata lo !”
Zeva
tersenyum ke alvin, dia menghapus butir-butir air matanya. Lalu mereka
berdua duduk di pinggir danau. Hanya duduk, tanpa melakukan apapun,
hanya berdiam diri, tanpa ada kata yang terucap.
"A..alvin .."
Alvin dan zeva kompak menoleh ke arah belakang ketika ada suara yang memanggil nama alvin. Alangkah terkejutnya alvin melihat siapa yang sedang berdiri diam di tempatnya, menatapnya lirih, penuh tanya, sementara zeva yang tidak mengerti apa-apa hanya berusaha tersenyum ramah.
“Maaf ganggu !!”
“Vi..via
tunggu !!” alvin ingin menyusul via, tapi melihat via yang berlari
semakin menjauh, malah membuat alvin mengurungkan niatnya, dia hanya
menatap punggung via ‘harusnya lo enggak perlu kaya gini vi, gue bukan
siapa-siapa lo’ batin alvin lirih, ia kembali ke tempat zeva menantinya.
“Maaf vin, itu cewek lo ya ?”
“Bukan
dia ceweknya saudara gue” jawab alvin pelan. Zeva diam, meski alvin
terlihat jujur, tapi zeva jelas merasa ada ikatan kuat antara alvin dan
via.
Komentar
Posting Komentar