Fearless of Love 2 : Destiny in Love part 10
Semua
menatap aren, menunggu aren buat cerita. Terutama via, dia masih enggak
percaya sama yang aren bilang, apalagi kalo inget rio yang selalu
ngabisin satu piring kue coklat yang dia sajikan.
"Kak rio enggak suka coklat karena papa..." aren mulai cerita semuanya diem menyimak.
"Kata
mama, dulu waktu papa mau pergi kak rio nangis pengen ikut papa, terus
papa ngasih kak rio coklat dan bilang papa bakal balik buat jemput kak
rio kalo coklat itu udah habis, tapi ternyata papa enggak pernah balik
lagi, aren aja sama sekali enggak tahu muka papa kaya apa, semenjak saat
itu, kak rio anggep coklat sebagai lambang kebohongan, kak rio cuma
lihat coklat dari sisi pahitnya aja" semuanya emang udah tahu tentang
keluarga rio-aren, alvin terus menggenggam tangan aren, dia tahu aren
enggak gitu suka membahas tentang 'papa' yang tidak pernah ia ketahui.
"Tapi
dia selalu makan kue coklat di rumah gue sampai abis ?" via tahu aren
enggak bohong, tapi logikanya masih belum bisa nerima ini.
"Kak
rio ngelakuin itu, karena kakak. Enggak jarang kak rio sampai
muntah-muntah sendiri kalo abis pulang dari rumah kakak, tapi kak rio
selalu bilang gini 'senyumnya beda ren, kalo kakak makan kuenya, kakak
suka senyumnya' selalu bilang gitu" kata aren mengutip kata-kata rio.
Via cuma tertegun, enggak nyangka rio berbuat sejauh ini.
Sekembalinya
ke kelas, via mendapati rio yang lagi diem sendirian, bahkan sampai
akhir sisa pelajaran, rio cuma ngomong seperlunya, enggak kaya biasanya.
Taman belakang rumah rio-aren.
Rio
memasukkan kakinya ke dalam kolam renang, sambil memainkan air. Dia
masih memikirkan kata-katanya sendiri tadi, apa bener dia sanggup buat
terus cukup jadi sahabatnya via, apa dia tahan terus di bawah
bayang-bayang iel, apa dia bisa bikin via luluh akan kesabarannya suatu
saat nanti. Rio menoleh terkejut ketika lamunannya di hentikan oleh
sebuah tepukan lembut di pundaknya.
"Via ?" sapa rio kaget sekaligus seneng.
"Nih
buat lo" via menyodorkan sebuah kotak makan, rio sudah bisa menebak
isinya pastilah kue coklat, tapi dia tetap membuka kotak itu, dan
bingung ngelihat isinya.
"Kenapa ? lo enggak suka coklat kan, makanya gue bikinin fruit cake" kata via yang bisa nebak ekspresi rio.
"Sori vi, tapi gue ehm..tetep bakalan makan kue coklat buatan lo kok" ujar rio, yang enggak tahu kalo aren udah cerita semuanya.
"Walaupun setelah itu lo bakal muntah-muntah ? aduh rio, kenapa lo sampai segininya sih sama gue ?" tanya via gemas sendiri.
"Gue
pengen bilang vi, tapi..." rio menggantung kata-katanya, dia memikirkan
kata-kata yang tepat, takut kata-katanya menyinggung perasaan via.
"Tapi ?" tanya via penasaran.
"Maaf
vi, gue harap lo enggak tersinggung, tapi lo sadar enggak, kalo lo
sering banget bending-bandingin gue sama iel ? lo jadi semangat banget,
kalo lagi cerita tentang iel, tingkah lakunya dia, dan momen-momen itu
terjadi berulang-ulang, setiap lo ngelihat gue makan kue coklat lo, gue
enggak tahu saat itu lo lihat gue sebagai iel atau rio, tapi senyuman lo
bakal lebih cerah dari biasanya" rio menundukkan kepalanya, dia beneran
takut memandang via, semua kegundahannya, baru mengalir gitu aja. Via
mencoba meresapi kata-kata rio.
"Harusnya gue yang minta maaf yo, kadang gue ngelakuin itu tanpa sadar"
"Enggak vi, lo jangan ngerasa enggak enak ya sama gue, jangan bikin gue nyesel udah jujur sama lo" rio tersenyum ke via.
"Baru
tadi siang lo yakinin ke gue, kalo lo rio dan bukan iel, kalo lo rio
dan enggak akan pernah bisa jadi iel, lo juga harus ngeyakinin hati lo
yo"
"Iya, gue rio vi" rio mencoel sedikit krim yang ada di kuenya via, dan dengan gerakan kilat, mengoleskannya ke pipi via.
"Rio ! gue bikin capek-capek buat di makan" enggak mau kalah via membalas perlakuan rio dengan menyipratkan air ke rio. Dan mereka pun kejar-kejaran, muterin kolam renang sambil ketawa cekikikan berdua.
"Rio ! gue bikin capek-capek buat di makan" enggak mau kalah via membalas perlakuan rio dengan menyipratkan air ke rio. Dan mereka pun kejar-kejaran, muterin kolam renang sambil ketawa cekikikan berdua.
Udah
lebih dari dua jam, obiet nungguin oik di depan rumahnya. Berkali-kali
sudah juga obiet, menelpon hpnya oik, dan semuanya tetap enggak ada
hasilnya. Dan penantiannya berakhir, ketika sebuah taksi berhenti tepat
di depan rumah oik. Oik turun, masih pake seragam sekolahnya, tapi dari
mukanya yang kelihatan letih, obiet tahu ada yang enggak beres. Dengan
segera obiet menghampiri oik.
"Ik, kamu darimana aja ?" obiet langsung menahan tangan oik.
"Biet
aku capek, mau istirahat dulu, please" oik melepaskan tangannya dari
tangan obiet, obiet pasrah, dia cuma terus memandang oik yang berjalan
menghilang memasuki rumahnya.
Semenjak
hari itu, oik malah menjadi lebih diam. Dia kaya lagi nungguin sesuatu,
sebentar-bantar dia ngecek hpnya, setiap istirahat, dia ke ruang
komputer buat ngecek emailnya, tapi setiap ditanya sama temen-temennya
dia cuma menggeleng sambil tersenyum. Tapi di balik semua itu,
hubungannya dengan obiet mulai berjalan baik, obiet telah kembali
menjadi obiet yang seperti biasanya.
"Obiet
ikut saya ke ruang guru" semua mata di kelas menatap obiet, obiet yang
enggak ngerti juga ada apa, cuma mengangkat bahunya ke arah alvin dan
mengikuti pak duta. Ternyata mereka menuju kantor kepala sekolah, obiet
yang diem dari tadi akhirnya mutusin buat bertanya.
"Pak, saya kenapa ?"
"Udah
kamu ikut aja, ayo masuk" obiet pun masuk ke ruangan kepala sekolah,
dia melihat pak toni kepala sekolahnya sedang mengobrol dengan seorang
bapak-bapak. Saat melihat obiet masuk, mereka langsung menghentikan
obrolan mereka, dan bapak-bapak itu segera menghampiri obiet.
"Obiet, perkenalkan nama saya Hendrawan" kata orang itu sambil menjabat tangan obiet, obiet hanya tersenyum.
"Ada perlu apa ya pak ?" tanya obiet sambil mempersilahkan pak hendrawan buat duduk.
"Ini,
kamu baca dulu ini" pak hendrawan menyerahkan sebuah amplop coklat,
tanpa ragu obiet langsung membukanya dan membaca beberapa lembar kertas
yang ada disana. Sorot matanya berubah menjadi senang sekaligus bingung.
"Ta..tapi saya bahkan enggak jadi ikut seleksinya pak ?"
"Kami
tahu, dan ini memang agak menyalahi aturan. Tapi pada saat hari
seleksi, ada seorang anak perempuan, memakai seragam datang ke kantor,
dan dia membawa sebuah rekaman video, di rekaman itu ada kamu yang
sedang memainkan biola, dan di rekaman lain ada kamu dan anak perempuan
itu sedang berduet, kamu bermain biola dan dia bernyanyi" obiet mencoba
mencerna penjelasan dari pak hendrawan barusan.
"Dia
juga menyanyi disana, dan memohon kepada kami tim seleksi untuk
memberikan kesempatan kedua kepada kamu untuk mengikuti seleksi susulan.
Awalnya ada beberapa orang yang menolak ini, tapi anak perempuan
tersebut terus memohon, bahkan rela menunggu kami rapat, dan hari ini
saya datang kesini, untuk meyampaikan bahwa kamu secara resmi telah
berhasil menjadi salah satu penerima beasiswa ini" obiet takjub
mendengar lanjutan penjelasan pak hendrawan.
"Tapi saya bahkan belum mengikuti seleksi, apakah ini adil untuk yang lain ?" obiet tetaplah obiet yang menjujung sportfitas.
"Tadi
saya sudah berbicara panjang lebar dengan kepala sekolah kamu, beliau
menunjukkan berbagai prestasi musik dan akademis kamu, dan itu semua
sudah cukup untuk meloloskan kamu"
"Boleh
saya ijin sebentar untuk mengambil biola di ruang musik, kalo cuma
dengan cara seperti ini, saya seperti lolos bukan dengan kemampuan saya
sendiri" pak hendrawan mengangguk, obiet melirik kepala sekolahnya dan
pak duta yang juga melakukan hal yang sama, tanpa pikir panjang obiet
langsung berlari untuk mengambil biola di ruang musik dan kembali lagi
ke ruang kepala sekolahnya.
Obiet
mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan, baru
kemarin perban di tangannya di buka dan sudah seminggu dia sama sekali
tidak berlatih main biola. Tapi dengan keyakinan dan tekad yang mantap,
obiet mulai menggesekkan biolanya, membiarkan nada-nada indah mengalir
keluar memenuhi ruangan kepala sekolahnya, semua yang ada di ruangan itu
menahan napas kagum. semua bertepuk tangan saat obiet selesai memainkan
biolanya.
"Good job, saya seratus persen yakin dengan kemampuan kamu" kata pak hendrawan.
"Terimakasih pak"
"Setelah ini, kamu bisa langsung mengurus administrasi ke kantor kami, dan mulai mengikuti kursus singkat"
"Kapan berangkatnya pak ?"
"Akhir bulan juli, segera setelah menerima hasil un dan kelulusan"
Teet..teet..teeeet.
Obiet keluar dengan sumringah tepat ketika bel istirahat berbunyi
dilihatnya alvin, rio, riko, cakka, aren, shila, via, dan agni sedang
berjalan menghampirinya.
"Lo kenapa biet ?" tanya alvin bingung, dia juga tadi yang langsung ngjakin temen-temennya.
"Nanti gue ceritain, oik mana ?"
"Dia ke ruang komputer" jawab shila.
"Oh oke, kita ketemuan di kantin ya" obiet langsung meninggalkan mereka semua yang masih di bebani oleh sejuta tanda tanya.
Ruang komputer.
Ruangan
yang selalu ramai pada jam istirahat, di penuhi oleh anak-anak yang
pengen online gratis. Oik duduk dipaling ujung, menatap layar
komputernya dengan serius, jarinya mengetuk-ngetukkan telunjukya kemeja.
"Nunggu email siapa sih ik ?"
"Dari tim seleksi"
"Tim seleksi apa ?"
"Tim seleksi beasiswa ke jepang"
"Beasiswa
kemana ?" oik menolehkan kepalanya, dan langsung menutup mulutnya
sendiri, melihat siapa yang udah duduk di sampingnya. Dia enggak sadar
kalo obietlah yang dari tadi nanya-nanya sama dia.
"Udah
enggak usah di tunggu lagi, enggak bakal datang juga emailnya" oik
menundukkan kepalanya, hatinya kembali di penuhi rasa bersalah.
"Maaf ya biet...."
"Ssstt,
capek aku denger kata maaf dari kamu, kamu enggak salah kok, nih baca
dulu" obiet menyerahkan amplop coklatnya, oik menerimanya dan langsung
mebacanya.
"Makasih
ya ik" kata obiet tulus sambil membelai lembut rambut oik, oik yang
baru selesai membaca surat tersebut, menatap obiet matanya berkaca-kaca.
"Se..selamat ya biet.."
"Lho, kok kamu nangis ? Kamu masih enggak rela aku ke jepang ?" tanya obiet sambil menghapus air mata oik.
"Enggak,
aku seneng banget, ini impian kamu, aku cuma terharu aja" obiet
langsung memeluk oik, dia enggak nyangka oik rela bolos buat
memperjuangkan cita-cita miliknya, impian yang hampir kandas dan
terbuang begitu saja.
"Sekali lagi maksih ya ik" bisik obiet di telinga oik.
"Ini pantes buat kamu"
"Ehem..ehem.."
"Aduh mesranya.."
"Eh
ini ruang komputer apa sinetron.." celetuk-celetukkan iseng mulai
berkumandang di situ, obiet langsung melepaskan pelukannya ke oik, dan
baru sadar kalo mereka udah jadi pusat perhatian.
"Yee
ngiri aja, kasih selamat gih ke obiet, dia dapat beasiswa musik ke
jepang nih !" teriak oik bangga sambil merangkul obiet, obiet cuma
senyum-senyum aja, sambil salam-salaman kaya lebaran sama anak-anak di
ruang komputer. Setelah itu, mereka langsung ke kantin, dan obiet serta
oik lansung menceritakan semuanya ke teman-teman mereka, dan obiet
mebagi kebahagiaannya dengan nraktir semua teman-temannya.
Aren
nganterin alvin mendaftar ke sebuah universitas ternama di Jakarta.
Aren duduk di bawah pohon, sambil ngeliatin alvin yang lagi sibuk
ngurusin administrasi.
"Udah kak ?" tanya aren waktu alvin mengahampiri dirinya.
"Udah kok, besok aku tinggak ikut ujian masuknya, ayo pulang" jelas alvin sambil ngegandeng aren.
"Kenapa kakak enggak nurut sama papa kakak buat sekolah di luar negeri aja ?"
"Enggak ah enakan disini, disana enggak ada yang manja kaya kamu" kata alvin jahil.
"Perasaan manjaan kakak deh daripada aku"
"Haha, masa sih, aku emang pengen disini, lagian nanti kamu kaya oik lagi, pakai ngembek dulu kalo aku sekolah di luar negeri"
"Kalo aku sih, apapun yang terbaik buat kakak, ya aku rela"
"Kalo
gitu aku yang enggak rela ninggalin kamu" kata alvin sambil mengecup
pipi aren, wajah aren langsung memerah sangking malunya, apalagi alvin
melakukan ini di tempat umum.
"Kakak.."
"Haha,
enggak usah merah gitu dong..Abis ini aku sibuk belajar nih ren, nanti
selesai aku ujian kita jalan-jalan ya, kita abisin waktu berdua" seperti
biasa alvin ngacak-ngacak rambutnya aren. Aren cuma nyengir-nyengir
aja, menikmati waktunya dengan alvin.
Komentar
Posting Komentar