Another Way to Love Part 20
Tekadnya
sudah bulat, dia harus bisa melewati ini, anggaplah ini memang ganjalan
untuknya, dan seorang alvin tentu saja akan mampu melewati tantangan
ini. Alvin memandang temannya satu persatu, di sampingnya iel, melirik
ke arahnya dan mencoba memberi senyum penyemangat.
“Ehem..” alvin berdeham, tapi teman-temannya yang lain terus saja asik mengobrol sendiri.
“Ehem..ehem..”
reaksi yang alvin dapat tetap sama, tidak ada yang meresponnya. Alvin
menengok ke arah iel, dan mata iel menatapnya tajam, seolah mengatakan elo pasti bisa.
“Mohon
semuanya tenang dulu !” beberapa menoleh, tapi yang lain masih asik
mengobrol. Alvin benar-benar merasa putus asa, tangannya sudah terkepal,
ingin rasanya ia menggebrak meja di hadapannya.
“Yel,
shilla kemana sih ?” tanya alvin, iel hanya mengangkat pundaknya sambil
menggeleng. Biasanya shilla lah yang bisa mengendalikan keadaan.
“Oke
! sekarang semuanya terserah sama elo-elo pada. Tapi tugas gue di sini
sebagai ketua panitia, dan gue harap kalian sedikit aja respect sama
posisi gue !”
“Konsep
yang kemarin udah gue tunjukkin, udah di setujui sama dewan guru, dan
karena waktu yang semakin mepet, gue rasa kita semua harus mempersiapkan
itu dari sekarang. Keputusan ada di tangan lo semua, yang enggak setuju
sama konsep gue dan enggak mau bantuin gue, silahkan tinggalin ruangan
ini” alvin menatap tajam temannya satu persatu. Semua yang ada disitu
mulai diam, mencoba memahami kata-kata alvin. Kasak-kusuk mulai
terdengar, bisik-bisik satu sama lain, mengenai keputusan apa yang akan
mereka ambil.
“Gue
maklum kalo kalian butuh waktu, tapi tolong sekali ini aja, ini buat
vendas, bukan buat gue, bukan buat rio, juga bukan kalian, tapi ini buat
kita ! gue mau dekor art room buat acara pembukaan, kalo ada yang
berminat bantuin gue, gue akan sangat-sangat berterimakasih” tanpa
basa-basi lagi, alvin langsung meninggalkan ruang rapat. Sejujurnya ia
sudah muak disana, berlaku alim, dan berusaha menekan rasa emosinya,
tapi mau bagaimana lagi, hanya ini satu-satunya jalan untuk
memperjuangkan via.
Yang
tertinggal di ruang rapat, saling bertatap-tatapan, mereka sendiri
hanyalah orang-orang yang pada dasarnya tidak punya pendirian, dan hanya
terbawa arus.
“Gue kecewa sama lo semua !” ujar iel lantang.
“Gue
pikir, yang namanya anak vendas itu punya otak, apalagi kalian, semua
yang jadi panitia, adalah siswa-siswi terbaik di vendas, selalu seperti
itu kan ?! tapi apa sekarang, kalian bahkan enggak bisa bedain mana yang
prioritas dan mana yang enggak ?!”
Semua diam melihat iel yang terlihat begitu emosi.
“Bukannya
elo deket sama rio, masa sih elo mau kerjasama sama alvin ? lagian
siapa sih dia, cuma biang onar sekolah kan ?” seorang anak laki-laki,
memberanikan diri menatap iel tajam.
“Gue
emang sahabatan sama rio, tapi bukan berarti, gue jadi dangkal kaya
kalian semua ! gue sedih bukan rio yang jadi panitia acara ini, apalagi
ini harusnya jadi kerjaan buat kita, osis angkatan kita ! tapi bukan
berarti karena rio enggak jadi ketua panitia untuk acara ini, kita juga
jadi enggak bersemangat untuk ngadain acara ini ! gue enggak tahu alvin
salah apa sama kalian, tapi bisa enggak sih kalian kasih dia satu aja
kesempatan, dia udah mau berubah, tapi kitanya malah kaya gini..”
“Tapi dia kan mau jadi ketua panitia karena rebutan cewek sama rio !” teriak anak lain masih berusaha mematahkan argumen iel.
“Tolong
lupain bagian itu, itu masalah pribadi di antara mereka berdua. Kalo
dari gue, alvin enggak pernah salah sama gue, dia enggak pernah
ngerugiin gue, dia cukup baik untuk jadi seorang temen, jadi gue bakal
bantu dia. Sekarang tinggal lo semua deh, tanya ke diri lo
masing-masing, enggak perlu minta pendapat orang, kita semua yang ada di
ruangan ini udah cukup dewasa untuk nentuin mana yang harus kita pilih”
Iel
mencoba tersenyum di akhir kalimatnya, setelah itu, ia pun ikut
meninggalkan ruangan, menyusul alvin. Sementara yang masih ada di ruang
rapat, mulai bertanya pada hati nurani mereka masing-masing, mulai
mencari jawaban yang tepat, mulai berpikir terbuka dan logika. Tidak
banyak di ruangan ini yang mengenal alvin secara jelas, lebih banyak
yang hanya mengetahui alvin dari kabar yang beredar selama ini.
Kabar-kabar
yang menyatakan, alvin yang tukang berantem, yang suka bikin onar, yang
sering melanggar aturan. Tapi setidaknya beberapa hari ini mereka
bersama di ruang rapat, meski mereka semua mengacuhkan alvin, toh alvin
tetap menghadapi mereka sesabar mungkin, meski bisa saja ia menghabisi
mereka semua satu persatu.
Jadi dimana letak kesalahan alvin yang membuat mereka harus menolak untuk berkerjasama dengannya ?
Dari
balik pintu ruang seni, iel melihat dengan jelas, bagaimana alvin sibuk
menata ruangan, sibuk mengatur setiap letak dan posisi sesuai
keinginannya, dan untuk ini, iel harus mengakui, bahwa alvin memiliki
sense of art yang tinggi terhadap keindahan.
“Gue harus ngapain nih vin ?” alvin menatap iel kaget, iel hanya tersenyum melihatnya.
“Ehm...coba
deh lo kursinya sesuai daftar undangan yang ada disitu, nah letaknya lo
sesuain aja sama denah yang udah gue gambar” intruksi alvin sambil
menunjuk ke kertas-kertas yang berserakan di lantai. Iel hanya
mengangguk sambil mulai melihat rancangan denah alvin.
“Ini lo sendiri yang bikin denahnya vin ?”
“Iyalah, ada yang lain apa di ruangan ini ?”
“Wow, ini keren banget bro !” ujar iel tulus apa adanya. Alvin cuma nyengir doang.
“Itu
sederhana kali yel, anak sd bisa gambar jauh lebih bagus daripada gue”
alvin berusah ngeles meski diam-diam dia senang, ada seseorang yang
memuji hasil jerih payahnya.
“Sederhana
gigi lo peyang ! ini itu keren banget alvin ! kok lo enggak pernah
bilang lo bisa gambar sih ! ini aja baru sekedar sketsanya doang,
cenderung acak-acakan karena asal, tapi enggak ngurangin nilai
keindahannya” jelas iel panjang.
“Udah lah, ayo kerja lagi, masih banyak nih”
“Haha, kayanya lembur nih kita malem ini”
“Bukan
lembur lagi yel, kalo cuma berdua gini sih berhari-hari kali kita harus
nginep di sekolah” kelakar alvin yang membuat iel tertawa.
“Kalian
enggak cuma berdua kok, ada kita disini” alvin dan iel kompak menoleh
ke arah pintu. Iel hanya tersenyum melihat rombongan teman-teman
panitianya.
“Jadi kita harus ngapain nih vin ?”
Dengan
sabar, alvin mulai menjelaskan konsepnya, dan apa saja yang harus di
kerjakan oleh teman-temannya. Tidak peduli oleh waktu yang terus
berjalan, mereka semua terus bekerja.
“Enggak terasa nih uda jam enam, istirahat dulu deh, gue pesenin makanan”
“Ditraktir nih vin ?” tanya iel to the point.
“Iya..” jawaban alvin tentu saja langsung membuat wajah letih teman-temannya jadi semangat kembali.
“Pinjem hp lo dong yel” pinta alvin.
“Buat apa ? emang hp lo kenapa ?”
“Buat delivery lah, hp gue mati, lowbatt” iel menyodorkan hpnya, yang langsung di terima alvin sambil tersenyum.
Dari
pantulan kaca lift, shilla bisa melihat kondisinya yang berantakan,
tapi dia tidak peduli, dia hanya ingin segera masuk ke kamarnya, dan
menangis sepuasnya sendiri. Kata-kata rio beberapa jam yang lalu masih
terngiang jelas di telinganya, menambah setiap inci lukanya.
Shilla
berdiri membatu, ketika melihat pintu apartemennya terbuka lebar, dan
terlihat jelas kedua orang tuanya sedang menantinya dengan tatapan
tajam, entahlah apa lagi kesalahan yang telah shilla lakukan kali ini.
“Sore
ma, pa..” sapa shilla berusaha tersenyum. Mama dan papanya, memang
punya kunci cadangan untuk bisa masuk ke dalam apartemen shilla sesuka
hati mereka.
“Duduk
kamu !” perintah papanya dingin. Shilla hanya bisa mengikuti itu,
sambil mencoba berpikir, hal konyol apa yang telah ia lakukan
akhir-akhir ini.
“Mama
sama papa sengaja dateng kesini, tadinya kita mau ngajak kamu untuk
menemani kita berdua ke acara jamuan makan malam, tapi kamu tahu, apa
yang kita temukan ?” shilla hanya bisa menggeleng untuk menjawab
pertanyaan mamanya, yang lebih nampak seperti bos ketimbang ibunya.
“Mama kecewa sama kamu shilla !!” mamanya mengeluarkan laptop milik shilla.
Hati
shilla mencelos hingga ke dasar paling dalam. Hari ini dia memang tidak
membawa laptopnya, karena selain berangkat terburu-buru, laptopnya juga
masih ia charge tadi pagi.
“Shi..shilla enggak tahu maksud mama” ucap shilla terbata-bata.
“Jangan
pura-pura bodoh shilla ! atau memang kamu benar-benar bodoh ! berapa
kali mama bilang, jangan pernah bercita-cita selain menjadi seorang
pebisnis !!”
“Tapi shilla memang suka nulis ma” ratap shilla sambil menunduk.
“Nulis
?! laptop kamu penuh dengan tulis-tulisan konyol bukan tentang artikel
dan ulasan mengenai bisnis !!” teriak papanya lebih keras.
“Ma..maaf pa..”
“BRAKK
!!” di depan matanya, dengan kejam tanpa belas ampun, papanya mebanting
laptop shilla ke lantai, menimbulkan bunyi dentuman yang cukup
mengguncang jantung, menimbulkan pedih yang amat terasa di batin shilla.
Dengan matanya yang bening dan mulai berair, shilla meratapi laptopnya,
yang begitu menyedihkan, tergolek tanpa daya.
“PAPA
JAHAT !” raung shilla kencang. Raungan shilla itu cukup membuat kedua
orang tuanya terlonjak kaget, belum pernah reaksi shilla seperti ini.
“Berani kamu sama papa !”
“Papa sama mama jahat ! kapan sih kalian mau coba ngertiin shilla sedikit aja !”
“Plak !” tamparan papanya langsung melayang ke pipi shilla.
Dengan
tangannya shilla meraba pipinya yang terasa berdenyut, tapi sakit itu
lebih terasa di dalam hatinya, merasuk di setiap aliran darahnya, air
matanya telah mengalir deras sekarang.
“Apa
sih yang kurang dari shilla ? shilla selalu ngelakuin semua yang papa
sama mama mau, tapi pernah enggak papa sama mama mau sedikit aja
ngertiin kemauan shilla ? apa yang shilla suka ?” shilla menatap kedua
orang tuanya.
“Kalo
shilla boleh minta, shilla enggak pernah mau terlahir di keluarga ini
!” shilla berjongkok mengambil laptopnya, lalu ia langsung berlari masuk
ke dalam kamarnya. Mengunci pintunya dari dalam, dan menangis sepuas
yang ia mau.
Dengan
pandangan nanar, shilla meratapi laptopnya, yang berapa kalipun ia
coba, tetap tidak bisa menyala. Shilla melihat ke arah meja belajarnya,
kemudian ia meraih foto keluarganya, entahlah kapan foto itu di ambil,
yang jelas pasti sudah lama sekali.
Di
foto itu, mereka saling berangkulan, tersenyum bahagia ke arah kamera,
ada mamanya, deva, shilla dan tentu papanya. Sudah lama sekali momen
bahagia itu berlangsung, dan perlahan lenyap di serap olah pusaran
waktu.
Jiwanya
benar-benar rapuh saat ini, batinnya terkoyak, oleh orang-orang yang ia
sayangi, oleh orang-orang yang selalu membuatnya berusaha untuk menjadi
yang terbaik. Kilatan-kilatan kenangan bersama orang tuanya berpusar
cepat di otaknya, waktu-waktu yang penuh kepura-puraan, saat-saat ia
selalu berusaha menjadi sosok yang paling tegar. Kenangan itu berganti
dengan senyuman milik rio, senyuman yang selalu bisa menentramkan
jiwanya, senyuman yang selalu menjadi alasannya untuk terus bertahan.
Air
mata terus membanjiri pipinya, mengalir sebanyak yang ia mau, kumpulan
dari air mata-air mata yang selama ini ia tahan sendiri. Dengan langkah
gontai, sambil terus memegang erat figura foto tersebut, shilla berjalan
menuju kamar mandi. Menyalakan shower, membiarkan air membasahi sekujur
tubuhnya, membiarkan air matanya berpadu dengan air shower, melupakan
sejenak beban hidupnya, dan berharap untuk selamanya.
“PRANG !!”
***
Rio
mengerjapkan matanya, melihat kamarnya yang masih gelap, membuat ia
melirik ke arah jam tangannya, sudah pukul tujuh malam ternyata. Sesaat
rio hening, tapi kemudian ia langsung terduduk di tempat tidurnya,
bagaimana bisa di saat seperti ini ia malah tertidut pulas.
Dia
mengecek hpnya, tidak ada satupun sms ataupun telpon yang masuk selama
ia tertidur. Rio mencoba menelpon nomer yang sama seperti yang ia
lakukan sebelum ia tertidur. Dan hasilnya tetap sama, nomer tersebut
tidak aktif.
Setelah
mandi kilat dan berganti pakaian, rio langsung bergegas turun ke bawah,
dan menemui mamanya yang sedang menyiapkan makan malam mereka.
“Ma..”
“Apa yo ? bentar lagi masakannya mateng”
“Bukan itu. Rio mau nanya, alvin belum pulang ? tadi dia nelpon enggak ke rumah ?”
“Belum, dia bilang dia lembur malem ini di sekolah, tadi dia nelpon buru-buru, katanya hpnya lowbatt”
“Pantes..” gumam rio pelan.
“Kenapa yo ?”
“Hah ? oh enggak, enggak apa-apa. Ma, rio mau nyusulin alvin ke sekolah ya”
“Lho memang ada apa ?”
“Mau
bantuin aja” jawab rio singkat, lalu langsung ngacir. Mamanya cuma bisa
geleng-geleng kepala, sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan perbedaan
yang terjadi di rio dan perang dingin antara rio dan alvin saat ini.
“Lo rio ?” seorang laki-laki yang nampaknya lebih muda darinya, menghampiri rio saat rio ingin masuk ke dalam mobilnya.
“Iya,
lo siapa ?” tanya rio heran sambil memperhatikan anak itu lekat-lekat,
di merasa belum pernah bertemu dengan anak ini sebelumnya.
“Kenalin gue deva, gue adeknya shilla”
“Oh iya, kenapa ?”
“Lo
bisa ikut gue kan ? please..” rio tambah bingung melihat deva, ada
tatapan pengharapan dan kekhawatiran yang bercampur aduk di matanya.
“Ikut kemana ?”
“Enggak ada banyak waktu buat jelasin itu, tapi gue harap lo bisa ikut gue sekarang, kakak gue lagi butuh lo banget..”
“Oke-oke, tapi emang shilla kenapa ?” entah kenapa, rio langsung merasa waswas mendengar ini ada hubungannya dengan shilla.
“Gue jelasin di mobil, ayolah..” paksa deva yang membuat rio cukup bimbang.
“Tapi gue harus pergi ke tempat lain..” rio mencoba menolak, wajah alvin terus terbayang di depan matanya.
“Shilla
lagi kritis dan dia butuh elo !” mendengar kata-kata deva, membuat rio
terdiam di tempatnya. Ada apa ini, mengapa semua menjadi begitu
tiba-tiba dan membingungkan langkahnya.
“Udah
ayo cepetan !” ajak deva lagi, rio tidak bisa menolak lagi. Senyum
manis shilla, mata bening yang selalu memberinya kenyamanan, waktu-waktu
yang shilla berikan untuknya, nasihat-nasihat dari shilla, bahkan air
mata shilla terasa menari-nari di depan mata rio. Tanpa pikir panjang
lagi, rio langsung mengikuti deva, dengan sejuta pertanyaan di hatinya,
dengan sejuta kegundahan yang membebani pikirannya.
Sambil
meregangkan otot-ototnya, alvin melirik arloji yang melingkar di tangan
kanannya. Kadang pekerjaan dengan suasana yang menyenangkan, memang
membuat waktu menjadi berjalan terlalu cepat.
“Udah
jam delapan nih, lo pada pulang aja deh, lagian kan udah hampir
sembilan puluh persen jadi, sisanya tinggal yang kecil-kecil bisa di
lanjutin besok” ujar alvin ke teman-temannya. Teman-temannya mengangguk,
dan mulai membereskan peralatan-peralatan yang mereka gunakan.
Satu
persatu, mereka mulai pulang dan lama-lama hanya meninggalkan alvin dan
iel berdua lagi di ruangan itu, entahlah, tapi mereka berdua tampaknya
masih tampak asik menekuni pekerjaan mereka.
“Eh, udah sana pulang lo yel, ngeyel banget sih”
“Elo aja belom pulang” balas iel sambil nyengir.
“Nanggung abisan nih, bentar lagi jadi”
“Emang lo lagi ngelukis apa sih ?” tanya iel penasaran sambil berjalan ke arah alvin.
“Eits
! diem di tempat lo ! udah gue bilang kan, jangan lihat gambar gue
dulu, entar aja, biar surprise” kata alvin. Iel hanya bisa melengos.
Memang sudah sejak sejam yang lalu, alvin diam di balik kanvasnya, di
sudut ruangan, menikmati kegiatan melukisnya, yang gambarnya ia
rahasiakan dari teman-temannya.
“Kasih gue lihat dikit aja kenapa sih vin ?” tanya iel penasaran.
“Udahlah, yang jelas entar pas pembukaan, baru deh boleh gambar ini di buka”
“Ah pelit lo” cibir iel yang membuat alvin terkekeh.
“Udah sana lo balik” perintah alvin lagi.
“Iya-iya
ketua, ini gue juga mau balik..” lagi-lagi alvin terkekeh, mendengar
iel memanggilnya ‘ketua’ hal itu terasa janggal untuknya.
“Duluan
ya bro..” ujar iel yang di balas jempol sama alvin. Sepeninggal iel,
alvin terus melukis, terus mencurahkan apa yang ada di dalam pikirannya,
apa yang ada di dalam hatinya. Kadang ia berdiri sebentar, untuk
sekedar meregangkan otot-otot badannya, setelah itu ia kembali asik
menghadap kanvasnya, menggoreskan kuasnya, membentuk mahakaryanya.
Alvin
tersenyum puas, mendapati lukisannya telah selesai, alvin memandangi
lukisan tersebut dalam diam, sejenak. Kemudian ia membereskan alat-alat
melukisnya, dan memindahkan lukisannya ke
atas panggung, tidak lupa ia tutupi lukisannya itu dengan kain putih,
agar tidak ada orang lain yang melihatnya sebelum acara pembukaan.
Sedikit
terkejut, karena jarum jam telah berpacu cepat, dari teakhir kali ia
mengeceknya. Kini jarum jam tersebut, tengah menunjukkan angka, sebelas
malam. Alvin memakai helmnya, dan mulai memacu motornya di tengah
gelapnya malam.
Perasaannya
mengatakan ada sesuatu yang ganjil yang mengikutinya sejak tadi, itu
juga yang membuat alvin terus-terusan mengecek kaca spionnya. Tapi yang
ia lihat selalu saja jalan yang kosong di belakangnya. Alvin mencoba
fokus, ia terus memacu motornya, toh sebelum ini ia telah berkali-kali
pulang malam, bahkan sering lebih larut dari pada ini.
Tinggal satu belokan lagi, dan
alvin akan segera sampai rumah dan bisa mengistirahatkan tubuh serta
pikirannya. Sedikit menambah kecepatan, alvin menggas motornya lebih
kencang, tepat ketika ia menyadari, sebuah jeep sedang melaju dengan
amat kencang ke arahnya. Alvin mencoba menghindar, tapi terlambat, ujung
bemper jeep tersebut telah mengenai ujung motor alvin.
“BRUUKK
!!” kecepatan yang tinggi, membuat badan alvin terlempar dari motornya,
melayang dan jatuh tak berdaya menyentuh aspal. Sementara pengemudi
mobil jeep itu, hanya tersenyum melihat kondisi alvin, kemudian ia
mengambil handphonenya, dan menelpon seseorang, untuk memberi tahu kabar
ini secepat mungkin.
Komentar
Posting Komentar