Another Way to Love Part 4
Via
memandangi hujan yang semakin deras dari jendela kamarnya. Tangannya
mengenggam erat sebuah bingkai poto, tapi matanya kosong. Dia alihkan
pandangannya dari hujan ke dua objek yang terdapat di poto tersebut,
alvin dan rio.
“Apa
lo udah pulang vin ? atau sekarang lo masih berantem sama anak vailant”
entah sadar atau tidak, via bergumam sendiri. Kenapa alvin yang
memenuhi pikirannya sekarang ? mengapa bukan rio saja ? bukankah status
rio adalah pacarnya, yang lebih pantas memenuhi isi otaknya.
Dari
dulu, via selalu bangga akan kedua sahabatnya itu. Rio yang selalu baik
dan perhatian padanya, dan alvin yang meskipun menyebalkan tapi selalu
ada untuknya. Tidak pernah terpikir olehnya, kalo akan ada hari dimana
dia dan salah satu sahabatnya, mengubah rasa kesetiakawanan itu menjadi
cinta.
Dia
menumpukan kedua tangannya di dadanya, entah mengapa dadanya sesak,
entah mengapa ia merasa ada yang ganjil di hidupnya saat ini, entah
mengapa ia merasa pikiran dan hatinya tidak sedang ada di jalur yang
sama, perlahan air matanya mengalir sendiri, dia tidak tahu pada siapa
ia harus mengadu sekarang, dan alvin ataupun rio, benar-benar bukan
orang yang tepat, untuk mendengarkan kegundahannya saat ini.
Shilla
menekuni hobinya membaca novel, hal yang paling mujarab yang bisa
menghilangkan rasa suntuknya selain menyanyi. Ingin rasanya ia berteriak
sekuat mungkin untuk melepaskan segala hal yang ada dalam hatinya. Tapi
seperti biasa, perasaan-perasaan itu hanya ia simpan dan endapkan di
hatinya sendiri.
“Tok..tok..tok..” shilla meletakkan novelnya, dan meliohat siapa yang datang ke apartemennya malam-malam begini.
“Deva..”
“Hai
kak” deva langsung nyelonong masuk, membiarkan shilla masih berdiri di
depan pintu apartemennya dengan bingung, tapi kemudian ia mengikuti
deva, dan duduk di samping deva.
“Lo kebiasaan deh, kalo pulang enggak bilang-bilang, kan gue bisa jemput lo dev”
“Ya
elah kak, lo kaya enggak tahu gue aja sih. Eh laper nih, masak enggak
lo ?” shilla tersenyum gemas melihat adek satu-satunya itu, yang hanya
berjarak satu tahu dengannya. Dia berjalan ke dapur, lalu mulai
menyalakan kompor, bersiap manasin spagheti, menu makan malamnya kali
ini.
“Lo pasti belum pulang ke rumah kan ?” deva mendatangi shilla di dapur, sambil nyengir.
“Malah
stres gue kak kalo balik ke rumah, mending kesini, lagian gue kangennya
cuma sama lo doang” shilla hanya menatap adeknya itu sekilas. Enggak
sampai lima menit kemudian, ia menyodorkan sepiring penuh spagheti itu
untuk deva. Dalam diam, dia mengamati adeknya yang makan sangat lahap
itu.
“Jangan
lupa makan dev, lo kaya orang enggak makan setahun tahu enggak ? lihat
deh badan lo kurus gitu, muka lo juga enggak cerah, banyak-banyakin
sayur sama buah dev, jangan gara-gara sibuk lo jadi cuma ngandelin junk food doang, terus juga....”
“Buset deh kak, ceramah lo masih ini-ini aja deh” sela deva cepat sebelum shilla melanjutkan komentarnya.
“Haha, sori deh sori. Gimana hidup lo disana ? pasti seru ya”
“Biasa
aja ah, cuma sekolah, apartemen dan sibuk sama pementasan-pementasan
gue, bulan kemarin gue baru selesai pentas, yang videonya gue kirim ke
elo, bagus kan ? sayang banget lo enggak datang”
“Hei
boy ! lo pikir jakarta-sidney itu deket ? lagian waktu itu gue lagi
sibuk. Tapi gue udah lihat kok, dan gue suka banget, akting sama tarian
lo keren, keren banget” puji shilla tulus.
Deva
adalah seorang pelajar yang mengambil program teater-musik dan tari di
australia. Dari kecil dia memang suka dengan hal-hal seprti itu. Buatnya
lewat semua media itulah dia bisa mengekspresikan emosi jiwanya.
Dirinya sangat berbeda dengan shilla, kalo shilla cenderung lebih
mementingkan orang lain dan menutupi perasaannya, deva adalah orang yang
sangat ekpresif, selalu bilang apa yang dia rasa apapun itu dengan
sejujurnya.
Apalagi
keadaan keluarga mereka yang tidak seharmonis keluarga lainnya. Shilla
dan deva terlahir di keluarga pebisnis yang sibuk dan penuh dengan
keegoisan orang tua mereka masing-masing. Itu sebabnya deva memilih
sekolah di luar negeri dan shilla memilih untuk tinggal di apartemen
dekat sekolahnya.
“Lo
lagi ada masalah ya ?” tanya deva sambil melihat shilla yang
melanjutkan membaca novelnya setelah selesai nemenin deva makan.
“Masalah ? enggaklah, gue baik-baik aja kok”
“Gue
udah jadi adek lo selama hampir 16 tahun, walaupun kita sering enggak
ketemu, tapi gue bisa lihat di mata lo yang sayu itu tahu enggak ? sampe
kapan sih shil lo bakal jujur sama perasaan lo sendiri ?” shilla
menatap deva sambil tersenyum, memang hanya deva yang tahu apa yang
shilla rasa selama ini.
“Ya
lo kaya enggak tahu aja sih dev, di umur-umur kita ini kan, masalah
lagi gencar-gencarnya dateng ke kita, dan gue masih cukup sanggup buat
nahan ini sendiri.
“Lo
lagi suka sama seseorang ya shil ? ayolah curhat sama gue..” deva
melirik ke arah shilla, dia mengambil paksa novel yang shilla pegang dan
meletakkanya begitu saja.
“Kok lo maksa sih ? lagi seru itu gue bacanya”
“Bisa
entar lagi kan bacanya ? lo enggak capek aja terus-terusan masang muka
sok baik-baik aja gitu, padahal dalem rapuh banget, entar lama-lama lo
bisa jadi gila tahu enggak” deva memang selalu berkata apa adanya,
enggak peduli sama siapapun.
“Hmm...gue emang enggak pernah menang kalo debat sama lo, gue....”
“Drrrt..drrrt...drrrt...”
hp shilla bergetar, menandakan telpon masuk. Shilla melihat siapa yang
menelponnya malam-malam begini, ternyata mamanya. Deva membisiki shilla
supaya tidak memberi tahu keberadaannya disini.
“Halo ma..” sapa shilla.
“Shil, besok kamu adab acara enggak ?”
“Enggak ada sih ma, besok shilla free, kan libur, kenapa ?”
“Ya udah besok kamu dateng ya ikut mama sama papa ke acara pertemuan bisnis”
“Harus ma ?”
“Iya dong sayang, kamu tahu kan, kalo mengenal relasi dengan baik adalah salah satu kunci kesuksesan dalam berbisnis”
“Iya ma, besok shilla langsung, atau ?”
“Kamu ke rumah dululah, kita berangkat bareng, biar orang tahu kalo keluarga kita harmonis”
“Oh ya udah ma. Mama sama papa sehat kan ?”
“Ya udah sayang, besok jam tujuh malem. Mama lagi buru-buru nih, miss you”
“Miss..”
Klik. Telpon telah ditutup begitu saja, sebelum shilla mengakhiri kata-katanya. Dia hanya dapat menghela napas.
“Kenapa ? suruh dateng lagi lo ke acara bisnis-bisnis enggak penting itu ?” tanya deva.
“Apalagi sih dev ? mama enggak akan nelpon gue, kalo enggak ada hal kaya gini”
“Lo
sih enggak pernah nolak, pasrah banget jadi orang. Sekali-kali lo speak
up dong, bilang kalo lo enggak suka sama hal-hal kaya gitu, selama lo
enggak ngomong, mereka enggak akan tahu perasaan lo” nasihat deva
panjang lebar, dia emang udah gedek banget sama kakaknya yang menurutnya
terlalu pasrah jadi orang.
“Mana
bakal mereka dengerin gue dev. Udahlah, thanks ya buat semua perhatian
lo, lo tidur gih sana, pasti lo capek dan agak jet lag. Gue siapin kamar
lo dulu ya” shilla beranjak pergi ke arah kamar tamu. Deva cuma bisa
pasrah melihat kakak satu-satunya itu, kadang dia kasian ngelihat
kakaknya yang menurut dia lama-lama bisa ngalamin tekanan batin kalo
kaya gini terus keadaannya.
***
Meski
dengan penuh perasaan terpaksa alvin tetap ikut makan di meja makan
bareng keluarganya. Papa dan mamanya pulang pagi ini. Alvin tahu papanya
udah bakal interogasi dia saat melihat mukanya yang penuh dengan luka
lebam, tapi mamanya berhasil meredam itu.
“Yo,
nanti malem kamu ikut papa sama mama ke acara pertemuan bisnis ya” kata
papanya yang cenderung terdengar seperti perintah ketimbang ajakan.
“Rio ada janji pa”
“Ini
lebih penting yo, kamu tahu itu kan, cuma kamu yang bisa papa andalkan”
papanya berkata dengan nada tegas. Rio, mamanya dan acha menoleh ke
arah alvin yang seolah tidak peduli dengan kata-kata papanya barusan,
dia terus saja menekuni makanannya.
“Iya pa, entar malem rio ikut” papanya tersenyum mendengar jawaban rio.
“Alvin enggak ikut pa ?” tanya mamanya.
“Buat
apa ? buat ngerusak acara ? atau buat bikin malu ?” acha yang duduk di
samping alvin, menggenggam tangan kakaknya itu erat. Alvin sendiri
mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia benar-benar tidak ingin ribut
hari ini. Semua hening, melanjutkan makanan mereka masing-masing.
“Alvin
udah selesai, duluan” ujar alvin ke arah mamanya lalu pergi
meninggalkan ruang makan begitu saja. Rio ingin menyusul alvin, tapi
papanya masih terus mengajaknya berdiskusi tentang acara bisnis itu.
Alvin
menendang-nendang bolanya di halaman belakang rumahnya. Seandainya ia
bisa benar-benar merasa tidak peduli akan kata-kata yang terucap dari
mulut papanya sendiri. Tapi tetap saja perih itu muncul dengan
sendirinya sekuat apapun alvin berusaha cuek mengahadapinya.
“Bro..”
“Kenapa yo ? sabar ye, pasti lo bosen denger dia ngoceh tentang bisnis enggak penting itu..hehe..”
“Haha..eh gue mau minta tolong nih”
“Apaan ?”
“Entar malem sebenernya gue udah janji mau ngajak via jalan, tapi kan enggak mungkin, entar lo gantiin gue ya”
“Lo kan tinggal bilang enggak jadi ke via, susah amat”
“Gue
enggak mau ngebatalin itu, enggak enak, lagian lo tahu sendiri kan gue
udah sering ngebatalin janji sama dia. Ayolah vin, lo gantiin gue ya”
bujuk rio.
“Nanti orang ngira gue apa ? masa gue jalan sama cewek saudara gue sendiri”
“Ya elah, peduli amat apa kata orang sih vin, masa lo tega sih ngebiarin via malem minggu ini sendirian..hehe..”
“Ya enggak masalah lah yo”
“Alvin,
gue mohon. Kalo enggak gue tetep jalan sama via lo yang gantiin gue di
acara itu deh” kata rio sambil tersenyum nakal, dia tahu alvin bakal
milih pilihan pertama.
“Hah, ya udah deh, iya gue temenin via jalan” jawab alvin pasrah sambil berlalu meninggalkan rio.
Setelah
memulaskan bedak tipis di wajah putihnya, via memandang sekali lagi
wajahnya di cermin. Ini adalah malam minggu pertamanya bersama rio. Via
mencoba tersenyum, setelah malam ini dia harus lebih memastikan
perasaannya terhadap rio.
“Non, temennya udah dateng..” via mengambil cardigan pink dan tasnya. Dia menatap cermin sekali lagi.
“Kasih
senyum termanis lo buat rio vi, lo pasti bisa” ujar via pada dirinya
sendiri, kemudian dia keluar dari kamarnya, menuju ruang tamunya.
“Yo..eh alvin ? ya ampun muka lo kenapa ?” via beneran kaget, kenapa alvin yang duduk di ruang tamunya.
“Gue jelasin di mobil aja deh, ayo ah”
“Lo bawa mobil ?”
“Mobilnya
rio” jawab alvin pendek sambil keluar dari rumahnya via. Via cuma bisa
ngekorin doang, setahu dia alvin paling males naik mobil kalo enggak
beneran terpaksa.
“Rio
terpaksa harus ikut sama orang tua gue ke acara pertemuan bisnis, dan
dia berhasil maksa gue buat nemenin lo jalan malam minggu ini. Kalo
masalah muka gue, ya lo tahu sendirilah” jelas alvin.
“Lo terpaksa ya jalan sama gue ?” tanya via yang agak enggak nyaman sama sikapnya alvin yang jauh lebih dingin dari biasanya.
“Lo mau kemana ?” tanya alvin enggak perduliin pertanyaan via.
“Terserah lo aja deh”
“Terserah gue, gue ajak ke kafe nonton bola bareng nih”
“Yaa, alvin mah, jangan gitu dong, udah tahu gue enggak suka bola. Ke mall aja deh, kita jalan, makan, nonton”
“Ya
udah” alvin cuma diem memacu mobilnya. Via pun ikutan diem, enggak tahu
juga mau ngajak ngomong apa. Mobil mereka pun memasuki parkiran sebuah
mall.
“Penuh vin..” ujar via sambil ngelihat-lihat kanan-kiri ikut merhatiin parkiran.
“Gini aja deh vi, lo gue turunin di lobby, biar entar gue parkir di seberang jalan aja, gimana ?”
“Terserah lo aja deh” jawab via. Lalu alvin pun menurunkan via di lobby, sementara alvin memarkirkan mobil di seberang jalan.
“Sekarang mau ngapain vin ?”
“Terserah lo, kan elo yang ngajak gue ke mall”
“Ya
udah kita nonton aja yuk” alvin pasrah aja tangannya di tarik via
menuju bioskop. Hatinya bergetar, ingin rasanya ia mengembangkan senyum
di wajahnya, tapi entah kenapa, setiap niat itu muncul, wajah rio selalu
terbayang di pikiran alvin.
“Mau nonton apa vin ? dan please jangan jawab terserah lagi, oke”
“Apa
aja boleh deh vi” ujar alvin cuek yang sebenernya bikin via gondok,
tapi mau apa lagi. Via pun memilihkan film untuk mereka berdua, sebuah
film bergenre romantis. Alvin cuma melengos saat mengetahui apa film
yang via pilih, tapi mau gimana lagi dia kan udah pasrahin itu ke via.
Enggak
ada yang bener-bener menonton film itu penuh konsentrasi. Alvin sibuk
dengan perasaan bersalahnya akan kesenangan liar yang merasuki hatinya
dan via entah mengapa meskipun alvin terasa sangat menyebalkan saat ini,
tapi dia tetap merasa sangat nyaman dengan alvin.
Kenapa
gue seneng banget dengan adanya via di samping gue ? ini pertama
kalinya gue pergi malam minggu berdua sama cewek, dan itu via. Tapi ini
via, ceweknya rio, saudara gue sendiri, orang yang udah gue anggep lebih
dari seorang sahabat dan adek, orang yang udah percayain via ke gue,
arggh, gue kenapa sih ?!! alvin benar-benar kacau sama pikirannya yang berkecamuk.
Kenapa
sekarang gue malah jalan sama alvin ? dan kenapa rasa nyaman itu lebih
besar saat ini. Apa gue salah sekarang ? apa yang harus gue lakuin ?
kenapa enggak ada kesempatan buat gue untuk mantepin pilihan gue sama
rio, sebenernya apa sih yang gue rasain sekarang ??
enggak ada bedanya sama alvin, via pun terlalu sibuk akan perasaannya
yang tidak pasti, dan logikanya yang tidak lagi sejalan dengan hatinya.
“Eh
udah selesai ya ?” tanya via, yang baru sadar waktu lampu bioskop udah
dinyalakan dan orang-orang udah mulai berduyun-duyun keluar.
“Tumben enggak nangis vi ?”
“Hah ?”
“Iya,
kan filmnya tadi sedih kan ? tumben lo enggak nangis ?” alvin yang
sebenernya juga enggak nonton sama sekali, cuma nebak-nebak doang.
“Hehe, kurang menjiwai kali ya gue. Sekarang kita mau kemana vin ?”
“Makan
aja yuk, gue laper” ajak alvin, via cuma ngangguk terus keluar bioskop
bareng alvin. Mereka berdua jalan dalam hening, enggak ada yang mulai
membuka obrolan satu sama lain, enggak ada yang tahu juga mau ngobrolin
apa.
“Bruukk”
“Auww” via terjatuh setelah badannya tidak sengaja tertabrak seorang laki-laki yang tampaknya sedang terburu-buru.
“Woi ! pake mata dong lo !” teriak alvin sambil nahan orang itu.
“Maaf mas, mbak..saya lagi buru-buru..”
“Lo
pikir ini mall punya lo doang apa ? jalan seenak jidat lo ? kalo temen
gue kenapa-napa gimana ?!” alvin masih terus menahan orang itu,
sementara via yang sebenernya jatuh cuma karena kaget itupun berusaha
buat ngeredain emosi alvin.
“Udahlah vin, dia kan udah minta maaf”
“Tuh mas, mbaknya aja udah maafin saya, kok masnya yang sewot” ujar orang tersebut.
“Kok lo nyolot sih ! mau ribut lo sama gue ?!” alvin menarik kerah baju orang tersebut.
“Udah vin udah, maaf ya mas..” via langsung narik tangan alvin menjauh dari orang itu.
“Kok malah lo yang minta maaf sih vi ? jelas-jelas dia yang salah ! lo enggak apa-apa kan ?” via tersenyum melihat alvin.
“Kenapa lo senyum-senyum ?” tanya alvin bingung.
“Lo
tuh ya, kebiasaan banget deh. Sukanya marah-marah duluan sama orang,
baru deh tanya guenya baik-baik aja atau enggak..hehe..” jelas via.
Alvin cuma nyengir, dia garuk-garuk kepalanya yang enggak gatel sama
sekali.
“Ya
udah kita makan disana aja yuk” via menunjuk ke arah sebuah restauran
makanan jepang, alvin mengangguk tanda setuju dan mereka berdua pun
segera pergi ke restauran itu, yang bikin via cukup speechless adalah
ketika tiba-tiba alvin menggenggam tangannya erat.
Dengan
gerakan cepat, rio membuka dasinya, melepas jasnya dan menggulung
lengan kemejanya sampai kesiku. Tangannya sama bibirnya udah pegel dari
tadi, salaman sama senyum ke semua orang.
“Gue duduk disini ya” ujar rio ke seorang cewek yang sedang duduk di sebuah bangku sendirian.
“Duduk aja, eh rio ?”
“Shilla ?”
“Lo ternyata ikut juga di acara ini ?” tanya shilla sambil mempersilahkan rio duduk di sampingnya.
“Iya..hehe..lo sendiri ? gue enggak nyangka kalo lo tertarik sama bisnis shil”
“Gue cuma pengen nurut sama kata-kata orang tua gue doang kok”
“Anak yang baik banget lo, sama kaya gue..hehe..”
“Tetep aja ya narsis lo..hehe..gue kira lo malem mingguan sama via ? ini malem minggu pertama kalian sebagai pacar kan ?”
“Tadinya
sih gitu, tapi bokap gue maksa mau gimana lagi. Jadinya gue suruh alvin
aja deh gantiin gue nemenin via jalan” shilla menatap rio heran, kok
ada cowok yang nyuruh ceweknya jalan sama cowok lain.
“Gue baru lho yo, nemuin cowok kaya lo gini..hehe...”
“Emang gue cowok kaya apa ?” tanya rio bingung.
“Ya, mana ada sih cowok yang nyuruh ceweknya jalan sama cowok lain, kan aneh aja gitu” jelas shilla.
“Haha,
enggak banget deh gue jealous sama alvin, dia itu orang yang paling gue
percayalah, gue malah lebih tenang kalo via sama dia..hehe...”
“Iya
deh iya..” lalu obrolan mereka pun terus berlanjut satu sama lain,
setidaknya, mereka berdua enggak ngerasa bosen sama acara yang
sejujurnya enggak pernah pengen mereka datengin ini.
Komentar
Posting Komentar