For You (cerpen)
Kembalikan lagi senyumku yang manis seperti dulu
Kurasa kini aku tertahan
Menahan luka yang amat dalam
...
(kembalikan lagi senyumku by melly goeslaw)
Menahan luka yang amat dalam
...
(kembalikan lagi senyumku by melly goeslaw)
***
Pernahkah
kamu merasa, tiba-tiba saja kamu tidak mengenali dirimu. Semua terasa
berbeda, sama sekali bukan kamu, seperti yang kamu kenal dulu. Ya,
mungkin kamu pernah merasakannya, tapi apakah kamu pernah menjalani
hidup seperti itu, terus-menerus selama lima tahun ?
Apa ?
Gila katamu ?
Tertawalah. Tapi aku sangat mengerti rasanya.
***
Classmeeting
yang membosankan. Sangat-sangat membosankan. Dan aku hanya bisa duduk
di depan kelasku, memandangi lapangan yang penuh oleh mereka-mereka yang
sepertinya begitu semangat untuk mengisi acara ini. Tidak sepertiku.
“Ceilah, bengong aja lo”
Aku menengok ke sebelah kiriku. “Biarin, suka-suka gue sih, bukan urusan lo ini..”
“Yaelah santai Shil..” ujar orang yang tak lain adalah Ify, sahabatku. “Pasti lagi mikirin si itu..”
“Woo..sok tahu..” elakku.
“Haha..”
ia terkekeh, entahlah bagian mana yang menurutnya lucu. “Ngaku aja sih,
apa lagi sih, yang seorang Ashilla Zahrantiara pikirin kalau bukan
si..eumphhfff”
Tanpa
pikir panjang, aku langsung saja menutup mulutnya dengan tanganku,
sebelum ia akan menyebutkan nama itu dengan lantang. “Diem, baru gue
buka mulat lo ..” ancamku sambil menatapnya tajam, agak sadis memang.
Ify menganggukan kepalanya, dan sedetik kemudian, aku lepaskan tanganku.
“Heh
?! gila lo ! pengap woi gue, kejem amat sih sama temen sendiri”
semprotnya kesal, mengibas-ngibaskan tangan ke arah wajahnya, seolah
memanggil angin agar mendekat ke arahnya.
“Bodo ! daripada elo frontal nyebut namanya” sahutku enteng.
“Lo
kenapa sih ? lagi dapet ? apa pms ? sensi amat neng” Ify misuh-misuh
sendiri. Melihatku sikapku, yang aku akui, sedang agak menyebalkan saat
ini.
Dengan memasang muka polos, atau datar ? aku hanya menggeleng sambil mengangkat kedua pundakku bersamaan.
“Ahh, cerita dong, elo kenapa ?” pintanya.
“Enggak
apa-apa Fy, udah ah, gerbang udah dibuka belum ? mau balik nih gue,
gerah banget disini” ujarku, mengalihkan pembicaraan. “Gue ke kelas ya
Fy..” sambungku lagi, sambil berdiri dan masuk ke dalam kelas.
Tanpa
aku menoleh. Aku tahu pasti, saat ini Ify pasti sedang memandangku
dengan pandangannya yang penuh menyelidik itu. Bukan aku tidak ingin
membaginya. Hanya saja aku sendiri mulai lelah, jika harus kembali
bercerita. Tentang tokoh yang sama, tentang rasa yang sama,
bertahun-tahun ini, selalu begitu, tidak pernah berubah sedikitpun.
Ya, tentangnya. Tentang ia yang tak sedikitpun menggubrisku lagi.
Tentang ia..
Si masa lalu yang menyesakkan.
***
Jangan berakhir aku tak ingin berakhir
Satu jam saja kuingin diam berdua
Mengenang yang pernah ada
Satu jam saja kuingin diam berdua
Mengenang yang pernah ada
Jangan berakhir karena esok takkan lagi
Satu jam saja hingga kurasa bahagia
Mengakhiri segalanya
Satu jam saja hingga kurasa bahagia
Mengakhiri segalanya
Tapi kini tak mungkin lagi
Katamu semua sudah tak berarti
....
(satu jam saja by lala karmela)
Katamu semua sudah tak berarti
....
(satu jam saja by lala karmela)
***
Seandainya
semua bisa di putar. Bisakah aku memintanya untuk tetap tinggal ?
berdiam bersama, di lingkaran kebahagiaan yang saat itu mengelilingi
kami. Aku tahu, semua yang dimulai dengan seandainya, adalah ungkapan
penyesalan. Yang membuahkan kepahitan, dan kesakitan tak berujung.
Apalagi jika kesalahan itu, membuatmu kehilangan. Dan kenangan-kenangan
yang adapun, tak ada lagi guna, tak ada lagi arti. Semua hanya semu.
Karena rasa di dalamnya telah padam.
Ia merengut senyumku, tidak mengembalikannya.
Dan itu menyesakkan.
***
Aku
mendekap bantalku erat. Menyalurkan segala rasa perih yang terasa malam
ini. Selalu saja begini. Semua hal tentangnya, selalu memberikan efek
samping padaku, dan kali ini, efek itu berupa tangis yang tertahan.
“Gue..enggak..mau nangisin
dia lagi..” desahku getir. Berusaha menguatkan diriku sendiri. “Malam
ini gue enggak mau labil..enggak mau..” aku meronta untukku sendiri.
Seolah dengan begitu, aku tidak lagi akan tenggelam akan pikiran
tentangnya.
Meski rasanya, itu nihil.
Inilah
aku. Inilah yang terjadi, jika kenangan-kenangan itu berputar kencang
di dalam pikiranku. Dan ini tentu saja masih tentangnya.
Dia.
Sesosok laki-laki, yang entah bagaimana caranya membuatku takluk dan tidak mengerti untuk menghentikannya.
Dan
lihatlah hari ini. Ify telah menjadi korban karena rasa siksa, yang aku
tahu, aku ciptakan sendiri. Ah, kenapa sih aku masih mencintainya ?
laki-laki bukan hanya dia seorang kan ? jadi kenapa rasa ini tetap saja
bertahan disini, dan tidak ingin beranjak meski seincipun.
Setelah
merasa lebih baik. Aku turun dari ranjangku, bersimpuh di depan rak
buku, membuka lacinya yang terletak di paling bawah. Aku mengeluarkan
sebuah kotak, beberapa kali, aku menghela nafas, dan kira-kira di detik
yang kedua puluh, aku membuka kotak itu, mengambil sebuah buku berwarna
merah dari dalam sana.
Hanya memandanginya. Untuk beberapa saat. Tapi rasanya sesak. Buku itu menyimpan semuanya.
Bagaimana ia menyatakan perasaannya padaku, lima tahun lalu.
Bagaimana
ia meminta ijinku padaku, untuk memanggil aku dengan sebutan yang hanya
miliknya, lovely, di bulan kedua setelah kami berpacaran.
Atau bagaimana ia yang selalu memujiku dengan kata-kata lucu, hingga bagiku kata itu hanya berarti jika ia yang mengucapkannya.
Serta bagian paling pahit, yang aku tulis dengan getir, ketika akhirnya semua berakhir. selesai.
Cukup
hanya dengan melihatnya, aku kembalikan lagi buku itu. Aku tidak mau
melihat isinya. Aku tidak sanggup melihat isinya. Tidak untuk hari ini.
Meski hanya untuk satu jam.
***
......
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Kutahu kau tahu
Aku ada
(Aku Ada by Dewi lestari)
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Kutahu kau tahu
Aku ada
(Aku Ada by Dewi lestari)
***
Meski
hanya sekali. Tapi aku ingin bisa memandangnya lagi. Untuk beberapa
detik saja. Ia tidak perlu tahu. Walaupun, jujur saja, aku juga ia ingin
mengerti, meski hanya seujung kuku.
Aku masih ada disini.
Bukan hanya raga, tapi juga jiwa.
Dan lagi-lagi ini hanya sebuah khayalan.
Bagian dari harapan yang aku mengerti tidak akan pernah terjadi.
***
“Lo harus move on Shil !”
Kalimat
itu lagi. Rasanya, jika aku ini rajin, dan bersedia repot untuk membuat
daftar, ini bukan untuk pertama kalinya bahkan mungkin ini sudah
terletak di urutan keseratus berapa, kalimat ini terlontar untukku.
Baiklah
aku mengerti. Move on. Mencoba untuk bangkit, dan melupakan yang telah
berlalu. Tapi, heloooo...ini tidak pernah semudah itu. Aku bisa bangkit,
tapi melupakannya ? beri tahu aku, bagaimana caranya, aku bisa
melupakan dia, sementara hampir setiap detik, apapun yang ada di
sekitarku mengingatkanku kembali padanya.
“Iya..gue tahu” jawabku singkat, cenderung malas.
“Tahun
pertama, okelah gue maklum, tahun kedua, masih oke, tahun ketiga, itu
udah ngelewatin tiga kali tahun baru dan artinya itu udah masuk tahap
waspada, tahun ke empat, oh God, ada banyak cowok di luar sana Shil, dan
tahun kelima ?! saatnya elo berhenti dan ngelupain dia, jangan sampai
ketemu tahun ke enem !” Ify berceloteh panjang lebar, sambil menjabarkan
jarinya. Seperti anak umur lima tahun yang baru belajar menghitung.
“Fy, gimana gue mau lupain dia, kalau tiap hari aja, elo enggak berhenti ngebahas tentang dia”
“Gue cuma ngingetin, sepuluh hari lagi, kita masuk ke tahun yang baru, dan gue enggak mau lo masih aja ngarepin dia”
Aku
melengos. Benar juga si Ify, dalam hitungan jari-jari ini, waktu yang
baru akan tiba. Dan aku sama sekali tidak menghasilkan perubahan apapun,
oke, itu menyedihkan.
“Kasih tahu gue Fy, gimana caranya gue bisa lupain dia..”
Ify
memandangku, menghembuskan nafas. “Enggak ada cara yang pasti buat
melupakan seseorang, yang ada cuma niat, kemauan, dan kalau itu ada di
dalam diri lo, kalau lo berusaha buat ngelawan semua rasa itu pakai niat
dan kemauan lo, lo pasti bisa..”
“Gue
takut. Berhenti sayang sama dia, sama aja merubah hidup gue. Lima tahun
ini, sejak gue bangun pagi sampai gue tidur lagi, dia selalu ada. Dia
kaya drugs, gue ketergantungan sama dia. saat gue sedih, saat gue butuh
dukungan, yang gue inget pertama adalah dia, kata-katanya yang dulu
nyemangatin gue, senyumnya yang selalu bisa bikin gue tenang..gue takut
Fy..”
“Tapi mau sampai kapan elo kaya gini ?”
“Kalau
ada obat, atau alat yang bisa bikin gue lupa sama dia, pasti gue beli,
berapapun harganya” ujarku mulai meracau. Membuat Ify tersenyum simpul.
Aku
mengalihkan pandanganku ke arah lain. Tanpa aku sadari, tidak hanya ada
aku dan Ify di dalam angkot ini. Ada orang lain disini, yang pasti
sejak tadi memandangku bingung. Atau memang aku selalu seperti ini ?
hidupku terlalu penuh tentangnya. Hingga aku lupa, aku tinggal di salah
satu negara dengan penduduk terbanyak. Tapi rasanya jika begini, bahkan
tatapan mereka yang biasa aja, seolah seperti meremehkanku, dan obrolan
mereka yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya denganku, seakan-akan
sedang mengejekku.
Aku si cewek lemah
Yang tidak mampu untuk bangkit.
“Riko..”
desisku pelan. Sangat pelan. Hingga sepertinya, aku hanya melafalkannya
saja, tanpa suara. Tapi Ify yang duduk di depanku, langsung sadar, dan
memutar badannya, melihat pemandangan di belakangnya. Lalu ia kembali
memandangku lagi, lantas menggenggam tanganku erat.
“Sabar ya Shil..” ujarnya pelan. Dan aku hanya tersenyum.
Angkot yang aku tumpangi ini, memang melewati sekolah Riko.
Siapa dia ?
Oh, aku belum mengenalkannya ya ?
Dialah, si-masa-lalu-tak-kunjung-padam yang sering aku sebut-sebut itu.
Ia
sedang berdiri di depan sekolah. Bersama teman-temannya, dan di
sampingnya, ia tidak sendiri. Ia bergandengan dengan seorang perempuan.
Cantik. Seperti mantan-mantannya yang lain, kecuali aku mungkin. Aku
jadi teringat, peristiwa beberapa bulan lalu. Saat aku datang ke
sekolahnya karena ada sebuah lomba, dan ya, aku melihat pemandangan yang
sama.
“Gue enggak apa-apa kok Fy”
“Bohong”
Ify
benar, aku berbohong. Tapi ya sudahlah, ini doaku kan ? aku ingin
melihatnya, dan tadi aku melihatnya. Setidaknya, meski ia tidak
menyadarinya, sama sekali tidak menyadarinya, dan mungkin tidak akan
repot-repot untuk menyadarinya, aku ada.
Disini, untuknya.
***
I tried to run from your side
But each place I hide
It only reminds me of you
.....
(It only reminds me of you by mymp)
But each place I hide
It only reminds me of you
.....
(It only reminds me of you by mymp)
***
Rasanya, kemanapun kakiku melangkah, ia tetap saja menempel kuat. Atau karena ia telah terlanjur berkerak di dasar hatiku ?
Dan
satu-satunya yang aku lakukan, hanyalah membuat zona amanku. Berlindung
di balik selubung itu. Melakukan semua dengan biasa-biasa saja. Ya, aku
bisa melakukan semuanya di dalam zona amanku. Melaluinya seperti sebuah
alur yang lurus dan memang harus begitu. Sesungguhnya itu membosankan.
Amat sangat membosankan.
Tapi bagaiman lagi.
Hanya di dalam sana, aku merasa baik-baik saja.
***
Dan hari ini, aku kembali menjadi remaja yang sedang dalam kegalauan akut. Sampai kapan sih aku harus begini ?
Selalu mengingat segala tentangnya !
Segala tentang kita !
Padahal ia ? aku yakin, mungkin yang ia ingat hanya namaku, selebihnya ? kosong.
Sementara aku ? perlukah aku jabarkan ?
Baiklah.
Aku masih ingat tanggal jadian kita, bahkan tanggal putusnya..
Aku masih ingat apa saja yang ia pernah lakukan bagiku.
Aku masih bisa mengingat dengan jelas, sms-sms apa yang pernah ia kirimkan untukku.
Dan tentu saja, aku juga masih mengingat, hal-hal kecil tentangnya.
Seperti
hari ulang tahunnya, dimana aku selalu menahan ngantuk hanya untuk
menjadi orang pertama yang mengucapkan hari ulang tahunnya, meski hanya
lewat angin.
Atau makanan kesukaannya.
Rumah sakit tempat ia di lahirkan, ini memang tidak penting sih, tapi aku mengetahuinya.
Nomor telepon rumahnya, meski aku sama sekali tidak pernah berani buat menghubungi nomor ini.
Ahh ya, ternyata aku memang sangat menyedihkan ya ?
Silahkan tertawa untukku. Tapi memang itulah yang terjadi.
Aku
membenamkan wajahku di bantal, dan air mata itu mulai menetes. Dan saat
seperti ini, rasanya jika boleh berandai-andai, aku ingin ia menawarkan
pundaknya, atau setidaknya menyodorkanku selembar tisu. Dan dalam
tangisku, aku tertawa miris, bagaimana bisa aku berkhayal seperti itu,
ia bahkan tidak tahu detik ini aku sedang menangis untuknya. Tidak
pernah tahu.
Dan apa yang akan ia lakukan jika ia tahu ?
***
Aku tak percaya lagi
Akan guna matahari
Yang dulu mampu terangi
Sudut gelap hati ini
Akan guna matahari
Yang dulu mampu terangi
Sudut gelap hati ini
Aku berhenti berharap
Dan menunggu datang gelap
Sampai nanti suatu saat
Tak ada cinta ku dapat
....
(Berhenti berharap by sheila on7)
Dan menunggu datang gelap
Sampai nanti suatu saat
Tak ada cinta ku dapat
....
(Berhenti berharap by sheila on7)
***
Bolehkah aku meminta satu ?
Aku hanya ingin semuanya berakhir. benar-benar berakhir, entah bagaimana caranya.
Ini mulai tidak sehat. Ini mulai menggangu, dan tentu saja, lama-lama ini bisa membuatku benar-benar gila.
Oke,
aku memang baik-baik saja hingga saat ini. maksudku, aku tetap bisa
makan tiga kali sehari, masih tetap bisa bermain bersama teman-temanku,
masih bisa melakukan hobiku. Tapi sejauh apa sih aku mampu bertahan ?
Pasti tidak akan lama lagi kan ?
***
Suara
denting-denting dari alunan musik klasik yang sepertinya sengaja di
putar di kafe ini, mewarnai telingaku, yang entah kenapa, memutuskan
untuk duduk sendiri, menghadap secangkir latte tanpa di temani siapapun.
Kafe
ini, ada di komplek rumahku, sebuah kafe kecil yang menurutku cukup
nyaman untuk mencari ketenangan, apalagi bagi orang-orang seperti aku,
yang hidupnya di penuhi oleh dilema-dilema hidup, yang sesungguhnya
tidak begitu penting, di bandingkan dengan masalah orang lain yang
mungkin saja lebih besar.
Suara
klenengan yang khas, menjadi pertanda ada yang membuka pintu masuk. Dan
benar saja, ketika aku mengarahkan mataku ke pintu, ada tamu yang baru
datang. Tunggu, hei apa-apaan ini ?! kenapa disaat aku sendiri begini,
ia malah harus hadir. Ahh, apa yang harus aku lakukan Tuhan ?
Dan
ia sadar, akan aku yang sedari tadi terus menatapnya. Sambil tetap
menggenggam tangan perempuan, yang tidak aku kenali siapa itu, ia
tersenyum ke arahku, dan sepertinya akan segera menghampiriku. Bahkan
tanpa kaca, aku bisa merasa wajahku pucat pasi sekarang.
“Hei Shil..”
“Hei..” ujarku dengan suara bergetar dan gugup. Sial !
“Oh ya kenalin, ini Acha sahabat gue”
“Hai..”
Lagi-lagi
aku mengulang kata sapaan yang sama. Otakku seperti berhenti bekerja
dan mencerna kata untuk sesaat. Tapi tunggu, apa tadi dia bilang ?
sahabat.
“Gue Acha..” ujar perempuan itu ramah, menyodorkan tangannya, yang tentu saja langsung aku balas. “Elo mantannya Riko ya ?”
Pertanyaan
itu, sudah berapa orang saja yang setiap bertemu denganku, pasti
menanyakan itu. Apakah Riko juga mendapat perlakuan yang sama ?
sepertinya sih tidak.
“Hehehehe..” aku hanya bisa terkekeh untuk menjawab pertanyaan itu.
“Haha..dulu banget ya Shil, cinta monyetlah” celetuk Riko.
Cinta
monyet. Taraa..akhirnya aku mengerti sekarang. Aku hanya cinta monyet
baginya. Yayaya..aku memang tidak akan berarti apa-apa lagi. Oke,
terimakasih Riko, sepertinya malam ini aku akan kembali menangis lagi.
“Hehe..” kali ini aku tertawa hambar, sangat hambar. “Err..kalian beneran cuma sahabatan doang ?”
Dan
mulutku berkhianat. Ia meluncurkan sendiri kalimat itu, pertanyaan
bodoh itu, tanpa ijin apapun dari ku. Aku menunduk, berharap mereka
berdua tidak tersinggung dengan pertanyaanku.
“Eh ? emang keliatan banget ya Shil ? hehe..iya deh gue ngaku, kita berdua emang lagi pendekatan ehehe..doain aja ya”
Ucapan
Riko barusan. Sama saja seperti ada petir dengan kekuatan bermega-mega
watt yang baru saja menyerang telak padaku. membuat semuanya langsung
hancur berkeping-keping.
“Oh
? ehh..iya..pasti-pasti. Eh, gue udah lama banget disini, mau balik,
duluan yaa..bye..good luck” aku langsung nyerocos cepat, secepat yang
aku bisa, sebelum air mataku mendahului. Tanpa menghabiskan latteku, aku
langsung saja bergegas menuju kasir.
Aku
menoleh sekilas, terlihat Riko, dan siapa tadi ? oh iya, Acha. tampak
berbicang seru, dan sangat akrab. Aku hanya bisa mendesah pelan.
“Mbak, semuanya jadi dua puluh ribu..”
“Eh, maaf mbak, punya kertas enggak ?”
“Ada,
ini..” tidak peduli, meski si mbak kasir ini memandangku bingung, aku
tetap saja menulis di kertas yang ia sodorkan, beserta pulpennya tentu
saja.
“Berapa tadi mbak ?”
“Dua puluh ribu”
“Ini,
dan tolong kasihin kertas ini ke meja itu ya..” pintaku menunjuk meja
Riko, sambil menyodorkan selembar dua puluh ribuan. Dan tanpa ingin
melihat lagi, aku langsung keluar. Menjauh, kalau perlu menghilang.
***
Hai Riko, taukah kamu, bahwa aku ini pengecut ? hehe
ya, lihat saja, saat tadi kita berkesempatan ngobrol, aku menjadi gagap tiba-tiba, padahal kalau kamu tahu, tiap malam, aku selalu memikirkan tentang kamu lho..
hahaha..jangan bingung ya, tapi sepertinya, rasa cinta, yang kamu bilang cinta monyet itu, masih tertinggal deh disini. Kalau boleh, bisakah kamu mengambilnya ?
ya, lihat saja, saat tadi kita berkesempatan ngobrol, aku menjadi gagap tiba-tiba, padahal kalau kamu tahu, tiap malam, aku selalu memikirkan tentang kamu lho..
hahaha..jangan bingung ya, tapi sepertinya, rasa cinta, yang kamu bilang cinta monyet itu, masih tertinggal deh disini. Kalau boleh, bisakah kamu mengambilnya ?
Aku udah terlalu lelah buat merasakannya..hehe
Atau setidaknya, ajarkan aku, bagaimana cara bisa melupakanmu. Seperti kamu yang dengan mudahnya melupakan aku..
Pilihan yang pintar Ko, selera kamu bagus-bagus ya, Acha cantik. Good luck buat kalian berdua..
Dan..selamat tahun baru, meski masih beberapa hari lagi..doain aku, biar tahun depan enggak perlu inget sama kamu lagi..
Biar
tahun depan, aku enggak perlu begadang setiap hari ulang tahun kamu,
cuma untuk jadi orang paling pertama yang ngucapin ke kamu, tanpa kamu
tahu..hehe
Makasih Riko, buat semuanya.
Ashilla, si cinta monyetmu.
TAMAT.
Komentar
Posting Komentar