Fearless of Love 2 : Destiny in Love part 6
Aren
bingung ngelihat kakaknya yang masuk ke rumah dengan lunglai, padahal
tadi dia semangat banget waktu bilang mau ke rumah via. Penasaran
sekaligus enggak tega, aren pun inisiatif buat ngampirin kakaknya.
"Kenapa kak ? kucel amat" tanya aren sambil duduk di samping kakaknya di depan tv.
"Gue
bingung harus gimana sama via ? apa gue nyerah aja ?" rio bertanya
lirih, aren bingung lihat kakaknya yang biasanya semangat banget kalo
ngomongin tentang via, kali ini enggak.
"Emangnya kenapa sih kak ?" tanya aren penasaran.
"Tadi via curhat sama gue ren.."
_Flashback_
"Dulu
iel bisa ngabisin satu loyang sendiri kalo gue bikin brownies" kata via
sambil ngelihat rio, yang sebenernya lagi usaha buat nelen brownies di
mulutnya.
"Gue kangen masakin buat dia, bikinin brownies, bikinin kue coklat" sambung via lagi.
"Kan ada gue, lo bisa bikinin buat gue" kata rio setelah berhasil nelen browniesnya.
"Gu..gue
kangen dia yo.." via berkata pelan, air matanya menetes perlahan. Rio
enggak ngerti harus ngapain, kecuali ngapusin air mata via dengan
ujung-ujung jarinya.
"Cup cup cup, jangan nangis dong vi, lo kenapa ? cerita deh sama gue"
"Udah
setahun yo, dan gue kadang masih berharap lihat iel main basket sambil
senyum ke arah gue, gue kangen saat-saat kaya gitu" via memulai
ceritanya, lirih. Rio mencoba tersenyum, hatinya telah terpikat dalam
pada cewek di depannya ini.
"Iel akan selalu ada di samping lo vi, percaya deh sama gue" hibur rio.
"Gue pernah janji, buat ngenang iel dengan senyum gue bukan air mata gue, tapi itu ternyata susah banget yo, susah"
"Lo
pasti bisa kok, ada gue, ada temen-temen lo yang lain. Iel bener, lo
harus ngenang dia dengan senyuman lo, jadi ayo dong senyum"
"Gue pengen iel yo, iel ada disini, makan masakan gue, godain gue, muji-muji masakan gue"
"Gue
bakal makan masakan lo apapun itu, brownies ataupun kue coklat, gue
bakal puji semua masakan lo, gue bakal nemenin lo, tiap hari juga gue
udah godain lo kan, gue tahu, gue bukan iel, dan enggak akan bisa jadi
iel, tapi gue bisa jadi temen lo, sahabat lo" rio berkata mantap.
"Makasih ya yo, besok lo mau nganterin gue ke makamnya iel enggak ?"
"Mau dong, sekalian gue mau kenalan kan sama dia"
"Makasih
banget ya yo, lo emang baik, nanti setiap gue abis bikin masakan, gue
kirim ke rumah lo deh, sekarang cepet abisin browniesnya" kata via
sambil tersenyum, rio juga tersenyum melihat via, dan menuruti perintah
via 'apapun vi buat lo' batin rio sambil kembali bersusah payah menelan
browniesnya.
_Flashbackend_
"Kakak makan brownies ?" tanya aren enggak percaya.
"Iya ren, tapi bukan bagian itu yang kakak pengen bahas sama kamu"
"Kakak
tulus banget ya sama kak via ? ya udah, kakakkan cuma pengen bikin kak
via seneng, kak via bahagia, semua kan ada tahapnya kak, tahap pertama
ya kakak harus jadi sahabatnya dulu, setelah itu siapa yang tahu sih"
jelas aren.
"Iya
ren, kakak cuma pengen bahagiain via, bikin dia senyum, itu aja, lagian
kakak kan ganteng ya, masa nanti via enggak luluh juga sih sama kakak"
aren langsung mencibir rio.
"Huu..si kakak, btnya ilang, narsisnya balik.."
"Haha biarin, eh tumben si alvin enggak ngapel ?"
"Enggak, lagi usaha mau baikan sama kak riko"
"Oh pantes, ya udah kakak mandi dulu deh, makasih ya adekku sayang.." kata rio sambil mencubit hidung aren lembut.
Lapangan basket.
Cakka,
alvin, dan obiet lagi nungguin riko, mereka sengaja ketemuan buat
ngelurusin semua masalah, dan cari jalan keluarnya bersama-sama. Riko
turun dari mobilnya, acak-acakkan.
"Lo baik-baik aja ko ?" tanya obiet sambil ngajak riko duduk di sampingnya.
"...."
riko diam aja, tapi hal ini malah bikin sahabatnya ngerasa tambah
kasian, ada sorot mata kesedihan di riko yang terlalu jelas.
"Gue
mau jelasin semuanya, tentang kejadian malam itu. Oke, gue emang
pelukan sama shila, gue sendiri enggak tahu kenapa, dia tiba-tiba meluk
gue, yang gue tahu dia nangis, tapi dia juga enggak mau bilang kenapa"
jelas alvin singkat, berharap riko mau mengerti.
"Sori vin, gue kebawa emosi" kata riko lirih.
"Enggak
apa-apa, mungkin gue juga bakal ngelakuin hal yang sama kalo ngelihat
aren pelukan sama sahabat gue sendiri" kata alvin sambil tersenyum.
"Gue masih belum bisa hubungin shila"
"Shila juga keadaanya enggak jauh beda sama lo ko, sama-sama nelangsa" kata cakka.
"Lo
harus bisa ngendaliin emosi lo ko, riko yang gue kenal bukan orang yang
emosian dan main pukul gitu aja, riko yang gue kenal, riko yang mikir
dulu sebelum bertindak" ujar obiet memberi semangat.
"Gue
nyesel, gue udah datang ke rumah anak yang gue pukulin tadi, gue udah
minta maaf sama orang tuanya" alvin, cakka dan obiet tersenyum lega,
menyadari sahabat mereka udah kembali seperti semula, walau belum
seratus persen.
"Nah itu baru riko" alvin menepuk-nepuk pundak riko.
"Gue
titip shila ya, kayanya dia lagi nyimpen masalah, cuma seminggu kok gue
di skors, abis ini gue bakal tetep jadi sahabatnya dia yang selalu
jagain dia" kata riko mantap.
"Tanpa lo ngomong, shila juga tetep sahabat kita ko, kita bakal selalu ada buat lo berdua" sahut obiet sambil tersenyum.
"Makasih ya, sori kalo gue udah nyebelin tadi" alvin, cakka dan obiet hanya tersenyum mengerti.
Kelas, keesokan hari.
Oik
menatap shila, temannya yang akhir-akhir ini keadaannya semakin enggak
karuan aja, enggak ada lagi shila yang tersenyum lembut, shila yang
berkata bijak. Shila lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan,
enggak pernah nanggepin oik yang ngajak dia ngobrol, lebih sering
terbenam dalam lamunannya.
"Shil, semalem lo nangis ? atau kurang tidur ?" oik bingung ngelihat lingkaran hitam di mata sahabatnya.
"...." shila diam terus membaca buku yang dia pegang. Tapi oik enggak mau nyerah.
"Shil, lo kenapa sih ?" shila menatap oik, dan hanya menggeleng. Lalu dia malah berdiri dari bangkunya dan hendak pergi.
"Mau kemana shil ?"
"Perpus ik"
"Lo enggak ke kantin ? enggak makan ? lo keliatan kurusan tahu enggak ?" oik memberondong shila dengan berbagai pertanyaan.
"Gue
enggak apa-apa ik, gue ke perpus ya" shila hanya berkata singkat, lalu
meninggalkan oik gitu aja. Oik hanya dapat menatap punggung shila yang
berjalan menjauh.
Makam iel, pulang sekolah.
Via
meletakkan setangkai mawar putih di atas kuburan iel, rio hanya
menyaksikan itu dalam diam. Dia enggak ngerti gimana perasaannya
sekarang, yang dia tahu via melakukan itu dengan penuh cinta.
"Sore yel, aku baru pulang sekolah nih" kata via lirih sambil mengusap nisan iel.
"Aku
kangen sama kamu, kangen banget. Oh, iya kenalin ini rio, kakaknya
aren. Dia anak baru di sekolah, dia yang sekarang duduk di samping aku"
via berkata seolah-olah iel memang ada di depannya. Rio ikut duduk di
samping via.
"Hai
yel, gue rio. Gue harap lo enggak cemburu ya gue duduk sama via, tenang
aja lo bisa percaya kok sama gue, gue bakal jagain dia"
"Jangan dengerin dia yel, dia emang kalo ngomong suka ngaco, asal banget" timpal via. Rio hanya tersenyum.
'gue
enggak ngerti yel, wajar atau enggak cemburu sama orang yang udah
meninggal, tapi gue sayang sama via, dan dia terlalu setia sama lo'
batin rio pedih ngelihat cara via menatap dan mengusap nisan rio,
pandangan yang tidak pernah via lakukan untuknya atau siapapun,
pandangan yang terlalu dalam, dalam oleh cinta.
Rio
maksa buat nraktir via makan es krim sepulang mereka dari makam, via
pun cuma pasrah, mau pulang sama siapa juga dia. Via menatap rio yang
lagi mesenin dia es krim, rio. Satu orang yang udah beberapa hari ini,
deket sama dia. Orang yang udah mulai via percaya buat dengerin
curhatannya.
"Ya
elah neng, jangan bengong dong, nih es krimnya, kesukaan lo" rio
tiba-tiba udah duduk di depannya sambil memberikan segelas es krim rasa
coklat.
"Lo tahu darimana, gue suka rasa coklat ?" tanya via bingung.
"Haha, gue gitu lho. udah ah di makan aja, keburu cair" via cuma mengangguk dan menyendok es krimnya.
"Rio,
makasih ya udah nemenin gue ke makamnya iel, makasih banget" kata via
sambil tersenyum, via emang selalu semangat kalo lagi ngomongin iel.
"Basa-basi banget vi, biasa aja kali. Asal lo enggak jutek-jutek amat lagi sama gue, gue siap kok jadi supir lo"
"Emang gue jutek sama lo ?" tanya via polos.
"Haha,
enggak ya emang ? ya udah kalo gitu banyak-banyak senyum ya buat abang
rio yang ganteng nan baik hati ini" rio seperti biasa mulai menggoda via
lagi.
"Rio
lo narsis banget sih, sama kaya iel" via tersenyum, tapi rio terdiam.
Dia mulai enggak nyaman, oleh via yang selalu bawa-bawa iel.
"Kenapa yo ? gue salah ngomong ?" via menyadari perubahan sikap rio yang tiba-tiba.
"Enggak
apa-apa, udah yok ah, keburu sore" via cuma melihat rio, tapi dia
setuju juga buat pulang, walau jadi ngerasa aneh sama sikap rio yang
jadi diem sepanjang jalan pulang.
Rumah rio.
Rio ngelihatin potonya via di hpnya, poto yang dia ambil secara sembunyi-sembunyi. Lama dia memandangi poto itu.
"Senyum lo vi, senyum lo yang bikin gue enggak bisa nyerah buat bertahan ngeluluhin hati lo" bisik rio pelan.
"Rio"
tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Rio tahu itu suara
siapa, tanpa perlu menoleh. Tapi rio enggak mau menoleh, dia malah
berdiri dan mau menjauh.
"Tolong jangan pergi, ada yang harus kita omongin" rio mengehentikan langkahnya.
"Kamu
sudah dewasa rio, kita harus bicara antara dua orang laki-laki dewasa"
rio berbalik, melihat orang tersebut, dengan malas-malasan dia kembali
dan duduk di samping orang itu.
"Apa lagi ? saya kesini karena aren" kata rio cuek.
"Papa tahu.."
"Maaf anda bukan papa saya" rio memotong kata-kata papa tirinya.
"Papa
tahu, kamu masih enggak bisa nerima kehadiran papa. Kamu enggak akan
pernah bisa, walaupun sudah bertahun-tahun. Tapi papa enggak pernah
ngerebut mama dari papa kamu. Papa, mama dan papa kamu sahabatan dari
kuliah, papa kamu yang playboy, mama kamu yang ratu kampus, dan papa
yang biasa-biasa aja" papa tiri rio enggak peduli akan interupsi dari
rio, rio tidak mau menatap papa tirinya, tapi dia tidak bisa bohong
bahwa ia tertarik akan cerita ini.
"Papa
kamu dan mama kamu nikah enggak lama setelah wisuda, sementara papa ke
luar negri buat kerja. Semenjak saat itu, papa enggak pernah berhubungan
lagi sama orang tua kamu. Sampai suatu hari, papa pulang ke indonesia.
Mama kamu lagi dalam keadaan terpuruk, di tinggal papa kamu dengan
perempuan lain, waktu itu aren masih bayi dan kamu masih berusia
setahun" rio membelalakan matanya, tapi papanya hanya tersenyum.
"Awalnya
papa bantuin mama kamu sebagai sahabat, tapi kami tidak bisa bohong,
bahwa kami mencintai satu sama lain. Mama kamu memilih papa, bukan papa
yang memaksa mama kamu"
"....." rio hening, bingung mau ngomong apa.
"Papa
cerita seperti ini, bukan untuk menarik simpati kamu ataupun membuat
kamu membenci papa kandungmu. Papa cuma ingin, kita baikan, buat dua
orang wanita yang sama-sama kita sayang dan ingin kita lindungi, mama
dan aren" rio menatap mata papanya, bukan tatapan benci atau marah
seperti biasanya.
"Tolong
kamu tunjukin ke papa, dimana salah papa, biar papa bisa perbaiki sikap
papa" rio berpikir, papanya adalah papa yang paling baik, tidak pernah
berkata kasar padanya apalagi main tangan. Papa lah yang selama ini,
membiayai dia dan aren, yang melindungi aren dan mamanya, papa bukan
papa tiri yang jahat.
"Pa..papa
enggak salah apa-apa" kali ini gantian papanya yang membelalak,
terkejut akan rio yang memanggilnya papa, untuk pertama kalinya.
"A..apa rio ?"
"Papa,
makasih ya pa, maafin rio, rio yang egois selama ini" rio memeluk
papanya, merasakan pelukan hangat seorang papa yang selama ini ia
pungkiri sendiri.
"Sama-sama yo, kita baikan kan" rio melepaskan pelukannya, dan mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking papanya.
"Yang dari tadi kamu lihatin itu siapa ? pacar kamu ?" tanya papanya menggoda.
"Gebetan pa, tapi susah banget mau di raih, dia masih sayang sama cowoknya yang udah meninggal"
"Jangan nyerah dong yo, papa sama mama aja, bisa bahagia kaya sekarang, berawal dari namanya persahabatan"
"Rio
udah jadi temennya pa, tapi akhir-akhir ini, rio suka ngerasa sakit
sendiri kalo inget dia masih sayang banget sama cowoknya"
"Sahabatan
itu landasannya ketulusan, dan kalopun dia bukan jodoh kamu, kamu harus
tetep tulus sama dia, tulus ngejagain dia. Kadang kita emang enggak
bisa ngedapetin semua yang kita mau, tapi bukan berarti, kita harus
berhenti dan menyerah kan"
"Makasih ya pa, rio bakal terus coba dan enggak nyerah" rio dan papanya tersenyum bersama.
"Rio,
cowoknya aren yang namanya alvin itu, anaknya baik kan ?" rio tersenyum
geli, orang di sampingnya yang bukan papa kandungnya, yang darahnya
tidak mengalir di tubuh rio ataupun aren, ternyata terlalu peduli
padanya dan aren. Rio menikmati saat-saat ini, saat-saat yang dulu ia
lewati dan acuhkan begitu saja.
Komentar
Posting Komentar