Another Way to Love Part 8
Karena
siang ini begitu terik, via memutuskan untuk menunggu rio di
perpustakaan. Via sendiri bingung, kenapa akhir-akhir ini, rio begitu
perhatian padanya. Bukannya via enggak seneng, tapi hal itu malah
membuatnya merasa sedikit aneh.
“Vi..host..host..sori..” rio yang tampak sekali habis berlari berusaha mengatur napasnya.
“Kenapa yo ? duduk dulu gih..”
“Sori,
masih ada beberapa urusan yang belum selesai, aku juga lupa kalo hari
ini, aku ada janji sama guru buat ngebahas peraturan baru, enggak
apa-apa kan nunggu aku sebentar lagi ?” via menatap ke arah rio,
laki-laki itu telah berlari, dari lantai 1 gedung A ke lantai 3 gedung
B, hanya sekedar untuk mengucapkan sesuatu yang bahkan bisa di sampaikan
lewat sms.
“Ya
ampun yo, aku kirain ada apaan gitu. Kan kalo cuma kaya gini doang,
kamu bisa telpon aku atau smslah. Atau aku ganggu kamu ya ? kamu enggak
konsen lagi entar rapatnya, ya udah aku telpon alvin aja ya, aku min...”
“Jangan
vi ! kamu tunggu aja disini, aku janji, aku enggak bakal lama, pokoknya
kamu pulang sama aku, oke..” via sedikit kaget dengan reaksi rio, yang
langsung mencegah tangannya saat ia meraih hpnya untuk menghubungi
alvin.
“Ehm..i..iya yo, aku tunggu kamu disini”
“Ya udah, aku balik kesana dulu ya, take care..” rio mengusap lembut pipi via.
“Good luck yo..” ujar via samil tersenyum, yang juga di balas senyum oleh rio.
Via
memandangi punggung rio yang semakin menjauh, lalu menghilang. Dia
teringat, akan tatapan tajam rio tadi saat dia ingin menghubungi alvin.
Apa benar kata alvin tempo hari, bahwa rio mulai cemburu, apakah via
memang harus sedikit menjauh dari alvin sekarang, tapi pertanyaan paling
besar di otaknya adalah, apakah via benar-benar bisa menjauh dari alvin
?
Dengan
sedikit terburu-buru, rio menyusuri koridor sekolahnya. Di tangannya
ada setumpuk laporan yang telah ia susun. Shilla dan beberapa anggota
osis lainnya telah menunggu di ruang guru.
“Maaf saya telat..” ujar rio.
“Ya
sudah, ayo kita segera mulai rapatnya” kata seorang guru. Rio langsung
membagikan laporan dan slide yang telah ia buat. Dengan lancar dia mulai
menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan, di bantu oleh shilla, dan
anggota lainnya.
“Drap..drap..drap..”
terdengar suara langkah yang terkesan tergesa-gesa ke arah ruangan
mereka. Rio berinisiatif untuk keluar ruangan dan mencari tahu.
“Pak dito ? ada apa ?” rio kebingungan melihat satpam sekolah mereka, berjalan cepat ke arahnya dengan wajah panik.
“Itu mas rio, ada anak dari sekolah lain, yang bersiap masuk dan nyerbu sekolah ini !”
“Vailant ?”
“Mungkin, saya kurang tahu, yang jelas, mereka sangat susah untuk di bendung”
“Ya
udah ayo pak..” tanpa menjelaskan apapun, rio langsung ikut berlari
bersama satpam sekolahnya ke arah gerbang depan. Dan benar saja, di
depan gerbang sekolah mereka telah berkumpul, anak-anak vailant yang
siap tempur. Padahal ini sudah jauh dari jam pulang sekolah, sudah tidak
lagi anak vendas yang bisa di harapkan.
Rio
tahu, dia tidak akan menang melakukan ini. Dia bukanlah alvin yang
menguasai ilmu bela diri dan suka berantem. Rio adalah orang yang lebih
suka menyelesaikan segala sesuatunya dengan otak bukan dengan fisik.
“Lo semua pada mau ngapain kesini ?!” tanya rio lantang.
“Siapa
lo ?! gue enggak pernah ngelihat lo ribut sama kita ?!” rio membaca
nama yang tertera di seragam anak tersebut sekilas, ‘riko ? oh jadi ini
yang sering berantem sama alvin ?’ kata rio dalam hati.
“Gue ketua osis disini !”
“Ketua osis ?! eh lo bilang ya sama temen lo, jangan ada yang berani deketin adek gue !”
“Adek lo ? ah gue enggak ngerti sama apa yang lo omongin !”
“Enggak usah neglindungin gitu deh ! temen gue jelas-jelas ngelihat kemarin, adek gue jalan sama anak vendas !”
“Tanyalah ke adek lo kenapa dia mau jalan sama anak sini !”
“Ah bacot lo !”
“Bug
!” tanpa basa-basi, riko langsung melayangkan tinjunya ke rio, rio yang
enggak siap apa-apa, langsung tersungkur jatuh ke tanah.
“Serang
woi !!” perintah riko ke temen-temennya. Anak-anak vailant itu langsung
menyerbu masuk ke halaman vendas. Satpam-satpam yang berjaga, enggak
ada tandingannya dengan mereka yang main keroyokan. Rio sendiri berusaha
bangkit dan melawan riko, meski ia tahu, riko sama sekali bukan
lawannya.
Sementara
itu, shilla dan iel, teman-temannya dan juga para guru bingung, kenapa
rio tidak kembali-kembali. Iel yang suntuk, memutuskan untuk
melihat-lihat kondisi dari jendela, dia sedikit bingung, melihat mengapa
ada banyak motor yang bersliweran di halaman sekolah mereka.
“Pak ..ada tawuran di bawah !” lapor seorang anak. Semua yang ada disitu langsung menoleh ke arah anak tersebut.
“Tawuran ? tawuran apa ?” tanya guru mereka.
“Anak
vailant nyerbu kesini !” tanpa pikir panjang, iel dan anak cowok
lainnya, serta beberapa orang guru, langsung bergegas turun ke bawah.
Diam-diam, shilla mengkhawatirkan rio, tapi dia teringat, sebelum
kesini, rio bilang padanya, bahwa ia ingin menemui via di perpustakaan.
Shilla pun ijin ke perpustakaan, feelingnya mengatakan, via pasti belum
tahu soal ini.
“Vi..”
“Shilla ? kenapa ?” tanya via sambil menutup buku yang sedang ia baca.
“Bisa
ikut gue keluar sebentar, kalo disini enggak enak ngobrolnya” meski
bingung, via tetap mengikuti ajakan shilla. Shilla menutup pintu
perpustakaan, entah mengapa perasaan via sedikit tidak enak, di tambah
dengan suasana lorong tempat mereka berdiri yang cukup sepi.
“Di
bawah ada tawuran vi, anak vailant nyerbu kesini, dan rio kayanya lagi
usaha beresin itu, tapi dia belum balik dari setengah jam yang lalu”
“Alvin”
via reflek mengeluarkan handphonenya. Sementara shilla menatap via
heran, bagaimana mungkin via malah menyebut nama cowok lain disaat
pacarnya sedang berantem.
“Vin..angkat dong..alvin..” via berjalam mondar-mandiri di depan shilla, tersirat kecemasan di wajah putihnya.
“Alvin
! vin, lo dimana sekarang ? vin, anak vailant ke sekolah, mereka nyerbu
kesini, rio lagi usaha nanganin mereka, tapi gue ju...” via menatap
handphonenya, yang sambungannya baru saja di putuskan oleh alvin secara
sepihak, padahal ia belum menuntaskan bicaranya.
“Shil, ayo kita ke bawah..” ajak via smabil menarik shilla, tapi shilla menahannya.
“Enggak aman vi, lebih bagus kalo kita tetep bertahan di dalam gedung”
“Rio enggak bisa berantem shil, dia enggak jago soal ginian. Cuma alvin yang bisa ngatasin hal kaya gini..”
“Lo
tenang dulu vi, sekarang lo ikut gue ke ruang guru aja ya, anak-anak
yang masih ada di sekolah juga di evakuasi kesana kok. Kalo lo turun, lo
malah bisa jadi sasaran amukan mereka juga” via tahu apa yang shilla
bilang benar, dia pun setuju untuk ikut shilla ke ruang guru.
Keadaan
benar-benar tidak imbang, antara kubu vailant dan vendas. Meski
perkelahian ini terjadi di vendas, tapi kubu vendas jelas-jelas kalah
jumlah. Selain sudah banyak anak vendas yang pulang, para jagoan yang
bisa berantem juga udah enggak ada di vendas.
Keadaan
rio sudah sangat parah, dia berhasil memukul riko satu kali, tapi entah
sudah berapa puluh kali pukulan riko untuknya. Darah segar mengalir
dari sudut bibir rio, tapi dia sendiri juga tidak ada ide lain selain
terus menahan riko.
“Gila cemen banget lo !”
“Diem lo..” balas rio lirih.
“Hah
! apaan ? bangun dong lo, bangun...” riko menarik kerah rio, agar rio
berdiri tegak di hadapannya. Dia tersenyum sinis, menyaksikan lawannya
dapat ia kalahkan dengan mudah. Dalam satu gerakan singkat, riko
mengangkat tangannya, siap memberi rio sebuah tonjokkan lagi.
“Bug ! lepasin tangan lo dari dia !” riko menoleh, melihat siapa yang menonjoknya, ternyata musuh abadinya, alvin.
“Akhirnya lo datang juga, pertarungan ini jadi enggak seru tanpa hadirnya lo !”
“Lo lawan gue ! dan lepasin dia !” perintah alvin.
“Segitu pentingnya dia buat lo ?!” riko menunjuk rio yang masih ia cengkram kerahnya.
“Ini
ketiga kalinya gue ngomong ! lepasin saudara gue !” alvin gantian
menarik kerah riko. Dengan sekali pukul, ia dapat membuat riko jatuh.
Tapi riko bukanlah lawan yang kacangan.
Dan
seperti sudah kebiasaan, pertarungan sengit antara mereka berdua pun
dimulai, alvin dan riko mulai saling serang, saling memukul, menendang,
dan mencari celah untuk menjatuhkan lawan mereka. Berkali-kali sama-sama
terjatuh, berkali-kali juga mereka bangun dan melanjutkan perkelahian
itu. Tidak peduli akan darah yang menetes, tidak peduli akan nyeri di
tubuh mereka, yang mereka pedulikan cuma satu, sebuah kemenangan atas
gengsi diri masing-masing.
“Jangan
sekali lagi, gue denger lo sama temen-temen lo, masuk ke sekolah gue !”
alvin menahan riko dengan tangannya, posisi riko sudah tersudut, susah
untuknya melawan alvin.
“Pergi
lo ! bawa semua antek lo ! dan inget kata-kata gue !” lanjut alvin
lagi. Riko hanya menatapnya sinis, tapi tidak ada alasan lagi untuknya
melanjutkan perkelahian ini, ia melihat, meski ia kalah dari alvin, tapi
secara keseluruhan, vailant memenangkan pertarungan ini, karena lebih
banyak anak vendas yang tumbang.
Alvin
langsung menghampiri rio, dia menyodorkan tangannya, rio meraih itu,
dan alvin langsung memapah rio masuk ke dalam sekolah. \
“Makasih vin”
“Jangan sok jagoan makanya”
“Terus gue harus diem aja gitu ?”
“Seenggaknya lo tadi harusnya nelpon gue”
“Lo tahu darimana ada tawuran disini ?”
“Via
nelpon gue” hati rio mencelos mendengar jawaban alvin. Dia memandangi
alvin yang sedang memapahnya, seseorang yang dari dulu memang selalu
berdiri di garis depan untuk melindunginya, seseorang yang selalu siap
memberinya apapun untuk membantunya.
“Maaf vin..”
“Buat apa ?”
“Akhir-akhir ini gue cemburu lo sama via” ujar rio jujur.
“Wajar
kok yo, udah lo jangan banyak ngomong, darah lo keluar terus tuh” rio
diam menuruti alvin. Alvin juga diam, logikanya membenarkan perasaan
rio, tapi hatinya, berusaha mengingkari itu.
“Alvin..rio..”
rio tersenyum ke arah via yang berlari ke arahnya, dia langsung
mengalungkan tangan rio yang satu lagi ke pundaknya, dan bersama alvin
memapah rio ke ruang kesehatan. Dengan telaten, via mengobati luka rio,
membersihkan darahnya, mengompres lebamnya. Alvin memandangi itu dari
ruangan yang berbeda, apakah ia berhak di perlakukan seperti itu oleh
via ? apakah ia boleh menuntut perlakuan yang sama dari via ?
“Makasih ya vi..”
“Iya
yo, udah kamu istirahat aja dulu, aku mau cuci tangan” via keluar dari
tempat rio, dia menuju tempat alvin. Meski tidak separah rio, tetap saja
alvin habis berantem juga.
“Sini vin..”
“Enggak
usah vi, gue bisa sendiri” tolak alvin sambil mengambil obat yang via
pegag dengan sedikit kasar, via hanya memandang itu.
“Sini, gue bantuin” paksa via.
“Gue
bilang enggak, ya enggak. Udah sana, lo temenin aja rio” alvin sadar,
nadanya ke via tadi sangat jutek, tapi hanya ini cara yang ia temukan,
untuk mengusir berbagai pikiran yang ada di otaknya.
“Ya
udah kalo itu mau lo, gue ke tempat rio” alvin hanya mengangguk, tapi
matanya tidak menatap via, dia terus sok sibuk dengan lukanya. Berbeda
dengannya, via malah terus-terusan memandangnya, entah kenapa, meski ia
tahu, alvin benar, tapi hatinya mengatakan bahwa ia ingin tetap disini.
Via
kembali ke tempat rio, ia melihat rio yang sedang tersenyum ke arahnya.
Hati via benar-benar kalut, bagaimana bisa, ia memilih untuk bersama
alvin yang hanya sahabatnya, melainkan bersama rio yang jelas-jelas
pacarnya, butir demi butir, air mata via mulai menetes perlahan.
“Lho, kok kamu nangis ?” tanya rio bingung.
“Ja..jangan..ber..antem..lagi..”
ucap via tersendat-sendat, walau bukan itu alasannya menangis, tapu
setidaknya, itu alasan paling masuk akal yang bisa ia katakan. Rio
membelai lembut rambut via.
“Enggak
akan, janji” bisik rio pelan, tapi tangis via malah terus mengalir.
Perasaan bersalah itu kembali datang dan membayangi langkahnya.
Komentar
Posting Komentar