Cerita Biasa (cerpen)
Ini hanya sebuah kisah biasa.
Tentang persahabatan, tentang masa remaja yang menyenangkan.
Kisah yang bisa kamu temukan dalam hidupmu sendiri.
Percayalah.
Ini hanya tentang persahabatan.
Ini bukan kisah romeo dan juliete.
Hanya sebuah kisah sederhana, dan sangat biasa.
Persahabatan.
***
Suara
pantulan bola basket serta derap kaki, bagaikan menjadi pengiring musik
yang khas. Belum lagi gelak tawa yang ceria. Suasana kebahagiaan yang
sederhana namun luar biasa. Empat anak laki-laki itu, asik larut dalam
permainan mereka. Saling mengoper dan melempar bola. Berkejaran dan
berlarian. Tidak peduli meski masing-masing dari mereka telah ada di
umur tujuh belas, tidak peduli meski di dompet mereka telah terselip
kartu tanda penduduk, tidak peduli meski matahari telah turun perlahan
ingin kembali ke peraduaannya. Mereka terus saja bermain. Bermain dan
bermain.
“Host...host...”
“Lo
enggak apa-apa kan ? duduk dulu deh..” dua orang di antara mereka,
menepi ke pinggir lapangan. Memaksa salah satu di antaranya, untuk
duduk.
“Kenapa ?” tanya yang lain, yang baru datang.
“Dia..”
“Enggak, gue enggak apa-apa, ayo main lagi..” ujarnya yang di suruh duduk tadi.
Tiga
laki-laki itu, sekarang menatapnya tajam, seolah-olah mereka berumur
jauh lebih tua darinya. Seperti ia adalah anak kecil yang baru saja
melakukan kesalahan dan akan segera di marahi.
“Serius
gue enggak apa-apa..” laki-laki itu mencoba menatap mata temannya yang
lain, berusaha meyakinkan, meski ia mengerti mukanya saat ini sama
sekali tidak menggambarkan kalimat ‘..enggak apa-apa’ yang baru saja di
ucapkannya.
“Udahlah, lagian ini juga udah sore, kita mainnya yang udah terlalu lama”
“Jangan berhenti cuma gara-gara gue” masih ujarnya lagi. Ia menyandarkan kepalanya di dinding, masih berusaha mengatur nafasnya.
“Haha..pede banget lo ! lagian gue juga udah capek kok” sahut temannya yang lain. Menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
“Tapi serius, gue masih bisa main”
“Besok lagi aja deh mainnya, istirahat dulu sekarang..” timpal yang satunya lagi.
“Thanks”
desahnya pelan. Ia tersenyum, semuanya juga tersenyum. Senyum yang
hangatnya melebihi dekapan selimut setebal apapun. Senyum yang indahnya
melebihi keelokan langit sore. Senyum yang menenangkan melebihi
kata-kata bijak dari seorang filsafat sejati. Senyum seorang sahabat.
***
Kemenangan terbesar dalam hidup, adalah ketika kamu menemukan sahabat-sahabat terbaik sepanjang masa.
***
Hari
senin. Hari yang di tasbihkan menjadi hari yang paling menyebalkan.
Bukan salahnya memang, hanya takdir yang membuatnya menjadi yang
pertama, apalagi ia hadir setelah hari minggu yang menyenangkan.
Sepi.
Itulah yang saat ini di rasakannya. Hari senin yang menyebalkan.
Pelajaran matematika yang menjemukan. Dan hari ini ia harus duduk
sendiri. Berkali-kali ia menoleh ke sebelah kanannya, yang tetap saja
kosong. Tidak berpenghuni.
“Yo..Rio..pssttt..Rio..”
Merasa di panggil. Ia langsung celingukan kesana-kemari. Mencari darimana sumber suara itu berasal.
“Yo,
itu Cakka disana..” Lintar yang duduk di belakangnya, menunjuk ke arah
jendela kelas mereka. Dan terlihatlah wajah cakka tersembul sebagian
disana. Dengan telunjuknya, Rio tahu, Cakka memberinya isyarat untuk
keluar kelas. Dan tanpa perlu di beri tahu lebih lanjut lagi, Rio juga
mengerti, apa yang akan mereka lakukan.
“Pak..” Rio langsung mengangkat tangannya. “Saya mau ijin ke kamar mandi”
“Cepat sana, cepat..”
“Iya pak..” buru-buru Rio langsung keluar dari kelasnya. Dan menghampiri Cakka.
“Iel mana ?”
“Dia lagi ada ulangan, gimana dong ?” tanya Cakka balik.
“Ya udah tungguin aja bentar”
“Oke deh, ayo..”
“Eh kka, elo kenapa enggak sms aja sih ?”
“Hehe..hape
gue mati lupa ngecharge” tukas Cakka. Rio hanya menganggukkan
kepalanya. Mereka berjalan ke arah kelas Iel. Kira-kira tiga puluh
menit, mereka menunggu sambil memperhatikan Iel. Dan ketika Iel terlihat
sudah selesai bergulat dengan soal-soalnya, dengan tampangnya yang stay
cool itu, Rio mulai mengambil bagiannya, menjalankan aksinya.
“Tok..tok..permisi bu..” ujar Rio sopan, berdiri di ambang pintu kelas Iel.
“Ada apa Mario ?”
“Saya mau ijin manggil Gabriel bu, ada urusan sebentar tentang buku tahunan”
Iel
yang juga sudah dapat menebak, apa yang sedang di jalankan kedua
sahabatnya itu. Hanya tersenyum kecil, sambil bangkit dari kursinya, dan
berniat mengumpulkan kertas ujiannya.
“Kamu sudah selesai Gabriel ?”
“Sudah bu..”
“Ya sudah, ibu ijinkan kamu untuk pergi dengan Mario”
“Makasih bu..” dua orang itu, mencium tangan guru mereka, dan segera keluar kelas.
“Cakka mana Yo ?”
“Lagi
ngurusin bagiannya..udah ayo kita ke parkiran aja” ajak Rio, sambil
merangkul sahabatnya itu. Mereka berdua sudah siap di motor
masing-masing, hanya tinggal menunggu Cakka, beberapa kali sudah Iel
melirik jam tangan yang melingkar di tangannya.
“Udah sepuluh menit, keburu bel istirahat entar”
“Sabar Yel..”
“Eh, ngomong-ngomong kita udah lama ya enggak gila kaya gini” ujar Iel sambil memutar-mutar kunci motor di tangannya.
“Haha, hitung-hitung refreshing kelas tiga Yel..” sahut Rio.
“Sori lama..” kedatangan Cakka, memotong obrolan mereka. “Nih lihat dong, apa yang gue punya..”
“Apaan tuh ?” Iel mengambil secarik kertas yang ada di tangan Cakka. “Surat ijin keluar sekolah ? dapet darimana lo ?”
“Serius surat ijin sekolah ? ahh..gila banget lo Kka..sadis” timpal Rio.
“Haha..gue
gitu, udah ayo ah, berangkat..” Cakka memakai helmnya, begitu juga Rio
dan Iel. Dan ketiga motor itupun melesat meninggalkan parkiran, melewati
pos satpam dengan lancar, dan tentu saja melupakan segala macam
pelajaran di hari itu.
***
Suara
gaduh di luar, membangunkannya. Pandangannya agak buram dan kepalanya
agak berat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya, ia mencoba untuk
menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur.
Klek.
“Cakka ?”
“Wess, udah bangun lo bro..”
“Rio..”
“Kata nyokap lo, lo masih tidur..”
“Iel..”
“Gimana vin, baikkan ?”
“Kalian ngapain kesini ?”
“Mau
nemenin elo lah..” sahut ketiganya kompak. Dan mengambil tempat
favourite mereka masing-masing. Iel di kaki tempat tidurnya, Cakka di di
kursi belajarnya, dan Rio di kusen jendela yang langsung menghadap ke
taman.
“Enggak sekolah ?”
Tidak
ada yang menyahut, mereka saling berpandang-pandangan dan melemparkan
cengiran-cengiran yang Alvin kenal, sebagai cengiran saat mereka berbuat
suatu hal gila.
“Kalian cabut ya ?”
Masih
tidak ada yang menyahutinya. Membuat Alvin jadi kesal sendiri. “Kalau
enggak ada yang jawab, gue usir lo semua” katanya tajam.
“Eh, jangan dong, perjuangan nih bisa kesini, enak banget lo mau ngusir” jawab Cakka akhirnya.
“Ya udah, terus kenapa bisa kalian kesini, ini kan masih jam pelajaran. Kalian cabut beneran..”
“Gitulah Vin” sahut Iel.
“Ahh, gila, parah lo semua !”
“Yah
Vin, elo jangan marah gitu dong, maksud kita kan baik, mau jengukin
elo, mau nemenin elo, lagian lo tega apa biarin gue duduk sendirian hari
ini” ujar Rio, beranjak dari tempatnya mendekat ke arah Alvin.
“Tapi
enggak kaya gini juga, kita udah kelas tiga, kalau gue kan emang
dispensasi, kalau elo bertiga ? lagian elo kaya enggak biasa duduk
sendiri aja sih Yo, dalam sebulan berapa kali sih lo harus duduk sendiri
tanpa gue”
“Ini bentuk solidaritas kita sob..” ucap Iel pelan, menyadari nada suara Alvin yang mulai tajam.
“Solidaritas
macam apa sih Yel ? gue aja enek kalau harus ada di rumah kaya gini,
gue aja pengen bisa terus pergi ke sekolah, tanpa perlu ada halangan
apapun, dan elo bertiga malah kaya gini ! sarap tahu enggak !”
Melihat
Alvin mencak-mencak seperti itu, Rio, Iel, dan Cakka jadi merasa
bersalah sendiri. Mereka saling berpandang-pandangan, dan entah karena
naluri batin mereka yang memang sudah terlalu tertanam kuat atau
bagaimana, mereka sama-sama tahu, apa yang harus mereka lakukan saat
ini.
“Ya
udahlah, mungkin better kalau elo istirahat sendiri sekarang, kita
balik deh ke sekolah..” ujar Cakka. Berdiri dan mencoba tersenyum ke
arah Alvin, yang masih menatapnya tajam.
“Cakka benar, lagian adanya kita disini, malah bikin elo enggak bisa istirahat lagi” timpal Iel.
“Ya udah, kita balik ya Vin, get well soon” sambung Rio. Mereka bertiga beriringan, menuju pintu kamar Alvin.
Alvin
menghela nafas, melihat sahabat-sahabatnya itu. Bukan ia tidak senang
mereka kemari, hanya saja, cara yang mereka tempuh ini sama sekali tidak
Alvin sukai.
“Ouh..shitt..” Alvin mengumpat pelan, ketika ia merasa
cairan kental mulai mengalir dari kedua lubang hidungnya, dan kepalanya
bertambah berat. Semua tampak berbayang. Alvin berusaha menggapai-gapai
tisu, yang tempatnya terletak di meja kecil samping tepat tidurnya.
“Prang !!”
“ALVIN !”
Suara
Rio, Iel, dan Cakka seperti bersatu, memanggilnya. Namun semua tampak
berputar, berpusar, dan tiba-tiba menggelap. Hitam dan pekat.
***
Wajah-wajah
itu langsung tampak memenuhi bola matanya, ketika Alvin akhirnya sadar.
Desahan serta senyum lega, terdengar jelas di telinganya.
“Mau minum Vin ?” tawar Iel, yang kini ada di sisi sebelah kirinya.
“Enggak..” sahut Alvin lirih. Ia mencoba mengangkat kepalanya, tapi semua masih terasa berat.
“Jangan
di paksain” ujar Rio. Menumpukkan bantal untuk Alvin, agar meski dalam
posisi tidur pun, Alvin masih bisa melihat sahabat-sahabatnya itu.
“Kok kalian masih disini ?”
“Vin,
kita ini sahabat lo ! enggak mungkin banget tadi kita tetap aja balik
ke sekolah, pas ngelihat elo pingsan kaya gitu, udahlah lagian udah jam
segini juga, percuma aja balik ke sekolah, bunuh diri yang ada..”
cerocos Cakka.
“Sori..” desah Alvin pelan.
“Buat ?” tanya Iel.
“Udah bikin kalian tetap ada disini dan bukannya balik ke sekolah”
“Haha..yang ada juga kita kali, yang bilang makasih, elo udah ngasih kita libur sehari dari pelajaran-pelajaran enggak guna itu”
“Ahh iya, Rio bener. Gue bebas dari matematik sama kimia hari ini, surga banget !” sambung Cakka.
Alvin terkekeh pelan. “Jangan di ulangin lagi, ini terakhir kalinya, kalian cabut dari sekolah, cuma demi gue..”
“Siap
bos !” tukas Iel sambil berlagak hormat ke arah Alvin. “Lagian ini kaya
nostalgia juga sih, dulu kan smp kita sering banget ngelakuin kaya
gini, terakhir kita kaya gini kapan ya ?”
“Awal-awal
kelas sebelas, pas gue baru balik dari rumah sakit” sahut Alvin. Ia
tidak akan pernah lupa, semua hal yang pernah sahabatnya lakukan untuk
dia, meski dengan cara yang tidak tepat, tapi tetap saja, ketulusan di
balik itu mampu membuat Alvin dapat membusungka dadanya, membanggakan
pada dunia, bahwa ia memiliki sahabat terhebat di muka bumi ini,
sukur-sukur hingga ke surga nanti.
“Gimana
tadi kaburnya ? emang enggak ditanyain sama satpam ?” kali ini Alvin
malah penasaran, apa yang sahabatnya lakukan agar bisa semudah itu
keluar dari pagar sekolah mereka. “Atau kalian manjat tembok lagi ?”
“Enggak
dong, masa udah mau 2011 gini, masih jaman aja manjet pager, tadi kita
pakai cara yang lebih elegan Vin..haha..” jawab Cakka bangga. “Gue
berhasil dapetin surat ijin keluar, plus tanda tangan piket hari ini”
“Kok bisa ?” tanya Alvin tidak mengerti.
“Haha..gue
gitu..jadi tadi pas gue mau ngelobi satpam, biar ngasih kita ijin
keluar, gue ketemu sama Agni, ternyata dia mau ngurusin lomba basket
putri di luar, nah ya udah sekalian aja gue minta tolong ke dia, buat
sekalian ngambilin surat ijin plus tanda tangannya..canggih kan gue ?”
terang Cakka sambil menaik turunkan alisnya.
“Woo..kalau gitu sih, Agni yang canggih, bukan elo..” cibir Rio sambil melayangkan sebuah bantal ke muka Cakka.
“Ahh
tetep aja, kalau enggak karena pesona gue, Agni pasti enggak bakal mau
ngelakuinnya” sahut Cakka pede, dan kembali melemparkan bantal itu ke
arah Rio. Iel dan Alvin hanya bisa tertawa melihat kelakuan dua orang
tersebut.
***
Seorang sahabat, tidak akan pernah menjauh seincipun, ketika sahabatnya membutuhkannya.
***
Bel
berakhirnya pelajaran terakhir telah berbunyi sejak satu jam yang lalu.
Tapi tiga orang itu masih berkutat dengan pekerjaan baru mereka, yang
sama sekali tidak elite, membersihkan kamar mandi sekolah.
“Yel, bagian itu udah gue pel, kenapa elo siram air lagi sih !” protes Cakka.
“Eh ? haha..mana gue tahu Kka, sori deh, ya udah pel lagi sono..” sahut Iel enteng, sama sekali tidak merasa salah.
“Ah
elah, elo berdua rame amat dari tadi, kapan selesainya ini ?!” timpal
Rio kesal, yang dalam hukuman kali ini, kebagian tugas mengosek toilet.
“Belum selesai juga elo bertiga ?”
“Nah elo Vin, udahan ulangan susulannya ?” bukannya menjawab, Cakka malah melemparkan pertanyaan lain ke Alvin.
“Udah, mana yang bisa gue bantu ?”
“Eits, diem aja lo disitu ! lagian ini hukuman kita bertiga, elo enggak usah ikut campur” perintah Iel.
“Sini
ah..” Alvin melepas jaketnya, menggantungnya di pintu, mengambil pel
yang ada di tangan Cakka, dan mulai mengepel. “Lagian kalian di hukum
kaya gini kan, karena mau nemenin gue..”
“Tapi Vin ...” Rio menatap Alvin, cemas.
“Udah ah, ayo kerja-kerja, biar cepetan beres..”
Tahu,
akan percuma saja, jikalau mereka terus melarang Alvin. akhirnya mereka
berempat mulai kembali melakukan pekerjaan mereka masing-masing.
Lagipula, sepertinya inilah yang paling pantas di sebut dengan
persahabatan. Ada di tempat yang sama, bersama-sama, bukan hanya untuk
tertawa, tapi juga untuk letih bersama. Meski di dalam sebuah kamar
mandi.
***
Setelah
hampir satu setengah jam, berada di kamar mandi yang pengap serta
sempit itu. Mereka berempat kini sedang duduk-duduk di gazebo rumah
Alvin, menikmati hembusan angin sore yang menyejukkan.
Selalu
seperti ini. Rumah Alvin, dan gazebo ini, seperti telah menjadi markas
tetap persahabatan mereka. Dulu, saat mereka sd, mereka sering main
disini karena Alvin yang memang tidak di perkenankan untuk main terlalu
jauh. Tapi semakin kesini, semakin banyak kenangan yang mereka torehkan
disana, semakin tidak dapat dipisahkan juga mereka dari gazebo ini.
“Hahh..” Alvin mendesah, dan agaknya terlalu keras, sehingga semua teman-temannya kini mengarahkan wajah mereka ke arahnya.
“Kenapa Vin ?” tanya Rio, yang duduknya paling dekat dengan Alvin.
Alvin
menggeleng sambil tersenyum kecil. Pertanyaan ini, seolah menjadi
pertanyaan wajib, yang paling sering Rio, Iel, dan Cakka tanyakan
padanya. Pertanyaan biasa, yang selalu terdengar penuh kepanikan dan di
ucapkan dengan wajah khawatir oleh teman-temannya. Pertanyaan sederhana,
namun berarti bagi Alvin, karena hanya dengan pertanyaan itu, Alvin
bisa merasakan ketulusan sahabat-sahabatnya.
“Serius enggak kenapa-napa ?” tanya Rio lagi, ketika tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Alvin.
“Sumpah deh gue baik-baik aja, kan kemarin udah mimisannya, masa sekarang lagi” jawab Alvin enteng.
“Ya enggak gitu juga sih Vin, kita kan cuma khawatir aja sama elo” sambung Iel.
“Iya
gue tahu..” tukas Alvin. “Tapi lo semua ngerasa enggak sih, semakin
kesini, elo semua sama aja kaya nyokap gue, makin protect sama gue..”
“Enak aja lo ngomong, gue di samain sama nyokap lo lagi” sahut Cakka tidak terima.
“Haha..abisan,
dulu lo semua enggak gini-gini amat ah, coba sekarang, dikit-dikit
pasti khawatir banget sama gue. Ya iya sih gue tahu, sakit gue emang
tambah parah, mau mati malah kayanya ta...”
“Vin
! elo asalan banget sih kalau ngomong !” potong Rio. Ia paling tidak
suka jika Alvin mulai menyisipkan kata ‘mati’ dalam kalimatnya. Meski
Rio tidak bisa memungkiri itu hal yang paling mutlak dalam hidup ini.
Alvin
diam melihat kilat kemarahan di mata Rio. Tidak jadi melanjutkan
kata-katanya. Tapi sampai kapan, semua harus pura-pura menganggap bahwa
umurnya akan panjang. Alvin bukan lagi, Alvin yang berusia sepuluh
tahun, yang diberi tahu bahwa ia menderita sebuah penyakit dan suatu
saat nanti ia akan sembuh. Alvin telah mengerti sekarang, bahwa
harapan-harapan itu hanya kosong belaka, menguap di telan waktu.
“Dulu,
waktu elo pertama kalinya di rawat, saat itu gue ngeyakinin diri gue
sendiri kalau elo itu cuma sakit biasa, sekedar demam, dan bakal
sembuh..” Iel tiba-tiba saja bersuara di tengah-tengah keheningan itu.
“Dan
gue inget banget waktu itu, waktu gue jenguk elo di rumah sakit, nyokap
lo nangis dan nyokap gue meluk nyokap lo. Gue sama sekali enggak
ngerti, kenapa nyokap kita harus kaya gitu. Waktu itu gue disuruh masuk
sendiri ke kamar rawat lo, dan elo baik-baik aja di mata gue, enggak ada
yang salah..sama sekali enggak ada..” Iel melanjutkannya. Menerawang
dalam waktu yang telah terlewati dengan susah payah.
“Tapi
setelah itu, elo enggak lagi boleh ikut pelajaran olahraga sama
upacara, enggak lagi boleh main sepedaan sama kita, dan elo jadi minumin
obat setiap hari. Tapi waktu itu gue masih mikir, kalau elo masih dalam
penyembuhan, dan emang obatnya harus habis kaya antibiotik yang dokter
kasih kalau gue lagi sakit..” tersenyum simpul, Iel mengajak semuanya
lebur dalam kisah itu.
“Gue
juga inget..” sebelum Iel menyambung kata-katanya lagi, Cakka terlebih
dulu membuka suaranya. “Gue juga boleh ngomong kan Yel ?”
“Bolehlah Kka..”
“Inget,
waktu itu, kita main, gue lupa kita main apa, tapi yang jelas elo
mimisan banyak banget. Terus pas sampai ke rumah lo, gue, Rio sama Iel
di ajak ngobrol sama nyokap bokap lo, waktu itu gue kira kita bakal di
marahin, ternyata enggak. Bokap lo malah bilang, kita harus ngejagain
elo, harus ngingetin elo biar enggak sering capek-capek, dan kalau perlu
marah sama elo kalau elo enggak mau di kasih tahu. Waktu itu gue tanya
kenapa, tapi bokap lo cuma bilang, suatu hari nanti kita bakalan tahu..”
“Terus
waktu itu juga, guru-guru jadi perhatian banget sama lo. Mereka pasti
panik banget kalau elo pucet dikit aja, dan jujur ya Vin, gue iri berat
sama elo waktu itu. Lo tuh kaya jadi anak emas semua guru, enggak ada
yang marah kalau elo enggak masuk, dan elo selalu bisa bebas dari
kegiatan-kegiatan yang berhubungan sama fisik..” sambung Cakka lagi,
tersenyum kecil, mengingat ia yang dulu paling vokal, menganggap
guru-guru berlaku tidak adil.
“Gue
juga mau dong..” pinta Rio, seolah saat ini adalah waktunya untuk
membagi pengalaman mereka tentang Alvin. Cakka hanya mengangguk.
Sementara Alvin, si objek yang dibicarakan sejak tadi, hanya bisa diam
mendengarkan.
“Kelas
satu smp, gue maksa ke nyokap gue buat ngasih tahu apa penyakit lo, dan
akhirnya gue tahu. Jadi saat itu, diam-diam gue udah ngerti sakit apa
yang ada di tubuh lo. Gue takut banget waktu itu, dan gue sama sekali
enggak ngerti apa yang bisa gue lakuin buat bikin elo tetep tinggal
disini sama kita..”
“Sampai
akhirnya, pas kelas dua smp, dan elo cerita ke kita, lo sakit apa dan
kenapa, dan ngelihat elo bisa tegar kaya gitu, gue pikir kenapa gue
enggak bisa. Tapi setegar-tegarnya gue, gue tetep aja ngerasa takut, itu
sebabnya mungkin kenapa elo nganggep kita jadi lebih protect ketimbang
dulu, karena semakin kesini, gue juga semakin ngerti sama keadaan lo,
dan semakin kesini, semakin banyak waktu yang kita berempat laluin jadi
kenangan..” Rio menepuk-nepuk pundak Alvin pelan.
“Gue bukan siapa-siapa tanpa kalian” ujar Alvin pelan, memandang temannya satu persatu-satu.
“Gue
penyakitan dan lemah. Gue enggak pernah aktif di osis kaya kalian
bertiga, enggak bisa juga jadi bintang basket atau olahraga lainnya
karena fisik gue yang enggak mengijinkan untuk itu, badan gue terlalu
kurus dan pucet buat jadi idaman cewek-cewek cantik di sekolah, otak gue
apalagi, satu bulan, bisa ada satu minggu sendiri gue enggak ikut
pelajaran, orang tahu gue, karena gue sama kalian..”
“Enggak gitu juga ah Vin..” sanggah Iel.
“Kaya
gitu Yel. Orang kenal gue, oh Alvin temennya Iel yang mpk itu ya, atau
Alvin yang suka sama Rio ketua osis itu kan, ehm..Alvin yang sering
nemenin ketua basket si Cakka ya..selalu kaya gitu, tapi coba kalau gue
sendiri, orang tahunya ya gue yang penyakitan, jarang masuk, tapi selalu
sukses naik kelas..”
“Serius Vin, ada yang bilang gitu ? minta di tampol tuh orang” sungut Cakka sengit.
“Buat
apa Kka ? gue enggak peduli. Emang gue kaya gitu kok, emang gue Alvin
looser yang ada di antara tiga orang hebat, dan gue enggak keberatan
akan hal itu. Yang penting kaliannya mau nerima gue apa adanya, padahal
gue suka nyusahin kaya gini, sama sekali enggak ada keuntungannya
temenan sama gue”
“Elo
ngomong apaan sih Vin ? siapa bilang temenan sama elo enggak ada
keuntungannya ? gue bangga punya temen kaya elo, dan akan selalu kaya
gitu !” sahut Rio.
“Thanks, kalian emang yang paling the best..”
***
Tidak akan ada perpisahan yang menyenangkan, yang ada hanya doa agar suatu saat dapat berjumpa kembali
***
Deruan
nafas yang tidak teratur, rasa sakit yang bagai meremas tulang-tulang
secara sengaja, darah yang terus mengalir bagai kran air yang lupa
ditutup, dan kesadaran yang perlahan dan demi perlahan tergerus.
“Vin..Alvin..”
Suara
itu. Seperti ada tangan yang mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi
jangankan untuk membuka matanya, bahkan dalam ke adaan terpejam seperti
inipun, rasa sakit itu terus saja mendera tanpa ampun. Terus saja
memeluknya erat.
“Alvin, lo denger gue kan ? ini gue Rio, Alvin !!”
“ALVIN !! VIN !!”
Dan
semua tiba-tiba seperti diam. Berhenti. Tidak ada lagi suara, sama
sekali tidak. Tapi rasa sakit itu masih saja tersisa. Membuat seluruh
tubuhnya terasa berat.
***
Doa
dan lantunan harapan, bergaung terus menerus di dalam hati mereka.
Tangan-tangan di angkat, menengadah, meminta kepada Ia, satu-satunya Zat
yang paling berkuasa atas segala kuasa di alam ini.
Ini
bukan untuk pertama kalinya. Sudah berpuluh-puluh kali, mereka pernah
ada di kondisi yang sama seperti ini. Menanti tanpa harapan yang pasti.
Berharap masih ada satu hari atau malah lebih, untuk di tambahkan pada
umur Alvin.
Tangan
Rio bergetar hebat. Bayangan wajah pucat Alvin, dan darah yang terus
keluar dari lubang hidungnya, terasa terus berkelebat di pikirannya. Rio
benar-benar tidak menyangka akan menemukan Alvin dalam keadaan seperti
itu. Ia memandangi ujung kaosnya, yang penuh bercak darah.
“Dia pasti baik-baik aja Yo..” ujar Iel yang duduk di sebelahnya, meski gurat kecemasan juga terpeta jelas di wajahnya.
“Alvin kuat, kita harus percaya sama dia” timpal Cakka.
Kedua
orang tua Alvin tersenyum tipis, melihat bahwa anak mereka, memiliki
sahabat yang tidak sedetikpun pernah berniat untuk pergi, meski
keadaannya seperti ini. Bukankag itu suatu yang patut di banggakan ?
Seorang dokter keluar dari kamar perawatan Alvin, yang langsung mereka hampiri. “Kalian semua di tunggu oleh Alvin di dalam”
“Sudah, kalian bertiga aja yang masuk duluan, om sama tante biar ketemu sama dokter dulu” bujuk papanya Alvin. ketiga orang itu mengangguk, dan segera masuk ke dalam kamar Alvin.
“Hei..” sapa Alvin parau, mencoba tersenyum di balik masker oksigen yang menyelubungi wajahnya.
“Lo bikin gue takut Vin” sahut Rio.
“Gue masih ada disini” ujar Alvin pelan. “Untuk beberapa waktu..” sambungnya lirih.
“Berhenti ngomong, seolah-olah lo mau mati besok” celetuk Iel datar, menatap Alvin memohon.
“Kita
kenapa sih ? jangan pada kaya gini ah lo semua, kitakan harusnya
seneng, Alvin udah sadar” Cakka mencoba untuk tidak ikut terpengaruh
pada suasana, yang entah kenapa terasa begitu suram ini.
“Gue pengen kita ngeband lagi”
“Apa Vin ?” tanya Cakka, yang agak kesulitan mendengar perkataan Alvin.
“Ngeband, gue mau ngeband lagi..” ulang Alvin.
“Iya,
entar kalau elo udah keluar dari sini, kita ngeband lagi” jawab Iel.
Layaknya seorang ayah, yang menjanjikan sesuatu pada anaknya.
Dan
semua tiba-tiba saja diam. Duduk mengelilingi Alvin. Namun meski tanpa
kata-kata, semua terasa tersampaikan, rasa sayang itu, kepedulian itu,
aroma persaudaraan yang kental. Semuanya, begitu terasa.
***
Semua
saling berbisik-bisik. Tidak mengerti, mengapa harus di kumpulkan di
aula sekolah siang-siang begini. Dan segala kasak-kusuk itu kian
menjadi-jadi, ketika Alvin, Rio, Iel dan Cakka keluar ke atas panggung
dan mengambil alat musik masing-masing.
“Siang semuanya..” sapa Alvin, yang kali ini bertindak sebagai vokalis.
“Maaf
kalau gue ganggu waktu belajar kalian, oh ya by the way, kalian kenal
enggak ya sama gue ? kalau sama, yang ada di belakang, pasti kenal semua
doang, ada Rio, Cakka dan Iel. Gue sendiri Alvin, angkatan 28, dari 12
ips 1, mungkin banyak yang enggak kenal gue karena gue jarang masuk,
tapi sekali ini aja, gue pengen ngasih sesuatu buat sekolah ini..”
Cakka
yang ada di balik drum, Iel yang memegang Bass serta Rio dengan
gitarnya, menatap Alvin lirih. Hanya ini yang bisa mereka bertiga
lakukan, memohon kepada sekolah, agar bersedia mengijinkan untuk acara
kecil ini. keinginan mereka hanya satu, hanya ingin, Alvin tidak hanya
menorehkan kenangan di hati mereka bertiga, tapi juga di seluruh sekolah
ini.
Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi
Suara
Alvin yang sedikit serak, entah mengapa terasa mengirisi ulu hati
Cakka, Rio dan Iel. Belum lagi lagu pilihan yang Alvin pilih ini.
Bersenang-senanglah
Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Kar'na waktu ini yang 'kan kita banggakan di hari tua
Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan
Di hari nanti...
Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian
Bersenang-senanglah
Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Kar'na waktu ini yang 'kan kita banggakan di hari tua
Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan
Di hari nanti...
Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian
“Prokkk....prokkk..”
“Makasih
semuanya..” untuk pertama kalinya, Alvin merasa ia bisa melakukan
sesuatu, tidak hanya bergantung pada orang lain. Tapi rasa bangga sesaat
itu, tiba-tiba saja berganti menjadi rasa sakit yang tidak tertahankan,
dan semua kembali gelap. Benar-benar gelap.
***
Titik-titik
air mata, masih saja menetes meski hanya satu-satu. Tidak ada yang akan
tetap berdiri tegak, ketika sahabat terbaik akhirnya pergi. Semua akan
terasa pekat dan gelap. Dan mungkin akan berlangsung untuk beberapa
waktu. Tapi siapa peduli. Yang terbaik yang pernah ada di hidupmu baru
saja pergi. Kamu berhak untuk menangisinya.
Bukan cengeng. Bukan juga lemah. Ini hanya fase kehidupan, manusiawi. Setidaknya percayalah, kamu telah memberikan semua yang terbaik yang kamu punya, untuknya, yang kamu bilang sahabat.
Dan
saat kamu meyakini, bahwa ia telah cukup bahagia, maka lepaskanlah,
karena percuma saja terus menahannya. Sahabat terbaik datang untuk
menemani langkahmu. Jadi teruslah pegang itu, meski ia pergi, kakinya
tidak akan pernah beranjak jauh dari tempatmu.
Yang
terbaik, adalah ia yang datang, untuk siap kamu bagi dengan segala
dukamu, dan tidak pernah dendam saat kamu lupa membagi tawamu untuknya.
***
Kisah biasa kan ?
Hanya tentang persahabatan.
Persahabatan yang indah. Namun tetap saja, hanya sebuah..
Cerita biasa..
TAMAT.
Fyi, lagunya sebuah kisah klasik by sheila on7
Makasih.
Komentar
Posting Komentar