HUJAN UNTUK PELANGI (cerpen)

“ pergi kamu ! ayah gak mau ngeliat muka kamu ! dasar pembawa sial ! “ bentak ayahku kepadaku, dengan di akhiri oleh bantingan pintu. Aku pun hanya bisa duduk membeku di depan rumahku, diiringi untaian air hujan yang mulai membasahi pakaian yang menyelimutiku.
“ rio..” terdengar ada yang memanggil ku pelan, aku pun menoleh dan menatapnya.
“ kamu ngapain hujan-hujan gini malah di luar rumah ? nanti kamu sakit.” Ucap gadis itu menghampiriku seraya duduk di sampingku. Aku tidak dapat menjawab pertanyaannya, bukan karena aku tidak bisa berbicara, namun aku ragu jika harus menceritakan peristiwa tadi kepadanya.
“ kamu kok diem sih ? kamu di usir lagi sama ayah kamu ya ? “ tanya gadis itu kembali seakan bisa membaca pikiran ku.
“ aku gak papa kok. “ ucapku menunduk, tak berani menatap wajahnya.
“ kamu ikut kerumah aku aja yuk. Kamu istirahat di rumah aku aja” ajaknya sambil meraih tanganku dan membawaku pergi ke rumahnya.
Setibanya di rumahnya…
“ kamu tunggu di sini dulu yaa, aku mau nyari mama aku dulu.” Ia pun pergi meninggalkan ku di dalam ruang tamunya.
Kenalkan, aku Mario Stevano, biasa di panggil Rio, umurku 14 tahun, aku pun berasal dari keluarga yang cukup mampu, aku bersekolah kelas 9 di SMP Idola, aku merupakan anak tunggal, ibuku sudah meninggal dalam kecelakaan sewaktu aku berumur 12 tahun lalu, ia meninggal ketika akan menjemputku. Itulah penyebabnya mengapa ayahku memanggilku pembawa sial, karena dia beranggapan bahwa aku yang secara tidak langsung telah membunuh ibuku. Namun saat di sekolah aku di jadikan cowok idola, banyak yang menawariku menjadi pacarnya, namun aku tak mau. Aku hanya ingin focus untuk membuktikan kepada ayah bahwa aku bukan anak pembawa sial.
Tak lama kemudian gadis itu pun sudah duduk di sampingku memegang sebuah handuk dan sepasang baju beserta celananya, dia bernama Acha tepatnya Larissa safanah, ia merupakan salah seorang sahabatku, aku mempunyai seorang sahabat lain bernama Alvin.
“ yo, kata mama aku malam ini kamu boleh kok nginep disini. Ini, kamu ganti baju dulu sana “ ucapnya sambil menyerahkan beberapa barang yang tadi berada dalam genggamannya.
“ makasih ya “ aku pun beranjak pergi ke kamar mandi.

Keesokan harinya di SMP Idola…
“ Rio ! liat nih gue bawa apaan.” Ucap Alvin segera duduk di sampingku .
“ emang lu bawa apaan vin ?” tanya ku sambil melepas headset dari telingaku.
“ nih” ia pun memberikan selembaran brosur yang ternyata berisi tentang lomba menyanyi se-SMP Idola “ itu pemberitahuan lomba nyanyi se-SMP Idola. Gue tau lu pinter nyanyi, makanya gue kasih itu ke lo yo, lumayan kan buat nambah-nambah prestasi kalo lo menang.” Ujar Alvin kembali dalam wajah yang berseri-seri.
“ tapi gue mana mungkin menang Vin” ucapku mengembalikan brosur itu kepadanya.
“ lomba itu kan masih dua bulan lagi, jadi lo masih ada waktu buat belajar” ucap nya sambil menepuk pundakku.
“ liat nanti deh” jawabku sambil memasang kembali headset di telingaku dan kembali melakukan aktifitasku.
Saat istirahat …
“ yo, ikut gue. “ ajak Acha tiba-tiba.
“ mau kemana sih cha ?” tanyaku pada Acha yang langsung saja membawaku pergi keluar kelas. Namun ia tidak menjawab pertanyaanku tadi, ia malah membawaku ke sebuah ruangan yang merupakan gedung olahraga,
“ kita ngapain ke sini ?” tanyaku bingung sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal ketika melihat Acha membawa sebuah Bola basket dan memberikannya kepadaku.
“ ajarin aku main basket yo “ aku yang mendengarnya pun hanya dapat bengong dan tertawa.
“ hahahah, kamu barusan bilang apa ? ajarin main basket ?” ucapku tak percaya ketika mendengar permintaannya barusan. “ gak salah ? kamu kan paling gak suka sama permainan yang bkin keringetan “ sambungku kembali sambil mulai memainkan bola basket yang kini sudah berada di tangan ku,
“ yo, aku serius. Aku pengen belajar main Basket, “ teriaknya padaku yang kini sudah bermain di tengah lapangan basket.
“ haha, Cha Cha, kasih tau dulu kenapa kamu pengen belajar Basket ?” tanyaku pada gadis itu yang tanpa sadar wajahnya sudah merona merah karena pertanyaanku tadi.
“ gak papa kok, aku Cuma pengen belajar aja” aku dapat menangkap raut wajah yang berbeda darinya, sepertinya ada factor lain yang menyebabkannya ingin belajar basket, batinku dalam hati.
Akupun menerima permintaannya dengan perjanjian kalau nanti dia sudah bisa,dia harus memberitahukan alasannya.
Sepulang sekolah…
“ vin, gue pulang duluan ya, biasaa.. takut kena masalah lagi sama bokap kalo pulang telat.” Ucapku setiba di parkiran motor, aku pun segera menaiki motor Satria F ku meninggalkan Alvin yang sedang menunggu teman sekelasnya. Sepanjang perjalanan aku memikirkan sesuatu, sesuatu yang sudah lama ini ku sembunyikan dari teman-temanku. Namun tiba-tiba…
Ciiiiitttt, Braaak…
“ aaaawwww… eh lo kalo naik motor hati-hati dong. Bisa bawa motor gak sih lo ?” omel cewek itu kepadaku yang tanpa sengaja menabraknya di belokan dekat rumahku.
“ maaf maaf gue gak liat, aduh sorry ya… gue anter ke rumah sakit ya ?” ucapku segera turun dari motor dan menghampirinya yang kini terduduk di tepi jalan.
“ gak gak gue ga mau. makanya liat-liat kalo naik motor ada orang apa gak. Pembawa sial banget sih lo !” ucap gadis itu setelah pergi meninggalkanku.
Kini hanya aku terdiam memikirkan ucapan gadis tadi, apa benar aku ini pembawa sial ? kenapa mereka semua menyebut aku pembawa sial, tanyaku dalam hati di sepanjang perjalanan.
Setibanya di rumah...
“ dari mana saja kamu ? hah ? jam segini baru pulang. Kamu tau gak sekarang jam berapa ? jam setengah 3 Rio, main terus kamu, apa pernah kamu mikirin apa akibat yang kamu perbuat gara-gara kamu ? heh ? dasar pembawa sial ! “ omel ayah setibanya aku di rumah yang membuatku diam, karena aku tahu menjawab tidak menjawab pertanyaannya pun hanya akan membuatku terkena omelan yang lebih parah.
“ cepat kamu masuk kamar dan jangan keluar sampai waktunya makan malam ! “ bentak Ayah mengusirku dari hadapannya.
Akupun menuruti perkataannya, dan pergi menyusuri tangga menuju ke kamarku, ketika di kamar aku pun duduk di tepi ranjangku, ku raih foto keluarga kami dan ku tatap erat-erat foto itu, foto di mana tampak aku, ibu, Alvin dan Ayah terlihat gembira di tepi pantai sebulan sebelum kecelakaan itu menimpa ibu dan Alvin. Tak kusadari air mata mulai menetes dari mataku dan stetes darah keluar dari lubang hidungku, aku pun segera menyekanya dengan tisu lalu membaringkan tubuhku di ranjang sambil memeluk bingkai foto tersebut, dan makin lama aku makin terbawa kealam mimpiku.
2 minggu kemudian…
Saat itu Aku sedang membaca komik di sebuah tepi danau tempat aku, Alvin dan Acha biasa bermain, tiba-tiba ku sadari ada seseorang yang menepuk pundakku.
“ eh kamu Cha, ada apaan ? latihan lagi ? kamu kan udah bisa main basket..” tanyaku menolehnya sesaat dan kembali lagi ke dalam komikku. Dia pun segera duduk di di sampingku,
“ bukan.. nih sebagai ucapan terima kasih aku sama kamu yo” ucapnya sambil memberikan sebuah kotak kepadaku. Aku pun menutup komik yang sedang ku baca tadi, menaruhnya di sampingku dan ku raih kotak tersebut,
“ apaan nih isinya ?” tanyaku menggoyang-goyangkan kotak tersebut di telingaku sambil mencoba menerka-nerka apa isi kotak tersebut.
“ buka aja kalo penasaran mah “ katanya padaku.
Segera ku buka pembungkus yang menyelimuti kotak itu, dan ketika ku lihat isinya…
“ waaaaawww, “ terdengar decak kagumku ketika ku lihat sebuah jam meja berbentuk gitar berwarna Biru Hitam bertengger di dalam kotak itu.
“ gimana yo ? kamu suka kan ?” tanyanya kepadaku.
“ suka, suka banget malah. Keren banget deh, thanks ya Cha “ ucapku sambil mencubit pipi chubbynya. Ia pun hanya merungut kesakitan, “ haha, eh cepetan cerita kenapa kamu pengen latian basket ?” tanyaku menagih janji.
“ hehe.. buat narik perhatiannya Kak Ozy, senior basket kamu.. “ ucapnya yang membuatku tertawa terbahak-bahak.
“ hahaha, jadi kamu suka sama Kak Ozy ? gara-gara dia kamu ampe latian basket kaya gini ? hahahaha “ ucapku diiringi tawa kembali sambil meledeknya yang kini hanya bisa mengangguk sambil tersipu malu.
“ wooii, sorry gue telat yo. Ada apaan nih kok lu ngikut Cha ?” ucap Alvin tiba-tiba yang baru datang mengagetkanku,
“ pengen tau aja kamu Vin.. weee” balas Acha sambil meleletkan lidahnya kearah Alvin.
“ udeh udeh, berantem mulu dah ah. Lo bawa berita apaan vin ?” tanyaku pada Alvin yang kini sudah duduk di samping ku.
“ lombanya di majuin yo, jadi minggu depan. Lo bisa kan kalo minggu depan ?” belum sempat pertanyaannya ku jawab, Acha sudah menyambar ucapan Alvin.
“ kamu yakin ikut lomba itu yo ? kalo kamu gak diijinin sama….” Tiba-tiba ucapannya berhenti diiringi turunnya air hujan yang makin lama makin deras, kami bertiga pun segera meneduh di bawah pohon besar di tepi danau tersebut, tak lama hujan pun berhenti dan muncullah sebuah pelangi yang kami tunggu-tunggu,
“ widiiih, bagus banget pelanginya ..” decak Acha kagum.
“ pengen deh gue jadi pelangi yang warnanya merah kaya gitu, berani, gagah dan selalu bisa memberikan perlindungan sama orang lain.” Ucap Alvin membuatku dan Acha terpaku mendengarnya,
“ kalo aku pengennya jadi pelangi yang warna hijau, karena selalu memberi kesejukan dan kecerahan di kehidupan orang lain yang melihatnya.” Ucap Acha tak mau kalah sambil menunjuk pelangi tersebut.
“ kalo lo pengen jadi apaan yo ?” tanya Alvin padaku yang masih berdecak kagum mendengar impian dua orang sahabatku tersebut,
“ gue ? gue pengennya jadi hujan.” Ucapku membuat Acha dan Alvin bingung,
“ hujan ? kenapa milih hujan ? “ tanya Acha bingung sambil menole dan menatapku.
“ tau yo, warna yang lain kan masih banyak .” sambung Alvin sambil menunggu jawabanku.
“ gue pilih hujan karena berkat hujan lah warna warni pelangi itu saling menyatu dan membentuk sebuah keindahan yang membuat orang lain ingin menjadi seperti warna-warna dalam pelangi itu “ jawabku membuat mereka tersenyum puas.
Malamnya…
“ ayah, aku mohon ayah harus lihat penampilanku saat lomba nanti, aku janji kalo aku bakal ngasih yang terbaik buat ayah.” Ucapku malam itu memohon-mohon kepadanya yang tengah membaca Koran di ruang keluarga.
“ ayah tidak akan mau melihat penampilan anak pembawa sial seperti kamu. “ jawab ayah yang terdengar seperti sambaran petir di telingaku.
“ tapi yah, ini penampilan terakhir aku, aku mohon yah liat aku walaupun hanya lima menit.”
“ hanya 5 menit tidak lebih.” Ucap ayah membuatku berbinar-binar.
“ bener yah ? makasih ayah.” Ucapku pergi meninggalkannya setelah aku sadar tidak ada reaksi apa-apa dari Ayah.
1 minggu kemudian.. tepat di hari perlombaan SMP Idola, aku akan tampil membawakan lagu “Yang Terbaik Bagimu “ dengan diiringi petikan gitar kesayanganku. Kini tiba saatnya aku tampil, ketika aku mulai bernyanyi, ku edarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan serba guna itu. Ku cari sosok ayah yang kini ku temukan tengah duduk di samping Alvin, ku lihat ia tersenyum ke arahku. Oh tuhan, hari ini sungguh membahagiakan sekali, aku harap ayah telah berubah menyayangiku seperti dulu. Doaku dalam hati. Tak sampai 5 menit aku sudah selesai tampil, ku hampiri ayah dan ku dudukkan tubuhku di bangku kosong di sampingnya. Ku lihat Acha dan Alvin tersenyum sambil mengacungkan jempolnya ke arahku. Aku pun hanya membalasnya dengan senyuman.
2 jam kemudian pengumuman pun akan di sampaikan, namun tiba-tiba aku merasa pandanganku berbayang, mataku berkunang-kunang dan kepalaku sungguh terasa pusing dan berat. Oh tuhan, jangan di saat seperti ini, aku mohon izinkan aku melihat tatapan rasa bangga ayah terhadapku, jangan sekarang aku mohon jangan sekarang tuhan. Tiba-tiba pandanganku gelap dan aku tak sadarkan diri ketika pembawa acara mulai memberitahukan pemenangnya.
Rumah Sakit…
“ om sebenarnya Rio sakit apa om ? apa penyakit nya parah ?” tanya Acha kepada Ayah yang kini duduk di bangku tunggu di depan sebuah ruang ICU.
“ dia terkena penyakit kanker otak. Apa dia tidak pernah menceritakannya kepada kalian ?” jawab Ayah membuat Alvin dan Acha terkejut, Acha pun kini hanya bisa menangis dalam pelukan Alvin.
“ kanker om ? om serius ? ya tuhan.. kenapa Rio gak pernah ngasi tau itu sama kita Cha. Kenapa dia sembunyiin itu semua dari kita dan kenapa kita gak pernah tau itu dari Rio.” Sesal Alvin menahan tangisnya.
“ Om baru sadar vin, om baru sadar betapa Rio menyayangi Om dan menyayangi kalian. Padahal om sudah sering memaki-maki dia.” Ayah pun kini mulai menangis menahan sesal yang kini membayangi dirinya.
Tiba-tiba dokter pun keluar dari ruang tempat Rio dirawat,
“ Pak, Rio minta untuk Bapak, Alvin dan Acha menemuinya di dalam.” Ucap dokter itu, Ayah, Alvin dan Acha pun memasuki ruangan itu dan tercium bau obat-obatan ketika mereka berada didalam, dan terlihat pula sesosok tubuh Rio yang kini di baluti oleh selang terbujur kaku di satu sudut.
“ yo, maafin ayah yo. Ayah gak pernah sadar kalo kamu bener-bener sayang sama ayah. Kini kamu udah ngebuktiin kalo kamu bisa banggain ayah karna kamu juara di lomba itu yo, ayah pun baru sadar kalau kamu adalah satu-satunya harta dalam kehidupan ayah “ ucap Ayah sambil menggenggam erat tanganku.
“ maafin Rio juga yah..uhuk uhuk.. ri..rio baru bisa ngebanggain a..ayah di saat Rio ha..harus ninggalin ayah.” Ucapku terbata-bata.
“ gak yo, kamu gak boleh ninggalin ayah dan teman-teman kamu. Kamu harus kuat.”
“ iya yo, kamu gak boleh ninggalin pelangi hijau dan pelangi merah, kamu harus kuat menjadi hujan yang selalu bersama dengan kami. “ ucap Acha menyemangatiku.
“ tapi se..sekarang udah saatnya. Aku..aku harus pergi..”
“ lo gak boleh pergi yo, mana janji lo yang bakal selalu menjadi hujan yang nyatuin pelangi-pelangi lainnya. Pelangi itu nungguin kamu hadir kembali yo.” Kini terdengar suara Alvin tak mengizinkanku pergi.
“ a..aku.. aku bakal selalu datang di kehidupan kalian seperti hujan. Yang se..se..selalu membuat pelangi muncul. Me..meskipun a..aku udah ga..ga ada.. A..aku sayang sama ayah.. aku juga sayang sama kalian.” Itulah kata-kata terakhir yang muncul dari mulutku sebelum aku menutup mata untuk selamanya.
Keesokan harinya sepulang dari pemakaman..
“ vin, aku masih gak nyangka kalo ke depan depan nanti harus kita jalanin tanpa Rio” ucap Acha kepadaku di tepi danau.
“ aku juga Cha, berkat dia aku ngerti artinya hidup. Tapi yang ngasi aku arti hidup ini malah pergi ninggalin aku di saat aku masi ngebutuhin dia” balas Alvin pada Acha yang kini sudah meneteskan air mata.
“ aku sayang sama kamu yo. Aku mohon kembaliiiiiii” teriak Acha di pinggir danau tak karuan yang kini tengah di tenangkan oleh Alvin. Aku melihatnya Cha, aku melihat betapa tak relanya kalian kehilangan ku. Ku hampiri dirinya, dan ku bisikkan sesuatu di telinga mereka.
“ aku juga sayang kalian. Hujan akan muncul menemani kalian, anggaplah hujan itu aku” bisikku di telinga mereka, aku pun mundur dan perlahan-lahan mulai menghilang lenyap.
“ ri..rio ?” ucap Alvin dan Acha bersamaan.
“ vin, tadi Rio kan vin ? kamu juga denger itu kan ?” tanya Acha sambil menggoyang-goyangkan tubuh Alvin yang terpaku setelah mendengar bisikan di telinganya.
“ aku denger Cha.. tapi apa itu Rio ?” tanya Alvin dengan suaranya yang benar-benar pelan, bahkan hampir tidak terdengar.
Tiba-tiba hujan pun turun dalam cuaca yang saat itu lumayan cerah, mereka bingung dan saling berhadapan sampai mereka menyadari sesuatu,
“ hujan, ini Rio ! hujan itu Rio vin. “ Ucap Acha gembira sambil melihat ke atas langit dan menadahkan air hujan dengan tangannya.
“ yo, aku janji bakal selalu jadi pelangi merah yang akan terus melindungi pelangi lainnya. Aku janji yo “ ujar Alvin dalam hati dan segera berlari menghampiri Acha yang sedang bermain hujan di tengah kesedihannya,mereka tak sadar kalau awan di langit mulai membentuk wajah Rio yang kini mulai dapat pergi dengan bebas dan terlihat tersenyum melihat kebahagiaan teman-temannya tersebut.


Komentar

Postingan Populer