Kamu dan Hujan (cerpen)

Jakarta, 25 agustus 2010
Gadis itu menengadahkan tangannya, merasakan butiran-butiran air yang menetes dengan deras. Senyum tipis terpulas di wajah gadis itu. Hujan selalu mengajaknya melanglang buana menuju lintas masa lalu.
Tanpa ragu, dan entah karena dorongan apa, ia melangkahkan kaki kecilnya keluar dari emperan toko tempatnya berteduh tadi. Membuat semua orang yang ada disana tidak habis pikir oleh kelakuannya.
Layaknya seorang anak kecil, ia berdiri di tengah hujan, merentangkan tangannya, seolah berkata “Ayo hujan, peluk aku dengan caramu”.
Ia memejamkan matanya, membiarkan tubuhnya basah menggigil di bawah hujan. Dalam heningnya yang ia ciptakan sendiri, sebuah sosok tergambar di hadapannya.  Ia berputar di tempatnya, semakin ia berputar, rasanya sosok itu semakin jelas, kenangan itu semakin nyata, dan gadis itu terus berputar, berputar layaknya gasing yang sedang dimainkan.
***
Jakarta, 11 februari 2009
Penat. Satu-satunya kata yang bisa menggambarkan keadaannya saat ini. Setumpuk tugas tanpa ampun telah menanti dirinya untuk menyiksanya pelan-pelan. Belum lagi cuaca panas yang terasa menyengat di kulit.
Di ujung jalan yang ia lalui, akhirnya ia putuskan untuk masuk ke dalam sebuah kafe kecil. Sekedar untuk mengistirahatkan dirinya sejenak sambil berharap matahari akan mengerti ke adaannya dan sedikit menurunkan suhunya.
Segelas es krim yang ia pesan, langsung ia serbu begitu saja, rasa panas kali ini betul-betul tidak bisa ia tolerir lagi. Matanya melirik ke arah buku-buku yang tadi ada dalam pelukannya dan kini ia letakkan di atas meja. Di dalam sana, ada berpuluh-puluh soal yang siap menyambutnya dengan senang hati, mengajaknya larut dalam waktu-waktu yang membosankan, bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bisa membuat kepalanya pecah setiap saat.
“Kenapa sih guru-guru harus kompakan banget ngasih pr sebanyak ini dalam waktu yang bersamaan ?!!” tanpa sadar ia mendumel sendiri sambil terus menghabiskan sisa-sisa es krimnya.
Ia melihat ke arah jam tangan merah jambunya. Jarum panjang dan jarum pendeknya, sedang kompakan berhenti di angka tiga. Rasanya tidak ingin ia beranjak dari kafe ini, tapi terus duduk disini tidak akan membuat semua pekerjaannya selesai seketika. Ia harus pulang dan mulai mengerjakan soal-soal itu bila tidak ingin esoknya berubah menjadi hari hukuman berjamaah.
Rasa kaget sekaligus kesal bercampur di rona mukanya. Ia masih belum percaya dengan keadaan di hadapannya. Hujan yang entah sejak kapan tiba-tiba turun menggantikan sinar mentari yang tidak sampai setengah jam yang lalu masih gagah menantangnya.
“Hujan ?! gimana pulangnya dong !”
Gadis itu tahu, mengumpat tidak akan memberhentikan hujan yang entah kenapa semakin bertambah deras saja. Ia melongok ke arah saku seragamnya, hanya tersisa selembar uang lima ribu disana. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
“Mau pulang ya ?” tiba-tiba seorang laki-laki yang terlihat sepantaran dengannya menyapa dan tersenyum ke arahnya. Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya, selain karena masih merasa kesal dengan situasi yang ia hadapi, ia juga masih memegang teguh pesan orang tuanya sejak ia kecil dulu, ‘jangan pernah bicara dengan orang asing yang belum di kenal’.
“Pakai ini aja..” meski tidak di respon dengan sepantasnya, laki-laki itu malah menyodorkan sebuah payung ke arahnya.
“Eh, ehm..enggak usah..” tolak gadis itu.
“Enggak apa-apa, aku tahu kok kamu lebih butuh. Oh ya, enggak usah takut, aku bukan orang jahat” ujar laki-laki itu lagi masih sambil tersenyum.
Gadis itu memandangi payung yang di ada di hadapannya. Ia memang membutuhkan payung itu.
“Udah ambil aja..” timpal laki-laki itu seolah bisa membaca apa yang ada di pikiran gadis tersebut.
“Gimana cara balikinnya ke kamu ?”
“Gampang, setiap pulang sekolah aku suka kesini kok”
“Oh, ya udah, aku pinjem dulu ya payungnya..” laki-laki itu hanya mengangguk sambil menyerahkan payung yang ada di genggaman tangannya. Gadis itu tersenyum ramah untuk pertama kalinya, lalu ia mulai berjalan menembus hujan.
“Hey, nama kamu siapa ?” tanya laki-laki itu setengah berteriak.
“Alyssa. Kalo kamu ?”
“Rafa..”
***
Jakarta, 2 maret 2009
Sejak hari itu, intensitas pertemuan antara Alyssa dan Rafa terus berlanjut. Sepulang sekolah mereka selalu janjian untuk bertemu di kafe. Ada banyak hal yang membuat Alyssa merasa cocok mengobrol dengan Rafa. Meski baru saling mengenal, tapi rasanya mereka sudah begitu akrab. Canda dan tawa selalu mengiringi obrolan mereka berdua. Mereka benar-benar larut dalam kedekatan yang di awali secara tiba-tiba itu.
Alyssa menggigit bagian bawah bibirnya. Hujan turun lagi kali ini, dan ia masih terjebak di teras sekolahnya. Ia melihat jam tangannya, resah. Ia tahu, Rafa pasti telah menunggunya di kafe.
“Enggak bawa payung lagi ?” Alyssa mendongak dan setengah tidak percaya dengan penglihatannya.
“Rafa ?”
“Iya ini aku Alyssa, emang semakin hari aku semakin ganteng ya, sampai kamu terpesona banget gitu” goda Rafa sambil tersenyum jahil.
“Ihh, apaan sih..” cibir Alyssa, meski ia tidak memungkiri juga bahwa laki-laki di hadapannya ini, mempunya senyuman yang bisa menentramkan hatinya akhir-akhir ini.
“Haha, ya udah ayo, mau pulang enggak..”
“Maulah. Eh kamu kok bisa kesini ?” tanya Alyssa penasaran. Mereka berdua mulai berjalan di bawah hujan.
“Firasat aja..” jawab Rafa enteng.
“Firasat apa ?”
“Ya kamu kehujanan, enggak bawa payung. Lagian udah tahu sekarang musimnya enggak bisa di tebak, nurut kata peribahasa dong, sedia payung sebelum hujan”
“Ribet ah, berat-beratin bawaan aku aja. Aku malah heran lho sama kamu, cowok tapi rajin ya bawa payung..”
“Dasar malas, lebih baik berat sedikit bawa payung kan daripada kehujanan”
“Haha biarin, paling juga cuma kena flu kan kalo kehujanan”
“Ya udah mulai sekarang, kalo hujan, aku bakal selalu jemput kamu” ujar Rafa spontan, yang tanpa disadari membuat semburat merah jambu di pipi Alyssa.
***
Jakarta, 3 mei 2009
Hari ini hujan lagi, padahal Alyssa dan Rafa telah berjanji untuk menghabiskan hari minggu mereka dengan berjalan-jalan berdua. Tapi hujan yang dengan teganya menahan mereka, membuat mereka berdua akhirnya memilih untuk menjalani sisa hari ini dengan hanya duduk mengobrol di kafe.
“Baru tiga bulan aku kenal kamu, tapi rasanya aku udah kaya kenal sama kamu sejak tiga tahun yang lalu, hahaha..” celetuk Alyssa. Rafa hanya tersenyum mendengar itu, ia selalu suka bila melihat tawa menghiasi wajah manis Alyssa.
“Padahal sebelum-sebelumnya, aku enggak gampang deket lho sama orang yang baru pertama kali aku kenal. Tapi pas aku ngobrol sama kamu, rasanya beda..” lanjut Alyssa lagi.
“Beda apanya ?”
“Enggak tahu juga sih, yang jelas beda aja, rasanya nyaman”
“Aku juga nyaman ngobrol sama kamu. Kamu selalu bisa bikin aku ketawa, bikin aku senyum, bikin aku merasa bahagia” pujian dari Rafa membuat Alyssa ingin melayang rasanya.
“Kamu bisa aja. Kenapa ya hari ini harus hujan ? kita jadi enggak bisa jalan deh” ujar Alyssa sambil melemparkan pandangannya ke luar jendela, memperhatikan rintik-rintik air yang terus menderas.
“Emang kamu enggak suka sama hujan ?”
“Kalo hujan air enggak , tapi kalau ada hujan duit, aku suka deh pasti” Rafa hanya terkekeh mendengar ucapan polos Alyssa, reflek ia mengacak-acak rambut Alyssa.
“Rafa, berantakan nih..” protes Alyssa sambil merapikan rambutnya dengan jari-jarinya.
“Haha, maaf deh maaf. Aku suka lho sama hujan..”
“Oh ya, kenapa ?”
“Ada deh, rahasia, haha..”
“Main rahasia-rahasiaan nih sekarang sama aku. Eh aku mau tahu dong tentang kamu, selama ini kayanya lebih sering aku yang cerewet deh, sekali-kali gantian dong kamu yang cerita banyak”
Rafa memang telah menjadi pendengar sekaligus tong sampah yang baik bagi Alyssa. Mulai dari mantan pacar, sekolah, rumah hingga artis-artis idolanya, pernah Alyssa ceritakan pada Rafa.
“Emang kamu mau tahu tentang apa ? kan aku udah pernah cerita. Aku suka basket, suka main gitar, suka....”
“Suka nonton bola, suka baca komik, suka pelajaran fisika, tulisan kamu kaya cakar ayam, kamu tinggal sama nenek kamu, dan kamu punya sahabat namanya Dani” potong Alyssa cepat.
“Haha, tuh kamu udah hapal”
“Ya iyalah, orang setiap aku tanya, kamu jawabnya gitu terus. Emang enggak ada yang lain apa yang bisa aku tahu tentang kamu”
Rafa menatap Alyssa sambil tersenyum, ia menyentuh dagu Alyssa dengan jari-jarinya, untuk beberapa detik mereka menjadi saling bertatap-tatapan.
“Kadang kamu enggak perlu ngupas sesuatu terlalu dalam, karena saat kamu menemukan isinya enggak sesuai sama apa yang kamu mau, yang kamu dapetin cuma rasa menyesal dan waktu yang terbuang sia-sia”
Rasanya sedikit sulit bagi Alyssa mencerna kata-kata itu. Tatapan mata Rafa yang sayu namun teduh telah membuat jantungnya berdetak beribu-ribu kali lebih cepat.
“Eh, maaf..” ujar Rafa yang baru sadar, dengan posisi tangannya yang masih menyentuh dagu Alyssa. Alyssa hanya menggeleng, ia masih mencoba menetralkan desiran darahnya yang mengalir lebih cepat.
Rafa mengalihkan pandanganya ke arah lain. Melihat Alyssa tadi, membuat sudut-sudut tubuhnya bagai di penuhi rasa bahagia yang selama ini belum pernah ia rasakan. Rasa yang mengikat hatinya, dan membuatnya ingin selalu melihat tawa Alyssa yang menentramkan.
Entah kenapa, rasa kikuk langsung menyeruak di tengah-tengah mereka. Rafa memilih untuk mengetuk-ngetukkan jari jemarinya di atas meja. Sementara Alyssa memilih untuk bersenandung kecil.  
“Ssa..”
“Raf..”
Dalam waktu yang hampir bersamaan mereka sama-sama menoleh dan memanggil satu sama lain. Alyssa dan Rafa tertawa sendiri menyadari tingkah mereka.
“Kamu dul...”
“Rafa, kamu mimisan..” sela Alyssa langsung mengangsurkan tisu ke arah Rafa.
Aliran darah kental turun perlahan dari kedua lubang hidung Rafa, membuat Alyssa tidak mengerti apa yang harus ia lakukan sekarang.
“Kamu sakit ya ?” Rafa hanya menggeleng, ia masih mencoba untuk menghentikan laju darahnya.
Alyssa merasa tidak puas dengan jawaban Rafa, ia meletakkan telapak tangannya di atas kening Rafa. “Badan kamu panas”
“Aku enggak apa-apa, Ssa..” ujar Rafa meyakinkan sambil tersenyum, meski darah itu belum juga berhenti mengalir.
***
Jakarta, 15 mei 2009
Setengah berlari, langkah kaki Alyssa terburu-buru. Gara-gara ada tambahan pelajaran, ia jadi sedikit terlambat untuk menemui Rafa hari ini. Baru ia sampai di depan gerbang sekolahnya, sebuah mobil jazz berwarna merah berhenti tepat di hadapannya.
“Alyssa kan ?” tanya pengemudi mobil tersebut.
“Iya, siapa ?”
“Gue Dani, temennya Rafa..”
“Kenapa ?”
“Lo harus ikut gue sekarang, penting. Ayo naik..” perasaan tidak enak langsung menyerang tepat mengenai saraf Alyssa. Ia merasa telah terjadi suatu hal buruk pada Rafa. Tanpa bertanya lagi ia langsung naik ke mobilnya Dani dan membiarkan Dani membawanya ke tempat, yang mungkin saja ada Rafa yang sedang menunggunya.
Rasa tidak enak itu semakin menyiksa, ketika Dani memarkirkan mobilnya di sebuah Rumah sakit. Tidak ingin banyak mengira-ngira, Alyssa pasrah mengikuti langkah Dani menyusuri koridor-koridor rumah sakit yang kali ini terasa begitu panjang.
Dani berhenti di depan sebuah ruangan, ia menatap Alyssa lirih. “Apapun yang lo lihat di dalam, lo harus kuat ya”. Alyssa hanya mengangguk, langkahnya terasa berat dan hatinya merasa takut ketika Dani mulai membuka pintu tersebut.
“Rafa ..” sesosok tubuh lemah dengan berbagai macam selang yang terpasang di tubuhnya itu, menoleh ke arah Alyssa, dan seperti ciri khasnya, ia tetap saja tersenyum. Alyssa merasa terpaku di tempatnya, ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Dani yang berdiri di sampingnya, meraih tangannya dan menggandengnya mendekati ranjang Rafa.
Alyssa menatap Rafa nanar. Rasanya baru kemarin laki-laki itu menemani harinya. Ingin rasanya Alyssa bertanya, tapi suaranya tercekat, entah hilang kemana.
“Leukimia stadium akhir..”  ujar Dani seolah bisa membaca apa yang ada di dalam pikiran Alyssa. Membuat Alyssa merasa di jatuhkan ke jurang terdalam mendengarnya.
“Tinggalin kita Dan..” desah Rafa pelan, Dani mengangguk sekilas, kemudian ia keluar dari kamar itu. Alyssa menarik kursi dan duduk di samping Rafa.
“Kenapa kamu enggak pernah cerita ?” tanya Alyssa akhirnya, mampu bersuara.
“Aku..enggak mau..bikin kamu kecewa..”
“Harusnya kamu bilang, aku cerita semuanya ke kamu..”
“Maaf..”
“Enggak ada yang perlu dimaafin. Kamu cepetan sembuh ya, biar kita bisa ke kafe lagi berdua, kalo kamu sakit, siapa dong yang jemput aku waktu hujan, kamu cepet sembuh ya, harus sembuh..” tanpa Alyssa mau, air matanya mulai menetes perlahan.
“Jangan..nangis..” ujar Rafa sambil berusaha mengangkat tangannya yang lemah untuk menghapus air mata Alyssa.
Alyssa menunduk, ia benar-benar tidak sampai hati melihat kondisi Rafa seperti ini. Ada rasa takut kehilangan yang menyeruak dalam hatinya dan menguasai jiwanya sekarang.
“Aku..sayang..kamu ssa..” ucap Rafa pelan. Alyssa menatap Rafa, ia tahu ada ketulusan disana.
“Aku juga sayang sama kamu, jadi kamu enggak boleh ninggalin aku..” meski kata-kata ‘leukimia stadium akhir’ yang Dani ucapkan tadi masih terasa terngiang-ngiang di kepala Alyssa, tetap saja Alyssa ingin meyakinkan hatinya untuk berkata demikian.
Rafa hanya tersenyum, meski tipis, tapi tetap senyumnya yang mampu menyejukkan hati. Membuat batin Alyssa semakin miris.
“Kamu..mau tahu..kenapa aku suka hujan ?”
“Kenapa ?”
“Karena..hujan..udah..nemuin..kamu..sama...aku...karena...hujan...menyimpan...cerita...kita...berdua..” ujar Rafa dengan nafas tersengal-sengal dan kata yang di ucapkan satu-satu. Detik itu juga tangis Alyssa semakin menderas, diikuti dengan hujan yang kembali membasahi bumi.
***
Jakarta, 25 agustus 2010
Alyssa masih terus berputar di tempatnya, meski hujan benar-benar telah membuat dirinya basah kuyup. Ia tidak peduli, ia ingin mengenang Rafa. Seperti yang Rafa bilang, hujan menyimpan cerita mereka berdua. Dan saat ini, untuk sejenak, Alyssa ingin mengenangnya.
Rafa koma setelah itu, dan seminggu kemudian, ia meninggalkan Alyssa menuju keabadiannya yang sejati. Ada saat-saat dimana Alyssa benar-benar terpuruk setelah itu. Tapi kini, ia hanya ingin mengingat Rafa dengan senyumnya, seperti saat ini.
Setelah merasa cukup, Alyssa berhenti dan melihat sekelilingnya. Alyssa masih saja malas bila harus membawa payung. Meski ia tahu, Rafa tidak akan datang lagi untuk menawarkannya payung dan menemaninya berjalan menembus hujan. Tapi ada alasan lain di balik itu. Alyssa yakin, sejauh apapun jarak mereka saat ini. Rafa pasti akan selalu bersamanya.
Dan untuk itu semua, Alyssa tahu pasti, Rafa dan hujan, sesuatu yang tidak akan dapat ia pisahkan. Rafa dan hujan, adalah bagian keping hidupnya yang indah sekaligus pedih. Rafa dan hujan, adalah waktu yang akan ia kenang suatu saat nanti. Rafa dan hujan, adalah ia dan kisahnya.
“Kamu dan hujan, selalu membuat aku bahagia..” bisik Alyssa, sambil berjalan di antara rinai-rinai hujan, di antara rintik-rintik yang mengabadikan sejuta kenangannya bersama Rafa.
Tamat.

Komentar

Postingan Populer