Another Way to Love Part 18

Rio mencoba memejamkan matanya, meski rasa pedih itu terasa begitu telak menyerang hatinya. Dia masih berharap ini semua hanya mimpi buruk dan saat ia terbangun besok, semua akan kembali berjalan sesuai keinginannya.
Kekecewaan itu merasuki dirinya begitu dalam. Mengoyak kepercayaannya terhadap alvin. Orang yang selama ini ia kagumi dan diam-diam ia idolakan. Baru kali ini ia merasa seperti ini, di tinggalkan seorang diri, dalam lembah ketidakadilan yang begitu menyayat hatinya.
Semakin ia mencoba memaksa jiwanya untuk terlelap sejenak, semakin banyak rasa kantuknya yang menguap. Apa yang harus ia lakukan sekarang ? Dimana letak kesalahannya ? Dimana letak kekurangannya ? ia jadi teringat akan via, orang yang baru beberapa jam yang lalu di temuinya.
_Flashback_
Mereka berdua hanya saling berdiam diri, atau lebih tepatnya sama-sama tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk memulai pembicaraan ini. Via memilih memilin-milin ujung rok seragamnya, dan rio hanya menatap danau.
“Maaf..” ujar via pelan nyaris tidak terdengar. Rio tidak mengalihkan pandangannya ke via, ia terus menatap danau.
“Maaf yo, kamu boleh benci sama aku segede apapun, tapi tolong jangan marah sama alvin”
“Kamu bahkan masih membela dia vi” balas rio sinis, terkesan dalam.
“Bandul kalung dan gelang itu, alvin temuin waktu kita berdua ke hutan, kalo enggak salah pas umur kita sebelas tahun. Dan hari itu kita janji, kalo kita berdua enggak pernah pergi kemana-mana, supaya bandul itu tetep bisa bersatu...”
“Aku enggak butuh cerita itu”
“Tapi semenjak itu, sikap alvin yang cuek dan dingin terus menjadi-jadi, dan aku beranggapan kalo dia udah lupa sama semua itu. Aku sendiri enggak tahu kenapa, aku bisa bilang iya saat kamu nembak aku, mungkin karena saat itu aku lihat cinta di mata kamu, dan aku mau ngeyakinin hati aku kalo aku pasti bisa mencintai kamu balik..” seolah tanpa ada intrupsi dari rio, via terus melanjutkan kata-katanya.
“Cukup vi”
“Maafin aku, aku yang salah, aku yang salah dari awal. Saat aku sama alvin tersesat berdua di hutan, saat itu aku tahu, dia juga masih inget tentang kalung dan gelang itu, masih menyimpan kenangan aku sama dia. Dan kamu tahu, saat itu aku tahu, aku udah menyakiti kamu, maafin aku..”
“Aku bilang cukup vi !”
“Enggak yo, kamu harus tahu semuanya..”
“Buat apa vi ?! dimana letak kesalahan aku ? dimana kekurangan aku ? bilang vi ! bilang !!” rio mengguncang-guncang tubuh via dengan kedua tangannya, meski takut, via mencoba menguatkan hatinya, ia telah berjanji pada dirinya sendiri, untuk memberi tahu rio, sepedih apapun itu.
“Kamu sempurna rio ! terlalu sempurna, terlalu baik malah buat aku..”
“Terus kenapa harus alvin ! apa yang dia kasih dan enggak aku kasih ke kamu !” rio masih terus memegang erat kedua pundak via, matanya menatap via tajam.
“Karena aku sayang sama dia..” pegangan rio mengendur, meski di ucapkan sepelan mungkin oleh via, tapi kata-kata itu tetap saja menambah lukanya, menghempaskan dirinya ke jurang kesakitan yang dalam.
“Aku enggak peduli ! kamu tetap cewek aku !! aku bakal lakuin segala cara untuk pertahanin kamu !” ujar rio setegas mungkin. Ia berdiri, menatap via sekilas, kemudian meninggalkan via. Via hanya bisa meratapi punggung rio yang semakin menjauh, penyesalan memenuhi kerongkongannya, menyelinap di setiap sudut tubuhnya.
_Flashbackend_
Dengan kasar dan brutal, rio mengobrak-abrik rak bukunya, lalu ia langsung mengambil sebuah album bercover coklat tua yang sedikit berdebu. Di bawah sinar lampu meja belajarnya, rio mulai membuka album poto tersebut.
Pada lembar pertama, ada potonya sedang memegang sebuah robot mainan jenis terbaru, yang seingat rio di oleh-olehkan oleh papanya dari luar negeri, sementara di sampingnya berdiri alvin, yang tangannya melingkar di pundaknya, tetap tersenyum meski  sorot matanya mengarah tajam ke arah robot yang rio pegang.
Ya memang hanya rio dan acha saja yang selalu mendapat oleh-oleh dari papanya, ketika papanya pulang dari dinas ke luar negeri atau luar kota. Tapi alvin tidak pernah iri, jika rio menawarkan mainannya, alvin selalu bilang ‘enggak ah, enakan main sama bola aja’
Lalu pada lembar berikutnya, ada potonya sedang memamerkan sebuah piala dan piagam penghargaan karena saat itu rio berhasil menjuarai olimpiade matematika tingkat nasional. Dia berdiri di apit oleh mama dan papanya serta acha.
Saat itu, alvin ada disitu menyemangatinya, bahkan alvin yang menemani rio malam sebelumnya, karena rio terlalu gelisah memikirkan hasil perlombaannya. Alvin yang menghibur dan meyakinkannya. Tapi saat diajak ikut berpoto oleh mamanya, alvin hanya tersenyum dan menggeleng tapi memandang papanya sinis yang sejak tadi sibuk membanggakan rio di depan semua orang, sambil berkata ‘iya itu rio anak saya, memang mirip saya, dulu saya juga juara olimpiade seperti ini’
Dan pada lembar berikutnya, lagi-lagi potonya, sedang memakai jas sehingga membuatnya tampak begitu tampan dan berkharisma. Itu adalah pertama kalinya rio ikut di acara papanya, dia masih ingat saat itu, papanya begitu membanggakan dirinya, mengenalkannya hampir ke seluruh kolega bisnisnya, membuat rio merasa istimewa.
Sementara alvin menunggu rio di rumah, meski ia tertawa terbahak-bahak saat melihat rio memakai jasnya, tapi rio masih ingat saat alvin memegang jasnya dengan pandangan nanar yang susah di artikan, tapi saat tempo hari mamanya mau menjahitkan jas juga untuk alvin, dia hanya bilang ‘enggak usah, alvin lebih seneng pake kaos’
Berlembar-lembar halaman yang rio buka setelahnya tetap sama, tetap gambar dirinya, yang sedang menjuarai lomba, yang sedang bersama dengan kedua orang tuanya, yang sedang dalam hari-hari spesialnya. Lalu tangannya berhenti di lembar terakhir, ia tersenyum pedih melihat foto yang terpasang di akhir halaman album tersebut.
Di foto itu, ada dirinya, via dan tentu saja alvin. Rio sendiri tidak begitu ingat kapan dan dimana foto ini di ambil, yang jelas saat itu, sepertinya mereka baru saja duduk di bangku smp. Ujung terlunjuk rio, menyentuh gambar via yang seperti biasa berdiri di tengah, yang sedang tersenyum manis ke arah kamera, senyumnya masih sama, dan wajahnya pun tidak banyak berubah, mungkin via yang sekarang hanya lebih cantik dan terlihat lebih dewasa ketimbang dulu.
Rio mengamati dalam-dalam foto tersebut, tangannya yang merangkul pundak via, dan tangan via yang bergandengan erat dengan tangan alvin. Rio terhenyak, tangan via bergandengan dengan tangan alvin, entah kenapa rio tidak pernah menyadari hal itu dari dulu. Rio langsung menutup album foto tersebut, kemudian ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
“ARGGHH !!” teriak rio sekedar untuk meluapkan rasa emosinya.
“Kak rio...” rio menoleh, melihat kepala acha yang mengintip dari balik pintu dengan takut-takut.
"Hmm"
“Gue masuk ya kak ?” rio hanya menganggukkan kepalanya. Acha pun mendekati rio, dan duduk di pinggir tempat duduk rio.
“Kenapa ?” tanya rio sambil berbalik menghadap acha.
“Kak alvin udah cerita, tadi dia juga yang nyuruh gue buat masuk kesini pas kakak teriak..” rio hanya tersenyum tipis.
“Gue tahu, kakak berhak marah sama kak alvin, gue tahu, enggak mudah buat kakak nerima ini semua, tapi...”
“Apa ? lo mau belain dia juga ! semua aja belain dia !” potong rio yang bikin acha menunduk takut.
“Sayang gue ke elo berdua sama kak, gue enggak akan mihak salah satu dari kalian, gue tahu, gue enggak cukup pantes untuk ikut campur. Tapi gue siap dengerin semua unek-unek lo kak” rio memandang acha, kemudian ia menyodorkan album yang tadi ia lihat ke arah acha, acha menerima itu dan langsung membukanya.
“Kalo gue boleh minta, gue enggak perlu selalu dapet oleh-oleh dari papa, gue enggak perlu menangin segala macam perlombaan, gue juga enggak perlu jadi anak kebanggaannya papa, gue cuma mau menangin hatinya via, cuma itu” acha mengalihkan matanya dari album foto ke arah rio, kakaknya itu terlihat begitu rapuh sekarang. Ia mencoba mendekati kakaknya, menepuk pundak kakaknya sambil tersenyum.
“Ini namanya hidup kak, enggak selamanya sang juara selalu bisa dapetin semua yang dia mau, kak alvin salah, kak via juga, tapi semakin kakak enggak bisa nerima ini dengan lapang dada, kakak cuma bakal semakin terpuruk aja”
“Gue enggak peduli cha, gue enggak terima kekalahan ini, gue akan menangin via, gue enggak akan relain dia buat alvin, enggak akan !” acha memandang kakaknya nanar, itu jelas bukan kakaknya, bukan kakaknya yang selalu bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.
“Gue rasa kakak lagi butuh waktu buat istirahat,  gue keluar ya kak..”
Acha langsung keluar dari kamar rio, dan ia menemukan alvin sedang berdiri mematung di depan pintu, alvin menatapnya penuh harap, tapi acha hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Gue emang brengsek banget ya cha” desah alvin pelan. Acha enggak bisa berbuat banyak kecuali hanya memberikan senyumnya ke alvin sekali lagi.
“Mungkin baiknya gue mundur, enggak seharusnya gue ngerusak kebahagiaan rio sama via” ujar alvin sambil ingin meraih pegangan pintu kamar rio.
“Jangan..” cegah acha cepat. Alvin menatap acha bingung.
“Gue emang enggak ngedukung siapa-siapa kak, tapi gue enggak suka kalo lihat kakak gue yang jagoan mundur sebelum nyoba, gue enggak suka kalo kakak gue nyerah gini aja, buktiin kalo kakak bisa jadi anak baik-baik..” alvin hanya tersenyum. Diam-diam alvin membenarkan kata-kata acha, mungkin ini memang momentum yang tepat untuknya, untuk berubah, untuk membuktikan kepada semua orang bahwa ia tidak hanya sekedar alvin yang orang lain kenal selama ini.
Tanpa harus melihat jam tangannya pun, via tahu malam telah larut. Tapi hati serta raganya masih ingin ada disini, menikmati kesendiriannya, menyesali semua yang telah terjadi. Sejak pulang sekolah tadi via masih saja bertahan disini, di sisi danau, meski rio telah meninggalkannya sejak berjam-jam yang lalu.
Danau ini menyimpan banyak kenangan mereka bertiga, dan sekarang mungkin persahabatan itupun sungguh-sungguh tinggal kenangan. Tatapan matanya kosong, dia sudah letih menangis, lagipula air mata itu tidak serta merta membawa kegundahannya juga, semua terasa sia-sia dan hampa bagi via.
“Maaf ganggu, gue boleh nemenin lo kan disini ?” via menoleh, ia melihat seorang gadis yang wajahnya nampak familiar berdiri di belakangnya dan kemudian duduk di sampingnya.
“Oke, mungkin secara enggak langsung kita udah kenal, tapi gimana kalo sekarang kita kenalan aja. Gue zevana, tapi lo bisa panggil gue zeva” gadis itu mengulurkan tangannya ke arah via.
“Sivia, dan lo bisa manggil gue via. Kenapa lo bisa ada disini ?” tanya via sambil menjabat tangan zeva.
“Alvin nelpon gue, dia minta gue buat nemenin lo disini”
“Kenapa bukan alvin aja yang nemenin gue disini ?”
“Menurut dia, kalian berdua mungkin ada baiknya buat enggak ketemu dulu, untuk ngejaga perasaannya rio”  via menghela napasnya, zeva hanya tersenyum melihatnya.
“Menurut lo apa yang gue lakuin sekarang itu salah ?”
“Banget ! lo jelas-jelas salah sama ini semua, tapi kesalahan itu, di situlah kesempatan elo buat nunjukkin semuanya, buat nebus semuanya”
“Maksudnya ?”
“Ya kalo rio enggak pernah tahu dengan sendirinya kaya sekarang, apa lo yakin lo bakal bilang ke rio, atau lo sama alvin terus-terusan nyembunyiin ini semua ? ini emang salah dan menyakitkan, tapi ini juga kesempatan buat lo untuk nunjukkin kalo kesalahan yang elo perbuat ini ada alasannya, dan alasan itu cukup kuat buat di mengerti sama orang lain” penjelasan zeva cukup membuat via merenung.
“Apa alvin udah cerita tentang penawarannya rio ke dia ?”
“Penawaran apa ? tadi alvin cuma nyuruh gue buat kesini dan nemenin lo”
“Rio ngajakin tukeran peran, alvin jadi anak baik dan rio jadi kaya alvin sekarang, terus alvin juga di suruh jadi ketua panitia turnamen kali ini dan rio akan ngelakuin apa aja untuk ngetes kesabaran alvin”
“Dan alvin nerima itu ?” via hanya mengangguk menjawab pertanyaan zeva.
“Gue yakin alvin pasti bisa” ujar zeva memberi semangat.
“Ze, elo ceweknya riko kan ?” gantian zeva yang mengangguk.
“Tolong jangan sampai riko tahu ya kalo alvin ketua panitia turnamen ini, gue takut, bukan rio yang bisa mancing emosi alvin, tapi riko, lo bisa kan jagain riko bentar aja buat enggak gangguin alvin ?” hati zeva mencelos, seandainya ia memang punya kendali sebesar itu atas riko, ia pasti akan dengan senang hati menjawab ‘iya’.
“Gimana ze, lo mau kan ?” tanya via lagi, tatapan matanya yang bening dan penuh harap itu jelas terpancar.
“Gue usahain vi...” jawab zeva sambil tersenyum, meski hatinya tidak seratus persen yakin. Via tersenyum ke arah zeva, walau belum hampir satu jam mereka kenal, tapi via sudah bisa menemukan kenyamanan yang nyata di dirinya zeva.
***
Sambil berusaha tersenyum, alvin mencoba sesantai mungkin menghadapi pandangan mata teman-teman satu sekolahnya. Dia sendiri merasa risih dengan penampilannya saat ini, tapi mau bagaimana lagi, dia udah memantapkan hatinya untuk sepenuh hati menjalani tantangan rio.
Tidak ada alvin yang datang siang, yang bajunya keluar, yang seragamnya enggak di kancing, yang sepatunya dekil banget. Yang ada hanyalah alvin yang memakai seragamnya serapi mungkin dengan sepatu yang bersih, rambut yang ditata rapi, dan senyumnya yang ramah serta bersahabat.
“Lo serius ya mau ngejalanin ini ?” tanya cakka yang enggak kalah takjubnya sama yang lain melihat penampilan alvin.
“Hehe, doain ajalah..” jawab alvin sambil cengengesan. Cakka cuma bisa menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Tidak hanya teman-temannya saja yang di buat bingung oleh kelakuan alvin, tapi juga gurunya. Bagaimana tidak, seorang alvin yang biasanya seenak jidatnya keluar masuk kelas tanpa izin dan terkesan acuh tak acuh, kini sudah duduk manis di bangku paling depan.
Lain halnya dengan alvin, rio sekarang malah sedang tidur-tiduran di taman sekolahnya, bukannya mendengarkan penjelasan gurunya di dalam kelas. Dia masih belum memikirkan cara yang tepat untuk alvin.
“Kok enggak ke kelas ?” rio mengangkat kepalanya dan mendudukan dirinya.
“Lo sendiri ngapain kesini shil ?”
“Iseng, lihat lo disini, jadi pengen aja kesini”
“Menurut lo gue harus ngelakuin apa buat berantakin rencananya alvin ?” shilla menatap rio lirih. Ini jelas bukan sosok rio yang ia kagumi.
“Rio, lo enggak serius pengen jadi biang onar kan ? toh selama ini, alvin juga enggak pernah ngancurin event di vendas”
“Tapi dia udah ngancurin hidup gue shil” ujar rio dingin.
“Yo, lo enggak bisa jadi sedangkal ini”
“Kenapa sih semua orang belain dia ?! gue korbannya shil !”
“Gue bukan belain dia, gue cuma mau ingetin lo, enggak ada manfaatnya lo kaya gini”
“Ah ! ya udah tanpa bantuan siapapun gue bisa kok sendiri !!” shilla meraih tangan rio, dia memaksa rio untuk menatap matanya.
“Di mata gue, mario itu tetap aja orang yang akan selalu gue kagumin, gue akan selalu jadi orang yang berdiri di deketnya dia apapun yang dia lakuin, dan gue enggak mau, seorang mario yang gue kenal berubah kaya gini, gue enggak mau..” rio menatap shilla yang penuh ketulusan, tapi rasa sakit itu telah telanjur menguasai hatinya. Rio menampik tangan shilla dan meninggalkannya begitu saja. Shilla hanya bisa memandangi punggung rio yang menjauh, dia tahu, jiwa itu hanya sedang dalam posisi labil.
“Gue masih akan selalu ada disini yo..” gumam shilla pelan, berbisik pada angin, membiarkan angin membawanya dan berharap dapat membisikkannya kembali pada rio.

Komentar

Postingan Populer