Best Friends nd Love with Line part 11
Iel
menatap ruangan osis, yang entah mengapa kali ini nampak begitu besar.
Pernah ada saat-saat dimana, dia dan alvin menghabiskan waktu disini.
Sibuk dalam tugas masing-masing, menyusun proposal ini itu, tapi satu
yang selalu di ingat iel, alvin yang suka tiba-tiba keluar dan datang
lagi udah bawa makanan atau sekedar minuman untuk mereka berdua.
"Gimana keadaan alvin yel ?" iel melirik ke arah via yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya.
"Masih sama aja vi"
"Sabar ya, kok belum pulang ?"
"Entar gue mau ke rumah sakit vi, tapi harus ada beberapa proposal yang di selesain, itu sebenernya tugasnya alvin"
"Proposal yang mana ?"
"Yang buat perayaan hari ultah sekolah vi"
"Itu
kayanya alvin udah bikin deh, soalnya dia sempet bilang ke gue minta
salinan rencananya. Kita cari yuk..." via tahu, daritadi iel hanya
berdiri di depan ruang osis karena langkahnya berat, buat menuju mejanya
alvin yang selalu tertata rapi. Iel dan via mulai mencari, di setiap
laci dan folder-folder tempat-tempat yang memang di gunakan untuk
menyimpan proposal.
"Alvin
bilang, proposalnya dia bawa pulang yel.." via menunjukkan memo kecil
yang tertempel di mejanya iel, dengan tulisan tangan alvin. Iel hanya
mengambil memo itu, memandanginya sebentar, dan menaruhnya kembali di
atas mejanya.
"Makasih ya vi. Mau ikut gue ke rumah sakit ?" tawar iel.
"Iya.."
via menerima ajakan iel. Ingin rasanya via, bisa menenangkan hatinya
iel yang ia tahu sangat kacau sekarang, tapi satu-satunya cara yang via
bisa lakukan hanyalah menemani iel.
***
Nova
menangis bergetar di pelukan acha. Acha cuma bisa mengelus-ngelus
pundak sahabatnya itu, dia sendiri tidak mengerti apa lagi yang bisa ia
lakukan, semuanya juga terasa begitu membingungkan untuknya.
"Udah
dong nov, nova kan enggak cengeng.." hibur acha tulus. Nova memandang
acha, yang sudah sejak tadi menemaninya, dia menarik napas dalam-dalam
dan berusaha menenangkan hatinya, lalu menghapus sisa-sisa air mata di
pipinya.
"Kenapa
gue baru tahu sekarang cha ? disaat semua udah kaya gini. Pantes, ada
perasaan yang beda saat gue ngelihat kak alvin, saat dia ada di deket
gue. Gue ngerasa kita deket banget, gue ngerasa dia selalu ada buat gue,
dan ternyata dia emang selalu ada buat gue cha.." desah nova pelan.
"Kita
kan sama-sama enggak tahu nov, kalo orang yang selama ini selalu
perhatian sama lo itu kak alvin, lo kan enggak tahu apa-apa" nova hanya
terdiam, acha pun ikut terdiam. Biasanya achalah yang diam dan nova yang
bawel, tapi giliran keadaan berbalik, acha engga tahu harus gimana.
Nova mengambil sebuah kotak, dia lalu menyodorkannya ke acha, acha
langsung membuka kotak tersebut.
"Ini.."
"Surat-surat
dari kak alvin cha, orang enggak penting yang selalu lo bilang, yang
katanya jelek banget sampe enggak mau nunjukkin jati dirinya di depan
gue, ternyata dia ganteng banget kan cha.."
"Lo sayang sama kak alvin nov ?"
"Empat
tahun cha, empat tahun di setia nemenin gue lewat tulisan-tulisannya,
empat tahun diem-diem selalu merhatiin gue, salah kalo gue sayang sama
dia ?" air mata nova kembali turun perlahan. Acha langsung memeluk
sahabatnya itu, berusaha ikut sedikit meringankan apa yang dirasakan
nova.
***
Hari
ini deva menemani aren. mereka duduk berdua di depan taman sekolah
aren. Tepatnya, deva enggak mau ninggalin aren yang kayanya terpukul
banget sendirian disini.
"Makasih ya kak, udah mau nemenin aren disini"
"Slow kali ren, apa sih yang enggak buat lo" aren tersipu mendengar kata-kata deva.
"Kak deva, masih nunggu jawaban aren ?" pertanyaan yang sudah lama ingin deva dengar.
"Iya
dong ren, tapi gue enggak akan maksain lo di saat kaya gini, gue tahu
kok" deva berusaha bijak, meskipun hatinya ingin berkata lebih dari itu.
"Maaf
ya kak, selama ini aren cuma kaya manfaatin kakak doang, aren udah
ngegantungin kakak" deva menatap aren sebentar, lalu ia hanya tersenyum.
"Kak
alvin pernah bilang ke aren, buat ngasih jawaban ke kakak secepetnya,
kak alvin bilang, enggak baik nyuruh kakak nunggu lama-lama"
"Terus lo mau jawab itu sekarang ?" tanya deva semangat.
"Aren mau jadi pacarnya kakak" kata aren sambil tersenyum. Hatinya lega sekarang.
"Makasih ya ren.." deva mengacak-acak rambut aren, enggak sia-sia kesabaran dan penantiannya dia selama ini.
***
Setelah
menghabiskan hampir satu jam menjenguk alvin, di rumah sakit. Iel
mengantarkan via pulang, dan cakka juga melakukan hal yang sama ke agni.
Cakka dan iel udah janjian sama ify dan rio ke rumahnya alvin. Mereka
mau bantuin beresin barang-barangnya alvin yang harus di bawa ke rumah
sakit.
Rio
sama ify yang sampai duluan, langsung masuk ke kamarnya alvin. Rio
memainkan bola yang sering alvin bawa kemana-mana dan ify melihat,
beberapa foto yang alvin susun rapi di meja belajarnya.
"Sori lama..." kata cakka yang langsung duduk di kasurnya alvin.
"Iel juga belum datang kok" jawab ify tanpa mengalihkan perhatiannya dari poto-poto tersebut.
"Ngapain nih kita ?" tanya rio menghentikan permainannya.
"Tunggu iel aja dulu.." usul cakka.
"Maaf, agak macet tadi.." iel udah nongol tiba-tiba.
"Ya udah mau ngapain nih kita ?" rio mengulangi pertanyaannya.
"Gue mau nyari proposal yang udah alvin bikin" jawab iel sambil mulai mencari di meja belajar alvin.
"Gue
mau ngerapihin lemarinya alvin aja deh, mungkin semalem, pada buru-buru
ngambil bajunya, jadi agak berantakan nih" ify membuka lemari baju
alvin.
"Kita ngapain dong yo ?" tanya cakka sambil melirik ke arah rio.
"Gue bantuin ify, lo bantuin iel gih sono"
"Hmm, itu sih mau lo.." balas cakka, tapi dia tetap menuruti rio. Dia mulai membantu iel yang sibuk mencari.
"Ini apa ?" ify melihat-lihat sebuah amplop coklat besar, yang terletak di bawah tumpukan baju-baju alvin.
"Buka aja.." rio mengambilnya dari tangan ify dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang terdapat di dalamnya.
"Enggak sopan yo.."
"Biarin,
biar kita tahu semua tentang alvin" jawab rio pelan. Iel sama cakka
yang denger kasak-kusuk di tempatnya rio-ify, mendekat ke arah mereka.
Rio membaca kertas itu satu persatu, ekspresinya sulit di tebak, cakka,
ify sama iel cuma ngelihatin doang.
"Parah...alvin..parah.." ucap rio akhirnya terbata-bata. Iel langsung merebut kertas di tangan rio tersebut.
"Baca yang keras yel" kata cakka.
"Ini,
ehm..surat pernyataan kalo alvin bersedia buat.. ngedonorin organ
tubuhnya.." iel yang membaca itu, memelankan suaranya di tiga kata
terakhir.
"Alvin.." ucap ify lirih.
"Dia
harus bangun dan ngasih kita semua penjelasan tentang ini" ujar cakka
pelan. Lalu semua terdiam, menekuni kerjaan mereka yang terabaikan tadi.
***
Nova
berdiri di depan pintu kamar alvin, ingin rasanya ia masuk ke dalam.
Tapi ternyata orang tuanya alvinlah yang sedang menjaganya, membuat nova
sedikit merasa tidak enak. Apalagi nova masih belum bisa mengontrol air
matanya bila melihat alvin.
"Nova ?"
"Eh kak lintar.." nova melihat siapa yang menyapanya.
"Ngapain disini ? temen lo sakit ?"
"Kita
ngobrol di tempat lain aja yuk kak" ajak nova, enggak sopan kayanya
ngobrol di depan kamar orang, apalagi nova yakin lintar pasti belum tahu
keadaannya alvin.
"Yang sakit kak alvin kak.." kata nova setelah mereka duduk di cafetaria rumah sakit.
"Alvin ? sakit apa ?" tanya lintar cepat.
"Kak alvin..leukimia.." nova dapat melihat dengan jelas, guratan kekagetan di wajah lintar.
"Leukimia ? stadium ?"
"Akhir.." jawab nova lirih, entah kenapa kata itu begitu berat ia ucapkan, membuat air matanya kembali mengalir.
"Kok lo nangis ? ya ampun lo kenapa ?" lintar bingung sendiri, dia menyodorkan tisu ke nova.
"Gue
sayang sama kak alvin kak.." Lintar menatap nova, hatinya sakit. Gadis
manis yang akhir-akhir ini mengisi hari-harinya, telah menautkan hatinya
untuk orang lain.
"Jangan nangis dong nov, entar manisnya ilang lho..." goda lintar berusaha bersikap biasa aja.
"Maaf kak, gue jadi cengeng akhir-akhir ini"
"Gue
yakin alvin bakal baik-baik aja kok nov, dia..ehm..kalian udah.."
lintar menggantung kata-katanya, susah lidahnya menyebutkan kata jadian.
"Belum kak" jawab nova bagai bisa membaca pertanyaan lintar yang tidak tuntas.
"Tapi
diem-diem dia selalu ada buat gue..." dan entah mengapa, nova mulai
menceritakan semuanya yang baru ia tahu juga. Tentang alvin yang
menyukainya dari kelas dua smp, tentang alvin yang sering melakukan hal
gila sekaligus konyol untuknya, tentang alvin yang selalu menulis
surat-surat ajaib buatnya, dan alvin yang tahu segala hal tentang
dirinya dengan caranya.
Lintar
menyimak itu, dia jadi inget saat pertama alvin membawa nova ke panti.
Saat lintar memuji nova, apa yang alvin rasakan saat itu, saat lintar
berusaha mendekati nova, ah, kenapa alvin tidak pernah bilang kepadanya
tentang nova. Kenapa alvin malah membiarkannya dekat dengan nova.
"Maaf kak, jadi curhat.."
"Enggak
apa-apa, gue suka kok dengerin cerita lo. Gue bangga aja jadi temennya
alvin, pernah kenal orang sehebat dia" puji lintar tulus, belum tentu ia
mampu ada di posisi alvin sekarang, pikirnya.
"Kak lintar sendiri, gimana caranya kenal kak alvin ?" tanya nova yang mulai bisa sedikit tersenyum.
"Gue kenal dia juga disini..."
_Flashback_
Lintar agak kerepotan, karena harus menemani osa yang sedang cuci darah. Biasanya dia cuma bertugas nganter doang, dan mamanyalah yang akan mengurus semuanya, tapi karena ada suatu urusan dan memang sudah waktunya osa cuci darah, lintar pun mau enggak mau nemenin osa. Untung ada seorang suster yang memang sudah terbiasa menangani osa, sehingga lintar bisa sedikit berjalan-jalan. Lintar ke arah parkiran, ia mau mengambil beberapa buku yang tadi sengaja ia bawa untuk menghilangkan penatnya disini.
Lintar agak kerepotan, karena harus menemani osa yang sedang cuci darah. Biasanya dia cuma bertugas nganter doang, dan mamanyalah yang akan mengurus semuanya, tapi karena ada suatu urusan dan memang sudah waktunya osa cuci darah, lintar pun mau enggak mau nemenin osa. Untung ada seorang suster yang memang sudah terbiasa menangani osa, sehingga lintar bisa sedikit berjalan-jalan. Lintar ke arah parkiran, ia mau mengambil beberapa buku yang tadi sengaja ia bawa untuk menghilangkan penatnya disini.
"BRUUK"
lintar kaget melihat seorang cowok, tinggi, putih keluar dari mobilnya
dengan terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh. Darah mengalir segar dari
hidungnya, bahkan seragamnya pun sudah hampir basah oleh darah. Lintar
langsung memanggil petugas dan membawa laki-laki itu ke dalam rumah
sakit.
"Thanks ya.." ujar laki-laki itu lirih, lintar enggak tega meninggalkan laki-laki itu sendirian.
"Gue lintar, ada saudara lo yang bisa gue hubungin ?"
"Gue
alvin. Gue baik-baik aja kok.." karena belum kenal dekat, lintarpun
menghargai privasi alvin yang sepertinya tidak ingin memberi tahu
siapapun tentang kondisinya, yang menurut lintar cukup mengenaskan.
"Lo
sakit apa ?" tanya lintar basa-basi, ia sudah berusaha bertanya pada
dokter dan suster, tapi semua hanya diam, seolah mereka sudah terbiasa
dengan keadaan ini.
"Cuma kecapekan.." lintar tahu betul, alasan kecapekan sangat enggak logis dengan kondisi alvin yang lebih dari kecapekan.
"Ya udah gue cabut dulu ya, mungkin adek gue udah selesai"
"Adek lo sakit apa ?" tanya alvin ramah, meski selang oksigen terpasang di hidungnya.
"Dia lagi cuci darah.."
"Bisa
gue minta alamat lo ?" alvin berusaha meraih handphonenya yang di
letakkan oleh suster di meja samping tempat tidurnya. Lintar yang paham
langsung mengambilkan hp itu.
"Tulis
nomer sama alamat lo disitu, terus simpen di draft" perintah alvin,
lintar cuma nurut aja. setelah itu ia benar-benar pamit keluar dari
ruangannya alvin.
_Flashbackend_
"Beberapa
hari kemudian dia dateng ke panti, dia kaget awalnya, tapi dia langsung
cocok sama anak-anak, dan semenjak saat itu, alvin jadi kakak asuh buat
semua anak panti. Tapi dia tetep enggak mau cerita ke gue, apa yang
sebenernya dia alami saat itu, sampai hari ini, semua baru jelas di mata
gue" lintar mengakhiri ceritanya yang bikin nova berkaca-kaca lagi.
"Kata
ray, adeknya kak alvin. Kak alvin emang selalu ngelakuin semuanya
sendiri, selalu berusaha jadi yang terbaik buat semuanya"
"Nova,
alvin udah nganggep lo, lebih dari sekedar adek. Enggak banyak, cowok
di dunia ini bertahan lama, buat seorang cewek yang sebenernya mudah aja
dia raih. Tapi dia ngelakuin itu buat lo, karena lo pemberi
semangatnya. Gue yakin, lo enggak akan ngecewain alvin" ujar lintar
kalem tapi dalem.
"Makasih ya kak, gue akan berusaha buat terus nyemangatin kak alvin. Gue mau ke atas, kak lintar mau ikut ?"
"Enggak
usah, bentar lagi paling nyokap gue selesai. Gue titip salam aja buat
alvin.." nova meninggalkan lintar sendiri. Sebenernya lintar hanya ingin
memberi ruang untuk alvin dan nova, dia tahu sekarang, alvin orang yang
akan mementingkan kebahagiaan orang lain di atas kebahagiaannya
sendiri.
Dengan
mantap, nova menekan angka 5 pada lift. Lintar benar, dia harus bisa
menjadi matahari yang sesungguhnya untuk alvin sekarang. Cukup empat
tahun alvin menemaninya dengan caranya, kini biarkan ia membalas itu.
Jantung nova berdegup kencang, ketika ia melihat para dokter dan suster
berlari-larian.
"Kamar mana sus ?"
"Kamar
509 dok" nova terpaku di tempatnya. 509, adalah kamar alvin. Apa yang
terjadi dengan alvin, bayangan-bayangan buruk bersliweran di matanya.
Bukankah baru tadi, nova bisa meyakinkan hatinya untuk selalu ada buat
alvin, lalu sekarang. Nova berlari ke arah kamar alvin, dia melihat
kedua orang tua alvin sedang berdiri di depan pintu.
"Tante om, kak alvin kenapa ?" tanya nova panik.
"Bentar
ya sayang, bentar.." mamanya alvin membelai rambut nova. Ray sudah
mengenalkannya, sebagai orang yang disayangi sama alvin.
"Gimana dok ?" tanya papanya alvin saat dokter-dokter tersebut keluar dari kamar alvin.
"Anda
bisa melihat sendiri ke dalam...." tanpa memperdulikan apapun, nova
langsung menyeruak masuk ke dalam. Dan tubuhnya seolah membeku, air
matanya kembali tumpah, luapan isi hatinya, ketika mata sipit itu
membalas tatapan matanya.
Tangan
itu memberi kode supaya nova mendekat ke arahnya. Di wajahnya terpulas
senyum, yang sangat tipis tapi begitu menentramkan hati. Nova terus
mendekat, dan akhirnya duduk di samping alvin.
"Jangan nangis.." ucap alvin pelan, tangannya mengusap sisa-sisa air yang ada.
"Gue..kak
alvin..gue takut kehilangan lo" kata nova terbata-bata. Alvin hanya
tersenyum, ia tahu pasti sudah banyak yang terjadi saat dia koma
kemarin.
"Kenapa
kakak enggak pernah ngaku ke gue ? kenapa kakak enggak pernah bilang
sama gue ? kenapa kakak cuma diem aja dan merhatiin gue dari jauh ?"
"Karena gue tahu, gue enggak bisa ada buat lo selamanya" ujar alvin pelan, tapi terasa dalam di hati nova.
"Gimana
kalo gue enggak peduli ? gue cuma mau sama kak alvin sekarang dan
seterusnya..entah sampai kapanpun itu" nova berusaha tersenyum, berusaha
memberikan senyum terbaiknya untuk orang yang juga sedang tersenyum di
depannya.
"Alvin..." nova memberikan ruang kepada orang tuanya alvin yang baru masuk, setelah berbincang dulu dengan dokter.
"Alvin..." nova memberikan ruang kepada orang tuanya alvin yang baru masuk, setelah berbincang dulu dengan dokter.
"Kapan nyampe mah ?"
"Pas kamu masuk rumah sakit"
"Vin,
papa sama mama minta maaf, mereka semua udah tahu semuanya, ray sama
aren juga udah tahu kalo kamu bukan kakak kandungya" alvin hanya
memandang ke arah papanya, dia tahu semua cepat atau lambat semua akan
ke bongkar. Nova bingung sendiri, dia enggak tahu apa-apa, masalah alvin
bukan kakaknya ray dan aren. Enggak ada yang cerita bagian itu kemarin
ke dia. Tapi nova enggak mau ambil pusing, dia mau keluar dulu, ngehirup
udara segar, dua hari ini, dia udah nangis terus.
"Lho nov, mau kemana ?" tanya ify yang baru mau masuk sama rio, cakka dan iel.
"Cari angin kak. Masuk aja, kak alvin udah sadar"
"Udah
sadar ?" tanya ify lagi. Nova hanya mengangguk dan tersenyum, lalu
empat orang sahabat itu langsung masuk ke kamarnya alvin. Mereka
berdiri, melihat alvin yang sedang berbicara dengan orang tuanya. Mama
papanya alvin, yang menyadari kehadiran mereka, tersenyum ke arah
mereka.
"Tante
titip alvin dulu ya, kita mau pulang, mau mandi dulu" ucap mamanya
alvin, sambil keluar bersama papanya alvin. Mereka cuma tersennyum, tapi
matanya terus melihat ke arah alvin yang juga membalas senyum mereka.
"Enggak kangen sama gue ? kok berdiri di situ doang ?"
"Lo gila vin" ucap rio pelan.
"Bukannya gilaan lo ketimbang gue ?" balas alvin. Mereka mendekat ke arah alvin, lalu duduk di sekitar tempat tidurnya alvin.
"Lo punya utang jelasin ke kita semuanya vin" ujar iel.
"Jelasin apa lagi ? udah tahu kan gue leukimia stadium akhir ? udah tahu kan gue bukan anak kandung orang tua gue ?"
"Jelasin kenapa lo ngerahasiain ini dari kita ? lo anggep kita apaan sih ?" tanya cakka.
"Hmm..kalo
kalian jadi gue, bisa enggak kalian nemuin kata yang tepat buat bilang,
eh gue sakit lho, leukimia stadium akhir. Enggak banget kan, ini bukan
sesuatu yang bisa buat di banggain"
"Tapi
kita sahabat lo vin, lo sendiri selalu maksa kita buat berbagi sama lo,
percaya sama lo. Tapi kenapa lo milih nanggung masalah lo semuanya
sendiri ?" ify memandang sahabatnya itu, dia benar-benar enggak ngerti
sama jalan pikiran alvin.
"Udahlah,
yang penting kan sekarang gue udah baik-baik aja. Oke gue salah
ngerahasiain ini dari kalian. Setelah ini gue janji enggak akan ada
rahasia lagi.." alvin berusaha meyakinkan teman-temannya.
"Gue pegang janji lo bro.." jawab iel diikuti anggukan setuju oleh yang lainnya.
***
Nova
bingung mau kemana, pengennya sih balik lagi ke kamarnya alvin, tapi
dia tahu pasti sekarang alvin lagi butuh waktu buat ngobrol sama
sahabat-sahabatnya.
"Ngapain lo nov bengong disini ?" tanya ray heran menemukan nova duduk sendiri di taman rumah sakit.
"Lagi
pengen cari angin aja, temenin gue bentar deh.." pinta nova. Ray hanya
tersenyum, tapi ia tetap duduk di samping nova. Belum pernah ia melihat
sahabatnya itu selemah ini.
"Makasih
ya ray lo udah ngasih tahu gue, kalo lo enggak bilang, pasti gue enggak
pernah tahu kalo orang yang selama ini selalu ada di deket gue itu kak
alvin" ujar nova tulus.
"Lo emang harus tahu kok nov. Kata acha lo nangis terus ya dari kemarin ? lo suka juga sama kak alvin ?"
"Gue
sama kak alvin, ngerasa kaya punya ikatan batin tersendiri ray, empat
tahun dia selalu datang di hidup gue kapanpun gue butuh, munafik banget
kalo gue enggak sayang sama dia" ray tersenyum denger jawaban nova, dia
lega, karena perasaan kakaknya enggak akan sia-sia.
"Kak alvin pasti seneng kalo denger lo bilang kaya gini..."
"Ray
gue mau nanya, sori banget sebelumnya, tapi emang kak alvin bukan kakak
kandung lo ?" ray menghela napasnya, dia agak enggak suka membahas ini,
dia sendiri berharap enggak pernah tahu cerita ini. Buat dia alvin
tetap kakaknya.
"Gue
juga baru tahu nov. Kata mama, kak alvin itu anak temennya mama sama
papa, waktu kak alvin umur enam bulan mamanya meninggal karena kanker
yang sekarang juga diderita sama kak alvin, terus waktu umur setahun
papanya meninggal juga karena kecelakaan, dan cuma kak alvin yang
selamat...." ray jeda sebentar, nova merasa miris mendengar kisah alvin
yang memilukan.
"Mama
sama papa waktu itu baru aja nikah, mama juga lagi hamil gue, tapi
mereka mutusin buat ngadopsi kak alvin karena emang kak alvin enggak
punya siapa-siapa lagi. Tapi gue engga peduli nov, buat gue sama aren di
tetep kakak yang paling hebat"
"Jadi
kak alvin nurunin sel kanker dari mamanya ?" pertanyaannya yang
sesungguhnya tidak perlu ditanyakan oleh nova, tapi ray tetap mengangguk
untuk pertanyaan itu.
"Kak alvin udah sadar ray.." nova sampai lupa ngasih tahu kabar penting ini.
"Serius lo ?"
"Iya,
udah sana cepet ke atas" usul nova, tanpa basa-basi lagi ray langsung
berlari meninggalkan nova sendirian. Nova hanya tersenyum melihat
tingkah ray. Hatinya benar-benar miris mendengar cerita ray tentang
alvin, bagaimana bisa orang sebaik dia menyimpan sejuta kenangan pahit
seperti itu sendirian. Rasanya nova benar-benar ingin selalu ada di
dekat alvin sekarang, dia enggak mau alvin menyimpan semuanya sendiri
lagi.
Masa-masa
menegangkan itu sudah lewat. Setelah kurang lebih seminggu di rawat di
rumah sakit, akhirnya alvin diijinkan pulang. Semua orang juga mulai
kembali ke aktifitas mereka masing-masing.
Iel
menunggu di ruang tamu via dengan yakin, dia udah nyiapin semuanya,
terutama mental. Enggak sampai dua menit, via dateng dan bingung sendiri
lihat iel, minggu pagi gini udah duduk rapi di rumahnya. Sementara dia
sendiri masih berantakan banget.
"Mau ngapain yel ?"
"Mau ngajakin jalan, lo free kan hari ini ?"
"Iya sih, mau kemana ? kok lo rapi banget ?"
"Iya sih, mau kemana ? kok lo rapi banget ?"
"Udah sana lo cepetan ganti baju, yang cantik ya"
"Iya
deh bentar.." via bingung tapi nurut aja. Enggak mungkin juga iel
ngajak di ke tempat yang aneh-aneh. Lagian dia seneng lihat iel udah
bisa semangat lagi, udah bisa senyum-senyum lagi.
"Vi, sori ya, tapi lo harus gue pakein ini" iel menutup mata via dengan sebuah syal yang kayanya udah disiapin sama iel.
"Buat apa yel ? emang lo mau ngajak gue kemana ?" tanya via bingung.
"Ini
surprise buat lo via.." bisik iel lembut sambil mengikat syal tersebut.
Via cuma bisa pasrah, meski hatinya bergetar-getar. Dengan perlahan,
iel membimbingnya masuk ke mobil, sepanjang perjalanan pun mereka berdua
lebih banyak terdiam. Via merasa hawa panas menerpa wajahnya, ketika
iel menggandengnya turun di sebuah tempat. Terdengar keributan
disana-sini, via merasa familiar sekali dengan tempat ini, tapi
pandangannya yang tertutup membuat via jadi harus menerka-nerka dengan
instingnya.
"Hai vi.." sebuah suara yang sangat di kenalnya menggandeng tangannya yang satu lagi.
"I..ify.. " tebak via.
"Iya ini gue"
"Gue dimana nih fy ?"
"Entar juga lo tahu.."
"Via, lo sama ify dulu ya. Fy, lo tahu kan kapan lo bisa ngelepas penutup matanya via ?" intruksi iel bikin via tambah bingung.
"Beres
bos, udah sana cepetan, siapin mental lo" kata ify. kemudian ify
memutar badan via, menghadapkannya pada sesuatu. Perlahan namun pasti,
ify mulai membuka tutup mata via. Mata via mengerjap-ngerjap ketika
sinar matahari menyapanya, butuh beberapa menit buat via mengatur
matanya kembali normal gara-gara di tutup hampir satu jam. Dan via
speechless ketika ia sadar dimana ia berdiri dan apa yang sedang
dilihatnya.
"BUAT
SIVIA AZIZAH GUE GABRIEL STEVENT DAMANIK RELA BUAT NAIK TORNADO INI
SEKALI LAGI ASAL LO MAU JADI CEWEK GUE !!" iel udah duduk di tornado
itu, dan ngomong pake pengeras suara. Semua yang ada disitu langsung
heboh dan ramai sendiri. Ify menyodorkan sebuah pengeras suara juga buat
via.
"Hah..eh..ehm..ini buat apa ?" tanya via kaget.
"Jawablah, kalo lo terima dia naik itu tornado, kalo lo tolak dia enggak jadi naik" ujar ify menjelaskan.
"Tapi dia kan phobia ketinggian ?"
"Justru disitu letak perjuangannya buat lo vi" via menerima pengeras suara itu.
"GUE
SIVIA AZIZAH MAU JADI CEWEK LO GABRIEL STEVENT DAMANIK !!" ucap via
yakin tanpa ragu-ragu. Iel tertawa senang. Dan kemudian tornado itu pun
mulai bergerak. Iel berusaha teriak sekenceng-kencengnya, untuk
mengurangi rasa paranoidnya akan ketinggian, yang dia bayangkan hanyalah
via yang sekarang udah resmi menjadi miliknya.
"Lo enggak apa-apa kan yel ?" via langsung berlari menghampiri iel.
"Enggak kok vi, thaks ya.." iel mengecup singkat dahi via, yang bikin via langsung blushing.
"Selamat
ya, kalian cocok, ya ampun keren banget tadi cowoknya.." seorang
ibu-ibu yang tadi juga naik tornado nyalamin mereka, dan disusul oleh
yang lain. Via sama iel sampe salting sendiri, mereka jadi kaya artis
yang lagi ngadain jumpa fans, nyalamin sana nyalamin sini.
"Cie..pasangan baru made in dufan nih" goda rio yang entah darimana datangnya.
"Uhuy, badut dufan aja kalah pamor sama lo berdua" timpal cakka.
"Kenapa lo ? iri.." balas iel yang udah berhasil narik via keluar dari kerumunan orang yang rebutan ngasih mereka selamat.
"Lo berdua kok ada disini ?" tanya via bingung.
"Enggak berdua kali vi, semua ada disini" ujar alvin yang ternyata juga udah ada disitu. Ada agni juga di sampingnya cakka.
"Terus tadi kenapa cuma ify doang yang ada ?"
"Mereka emang sengaja ngumpet vi, emang rencananya gitu" jelas iel.
"Rencananya siapa nih ?" tanya via lagi.
"Iel.." jawab semuanya kompak. Iel hanya tersenyum, tapi via mempererat genggaman tangannya.
"Makasih ya, gue suka banget sama ini semua, sama cara lo, keren" puji via tulus hanya untuk iel seorang.
Alvin melirik jam ditangannya, dia udah janjian sama Lintar buat ketemuan. Semalem lintar nelpon dia.
"Guys, gue cabut duluan ya, ada janji.."
"Lo enggak apa-apa kan vin ? enggak pusing ? enggak mual ? enggak capek ?" ify ngeborong pertanyaan.
"Enggak fy, yang habis naik tornado kan iel bukan gue. Gue ada janji, gue duluan ya.."
"Ya udah, thanks ya bro.." ujar iel.
"Sip,
congrats ya lo berdua" kata alvin sambil meninggalkan teman-temannya.
Dia langsung memacu mobilnya ke sebuah kafe seperti yang disebutkan
lintar semalam.
"Sori lin, lama ya.."
"Enggak kok vin, gue juga baru dateng. Gimana kabar lo ?"
"Baik-baik aja, kaya yang lo lihat. Oh iya, ada apa ?"
"Gue mau ngomong tentang nova.." alvin hanya tersenyum mendengar kata-kata lintar.
"Jangan salah paham vin, gue udah tahu perasaan lo sama nova, dan tahu perasaan nova buat lo" lanjut lintar lagi.
"Nova terlalu sempurna buat gue lin.."
"Sempurna
? lo tahu, kemarin nova nangis-nangis karena nyesel, baru tahu rasa
sayang lo ke dia, saat lo lagi dalam keadaan kaya gini. Dia sayang sama
lo, dan lo sayang sama dia, kalian berdua sama-sama berhak buat bahagia"
"Gue enggak bisa jagain dia lin, yang ada nanti gue malah ngerepotin dia"
"Ayolah
vin, jangan sedangkal itu. Gue tahu maksud lo selama ini, deketin gue
sama nova. Maaf vin, kalo lo mau nyuruh gue ngejagain nova, bukan kaya
gitu caranya" alvin kembali terdiam.
"Gue
emang sayang sama nova. Tapi gue bukan model orang yang mau bahagia di
atas orang penderitaan orang lain, gue enggak akan deketin nova lagi,
jadi tolong jagain dia"
"Enggak lin, nova butuh lo, jangan jauhin dia..." kata alvin pelan.
"Lo sadar dong vin, yang nova butuhin itu kejujuran lo. Dia cuma mau sama lo. Jangan kecewain gue, oke.."
"Lintar, apa yang harus gue lakuin kalo suatu saat nanti waktu gue abis ? apa gue bisa tenang biarin nova sendirian ?"
"Kalo
gitu, sebelum waktu lo abis, tolong jangan biarin nova sendirian.
Jagain dia sepenuh hati lo. Jangan pernah bilang lo ngelakuin ini buat
ngebahagiain dia, karena selangkah aja lo ninggalin dia, hatinya bakal
sakit banget. Dan gue enggak akan maafin lo, kalo itu sampe terjadi"
"Makasih lin, maaf kalo gue..."
"Enggak ada yang perlu di maafin, gue yang harusnya enggak boleh masuk dia antara kalian.."
"Gue
bakal jagain dia semampu yang gue bisa" janji alvin yakin, lintar hanya
tersenyum, hatinya perih, tapi ia tahu, ini adalah satu-satunya jalan
yang paling baik untuk semuanya.
Komentar
Posting Komentar