Another Way to Love Part 14
Rio
menatap via, memandangi wajah cantik gadisnya tersebut, wajah yang
selalu membuatnya merasa tenang dan bahagia. Lain halnya dengan rio, via
malah menunduk, menggigit bagian bawah bibirnya, tanpa rio tahu, hati
via sedang bergejolak hebat sekarang, gundah serta bimbang.
“Ka..kalung apa yo ?” tanya via pelan-pelan masih tetap tidak menatap rio.
“Maaf
ya vi, mungkin aku lancang, tapi waktu itu aku lihat ada kalung,
bandulnya kaya dari serpihan kayu gitu, dan entah kenapa aku ngerasa
familiar banget sama kalung itu” jelas rio yang tambah bikin via
ketar-ketir.
“Oh..ehm..itu kalung aku, kalung biasa doang kok...” ujar via beralasan.
“Tapi kenapa kotaknya kaya kamu sembunyiin gitu ?” tanya rio lagi yang bikin via merasa terpojok.
“Masa
sih ? emang kamu nemuin dimana ? aku udah lama nyari, soalnya waktu aku
beresin tempat kalung aku, kalung itu belum sempet aku masukin dan aku
kira ilang” tanpa rio tahu, via menyilangkan jari tengah dan telunjuknya
‘maaf yo, maaf aku bohongin kamu’ ratap via dalam hati.
“Aku temuin di rak pajangan-pajangan kamu”
“Makasih
ya, entar aku cari deh disitu, yo udah malem, pasti kamu banyak tugas
kan ? aku enggak mau kamu sampai lupain kerjaan kamu gara-gara aku lho”
“Kamu ngusir nih ?”
“Kan
besok kita masih bisa ketemu, night..” via mengecup pipi rio kilat,
lalu langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Sementara rio yang kaget
dengan gerakan spontan dari via, cuma senyum-senyum sendiri sambil
meraba-raba pipinya yang tadi di kecup via.
Dari
jendela kamarnya, via memperhatikan rio yang masih senyum-senyum
sendiri dan belum juga beranjak pergi dari depan rumahnya. Via mengusap
dadanya, perasaan bersalah itu kini benar-benar telah menguasainya, ia
tidak tahu lagi sampai kapan ia akan sanggup bertahan, membohongi
hatinya, membohongi rio.
“Gue harap tadi bohong terakhir gue ke rio, semoga..” ujar via sambil menutup tirai jendelanya.
Aren
melihat riko dari pintu kamarnya, kakaknya itu tampak sedang asik
bermain psnya. Kadang dia suka iri melihat acha, karena meski kak alvin
sama-sama suka berantem kaya kak riko, tapi kak alvin masih mau
meluangkan waktunya untuk acha.
Dalam
hatinya yang paling dalam, aren sangat menyayangi riko. Tapi semenjak
kecelakaan itu, riko memang berubah drastis, enggak ada lagi riko yang
selalu baik dan perhatian padanya, entahlah apa yang terjadi, yang jelas
aren kehilangan sosok riko yang dulu.
“Kak..” panggil aren sambil mendekat ke riko.
“Hmm” riko masih saja fokus kepada psnya.
“Gue mau nanya sesuatu sama kakak”
“Apa ?”
“Kenapa kakak harus marah kalo gue deket sama anak vendas ?”
“Karena gue musuhan sama mereka”
“Untuk alasan apa ? kasih gue alasan yang pasti kak..”
“Udahlah lo masih kecil, kalo lo mau pacaran sama temen-temen gue aja tuh”
“Temen
kakak yang mana ? temen yang udah jerumusin kakak buat jadi kaya gini
?!” aren sedikit menaikkan intonasi suaranya, dan itu cukup untuk
membuat riko menatap matanya mengacuhkan psnya.
“Lo kenapa sih ganggu aja ?!”
“Gue
kangen elo yang dulu kak ! elo yang mau dengerin cerita gue, elo yang
mau share ke gue ! gue enggak suka sama elo yang sekarang !”
“Berapa kali sih gue bilang ?! jangan bahas yang dulu lagi ! gue ya yang sekarang ini, riko yang dulu udah mati ren !!”
“Kenapa
kak ?! apa yang bikin lo kaya gini ?! elo enggak kasian kak sama kak
zeva, elo keterlaluan sama kak zeva sama gue !” sekuat tenaga aren
menahan butir-butir air matanya, jujur ia takut menghadapi kakaknya yang
telah terlanjur emosi.
“Mau lo apa sih ren ?!”
“Kalo
kakak udah enggak peduli sama gue, tolong jangan campurin urusan gue
lagi ! hak gue mau temenan sama siapa aja ! mau pacaran sama siapa aja,
anak vendas sekalipun !!”
“Jangan sekali-kalinya lo berani berhubungan sama anak vendas !!” riko mengangkat tangannya siap menampar aren.
“Apa ? mau tampar gue ?! cepet tampar ! ayo !!”
“Riko
kamu mau apain adek kamu !” teriak mamanya histeris. Riko menatap
mamanya sekilas, lalu ia menurunkan mamanya. Air mata aren mulai
mengalir perlahan.
“Kakak
yang gue tahu, kakak yang selalu ada buat belain gue, dan elo bukan
kakak gue” ujar aren lirih sambil berlari ke luar rumah. Mamanya
memandang riko penuh tanya, riko hanya menghela napasnya, mencoba
meredam emosinya.
“Riko
mau keluar ma..” pamit riko sambil membiarkan mamanya kebingungan
sendirian ‘maafin gue ren, gue emang bukan kakak yang baik buat lo’
batin riko pedih sambil memacu motornya.
Suasana
taman begitu sepi, karena emang enggak ada orang yang mau bermain di
taman di malam hari. Tapi keadaan ini malah di syukuri oleh aren karena
ia bisa melepaskan air matanya tanpa seorangpun perlu mengetahuinya.
Belum pernah kakaknya semarah itu hingga ingin menamparnya,
paling-paling hanya kata kasarlah yang terlontar dari mulut kakaknya.
“Jangan nangis dong cantik...” aren tersenyum melihat laki-laki yang berjongkok di depannya dan menghapuskan air matanya
“Kenapa kak iel ada disini ?”
“Kebetulan
lewat sini, atau mungkin emang gue udah jodoh kali sama lo” jawab iel
enteng. Aren tersenyum lagi, iel duduk di sampingnya aren, ia meletakkan
kepala aren di pundaknya.
“Nangis aja sepuas lo, bahu gue siap buat nopang semua beban lo” bisik iel yang terasa sangat menyentuh bagi aren.
“Kak..”
“Enggak
apa-apa, buang aja semuanya, baju gue basah enggak masalah yang penting
lo lega” lanjut iel lagi. Aren benar-benar merasa menemukan kenyamanan
saat ia bersender di bahu iel, kenyamanan seorang kakak yang selama ini
terhapus paksa dari hidupnya, kenyamanan seorang laki-laki yang untuk
pertama kalinya hadir dalam dirinya.
Dengan
matanya yang sipit, alvin menatap langit-lagit kamarnya. Baru saja
terdengar suara mobil rio memasuki halaman rumah mereka, alvin tahu rio
baru saja ke rumah via. Alvin tersenyum lirih mengingat pembicaraannya
dengan cakka. Dia mengakui seribu persen apa yang cakka katakan sangat
masuk akal, tapi dia belum bisa bila harus jujur tentang perasaannya.
Via masih mendiamkannya, dan alvin tidak mengerti apakah ia harus
berbuat sesuatu untuk membuat via kembali mau bicara dengannya.
Sesungguhnya
alvin kangen akan perhatian via yang spontan untuknya, perhatian yang
selalu ia nantikan. Tapi alvin juga tahu diri, posisinya telah salah
sekarang, apapun perasaannya ke via, dia hanyalah orang ketiga di dalam
hubungan rio dan via.
Alvin
duduk di pinggir tempat tidurnya, dia menarik laci meja samping tempat
tidurnya, mengambil gelangnya yang ia letakkan di bawah koleksi sketch
booknya. Dia menatap gelang tersebut, dia tidak pernah menyangka, via
juga masih menyimpan potongan miliknya. Harapan itu tumbuh di hatinya
dengan liar, menyelinap membangkitkan asa masa lalunya, tentang dia,
tentang via tentang mereka berdua.
Apa
yang harus ia lakukan sekarang ? apa yang harus ia perbuat sekarang ?
ia tetap tidak ingin menyakiti siapapun, tapi sampai kapan ia sendiri
sanggup untuk menahan semuanya. Bisakah ia terus ikut bahagia, bisakah
ia terus meyakinkan dirinya untuk baik-baik saja. Ia jadi teringat
pembicaraannya dengan zeva tempo hari di danau.
_Flashback_
Keheningan
tetap menyelimuti mereka, hanya suara kecipak-kecipuk air saja yang
terdengar karena alvin yang melempar-lempar kerikil ke dalam danau.
Sementara zeva masih terus bertanya-tanya sendiri, ada hubungan apa
alvin dengan perempuan tadi.
“Vin..” panggi zeva pelan.
“Namanya sivia, tapi biasa di panggil via..” jawab alvin tanpa di duga-duga.
“Dan lo suka sama dia ?” tanya zeva to the point.
“Ya..seandainya gue berhak untuk suka sama dia..” ujar alvin lirih.
“Maksudnya ?”
“Kaya yang udah gue bilang, dia ceweknya saudara gue, sahabat gue..”
“Lo juga udah kenal lama sama dia ?”
“Kita bertiga sahabatan dari kecil”
“Gue
enggak tahu gimana ceritanya, tapi gue rasa dia suka sama lo, tebakan
gue tadi dia cemburu lihat elo lagi sama gue disini” alvin hanya
tersenyum kecil menanggapi pernyataan zeva. Mungkin zeva benar, hatinya
pun merasakan itu, tapi bayangan rio selalu nampak jelas di depan
matanya saat perasaan senang itu menguasai hatinya.
“Gue enggak mau nyakitin saudara gue zev, gue enggak bisa...”
“Kadang
cinta emang enggak adil. Tuhan membiarkan kita mencintai seseorang,
tapi tidak memberikan kita jalan untuk meraih orang tersebut, dan
menurut gue disitulah letak perjuangannya, gimana cara kita bertahan,
terus mencintai dia tanpa menyerah sedikitpun, sampai Tuhan melihat
usaha kita, dan akhirnya memberi kita jalan untuk bahagia bersama orang
yang kita sayang..”
“Gue enggak ngerasa cukup pantes untuk memperjuangkan dia..”
“Posisi
lo emang salah, apapun nanti yang terjadi, kalo sampe kalian berdua
akhirnya jadian, orang lain mau enggak mau bakal ngecap elo sebagai
orang yang udah ngerebut pacar saudara lo sendiri. Tapi kadang cinta itu
unik, dan enggak ada satupun orang yang bisa ngehalangin perasaan itu,
perjuangin dia vin, walaupun gue sama dia enggak kenal, tapi dari sorot
matanya, gue bisa ngerasain, rasa cinta itu ada buat elo..”
“Lo ngedukung gue buat jadi selingkuhannya ? atau ngedukung gue buat ngerebut dia ?”
“Haha..bukanlah,
gue cuma mau ngasih tahu ke elo. Jangan pernah lo bilang, elo bahagia
saat dia bahagia, enggak akan ada pernah yang bisa bahagia kalo kita
ngelihat orang yang kita sayang bahagia sama orang lain, jangan jadi
munafik, jangan berusaha nyembunyiin perasaan lo, berani mencintai,
berani terluka kan ?”
“Curhat apa nasihatin gue lo” timpal alvin.
“Haha..ya,
gue milikin raganya riko tapi hatinya jauh dari gue, elo memiliki
hatinya via tapi enggak jiwanya, kita menyedihkan ya..”
“Gimana lo bisa nyimpulin gue milikin hatinya via ?”
“Entahlah,
tapi tanpa perlu mengenal dia, gue bisa ngerasain ikatan kuat yang ada
di antara kalian. Jelasin ke dia ya, jangan sampai dia marah ke
gue..hehe...” alvin ikut tersenyum, gadis tegar di sampingnya ini telah
memberinya sedikit pencerahan, sedikit arti lebih tentang cinta.
_Flashbackend_
Alvin
melirik jam dindingnya, jarum pendek dan jarum panjangnya sudah saling
bertemu di angka sebelas. Alvin mencoba memejamkan matanya, berharap
dapat melupakan segalanya sejenak dalam kelelapan malam ini.
***
Entahlah
apa yang menggiringnya untuk kesini dan bukannya ke sekolah. Alvin
memarkirkan motornya di taman kota. Setelah hampir berjam-jam memacu
motornya, berputar-putar di jalan, tanpa tujuan. Seperti biasa, taman
ini nampak sepi, bahkan jauh lebih sepi dari terakhir kalinya alvin
kesini. Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari objek
menarik. Alvin mengeluarkan sketch booknya, siap menggoreskan pensilnya.
“Plakk
!!” alvin celingukan mencari asal suara yang terdengar seperti
tamparan. Tidak sampai beberapa langkah, alvin telah menemukan sumber
suara tersebut. Dia tertegun sesaat menyaksikan pemandangan di depannya.
Alvin tahu tidak semestinya ia ikut campur dengan masalah orang lain,
tapi alvin juga tidak dapat membiarkan perbuatan yang menurutnya telah
melampaui batas tersebut, apalagi itu terjadi di depan matanya.
“Laki-laki
sejati tidak menggunakan tangannya untuk menyakiti seorang perempuan,
terlebih perempuan itu adalah pacarnya” laki-laki dan perempuan itu
menoleh ke arah alvin, alvin tersenyum sinis ke arah laki-laki tersebut.
“Ngapain lo ?! ini bukan urusan lo !!”
“Gue tahu riko anggara, tapi gue enggak suka lihat elo nampar cewek lo di tempat umum kaya gini !”
“Itu hak gue ! lo enggak berhak ikut campur !”
“Gue punya hak, karena kelakuan lo udah ngerusak kenyamanan di taman ini !”
“Pergi lo !! Bug !” riko langsung menyarangkan pukulannnya ke wajah alvin.
“Riko !!” jerit zeva yang dari tadi hanya terdiam. Ia menarik riko, berdiri di antara alvin dan riko.
“Minggir lo !” dengan kasar riko mendorong zeva hingga terjatuh.
“Sialan
lo ! Bug !” alvin membalas pukulan riko. Dan balas-membalas pukulan
tersebut terus terjadi, zeva berusaha untuk meredam riko, tapi selalu
berakhir sia-sia.
“STOP
!! TOLONG BERHENTI !!” teriak zeva yang tidak kuasa menahan linangan
air matanya, ia menatap penuh harap ke alvin, berharap alvin mengerti
sedikit saja, karena tatapan itu tidak akan berarti apa-apa untuk riko.
“Udah ko udah..” ujar zeva pelan.
“Gue
masih mau bikin perhitungan sama lo !!” ancam riko sambil meninggalkan
alvin dan zeva, alvin tersenyum sinis terhadap riko. Tapi hatinya
terenyuh melihat zeva, gadis itu tampak letih dan lemah, di pipinya
masih terlihat bekas tamparan riko tadi. Selama ini alvin hanya
mendengar ceritanya, dan tidak menyangka akan menyaksikannya sendiri
hari ini.
“Maaf
vin, makasih, gue duluan..” zeva tetap mencoba tersenyum ke alvin,
setelah itu ia berusaha menyusul riko yang jauh meninggalkannya. Alvin
masih tidak mengerti, bagaimana cinta bisa membuat seseorang kehilangan
akal sehat dan logikanya. Alvin melihat jam tangannya, masih ada sedikit
waktu sebelum pelajaran terakhir usai, kalaupun ia tidak sempat
mengikuti satupun pelajaran hari ini, setidaknya ia telah mempunyai niat
untuk pergi sekolah sekarang, meski ia sudah sangat jauh terlambat.
Dengan
malas-malasan, via berjalan ke luar sekolah, hari ini lagi dan lagi rio
ada ada rapat, membuat via harus pulang sendiri. Langkahnya terhenti,
ketika ia melihat sosok di hadapannya. Begitu acak-acakan, tidak ada
satupun kancing seragamnya yang terpasang, memperlihatkan kaos oblong
putihnya, wajahnya lebam, sebelah tangannya menenteng blazernya, dan
tangannya yang lain menyandang tas rangselnya. Tanpa aba-aba, via
menarik tangan laki-laki tersebut.
“Gue mau di bawa kemana ?”
“....”
pasrah. Hanya itu yang dapat alvin lakukan, membiarkan via menarik
tangannya. Kemudian mereka berbelok masuk ke dalam ruang kesehatan.
Alvin hanya memandangi via yang tidak mau memandang ke arahnya, alvin
dapat melihat dengan jelas, wajah putih via, bibirnya yang merah,
pipinya yang chubi, hanya satu yang kurang, senyum via yang beberapa
hari ini hilang untuknya.
Dengan
telaten via mengobati luka-luka alvin, tanpa suara via terus berkerja,
Bahkan tanpa alvin duga, via mengancingkan seragam alvin, lalu
merapikannya.
“Bisa
enggak sih sekali aja, elo puasa berantem. Seneng banget sih ngelukain
badan sendiri ?! ngerasa jago kalo bisa bikin lawan lo kalah ?! ngerasa
hebat ! apa sih yang lo dapetin dari berantem ?! Cuma luka-luka di
sekujur tubuh lo tahu enggak !! bisa enggak sih sekali aja lo enggak
bikin gue khawatir, sekali aja enggak nyelesein sesuatu pake tangan,
pake kekerasan, pake pukul-pukulan !! gue enggak mau elo kenapa-napa !!”
Entah
dapat dorongan dari mana, alvin memeluk via. Mendekapkan kepala via di
dadanya, membiarkan via mendengar detak jantungnya. Membuat via terdiam
akan kekagetannya tapi juga merasa nyaman.
“Makasih
buat semua perhatian lo, gue akan berusaha untuk enggak bikin lo
kecewa” bisik alvin di telinga via. Ia tahu, tindakannya ini bodoh, ia
sadar dengan apa yang sedang lakukan, tapi semakin otaknya memerintahkan
ia melepaskan via, semakin kuat juga tangannya memeluk erat via.
“Alvin, cewek kemarin itu siapa ?”
Alvin melepaskan pelukannya, tapi kedua tangannya tetap menggenggam kedua tangan via.
“Namanya zeva, dia pacarnya riko”
“Riko vailant musuh lo ?”
“Iya...” alvin pun mulai menceritakn awal pertemuannya dengan zeva, semua kisah zeva, hingga kejadian hari ini.
“Kasian
zeva, tapi dari cerita lo dia keliatan tegar banget..” komen via
setelah mendengar cerita alvin. Diam-diam hatinya lega, lega karena ia
telah mengetahui hubungan alvin dengan zeva.
“Kenapa senyum-senyum sendiri ?”
“Enggak apa-apa, udah ayo pulang” ajak via. Alvin hanya mengangguk, ia mengikuti via yang berjalan di depannya.
“Ya ujan vin..” ujar via saat melihat ke arah halaman sekolah mereka yang mulai basah oleh hujan.
“Ya udah pulangnya entar aja, neduh dulu” usul alvin sambil menyenderkan badannya di tembok.
“Inget enggak dulu waktu kecil kita suka main ujan-ujanan” celetuk via.
“Inget..”
“Ujan-ujanan lagi yuk..”
“Jangan
entar lo...” via tidak membiarkan alvin menyelesaikan kata-katanya, dia
membuka blazernya, dan segera berlari ke arah tengah taman, membiarkan
hujan membasahi tubuhnya, tangannya melambai-lambai mengajak alvin ikut
serta.
“Entar lo sakit vi !”
“Udah ayoo..” via menarik tangan alvin, alvin hanya tersenyum melihat via tertawa bahagia.
“Digerai lebih bagus vi..” alvin menarik ikat rambut via.
“Alvin balikin..” rengek via.
“Ambil
dong..” alvin memegang ikat rambut via lalu mengacungkan tangannya ke
atas, via mencoba berjinjit untuk mengambil ikat rambutnya, tapi alvin
yang lebih tinggi darinya membuat via kesulitan, dan kondisi rumput yang
basah membuat via kehilangan keseimbangannya.
“Brukk..”
via jatuh sambil mendorong alvin, membuat posisi badannya menimpa badan
alvin. Jarak mereka begitu dekat, kedua mata mereka bertatap-tatapan,
dan suasana hening berlangsung cukup lama diantara mereka berdua.
“Vi, berat..”
“Eh
iya maaf..” via mencoba berdiri. Dia tersenyum malu-malu ke arah alvin,
alvin pun salting, dan menggaruk bagian belakang kepalanya.
“Nih..” alvin menyodorkan ikat rambut via, via baru mau mengambil itu ketika..
“Kejar
gue dulu !” alvin berlari sambil tertawa, via sedikit terkesima melihat
tawa itu, sudah lama ia tidak melihat alvin tertawa selepas itu. Sadar
dari lamunannya, via mulai mengejar alvin, dan mereka berdua pun mulai
kejar-kejaran, seolah tidak peduli terhadap hujan yang semakin deras,
seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.
Shilla
memicingkan matanya, melihat dua anak manusia yang sedang tertawa
gembira di bawah hujan tanpa beban. Tidak di ragukan lagi, itu via dan
alvin.
“Shil, ada apa sih di bawah, kok daritadi ngelihat ke jendela mulu” tegur rio sambil berjalan ke arah tempatnya.
“Eh..eh,
bukan apa-apa kok yo, sori-sori, gue cuma lagi lihat ujan doang, udah
ayo lanjutin rapatnya..” cegah shilla, membuat rio menghentikan
langkahnya, shilla mencoba tersenyum meyakinkan rio. Rio mengangkat
bahunya, dan kembali ke tempatnya.
“Ya
udah sampai mana tadi kita ?” tanya rio kembali fokus ke slidenya.
Shilla menghela napas lega, ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan,
yang ia tahu, ia hanya tidak ingin membuat rio terluka.
Komentar
Posting Komentar