Another Way to Love Part 19
Dengan
kedua tangannya, via mengusap-usap tubuhnya, sedikit mengahangatkan
dirinya yang di terpa dinginnya angin malam. Tiba-tiba sebuah jaket, di
pakaikan ke badannya, via hanya bisa tersenyum.
“Maaf ya malem-malem gue ajak lo keluar kaya gini”
“Enggak
apa-apa kok vin, gue malah seneng lo masih inget tempat ini” alvin
hanya tersenyum. Dia memandang lurus ke atas, menatap bintang yang
bertaburan dengan eloknya.
Di
sebuah bukit kecil. Disanalah mereka berdua ada sekarang. Melihat
bintang, dan sekali lagi menikmati kenangan mereka. Kenangan yang selalu
saja mengikat mereka.
“Kira-kira bintang kita yang mana vin ?”
“Gue minta maaf udah ngancurin hubungan lo sama rio” via mengalihkan pandangannya dari bintang ke alvin.
“Harusnya
saat gue tahu rio sayang sama lo, saat itu juga gue harusnya ngelarang
hati gue buat terus sayang sama lo” lanjut alvin lagi sambil terus
menatap bintang.
“Vin elo enggak...”
“Gue
enggak bisa lihat rio kaya gitu, pulang malem, enggak jelas pergi
kemana, enggak peduli sama dirinya dia sendiri, gue enggak suka lihat
dia kaya gitu, itu bukan rio” alvin terus berbicara memotong kata-kata
via.
“Tapi
gue juga enggak mau lagi pura-pura bahagia saat ngelihat lo sama rio”
dengan matanya yang sayu, alvin memandang via, menyentuh pipi putih via,
menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi wajah via.
“Tolong jawab pertanyaan gue” via yang dari tadi seolah tidak di berikan kesempatan untuk berbicara, hanya bisa mengangguk.
“Siapa
yang bisa bikin lo lebih bahagia ? gue atau rio..” via meraba tangan
alvin yang masih menyentuh pipinya, ia genggam tangan itu perlahan.
“Apa ini penting buat lo ?”
“Sebelum semuanya terlalu jauh, kalo lo masih mau kembali sama rio, gue akan jadi orang yang nganterin elo ke tempat rio..”
“Sstt..” via meletakkan telunjuknya di atas bibir alvin.
“Jangan nyerah vin, tunjukkin ke gue, usaha lo, sekali ini aja..” alvin hanya tersenyum. Hatinya lega, tapi batinnya miris.
“Kenapa akhir-akhir ini, lo ngejauhin gue vin ?”
“Bukan
ngejauhin via, gue cuma pengen kita sedikit jaga jarak, sampai semua
masalah ini selesai, gue enggak mau nyakitin rio lebih jauh, walaupun
kenyataannya gue udah ngelakuin itu. Lagian rapat-rapat itu beneran
bikin energi gue terkuras abis deh..”
“Tapi gue yakin kok, elo pasti bisa nunjukkin ke semua orang kalo elo enggak ada bedanya sama rio” ujar via memberi semangat.
“Ya
seandainya semua panitia yang ada mau sedikit aja dengerin kata-kata
gue. Lo tahu vi, dari sekian banyak panitia, cuma iel sama shilla yang
bener-bener niat kerja..”
“Jangan emosi..”
“Itu
juga yang lagi gue lakuin vi. Pokoknya gue janji, setelah turnamen ini
selesai, setelah kita nyelesein masalah kita bertiga sama rio, gue
enggak bakal nyia-nyiain lo lagi, gue bakal selalu ada buat elo, gue
janji” alvin menyodorkan jari kelingkingnya.
“Gue pegang janji lo” via pun mengaitkan kelingkingnya.
Setelah itu, mereka berdua hanya sibuk menatap bintang, sibuk meresapi malam, sibuk memikirkan apa yang ada di otak mereka.
Alvin
memarkirkan motornya di garasi rumah, dan di sebelahnya, mobil rio
jelas belum terlihat, alvin hanya dapat mendesah, sejujurnya ia takut
terjadi apa-apa pada rio. Alvin masuk lewat pintu dapur, dan melihat
papanya masih duduk di ruang tv. Dari tempatnya berdiri, alvin dapat
melihat jelas, rambut papanya yang mulai memutih, kerut-kerutan yang
mulai nampak di wajahnya, keletihan yang begitu tersirat jelas.
“Malem
pa..” sapa alvin pelan, untuk pertama kalinya. Papanya menoleh, dan
alvin tahu pasti, papanya takjub melihat perbuatannya. Alvin hanya
tersenyum lalu berniat naik ke atas menuju kamarnya.
“Papa
denger dari dewan guru, kamu jadi panitia untuk turnamen vendas kali
ini” alvin tidak melanjutkan langkahnya, dia berbalik, dan mendekati
papanya.
“Iya”
“Kamu
yakin kamu bisa ? jangan-jangan nanti turnamen vendas yang selalu
berjalan tertib jadi kacau lagi gara-gara kamu” papanya memandang alvin
sinis. Alvin hanya dapat mengepalkan tangannya, mengumpulkan semua
emosinya di situ.
“Mau ke kamar” ujar alvin singkat sambil berbalik memunggungi papanya lagi.
“Enggak
sopan !” berlagak seolah tidak mendengar kata-kata papanya, alvin
langsung ngacir menuju kamarnya. Entahlah, tapi kali ini, rasa sakit itu
begitu merasuk di hatinya. Ketika semua orang terdekatnya memberinya
support meyakinkannya untuk ini, papanya sendiri malah menjatuhkan
mentalnya.
“Alvin
enggak akan ngecewain papa !” teriak alvin dari lantai atas. Papanya
yang mendengar itu di lantai bawah, hanya terdiam sebentar, lalu
melanjutkan membaca korannya kembali.
Sementara rio yang baru juga pulang, dan melihat itu dari jauh. Hanya dapat tersenyum sinis penuh kemenangan.
***
Dengan
emosi yang memuncak, alvin berjalan keluar ruangan rapat. Percuma saja
bila ia terus duduk disana, dan kehadirannya tidak di harapkan. Dia
tahu, separuh lebih, panitia turnamen ini adalah teman-temannya rio,
yang tentu saja berdiri di pihaknya rio, tapi yang membuat alvin tidak
abis pikir adalah, mengapa mereka semua tidak bisa menyingkirkan sedikit
saja, rasa ego mereka untuk sekolah yang mereka banggakan.
Mempercepat
langkahnya setengah berlari, alvin menuju lapangan futsal sekolahnya.
Dia langsung mengambil bola dan mulai menendang-nendang bola tersebut,
kemana saja yang ia mau. Alvin hanya tidak ingin kemakan emosinya, dan
mengacaukan beberapa hari tenangnya ini.
“Vin..” alvin menahan bolanya, mencari siapa yang memanggilnya.
“Elo yel ? kenapa ?”
“Mau nemenin lo main bola” alvin memandang iel heran, iel hanya tersenyum.
“Kenapa
? lo pikir gue cuma bisa main basket doang, gue juga bisa kali main
bola” iel mengambil bola yang ada di kakinya alvin, dan mulai
memainkannya.
“Oke,
ayo !” alvin tambah semangat aja karena ada partnernya. Mereka mulai
saling berebut bola, one on one. Saling menembak ke gawang yang kosong
tanpa kiper.
“Lo enggak ikut gosipin gue disana ? lo kan lebih deket ke rio timbang gue ?” tanya alvin di sela-sela bermain.
“Haha, gue emang temenan sama rio, tapi enggak sechildish itu buat ikut larut sama masalah ini. Oh ya, lo tahu kemana akhir-akhir ini rio suka pergi ?”
“Gue
udah nugasin beberapa temen gue buat ikutin dia enggak setiap hari
tapi, dan sejauh ini sih, dia masih sesuai jalur aja kok, belum seliar
yang orang kira”
“Hmm,
bener ya ternyata kata rio dulu, lo itu cuek tapi perhatian” alvin
sempat berhenti sejenak, entah mengapa, ia jadi tambah merasa bersalah,
mendengar kata-kata iel, yang mengutip dari kata-kata rio tersebut.
“Haha, gimanapun dia tetep saudara gue. Dan gue tahu kok, di masalah ini gue yang bajingan”
“Tapi
gue enggak nyangka aja rio jadi kaya gini. Gue kehilangan dia yang
penuh logika dan rasional, ternyata jadi seorang juara, buat dia enggak
punya mental kalah”
“Gue
yakin kok, setelah ini semua dia bakal balik lagi. Gue juga udah enggak
betah lama-lama jadi anak baik kaya gini, enggak menantang” ujar alvin
sambil menembakkan bola dengan kencang, dan langsung melesat ke gawang.
“Duduk
dulu yu vin, ternyata emang lo jago banget dah kalo futsal, gue nyerah”
kata iel sambil berjalan ke arah tempat duduk. Alvin cuma nyengir
sambil ikutan duduk.
“Tadi elo yang ngajakin, payah lo” alvin meninju pundak iel pelan.
“Haha,
gue heran deh, main bola itu, udah pemain banyak, bola satu, gawang
segede itu, lapangan seluas ini, susah banget masukinnya. Beda sama
basket, yang selalu bisa dapet banyak angka di setiap pertandingan”
komen iel sambil mengelap keringatnya.
“Ya
itu kan pendapat elo, kalo menurut gue main basket itu malah enggak
seru, abis udah pasti dalam lima menit bola bisa masuk berkali-kali ke
ring” balas alvin.
“Yeah,
namanya juga elo pemain bola dan gue pemain basket. Oh iya, gue suka
deh sama konsep lo yang kemarin lo tunjukkin, itu cukup brilian kok
menurut gue”
“Tapi kalo yang setuju sama konsep itu cuma lo sama shilla juga sama aja”
“Tenang
aja vin, entar gue deh yang jelasin ke anak-anak, lagian harusnya
mereka juga sadarlah, kalo ini tuh buat vendas, bukan cuma buat
kepentingan diri mereka sendiri”
“Thanks
yel..” iel hanya tersenyum. Jauh sebelum ini, meski telah lama kenal,
bisa di bilang alvin dan iel tidak begitu dekat. Selain hobi mereka yang
memang berbeda, iel memang lebih merasa sejalan dengan rio ketimbang
alvin yang slengekan.
‘lo
bisa rebut semuanya dari gue vin, ambil semua yang lo mau, nikmatin
itu, sebelum gue ancurin lo balik’ batin seseorang yang mengintip iel
dan alvin sambil meremas kaleng minuman di tangannya.
Sambil
menatap kotak bekal yang ada di tangannya, zeva memberanikan diri
menghampiri riko yang sedang asik ngobrol sama temen-temennya.
“Ko..” panggil zeva pelan. Riko hanya menoleh sebentar, kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke temen-temennya.
“Aku mau ngomong sebentar aja” ujar zeva lagi. Riko hanya melengos, sambil menghampiri zeva.
“Gue enggak punya banyak waktu”
“Iya,
bentar doang kok, disana ya..” zeva menunjuk bangku yang lebih sepi
ketimbang di tempat mereka sekarang. Acuh tak acuh, riko langsung
berjalan ke arah bangku yang zeva tunjuk tanpa mempedulikan zeva di
belakangnya.
“Mau ngapain ?” tanya riko ketus.
“Ini,
pasti kamu belum makan kan..” zeva menyodorkan kotak bekal yang dari
tadi ia pegang. Tanpa harus menoleh, riko bisa mencium aroma enak beef
teriyaki buatan zeva.
“Enggak butuh” tampik riko.
“Aku
tahu kok, kamu belum makan dari tadi. Ya udah, aku taro sini ya,
terserah mau kamu makan apa enggak, aku bikin sendiri lho, kaya dulu”
dengan hati-hati, zeva meletakkan kotak bekelnya di samping riko, sambil
tersenyum ia meninggalkan riko yang dari tadi sengaja tidak mau
memandangnya.
Sepeninggal
zeva, riko mulai melirik kotak bekel di sampingnya, aroma beef teriyaki
yang begitu menggoda saraf laparnya itu begitu susah di tolak. Riko
mengambil kotak itu, dan mulai memakannya. Riko melihat ke kertas yang
sepertinya sengaja zeva tinggalkan tepat di bawah kotak tersebut.
Selamat makan !! kamu tahu, dulu kamu suka banget lho sama beef teriyaki bikinan aku ini..
jangan berantem lagi ya ganteng..hehe..
jangan berantem lagi ya ganteng..hehe..
Riko
hanya bisa tersenyum tipis melihat tulisan itu. Dia menikmati setiap
beef teriyaki yang masuk ke mulutnya dan terasa enak di lidahnya,
rasanya tetap sama, tetap membuatnya ketagihan, seperti dulu.
Sambil
terus memperhatikan mobil di depannya, shilla memacu mobilnya. Ia
memang sengaja mengikuti mobil rio. Dia enggak mau ngebiarin rio
sendiri, dia enggak bisa ngebiarin rio sendiri.
Shilla
memarkirkan mobilnya, tidak begitu jauh dari mobil rio. Ia mengamati
rio yang nampak sedang menunggu, ini bisa di lihat shilla dari ekspresi
muka rio yang tengok kanan tengok kiri. Enggak sampai sepuluh menit
kemudian, sebuah motor berisi dua orang dengan tubuh besar dan garang
berhenti di depan rio.
Seandainya
shilla lupa bahwa ia sedang mengintip, ia pasti sudah mendekat ke arah
rio dan dua orang itu, untuk mencuri dengar. Shilla benar-benar
penasaran dengan sikap rio yang seperti sedang menunjukkan sesuatu.
Rio
mencoba menghilangkan perasaan bersalahnya, otaknya benar-benar sedang
dikuasai oleh partikel-partikel negatif saat ini. Dia tidak peduli, atau
mungkin lebih tepatnya ia mencoba untuk tidak peduli. Dia menatap tajam
ke arah dua orang yang sudah di tunggunya dari tadi.
“Lihat ini..” rio menunjukkan sesuatu dan salah satu dari dua orang itu langsung mengambil dan mengamatinya.
“Terus ?”
“Gue udah tahu cara kerja kalian, slow but sure, oke ? jangan terlalu frontal, yang penting dapet maknanya”
“Sip, itu kerjaan mudah buat kita”
“Oke,
gue tunggu kabar bagus !” rio menyodorkan tangannya yang di jabat
bergantian oleh dua orang itu. Kemudian mereka naik ke atas motor dan
langsung melesat pergi.
Jengah
hanya melihat tanpa melakukan apapun, shilla pun memutuskan untuk
menemui rio yang baru saja akan masuk ke dalam mobilnya. Memberanikan
diri, shilla menarik tangan rio.
“Shilla ?! lo ngapain disini ?” shilla dapat membaca dengan jelas gurat kekagetan di wajah rio.
“Tadi itu siapa ? lo ngapain ?”
“Apaan sih ? bukan urusan lo !”
“Urusan gue ! jangan bilang ini bagian dari rencana lo buat alvin ?” tanya shilla was-was, otak pintarnya mulai bekerja.
“Apa sih peduli lo ?!” nada rio mulai meninggi.
“Gue peduli! Gue enggak mau rio yang gue kenal jadi kaya gini !”
“Apaan sih shil ! lepasin gue mau pulang !” rio menampik tangan shilla yang mencengkram pergelangan tangannya erat.
“Enggak ! sebelum lo jelasin ke gue !” shilla mencoba mengimbangi kerasnya rio.
“Jelasin
apa sih ?! emang lo siapa gue mau ikut campur aja !” kata-kata itu
terasa menusuk langsung di hati shilla. Shilla sedikit mengendurkan
pegangannya, tapi hal itu malah membuat rio terdiam.
“Maaf
yo, gue tahu gue terlalu ikut campur, gue cuma...cuma enggak bisa lihat
lo kaya gini, gue siap gantiin posisi lo yo, gue enggak mau lo sakit,
gue enggak bisa lihat lo terpuruk gini. Gue sayang sama lo, dari dulu,
enggak pernah berubah, bukan sebagai sahabat tapi sebagai cewek ke cowok
yo..” shilla menunduk, dia tidak berani menatap rio. Hatinya
ketar-ketir, ia merasa matanya mulai panas, dan cairan kesedihan itu
akan turun perlahan.
“Ini
emang hidup lo, gue enggak akan ganggu lagi, maaf. Gue cuma mau bilang,
alvin itu saudara lo, dan seharusnya lo bisa bahagia kalo dia bahagia”
shilla berlari menuju mobilnya, meninggalkan rio yang masih berdiri
mematung di tempatnya.
Rio
hanya bisa memadangi mobil shilla yang mulai bergerak menjauh, darahnya
berdesir kencang. Entahlah, tapi perasaan bersalah langsung merasuki
rio saat melihat butir air mata shilla.
“SIAL
!” rutuk rio sambil menendang ban mobilnya sendiri. Kemudian ia
langsung memacu mobilnya, mencoba melupakan kejadian barusan.
Dengan air mata berderai, shilla terus mengendarai mobilnya, ia mengutuk dirinya sendiri, mengapa dengan bodohnya ia terbawa suasana dan mengakuinya di depan rio. Apa yang harus ia lakukan sekarang ?
Tanpa
menghiraukan sapaan mamanya, rio langsung masuk ke dalam kamarnya,
duduk di depan meja belajarnya. Ia merenung, memandangi fotonya dengan
alvin. Bagai rekaman film, rio bisa melihat dengan jelas, semua yang
alvin pernah lakukan untuknya, pengorbanan alvin, kerelaan alvin,
kekalahan alvin, semua.
“AH
GUE BEGO BANGET SIH !!” rio langsung merogoh hpnya, dan mencoba
menghubungi sebuah nomer, bayangan buruk langsung berkelebat hebat di
otaknya, dan rio benar-benar tidak ingin itu semua terjadi, tidak boleh
terjadi.
Frustasi
tidak bisa menghubungi nomer yang ia tuju, rio pun mulai mengetik nomer
lain yang ia apal di luar kepala. Tapi nihil, hasilnya tetap sama. Rio
mengalihkan pandangannya kembali ke fotonya dan alvin, dan senyum alvin
disitu, serasa begitu menohok dirinya.
Komentar
Posting Komentar