Another Way to Love Part 15

Kamar itu hening, tanpa suara bahkan tanpa cahaya. Shilla duduk bersender di tempat tidurnya, memeluk kedua lututnya, tatapan matanya tidak berbicara banyak, karena hanya tangis pilu yang tergambar disitu.
Shilla berusaha tidak mempedulikan segalanya, berusaha untuk melupakan segala hal yang merasuki pikirannya, berusaha untuk pura-pura tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Shilla meraih laptop yang terletak di sampingnya, dan jari jemarinya mulai lincah mencurahkan segala hal dan perasaan yang menguasai hatinya.
Tuhan, maafkan aku, aku tahu membohonginya adalah sebuah kesalahan besar, tapi aku sungguh tidak sanggup bila harus melihatnya sakit, aku tidak mau melihat ia sakit.
Dia mencintai gadis itu, mungkin melebihi seluruh cintanya pada dirinya sendiri. Sementara perasaannya untukku, hanya sebuah rasa biasa atas nama persahabatan. Aku mengerti itu, aku terima itu, ada di sampingnya adalah kebahagiaan tersendiri untukku. Aku tidak pernah menolak, sekalipun ia mencariku hanya untuk mendengarkan ceritanya tentang gadis itu. Aku selalu ikut tersenyum bahkan tertawa, karena bahagianya adalah bahagiaku.
Aku tidak ingin kehilangan senyumnya, aku tidak ingin kehilangan semangatnya, aku ingin ia tetap seperti ini. Untuk itu, aku akan melindunginya, aku akan menjaganya, aku tidak ingin hatinya terluka, sedikitpun. Meskipun untuk itu aku harus melukai hatiku sendiri, aku rela, aku ikhlas, asal dia terus menjadi seperti ia yang sekarang.
Bila ada yang bertanya, apakah aku ingin memilikinya, aku akan dengan senang hati menjawab iya, aku akan memberikan semuanya untuk dia, cintaku yang paling tulus. Tapi bila tawanya bukan saat dia ada disampingku, melainkan saat dia ada disampingnya, aku tetap akan tersenyum untuknya.
Sesungguhnya aku tidak mengerti, mengapa Engkau membuat aku mencintainya, tapi melarangku untuk memilikinya. Mengapa begitu sulit, jalan takdir yang harus aku tempuh Tuhan ? aku tahu, tidak berhak untukku menuntut apapun dari kisah ini, tapi aku berjanji, aku akan menjadi orang yang akan selalu berjalan disampingnya, ikut merayakan kebahagiaannya, ikut tertawa bersamanya, meski di balik itu semua aku harus menangis sendiri, seperti malam ini.
Senyum kesedihan terpeta dibibirnya, shilla sendiri tidak mengerti, mengapa akhir-akhir ini perasaanya sukanya terhadap rio terus berkembang memenuhi hatinya.

Sambil sesekali menguap menahan ngantuknya, acha terus saja melakukan hobinya, membaca novel sambil tidur-tiduran di atas kasur empuknya.
“KLAAP” tiba-tiba lampu kamarnya padam.
“MAMA !! KAK ALVIN ! KAK RIO !” teriak acha panik. Dia memang sedikit phobia sama yang namanya kegelapan. Acha tetap bertahan di atas kasurnya, berharap seseorang datang ke kamarnya, matanya telah berkaca-kaca, tangannya memeluk erat gulingnya.
“Krekk”
“Mama ? kak alvin ? kak rio ?” acha semakin merasa takut karena tidak ada respon untuknya, padahal ia merasa yakin ada yang membuka pintu kamarnya barusan. Acha yang ngerasa semakin parno kalo terus-terusan ada di kamar, akhirnya mutusin turun dari kasurnya, sambil meraba-raba, ia mencari senter yang terletak di atas meja belajarnya.
“Treek..” cahaya senter lumayan membuat rasa takutnya akan kegelapan berkurang sedikit. Tapi matanya tertumbu pada secarik kertasa berwarna pink, yang entah terletak di samping senter tersebut.
Turun ke bawah dong, terus ke halaman belakang ya, gue tunggu
Acha mengernyit heran, dia tidak merasa kenal dengan tulisan ini. Ini jelas-jelas bukan tulisan milik kedua kakaknya. Diliputi rasa penasaran, acha pun memberanikan diri untuk mengikuti perintah tulisan tersebut.
Sambil memegang senter di tangannya erat-erat, acha perlahan demi perlahan turun ke lantai satu rumahnya. Entah perasaannya saja atau bukan, yang jelas acha merasa suasana rumahnya sangat sepi. Acha langsung nyenter kemana-mana, sesampainya dia di halaman belakang.
“Ditutup dulu ya” seseorang yang ada di belakangnya, menutup matanya dengan sebuah kain.
“Kak via ?” tebak acha. Tapi lagi-lagi tidak ada respon untuknya, yang ada orang tersebut malah menggandeng tangannya, membimbing dirinya untuk berjalan entah kemana.
“Kak cakka..”
Acha speechless melihat cakka yang malam itu terlihat lebih tampan daripada biasanya, berdiri dengan senyum penuh pesona di depannya, sementara acha sendiri hanya menggunakan baju tidur bermotif hello kitty dan rambut yang acak-acakan. Dan yang membuatnya semakin tidak berkutik adalah, pemandangan yang ia lihat di kolam renang rumahnya, berpuluh-puluh lilin dengan hiasan mawar putih bunga kesukaan acha, mengapung membentuk namanya dan tanda love.
“Malem ini di antara ribuan bintang di langit dan cahaya bulan, gue pengen bilang ke elo, kalo gue sayang banget sama elo, dan berharap elo mau untuk jadi cewek gue, malem ini, besok dan seterusnya..” cakka berlutut di depan acha sambil menyodorkan sebuket mawar putih untuk acha.
“Kalo lo terima gue, lempar buket ini ke arah tanda love itu, tapi kalo lo nolak gue, lempar buket bunga ini kemana aja..” acha menerima buket bunga itu dari tangan cakka, dia berdiri di samping kolam renang, bersiap melempar buket bunga tersebut. Cakka yang menanti dengan cemas di sampingnya, berusaha terus tersenyum.
“BLUPP” dengan penuh keyakinan acha melempar buket bunga itu, tepat ke dalam tanda love tersebut. Cakka langung tersenyum sumringah dan memeluk acha.
“Ehem..ehem..”
“Ciee acha..”
“Eh, udahan woi pelukannya” rio, via sama alvin langsung muncul dari dalam rumah. Alvin langsung berjalan ke arah acha dan cakka, lalu memisahkan mereka berdua.
“Ya elah vin, baru bentar gue pelukannya..” ratap cakka.
“Kapan-kapan lagi aja cak, udah cukup itu sih..” timpal alvin. Cakka manyunin bibirnya, yang membuat alvin, acha, via dan rio ketawa.
“Jelek amat muka lo cak, jaga image dikit kenapa di depan adek gue” celetuk rio.
“Udah-udah, ayo makan dulu..” ujar via.
“Makan ?” tanya acha yang masih merasa ini semua mimpi.
“Iya acha, udah ayo..” mereka berlima makan dengan makanan yang udah di delivery khusus sama cakka ke rumah alvin.
“Jadi mati lampu tadi juga bagian dari rencana ?” tanya acha di sela-sela acara makan mereka.
“Iya dong cha..” jawab cakka.
“Tapi aku enggak banget deh, masa kak cakka rapi gitu, akunya pake baju tidur gini, berantakan lagi..”
“Buat aku kamu mau kaya apa juga tetep cantik kok” ucap cakka sambil mengacak-acak rambut acha.
“Gombal terus” celetuk alvin.
“Dari tadi ganggu mulu lo vin” rungut cakka.
“Suka-suka gue, masih mending gue restuin..”
“Iya-iya. Cha, tadinya aku tuh mau ngajak kamu dinner, tapi enggak dapet ijin dari alvin, dia juga yang malah nyuruh aku buat nembak kamu di rumah aja..”
“Terima nasiblah cak, udah bagus gue sama alvin ngasih lo ijin” timpal rio.
“Udah-udah, kapan mau makannya ini, kalo dari tadi ngobrol terus ?” sela via. Posisi duduk mereka bersebelah-sebelahan, cakka di sebelah acha, dan di depan mereka, via duduk diantara rio dan alvin.
Sejujurnya via sedikit risih dengan posisinya ini, apalagi kebiasaan rio yang suka menggenggam erat tangannya saat mereka berdua. Matanya mencuri pandang ke alvin, yang seperti biasa selalu terlihat sibuk dengan makanannya.
“Tinggal elo nih vin yang jomblo..” celetuk rio tiba-tiba.
“So ?”
“Cari ceweklah, enggak pengen apa ?”
“Haha, cewek mana yang tahan sama gue..”
“Adalah, masa enggak ada..”
“Kalopun ada, mungkin gue enggak tercipta buat dia, gue enggak cukup pantes buat cewek baik-baik..” via menelan makananya dengan susah payah, ia berusaha terlihat biasa saja. Acha dan cakka juga melakukan hal yang sama, meski mata mereka bergantian, melihat ke arah alvin dan via.
“Eh, kak cakka itu tadi yang di kolam renang bagus banget deh, mana ada hiasan mawar putihnya gitu lagi” ujar acha mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ehem..” alvin berdeham.
“Hehe, itu bukan ide aku cha, itu idenya alvin, aku aja heran kok bisa ya dia punya ide sejenius itu”
“Najis lo cak, udah gue bantu juga..”
“Haha, sori sob. Yang lebih hebat lagi ya cha, alvin tuh tahu tempat mesen bunga kaya gitu”
“Hah ?” acha menatap alvin bingung, bagaimana mungkin seorang alvin tahu tempat seperti itu, tidak hanya acha, via pun melakukan hal yang sama ke alvin.
“Alvin nganterin aku pesen bunga, eh mbak-mbaknya ngomong gini ‘eh, mas ganteng pesen bunga lagi, waktu itu berhasil kan acaranya ?’ kira-kira gitulah” terang cakka mengutip perkataan tukang bunganya.
“Kak alvin pesen bunga buat apa ?” tanya acha langsung. Via yang daritadi ikut mendengarkan, entah mengapa merasa ada yang aneh di hatinya. ‘alvin mesen bunga buat apa ? buat siapa ?’ batin via.
“Itu sih mbak-mbaknya aja yang asal ngomong, gue rasa dia salah orang kali, gue mau mesen bunga buat apa coba. Eh, gue duluan ke atas ya, mau nonton bola sob...” alvin langsung ngacir ke atas meski makanan di piringnya belum bener-bener abis.
“Tumben kak alvin makannya enggak abis”
“Biarin cha, dia sih enggak makan juga betah kalo udah nonton bola” timpal rio.
Mereka berempat pun melanjutkan acara makan malam itu tanpa alvin. Walau merasa lega dengan jawaban alvin, tapi via tetap merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
***
Rio dan iel berjalan berdua di lorong sekolah mereka, terlibat obrolan seru, iel dengan penuh semangat menceritakan tentang aren, dan rio tentang via tentunya. Di pertemuan antar lorong, mereka bertemu shilla yang sedang membawa setumpuk buku di tangannya.
“Buset dah shil, repot banget kayanya, sini gue bantu” rio langsung mengambil setengah dari buku yang shilla pegang.
“Eh, makasih yo, maaf ngerepotin”
“Santai kali, mau dibawa kemana nih ?”
“Ini buku-buku yang tadi di pake kelas, gue disuruh balikin ke perpus” jawab shilla sambil tersenyum.
“Sendiri doang ? emang enggak ada orang lain apa di kelas lo ?” timpal iel.
“Hehe, enggak apa-apa kali yel. Lo berdua mau kemana ?”
“Tadinya sih mau ke lapangan basket tapi sekarang kayanya rio mau nganterin lo dulu nih ke perpus” goda iel sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Ngapain mata lo kedip-kedip ?’ tanya rio bingung.
“Hahaha, kok gue ngerasa, lo lebih cocok sama shilla ya yo ?”
“Ngaco lo !” semprot rio. Shilla hanya terkekeh, meski setengah hatinya senang dan sisanya sedih. Senang karena kata-kata iel sekaligus sedih karena kenyataan yang ada.
“Eits, santai bro. Lo sama via cocok, tapi lihat deh, elo berdua itu tipenya sama, lagian akhir-akhir ini gue suka lihat elo berdua bareng-bareng terus deh”
“Iel apaan sih ? gue sama rio kan deket karena tugas kita di osis, lagian enggak enak sama via kalo lo bilang kaya gini” komen shilla sewajar mungkin.
“Setuju gue shil, udahlah, diemin aja dia, enggak usah di dengerin” ujar rio sambil tersenyum ke arah shilla. Shilla membalas senyum itu, menatap mata teduh itu sekilas.
“Udah yo, sampai sini aja, kan lo mau main basket sama iel” tawar shilla saat mereka melintasi lapangan basket.
“Nanggung ah shil, masa gue bantuin lo setengah-setengah sih, enggak banget. Yel, lo tunggu aja disini, entar gue langsung balik deh kesini” terang rio ke iel.
“Hmm, iya deh, tahu gue yang mau berduaan sama shilla...haha..” goda iel sambil lari ke arah lapangan. Rio sama shilla cuma bisa kompak geleng-geleng kepala ngelihat kelakuan iel.
“Ada-ada aja deh si iel”
“Tapi emang gue cocok ko shil sama lo....” shilla menghentikan langkahnya, menatap rio dengan pandangan penuh tanya.
“Cocok kerja bareng sama lo, diskusi sama lo, ngobrol sama lo, curhat sama lo” lanjut rio sambil tersenyum ke shilla.
“Iya” ujar shilla sambil melanjutkan lagi langkahnya. Tanpa rio ketahui, shilla diam-diam terus memandangi rio, memperhatikan setiap lekuk di wajah rio, setiap senyum yang terpulas di bibirnya, mendengarkan dengar cermat tentang celotehan rio, semuanya, semuanya yang bisa membuat shilla tambah mengagumi sekaligus jatuh hati terhadap rio.
Sesampainya mereka di perpustakaan, shilla dan rio sama-sama mengatur buku, di tempat yang semestinya, dan shilla sangat menikmati saat-saat seperti ini, saat dimana ia dan rio saling berdekatan dan tertawa berdua.
“Bruk” shilla tersungkur jatuh, setelah kakinya tidak sengaja menabrak kaki meja. Rio langsung meletakkan buku yang ada di tangannya, dan berlutut di depan shilla.
“Shil, mana yang sakit ?”
“Enggak kok, enggak apa-apa..” lirih shilla.
“Beneran ? sini duduk dulu” rio mengulurkan tangannya, dan kemudian melingkarkan tangan shilla ke pudaknya, memapahnya duduk di kursi, lalu mengambilkan shilla segelas air.
“Makasih yo, maaf ngerepotin..”
“Enggak apa-apa kali shil, di minum dulu gih” tangan rio dan tangan shilla sama-sama memegang gelas di waktu yang sama. Membuat mereka terdiam sejenak, saling menatap satu sama lain. Shilla masih menemukan keteduhan di mata rio, dan entah mengapa rio merasa menemukan ada kenyamanan di mata shilla.
“Yo..” shilla yang pertama bisa menguasai dirinya.
“Eh..maaf-maaf..” ujar rio sambil menarik tangannya, shilla hanya tersenyum kecil.
“Shil, gue..ehm..ke lapangan basket ya..bye..” rio langsung pergi gitu aja. Shilla merasa aneh dengan tingkah rio, sebuah dugaan langsung terbersit di otaknya, tapi buru-buru ia tepis dugaan tersebut, dugaan bahwa rio terlihat salting dengan kejadian barusan.
Shilla mengambil laptop di lokernya, tujuan awalnya adalaah ia ingin pergi ke halaman sekolah yang sepi dan penuh inspirasi. Tapi kakinya berhenti di depan lapangan basket, ketika ia melihat rio masih saja tetap bermain basket. Shilla memutuskan untuk duduk di bangku penonton, ia merasa inspirasi itu akan mengalir lebih kencang disini.
Ketika ia berlari, ketika peluh membanjiri pelipisnya, ketika semangat gigih tergambar jelas di matanya, maka saat itu, percaya atau tidak, tapi auranya akan keluar semakin jelas.
Tidak ada pemandangan yang lebih indah daripada wajahnya. Mungkin aku terlalu melebihkan ini, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Lihatlah, ia sedang berlari sekarang, tangannya lincah mengolah bola, langkah kaikinya terdengar mantap tanpa keragu-raguan.
Dan lihatlah, akulah yang ada disini, sendiri menemaninya, hanya aku yang memberi senyum penyemangat untuknya. Ah, bukan ! bukan aku ingin membanggakan diriku, dan menjatuhkan kekasihnya, aku hanya ingin sekedar menghibur perasaanku sendiri. Aku hanya ingin membuktikan pada diriku sendiri, bahwa aku bisa, aku bisa ikut tertawa dan bahagia bersamanya, meski hatinya telah termiliki dan bukan olehku.
“Sejak kapan lo disini shil ?”
“Sejak setengah jam yang lalu” shilla tersenyum sekilas, kemudian ia mematikan laptopnya, setelah terlebih dulu menyimpan filenya.
.“Haha, kok gue bisa enggak nyadar ya ? nulis lagi shil ?” rio duduk di samping shilla sambil mengipas-ngipaskan badannya.
“Keasikan sih lo mainnya, yang lain pada kemana ? kok jadi tinggal sendiri ? iya nih, iseng..hehe”
“Tadi anak-anak udah pada selesai mainnya, tapi gue masih pengen main aja, jarang-jarang kan gue bisa main”
“Udah enggak kepikiran buat berhenti jadi kapten kan ?”
“Haha, enggak sih, bentar lagi kaa ada turnamen, gue pengen ikut turnamen itu dulu, setelah itu, baru gue pikir-pikir lagi”
“Semoga pikiran lo enggak berubah ya..”
“Hahaha..eh, gue mau baca dong tulisan lo ?” rio  mencoba meraih laptop shilla, tapi tangannya di halangi oleh shilla.
“Jangan ah..”
“Kenapa ?”
“Jelek ceritanya”
“Emang tentang apa ?” tanya rio masih maksa. Shilla menatap rio sekilas.
“Ceritanya tentang, seorang cewek yang sangat menggumi temannya, padahal temannya itu udah punya pacar, tapi cewek ini tetep enggak mau nyerah, dia bahkan udah janji sama dirinya, untuk siap terluka untuk cowok tersebut, untuk ikut tersenyum saat cowok itu bahagia..” jelas shilla tanpa memandang rio.
“Tragis banget tuh cewek..hehe..emang ada orang yang benar-benar kaya gitu di dunia ini ?”
“Banyak kali yo”
“Oh ya ? kalo gitu gue salut sama orang yang bisa kaya gitu, karena kalo gue ada posisi, dimana gue harus pura-pura bahagia karena ngelihat cewek yang gue sayang bahagia sama cowok lain, gue enggak akan sanggup deh”
“Jadi lo akan terus mempertahankan seseorang di samping lo meski dia enggak bahagia sama lo ?”
“Iyalah, karena kalo gue udah sayang sama orang, gue enggak akan bisa hidup tanpa dia di samping gue” shilla hanya tersenyum mendengar jawaban rio.
Dengan ipod terpasang di telinganya, alvin berjalan cuek keluar dari kelasnya, padahal jam pelajaran terakhir baru akan berbunyi lima menit lagi, tapi dia tidak peduli akan gurunya dan gurunya pun berusaha tidak menghiraukan alvin. Sambil mengunyah permen karet dan membuat balon, alvin senderan di tembok di depan kelas via.
“Alvin ?” via langsung menghampiri alvin, alvin hanya tersenyum, lalu langsung berjalan meninggalkan via. Via yang mengerti maksud alvin pun mengikuti alvin.
“Makasih udah di tungguin” ujar via.
“Hmm..”
“Via !” langkah alvin dan via sama-sama terhenti, mereka berdua menoleh ke arah sumber suara.
“Pulang bareng aku kan vi ?” tanya rio sambil meraih tangan via. Alvin melihat itu dengan pandangan yang susah di artikan.
“Eh yo..aku..ehm..”
“Vi, yo gue balik duluan ya, bye” alvin langsung berbalik dan berjalan menjauh. Via menatap punggung alvin, lalu pandangannya ia alihkan ke arah rio yang sedang menatapnya penuh harap dengan senyum manis tentunya.
Tanpa mau menoleh, alvin terus berjalan ke arah parkiran. Ia sendiri, tahu pasti, tidak berhak dirinya untuk merasa marah dengan keadaan, karena memang posisinya yang tidak tepat. Tapi tetap saja, api cemburu itu, berkorbar hebat di hatinya.
“Kok jalannya cepet banget sih, ninggalin gue, niat enggak sih mau pulang bareng gue ?” alvin membuka kaca helmnya.
“Lo ngapain disini ?”
“Ya mau balik bareng lo lah, gimana sih” via langsung aja naik di boncengan motor alvin.
“Rio ?”
“Gue bilang ke dia mau nemenin temen gue pergi”
“Kok bohong sih ?”
“Abis gue pengennya pulang sama lo, udah ayo jalan, entar keliatan rio lagi” via mengeratkan pegangannya ke perut alvin. Dan alvin mulai menjalankan motornya, dia tersenyum sekilas. Sisi egonya sedang muncul dan menguasai dirinya sekarang. Untuk pertama kalinya, ia merasa, ia menang atas diri rio.

Komentar

Postingan Populer