Kita Tidak Sendiri (cerpen)

Mobil jazz berwarna merah itu melaju kencang menyusuri jalanan-jalanan utama ibukota, bergabung bersama hiruk pikuknya kota yang tidak pernah terlelap meski malam telah datang. Entahlah apa yang ada di dalam pikiran pengemudi mobil tersebut, yang jelas ia memacu mobilnya dengan sangat cepat, 160 km/jam. Tidak peduli dengan umpatan-umpatan yang di layangkan untuknya oleh pengemudi lain, yang di salip dengan sangat brutal olehnya.
Ia terus menekan pedal gasnya dengan kuat, seolah-olah jalan ini adalah milik dan untuknya seorang. Meski pandangannya mulai buram, ia tetap tidak peduli. Tanpa ia sadari mobilnya mulai liar dan tidak terkendali. 
“BRAAKK !!”
“ARGH ! SIAL !” dengan sempoyongan, ia berusaha keluar dari balik kemudinya. Tangannya ia tumpukan di atas kap mobilnya yang mencium pohon dan mengeluarkan asap yang mengepul-ngepul.
Untuk sesaat ia mengamati mobilnya, ia mencoba merogoh hp di kantong celananya, meski tingkat kesadarannya mulai menurun perlahan. Sambil memicingkan matanya, ia berusaha menatap layar hpnya yang tampak berbayang.
“Ha..lo..” ujaranya parau.
“Nomer yang anda tuju berada di luar jang...”
“Shit !!” rutuknya lagi. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia berjalan sambil merambat di body mobilnya, menahan badannya agar tidak jatuh karena semua mulai terasa berat dan berputar.
“Bruk..” belum jauh berjalan badannya jatuh, tatapannya mulai meredup. Sekali lagi ia mencoba mengumpulkan tenaganya, tapi semua terasa sia-sia karena energi-energi positif dalam tubuhnya terlanjur menguap. Ia melihat sepasang kaki dengan sandal jepit biru yang kumal mendekat ke arahnya dan semua tiba-tiba gelap.
“Helo..woi..” gadis itu mengguncang-guncangkan sesosok tubuh yang tiba-tiba tergeletak di hadapannya.
“Bau alkohol..” gumamnya sendiri. Ia berdiri, melihat ke kanan kirinya, hanya ada dia dan laki-laki-tidak-jelas itu saat ini.
Gadis itu tampak berpikir sebentar, kemudian ia menarik tubuh laki-laki itu lalu melingkarkan tangan laki-laki itu di pundaknya, dan mengambil dompet yang terselip di saku belakang celana orang tersebut.
Matanya langsung terbelalak melihat isi dompet tersebut “Gila, banyak banget nih duitnya”. Ia takjub sendiri dengan lembaran-lembaran 50.000 dan 100.000 yang sepertinya berebut ingin keluar karena penuhnya.
“Taksi..” panggilnya sambil melambai-lambaikan tangannya.
“Mau kemana mbak ?”
“Ini pak, tolong anterin orang ini” ujarnya sambil mengerling ke arah orang yang sedang berusaha ia papah dengan susah payah. Supir taksi itu tampak tidak respect dengan apa yang ia lihat.
“Tenang pak, nih..” dengan cerdik, gadis itu mengeluarkan lebih dari dua lembar uang 100.000 dari dompet yang ia temukan.
“Mau di bawa kemana nih mbak ?” tanya supir taksi tersebut semangat.
“Ini angkatin dulu dong pak, berat nih” supir taksi itu langsung keluar dan membantu orang tersebut untuk masuk ke dalam taksinya. Sementara gadis itu, mulai mencari kartu identitas dalam dompet tersebut.
“Anterin ke jalan kenanga no.9 komplek vila gading pak” jelasnya, si supir taksi tadi hanya menganguk-angguk. Ia menyelipkan dompet itu dengan rapi di celana orang tersebut yang di amati oleh si supir taksi.
“Kurang pak duitnya ? jangan nyolong orang lagi kesusahan pak” sindirnya.
“Oh enggak kok mbak, ya udah, mbaknya enggak ikut nih ?” gadis itu hanya menggeleng. Ia mengamati ketika taksi mulai melaju dan akhirnya menghilang di ujung jalan.
“Alvin jonathan” ujarnya mengingat nama yang tertera pada kartu identitas yang ia temukan tadi.
***
Sambil duduk di pinggir tempat tidurnya, ia meremas kepalanya yang terasa berputar. Efek dari aksinya menenggak beberapa kaleng bir semalam. Ia memperhatikan sekelilingnya, dan baru sadar bahwa ia telah ada di dalam kamarnya. Padahal ia ingat dengan jelas, semalam ia dan mobilnya mengalami kecelakaan kecil, lalu mengapa saat ini ia sudah ada di kamarnya lagi ?
Setelah merasa keadaannya jauh lebih baik, ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya menuju ke arah meja makan.
“Den alvin udah bangun ?” ia hanya mengangguk. Sambil duduk di depan meja makannya, ia memandangi bermacam-macam lauk yang ada di atasnya dan nampak belum tersentuh sama sekali.
“Semalem gimana caranya gue sampai rumah ?”
“Semalem den alvin di anterin taksi kesini, kata supir taksinya, ada cewek yang nyetopin taksi buat aden di pinggir jalan”
“Siapa ?”
“Enggak tahu juga den. Aden mau makan ? biar bibi panasin lagi”
“Mama sama papa kemana ?”
“Nyonya tadi pagi berangkat ke bangkok kalo tuan dari kemarin malam udah ke singapur” alvin mendengus sebentar. Ia meletakkan kembali sendok dan garpu yang tadi sempat ia genggam sesaat, lantas ia langsung beranjak dari duduknya.
“Lho den enggak jadi makan ?”
“Gue enggak selera” jawab alvin dingin. Ia melangkahkan kakinya kembali ke kamar. Tidak mungkin untuknya pergi ke sekolah saat ini, mengingat surat teguran dan skorsing yang kemarin ia terima. Sambil tidur-tiduran di atas kasurnya, ia meraih handphone dan dengan lincah jari-jarinya langsung menari di atas keypad hpnya.
To : Cakka, Iel
Entar plg sekolah, kita gocart yok
gue bayarin deh
Ia meletakkan hpnya kembali sembari menunggu sms balasan dari dua sahabat karibya itu.
Drrt..drrt..drrt. Alvin langsung membuka dan membaca sms yang masuk ke hpnya.
From : Iel
Sori sob, tawaran lo menggiurkan, tp
gue udh terlanjur janji sm via ke tko bku
kpn2 aja ya.
Belum habis rasa kesalnya, sebuah sms masuk lagi ke hpnya.
From : Cakka
Ya telat lo, gue mau nemenin ify plg skolah
besok aja ya
Alvin langsung menghempaskan hpnya ke atas kasur. Mengapa semua orang menjadi tidak peduli padanya di saat yang bersamaan seperti ini ? Setidak penting itukah kehadirannya di dunia ini ? Sehingga ia harus terus menerus tidak di acuhkan oleh orang-orang terdekatnya sendiri.
Dia tertegun sejenak. Rasanya ia benar-benar ingin melenyapkan dirinya saat ini. Ia melirik ke arah meja kecil di samping tempat tidurnya, tidak ada kunci mobil disana seperti biasanya. Tunggu. Bila bibinya mengatakan bahwa semalam ia pulang naik taksi, lantas dimana mobilnya saat ini. Mau tidak mau, ia harus mencari mobilnya. Lagipula terus-terusan berada di rumah, akan membuatnya semakin stres.
Dengan kecepatan sedang, alvin mengendarai cagivanya. Berusaha mengingat jalan-jalan yang telah ia lalui semalam, meski itu sulit, karena semalam jelas-jelas ia menyetir di bawah pengaruh alkohol. Setelah beberapa kali berputar-putar, alvin mulai merasa familiar dengan daerah yang saat ini ia lewati, ia merasa yakin bahwa semalam ia juga berada di tempat ini.
***
Dengan gitar bekas di tangannya, ia mulai beraksi ketika lampu merah menyala dengan terang. Petikan gitar yang ia pelajari secara otodidak mengantarkannya untuk menerima beberapa keping uang receh yang langsung ia masukkan ke dalam plastik bekas bungkus permen.
Ia kembali menepi ketika lampu berubah menjadi hijau, dan mobil-mobil serta motor yang tadi diam mulai bergerak kembali. Sambil duduk di bawah pohon, yang seluruh batangnya tertutupi oleh selebaran-selebaran tidak berguna, ia mengibas-ngibaskan topinya, menikmati angin yang mendesis di sekelilingnya.
“Dapet berapa lo kak ?” seorang laki-laki dengan tubuh lebih kecil darinya menghampiri dan ikut duduk di sampingnya.
“Lumayanlah, elo dapet berapa ray ?” tanyanya balik. Laki-laki yang di panggil ray itu, nyengir sambil menunjukkan beberapa lembar ribuan dan segambreng recehan yang ia miliki.
“Banyak tuh, main tamtam sambil mangkal lagi lo ?”
“Iya dong kak, walaupun cuma pakai tamtam, permainan gue kan keren” ujar ray sambil menarik turunkan alisnya.
“Iya deh. Eh udah jam segini, balik sana lo siap-siap sekolah” ray mengangguk. Ia menyerahkan uang-uang tadi pada kakaknya dan segera berlalu pergi dari situ. Sepeninggal ray, gadis itu tampak asik mengitung uang yang ada di genggamannya, tidak seberapa tapi cukup untuk membuat mereka kenyang malam ini.
“Sandal jepit biru” ia menoleh melihat seseorang yang nampaknya sedang berbicara padanya. Ia melihat orang itu sekilas dan langsung mengenalinya.
“Alvin kan ?” tanyanya santai.
“Tahu darimana lo nama gue ? elo yang nolongin gue semalem ?”
“Gue agni. Lo pasti mau cari mobil lo ya ?”
“Dimana mobil gue ?”
“Mobil lo masih aman kok di deket rumah gue, kuncinya juga udah gue cabut dan ada di rumah gue. Tapi gue enggak bisa balik sekarang, gue masih harus ngamen” alvin memperhatikan gadis di depannya itu, rambutnya merah dan kusam terpapar matahari, begitupun kulitnya. Tapi senyumnya tetap ramah dan nampak bersahabat.
“Oh ya udah, gue juga lagi enggak ada kerjaan kok, gue tungguin elo deh disini. Eh markir motor di taman sebelah sana aman kan ?”
“Aman kok, eh bentar ya..” agni langsung menghambur ke jalan, ketika lampu merah menyala lagi. Ia mulai menggenjreng gitarnya. Alvin memperhatikan itu, dan ada yang menggelitik nuraninya, rasa yang tidak pernah ada di hatinya selama ini.
***
Alvin terdiam sejenak, memandangi apa yang ada di depannya. Nampak sebuah rumah yang terbuat dari triplek-triplek yang di sambungkan secara asal, dan di tutupi dengan koran. Setelah memastikan kalo mobilnya memang baik-baik saja, hanya sedikit rusak pada bagian bemper depannya, alvin mengikuti agni yang mengajak ke rumahnya.
“Enggak mau masuk vin ?” tanya agni menyadarkannya. Alvin tersenyum tipis, dan menghampiri agni yang telah berdiri di ambang pintu rumahnya.
“Lo tinggal sendiri disini ?”
“Berdua sama ray, adek gue”
“Orang tua lo ?” agni diam sesaat, ia memberi kode supaya alvin duduk di atas dipan yang telah bolong disana-sini. Ia menuangkan segelas air dan menyodorkannya ke arah alvin.
“Gue enggak tahu bokap gue ada dimana sekarang, dan nyokap gue udah meninggal setahun yang lalu”
“Uhuk..” alvin tersedak sendiri.
“Kenapa lo ? santai aja kali minumnya, enggak biasa minum air putih ya” goda agni sambil tersenyum jahil.
“Lo hidup dari ngamen ? adek lo mana ?”
“Iya, mau dari apalagi emangnya. Adek gue lagi sekolah”
“Terus elo enggak sekolah ?” tanya alvin pelan-pelan.
“Semenjak nyokap gue meninggal, gue berhenti sekolah, walaupun kadang gue kangen juga sih sama suasana sekolah..” agni terlihat menerawang, membuat alvin merasa sedikit bersalah lagi.
“Lo hebat” ujar alvin tiba-tiba, agni hanya tersenyum.
“Siapa kak ?”
“Kenalin ray, ini alvin yang semalem gue ceritain itu, vin ini adek gue, ray” alvin dan ray saling berjabat tangan.
“Udah jam segini, gue balik deh. Kunci mobil gue ?” agni menyerahkan kunci mobil alvin. Alvin menerima itu dan hendak mengeluarkan dompetnya.
“Jangan, jangan bikin gue nyesel mau bantuin lo, kalo ujung-ujungnya lo hargain ini dengan uang-uang lo” cegah agni yang tahu gelagat alvin. Alvin menggaruk belakang kepalanya, tapi ia memasukkan kembali dompetnya.
“Gue cabut ya, thanks ag, ray..” agni dan ray mengangguk berbarengan. Entah karena apa, tapi alvin merasa ada kesenangan yang liar saat ia bersama agni dan ray, yang menyambutnya begitu hangat.
Sepanjang jalan, alvin terus mengingat saat-saat singkatnya mengenal agni tadi. Di mulai saat ia memutuskan untuk memarkirkan motornya di sebuah taman dan mencari mobilnya sambil berjalan kaki, hingga ia menemukan agni, melihatnya berjuang menantang nasib demi beberapa rupiah dan ketegarannya dalam menghadapi hidup yang jauh dari kata keadilan.
Alvin membelokkan motornya ke arah sebuah restaurant. Ia tidak begitu tahu pasti apa yang sedang ia lakukan saat ini, tapi ada suara yang menggema dalam hatinya dan menuntunnya untuk melakukan ini.
“Tok..tok..tok..”
“Kak alvin ?”
“Alvin ? ada yang ketinggalan ?”
“Enggak ko ag, ray, gue mau minta ijin buat tinggal disini” kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Membuat agni dan ray menatapnya kompak dengan pandangan yang susah di artikan.
“Lo serius vin ? enggak lucu bercanda lo”
“Seriuslah ag, tenang aja, gue enggak akan ngerepotin kalian kok. Boleh kan ? boleh dong. Nah sekarang, gue boleh masuk kan ?” tanpa di persilahkan, alvin langsung ngeloyor masuk. Agni dan ray mengekorinya dari belakang.
“Udah pada makan belom ? gue laper nih jadi tadi beli makan, temenin gue yuk” sambung alvin lagi sambil meletakkan plastik berisi makanan-makanan yang tadi ia pesan. Ray menatap agni dengan pandangan penuh harap.
“Sini ray, lagian gue beli kebanyakan nih, enggak boleh buang-buang makanan kan ?” ray langsung menghampiri alvin dan duduk di sebelahnya, ikut menikmati ayam goreng yang selama ini hanya bisa di makannya paling sering sebulan dua kali. Agni masih tertegun menatap alvin, tapi melihat adeknya begitu lahap, ia pun turut serta dalam pesta sederhana itu.
Selesai makan, mereka bertiga duduk di luar rumah, menatap kerlap-kerlip bintang yang nampak begitu anggun dan mengagumkan.
“Orang tua lo enggak nyariin kalo lo tinggal disini ?” Alvin tersenyum sinis mendengar kata ‘orang tua’ dalam kalimat agni.
“Mereka masih inget punya gue aja, itu udah bagus banget” ujar alvin datar.
“Kenapa gitu kak ?”
“Mereka enggak pernah peduli sama gue, sibuk sendiri sama kerjaan mereka, enggak semenit pun mereka gunain buat gue, gue emang enggak pernah penting kali buat mereka”
“Seenggaknya saat lo kangen sama mereka, elo masih bisa ngelihat mereka kan walau sekilas, coba gue sama ray..”
“Kalian berdua ngadepin ini, gue ? sendiri dan enggak ada yang mau capek-capek peduli sama gue”
“Tapi kak alvin kan kaya, punya mobil, punya motor, punya duit banyak, bisa makan apa aja yang kak alvin mau, enggak perlu susah-susah ngamen kaya kita” timpal ray. Alvin diam menatap anak yang masih duduk di bangku smp itu.
“Nyatanya gue enggak pernah bener-bener bahagia sama apa yang gue punya”
“Kalo gitu kak alvin kasih aja semua yang kakak punya buat gue sama kak agni. Gue mau kok” sahut ray polos.
“Udah ah lo anak kecil, masuk sana tidur, pr pr lo udah di kerjain semua kan ?”
“Ya udahlah gue tidur duluan ya” pamit ray sambil masuk ke dalam rumah, meninggalkan agni dan alvin berdua.
“Kemarin malem elo mabuk ya vin ?” tanya agni pelan-pelan. Alvin tersenyum tipis, sejujurnya ia sedikit malu dengan kelakuannya kemarin.
“Gue cuma minum kalo semuanya udah terlalu penat gue hadapin sendiri ag”
“Dan apa itu bikin elo lebih baik ? dari yang gue lihat sih enggak, elo malah kecelakaan kan” Alvin hanya memberikan senyumannya lagi, ia bingung ingin menjawab apa.
“Emang orang kaya enggak punya sahabat ya ?”
“Gue punya sahabat, tapi semenjak mereka punya cewek masing-masing, susah banget buat gue ketemu mereka”
“Tapi mereka tetep sahabat lo kan ? dan mereka gue rasa akan tetap ada buat lo apapun sibuknya mereka sekarang”
“Entahlah, gue terlanjur kecewa sama mereka, gue cuma mau punya temen buat berbagi” ucap alvin sambil terus memperhatikan bintang. Agni tersenyum tipis. Laki-laki disampingnya ini terlalu sempurna di luar meski sejujurnya terlalu lemah dan dangkal di dalam.
“Sejauh apa sih rasa kecewa lo ? sesepi apa hidup lo ?”
“Sepi banget, gue sampai kadang enggak ngerti, buat apa sih gue hidup, buat siapa sih gue ada, dan itu semua bikin gue terus-terusan kecewa sama hidup gue”
“Seenggaknya sejauh ini lo masih bisa bertahan kan ? lo baik-baik aja..”
“Enggak sebaik yang lo kira, udah lebih dari dua kali gue coba goresin kaca atau silet di tangan gue, tapi entahlah, semua itu cuma ninggalin luka dan setelah itu hilang gitu aja..” agni sedikit terbelalak dengan pengakuan alvin. 
“Kadang hidup emang enggak adil, tapi seberapa jauh sih kita bisa nuntut kehidupan”  
“Maksud lo ?” tanya alvin.
“Dulu keluarga gue bahagia, mungkin enggak sekaya elo, tapi kita hidup cukup. Sampai suatu hari, saat itu gue masih sd dan ray masih kecil, gue mulai suka lihat kedua orang tua gue berantem dan akhirnya mereka cerai. Bokap gue pergi gitu aja dari rumah, dan gue enggak pernah lagi ngeliat dia, bahkan ray mungkin udah enggak inget kali sama sosok bokap gue. Sejak saat itu, nyokap gue usaha segala macem buat kita terus bertahan. Bokap gue enggak ninggalin apapun buat kita, nyokap gue juga enggak punya banyak tabungan..” agni jeda sebentar untuk sekedar menghela napasnya.
“Awalnya kita enggak tinggal disini, tapi sejak saat itu, gue sama ray diam-diam udah suka ngamen setiap pulang sekolah. Sampai suatu hari nyokap gue sakit, dan gue enggak tahu harus ngelakuin apa, kita di usir dari kontrakan dan gue bawa mereka kesini. Sejak saat itu, gue bener-bener ngandelin hasil dari ngamen buat biaya hidup dan sekolah” alvin merasa iba mendengar cerita agni. Ia tetap terlihat tegar saat menceritakannya. Tidak ada satupun setitik air mata mengiringinya.
“Dan lo benci sama bokap lo ?”
“Enggak” jawab agni singkat, tapi cukup membuat alvin menatapnya bingung.
“Buat apa gue benci sama bokap gue ? rasa benci itu cuma bakal terus-terusan nyiksa gue. Gue emang kecewa sama bokap gue, tapi gue masih punya ray, dan dia alasan gue buat terus bertahan. Sejauh ini kita bisa ngejalanin berdua, jadi gue juga yakin kalo kita masih terus bisa buat ngelanjutin hidup” lanjut agni.
Alvin merasa hatinya tersentil. Ia jadi merasa kecil di samping agni. Ia yang selama ini, merasa dirinyalah yang paling menyedihkan, ternyata bukan apa-apa bila di banding agni. Dan bila agni yang seorang perempuan bisa melaluinya dengan senyuman lantas mengapa dirinya tidak.
“Thanks ya ag..”
“Buat ?”
“Semuanya, gue dapet banyak dari obrolan ini” agni hanya tersenyum, begitupun alvin. Senyumnya kali ini tidak tipis, senyumnya kali ini terlihat tulus dan nyata.
“Ya udah ayo tidur, udah malem” ajak agni. Alvin mengikuti agni masuk ke dalam rumah. Ia tidur di samping ray, yang sudah terlelap lebih dulu. Meski nyamuk mengerubunginya, meski tidak ada kesejukan ac, meski hanya beralaskan kasur busa tipis, tapi baru kali ini alvin merasakan apa yang di sebut dengan keluarga.
Sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, akibat sinar matahari pagi yang menembus celah-celah dinding, alvin menatap sekelilingnya yang nampak kosong, tidak ada ray ataupun agni. Setelah membasuh mukanya, alvin berjalan keluar. Dari kejauhan ia melihat agni dan ray yang sudah bertempur dengan laju-laju jalanan yang nampak keras.
“Kok gue enggak di bangunin ?”
“Tadi gue mau bangunin kak alvin, tapi enggak di bolehin sama kak agni”
“Kenapa ? padahal gue mau ikut ngamen lho”
“Yakin lo ?” alvin menganggukkan kepalanya. Ia meraih gitar dari tangan agni, dan mulai menghampiri mobil-mobil yang ada.
***
Sudah hampir seminggu, alvin menginap di rumah agni. Selama itu juga ia selalu menemani agni mengamen, dari satu mobil ke mobil lain, dari satu metromini ke metromini lain. Alvin juga selalu berusaha untuk menyesuaikan diri. Ia sangat menikmati nasi bungkus yang ia makan dari uang hasil keringatnya sendiri, tidak seenak makanan yang sering ia makan, tapi ada kepuasan hati yang tidak dapat di tukar oleh apapun.
Berhari-hari selalu bersama agni, membuatnya jadi sering memperhatikan gadis manis itu. Di balik wajahnya yang tertutupi oleh peluh dan asap kendaraan, ada ketenangan yang terpancar darinya. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda dengan perempuan lain yang pernah alvin temui sebelumnya. Keikhlasan dan ketulusan hatinya, juga membuat agni lebih terasa istimewa di mata alvin. Dan alvin tidak bisa memungkiri bahwa jantungnya selalu berdetak lebih cepat, ketika senyum agni menyapa matanya.
“Selamat datang di rumah gue..” ujar alvin. Ray langsung keluar dari mobil dan menatap rumah alvin yang berpuluh-puluh kali lipat lebih besar dari rumahnya. Hari ini, alvin sengaja mengajak agni dan ray ke rumahnya, sebagai ucapan terimakasih.
“Ayo masuk” ajak alvin sambil membuka pintu rumahnya. Ray masih menatap itu dengan takjub, ia begitu mengamati setiap detail yang ada.
“Aden darimana aja ? kok baru pulang ?”
“Kenalin ini temen-temen gue, yang ini agni yang ini ray..”
“Kok lo pake lo gue sih ? enggak sopan banget” koreksi agni spontan. Alvin cuma ngengir.
“Siapin makan siang yang enak ya. Kalian berdua ikut gue yuk, ada yang mau gue tunjukkin” agni dan ray patuh mengikuti alvin. Dan lagi-lagi, ray di buat tercengang dengan apa yang dia lihat, sebuah studio musik pribadi dengan perlatan musik yang lengkap, tanpa malu-malu, ia langsung berjalan ke arah drum, mengambil stiknya dan mulai memainkannya.
“Wow keren ray, kayanya lo emang bakat alam deh main drum” puji alvin jujur. Ray senyum, dan terus memainkan drumnya. Lain halnya dengan agni, dia begitu terkesima melihat gitar yang ada disitu, dengan hati-hati dia mengusap-usap gitar itu.
“Mainin aja ag, gue yakin lo bakal terlihat keren dengan itu” agni meraih gitar itu, dan mulai memetik senar-senarnya.
“Lo punya band ?” tanya agni di sela-sela permainannya.
“Enggak, tapi dulu gue suka ngeband sama sahabat-sahabat gue, sebelum mereka sibuk”
“Kan sekarang ada gue sama ray. Oh ya, dapur lo dimana ? gue mau bantuin bibi lo masak dong”
“Ehm, dari sini, lo lurus terus belok ke kanan aja, entar kelihatan kok”
“Oh oke, gue kesana ya..” pamit agni sambil meletakkan gitarnya kembali dan keluar meninggalkan ray dan alvin berdua.
“Baru bentar aja lo main, ritme permainan drum lo udah enak di denger ray”
“Udah lama gue pengen main drum beneran kak, eh sekarang kesampaian, makasih ya kak”
“Sip, kalo lo mau, drum itu boleh kok buat lo”
“Serius kak ?”
“Banget” ray tersenyum sumringah, ia semakin menikmati permainannya. Sementara itu alvin, tersenyum juga melihat senyum ray, baru kali ini merasa membuat orang tersenyum karena apa yang ia perbuat. 
Mereka bertiga duduk di ruang makan alvin. Berbagai macam lauk tersedia di atasnya. Agni tersenyum ke arah alvin dan ray yang baru keluar dari studio musik.
“Lo yang masak ag ?”
“Enggak kok, gue cuma bantuin dikit-dikit doang”
“Ya udah ayo makan..” ajak ray semangat.
“Ray” panggil agni sambil menatap ray tajam.
“Eh maaf kak....”
“Santai ray, ayo kota makan” timpal alvin sambil menarik kursinya.
“Vin, bibi juga suruh makan disini aja ya” ujar agni.
“Eh enggak usah, bibi makan di belakang aja” sela bibinya alvin yang baru saja meletakkan buah-buahan di atas meja.
“Kan kursinya banyak yang kosong vin, boleh ya..” bujuk agni lagi.
“Enggak usah....”
“Agni bener bi, bibi duduk disini aja, makan sama kita” sahut alvin. Bibinya menatap alvin dengan senyum yang penuh ketulusan.
“Nah ya udah, berdoa dulu yuk..” ucap agni, alvin mengangguk dan memimpin doa.
***
Seminggu berada di rumah agni, membuat alvin benar-benar terpisah dari kehidupan sehari-harinya. Maka saat sekarang ia telah kembali ke rumah. Alvin pun melampiaskan kerinduannya berselancar di dunia maya.
“Tok..tok..tok..”
“Masuk..”
“Den di tunggu nyonya sama tuan dibawah”
“Mama sama papa pulang ?”
“Iya, mau ngomong sama den alvin katanya” alvin langsung keluar kamarnya untuk menemui papa mamanya yang ia sendiri lupa kapan terakhir ia temui.
“Ada apa ?”
“PLAKK !” tanpa sebab yang alvin tidak tahu apa, tangan papanya langsung mendarat di pipinya.
“Apaan sih ?!!”
“Kamu yang apa-apaan ?!! kenapa kamu enggak bilang kalo kamu di skorsing ?!! sekolah kamu nelpon papa sama mama, dan bilang kalo mama sama papa enggak bisa ngurus kamu ! kamu sengaja mau bikin papa sama mama malu ?!!!” alvin menatap papanya tajam, rasa sakit masih berdenyut hebat di pipinya.
“Enggak bilang ?!! kalian yang kemana aja ?! sadar enggak sih ada aku disini !!”
“Alvin ! jangan kurang ajar ! dengerin kalo papa kamu lagi ngomong !” timpal mamanya dengan suara yang tidak kalah kerasnya.
“Kurang ajar ? maaf deh, tapi enggak ada satu orang pun yang ngajarin aku tentang tata krama di rumah ini !!”
“PLAKK !” sekali lagi sebuah tamparan tepat mengenai wajahnya.
“Tampar aja terus, kalo itu yang bikin papa puas !!”
“Diam ! jangan ngelawan !”
“Siapa yang ngelawan sih pa ? sadar enggak sih kalian, enggak sekalipun kalian pernah ada disini buat aku !” alvin tersenyum sinis ke arah mama dan papanya. Ia berlari ke atas menuju kamarnya, mengambil kunci mobilnya, dan langsung meninggalkan rumah begitu saja. 
“Halo yel lo lagi dimana sekarang ?”
“Eh..ini gue lagi di cookie cafe nih”
“Sama siapa ?”
“Ada cakka juga sih, tapi lo...”
“Oh ya udah gue kesana, tunggu ya”
Klik. Tanpa membiarkan iel berkata-kata lagi, alvin langsung memutuskan sambungannya. Dengan segera ia memacu mobilnya ke sana.
Dan saat ini, alvin berdiam mematung memandang dua orang sahabatnya itu. Ia tersenyum tipis meski senyumnya terkesan dingin dan di paksakan.
“Jadi kalian lagi double date ? sori deh ganggu” ujar alvin datar.
“Enggak apa-apa kali vin, gabung aja disini sama kita” ajak via.
“Terus gue ngelihatin kalian mesra-mesraan gitu, makasih deh tawarannya”
“Biasa aja kali vin, via juga ngajak lo baik-baik kan” bela iel yang merasa jawaban alvin terasa sinis.
“Kenapa yel ? gue salah sama cewek lo ini”
“Lo kenapa sih vin ? ada masalah ? oh ya kemarin seminggu lo kemana, kok ngilang ?” tanya cakka mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Peduli kka sama gue ? bukannya sekarang lo udah sibuk sama ify ya” ucap alvin sambil mengerling ke arah ify.
“Alvin lo kenapa sih ? jangan kaya anak kecil gitu deh” timpal iel.
“Anak kecil ? kalo gitu maaf deh, buat yang udah gede-gede. Dan lo bener yel, mungkin gue emang anak kecil, anak kecil yang berharap masih bisa terus main sama sahabat-sahabatnya, have fun deh..” alvin melangkahkan kakinya cepat keluar dari kafe itu. Ia kembali ke mobilnya, kembali menyusuri jalan-jalan panjang jakarta, kembali menikmati rasa sakit itu sendiri.
Di depan sebuah minimarket kecil, alvin memakirkan mobilnya. Di jok sampingnya ada seplastik bir kaleng yang siap menemani kesepiannya malam ini.
“Trek” alvin membuka katup kaleng tersebut, hendak meminumnya, tapi aroma bir yang menyengat hidungnya itu malah mengingatkannya akan satu sosok.
“Agni, kenapa gue enggak kesana aja ?” tanyanya pada dirinya sendiri. Alvin memandang bir di tangannya yang masih utuh. Dengan yakin, ia membawa sekaleng bir beserta bir-bir yang lain dalam plastik keluar dari mobilnya, dan membenamkannya di tempat sampah.
Rumah agni yang terletak di perkampungan sempit, membuat alvin harus berjalan kaki dari tempatnya memarkir mobil, tempat yang sama dimana mobilnya menabak pohon dulu. Gang-gang dengan rumah-rumah kumuh dan padat di kiri kanannya, menjadi hal yang biasa ketika ia tinggal selama seminggu disini.
“Eh elo, rokok dulu baru lewat sini” di ujung gang, alvin terkepung oleh segerombol orang, yang agni bilang sebagai premannya kampung mereka.
“Gue enggak ada rokok”
“Ya udah jangan lewat sini”
“Permisi, gue mau ke rumah agni”
“Agni ? oh jadi elo yang suka ngamen sama agni ? yang bikin anak buah gue jadi pada kehilangan pendapatan mereka ?” semenjak alvin menemani agni mengamen, omzet pendapatan mereka memang melonjak naik, karena orang-orang tertarik dengan wajah alvin yang ganteng dan suaranya yang enak di dengar.
“Bukan urusan gue” jawab alvin datar.
“Nyolot banget lo ! cari mati ?!!”
“Gue cuma mau ke rumah agni” ulang alvin lagi, tanpa sadar bahwa posisinya mulai terjepit, dan ia sedang berada di tengah-tengah kandang macan.
“Udah hajar aja bos !!” teriak orang-orang di sekitar mereka. Alvin melirik ke arah sekitarnya, dan baru paham bahwa ia telah di kepung.
“Serang !!” intruksi dari orang yang di panggil ‘bos’ tadi menjadi semacam tanda untuk mereka mulai menyerang alvin.
Di awal-awal, alvin masih bisa mengimbangi mereka dengan tangkisan-tangkisan dan pukulan serta tendangan balasan darinya. Tapi sepuluh orang lawan satu, jelaslah bukan perkelahian yang seimbang. Alvin mulai di serang dari segala sisi, ia mulai terjatuh beberapa kali, meski masih bisa bangkit. Darah sudah mengalir deras dari hidung dan sudut bibirnya. Ia sudah benar-benar kewalahan saat ini, dirinya tidak ubahnya sebuah daging yang sudah terkoyak dan di oper kesana kemari oleh sekawanan macan-macan tanpa ampun itu.
Suara gaduh dari luar membuat agni terjaga. Ia tahu, gang di dekat rumahnya itu memang di jadikan markas bila malam hari oleh sekelompok orang tidak jelas, tapi tidak pernah seramai ini.
“Ray..bangung dong..” ujar agni sambil mengoyang-goyang tubuh ray.
“Ehmm..apaan kak ?” tanya ray dengan mata yang masih terpejam.
“Bangun dulu dong elonya” paksa agni.
“Apaan sih ?”
“Lo denger enggak, ada ribut-ribut di luar ?” ray menegakkan duduknya.
“Iya, paling juga preman-preman enggak jelas itu”
“Temenin gue keluar yuk ray”
“Buat apa kak ?”
“Enggak tahu nih, firasat gue enggak enak aja” ingin rasanya ray menolak. Tapi pantang ia lakukan, karena baginya agni adalah, ayah, ibu sekaligus kakak untuknya.
“Ya udah ayo” sambil mengendap-ngendap, agni dan ray keluar rumah dan berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat alvinlah korban dari kebiadaban orang-orang itu.
“Tolong ! tolong !..” raung agni sekeras mungkin. Ia dan ray sama sekali tidak berani mendekat. Mendengar teriakan agni, para kawanan itu malah berniat menghampiri agni. Untung, tetangga-tetangga agni yang lain, juga ikut keluar dan mengamankan mereka semua.
Agni dan ray langsung berlari ke arah alvin yang telah terkapar meringkuk di tanah. Agni mengangkat kepala alvin ke pangkuannya, darah dan lebam tersebar dimana-mana.
“Alvin..alvin..” panggil agni berusaha menyadarkan alvin, begitupun juga ray. Yang membuat ray sedikit takjub adalah ketika ia melihat sebutir air menetes dari mata agni, dari mata kakaknya yang setegar batu karang.
***
Di tengah ruangan yang serba putih dengan bau karbol yang khas itu. Agni dan ray, saling mendekatkan diri berdua sambil terus berdoa dalam hati.
“Kak agni suka ya sama kak alvin ?” tanya ray pelan. Agni hanya terdiam. Sepertinya hanya raganya yang duduk disini.
“Kak...” panggil ray. Agni masih saja tetap diam.
“Kak agni..” panggil ray sekali lagi.
“Hah..apa ?” tanya agni. Ray tersenyum kecil.
“Kak agni takut kehilangan kak alvin ya ? tenang aja, gue yakin dia enggak bakal kenapa-kenapa kok” hibur ray.
“Gue enggak pantes buat sayang sama dia ray, kita jelas-jelas beda”
“Beda ? kak agni yang selalu ngajarin gue, kalo yang bisa bedain manusia cuma tingkat amalnya di mata Tuhan. Enggak peduli kita miskin ataupun kaya, kita semua berhak buat bahagia” agni menatap adeknya itu. Satu-satunya harta berharga yang akan ia pertahankan untuk apapun. Satu-satunya alasan bagi agni untuk tidak menyerah pada hidup.
Agni memeluk ray, dan ray membiarkan kakak sekaligus pahlawannya itu bersandar di bahunya. Untuk kali ini saja, ia ingin membiarkan kakaknya membagi beban itu dengannya.
Dari ujung lorong, terlihat dua orang pemuda yang tampak sebaya dengan alvin berlari ke arah mereka. Agni langsung melepaskan pelukannya, menghapus air matanya, dan menghampiri mereka berdua.
“Kalian cakka sama iel ya ?” tanya agni, yang pernah melihat wajah mereka sebelumnya dari foto yang di tunjukkan alvin.
“Iya gue iel, lo siapa ? alvin mana ?”
“Kenalin gue agni, ini adek gue ray. Alvin masih ada di dalam..” jelas agni sambil menunjuk ruang ugd. Iel dan cakka memperhatikan agni dan ray dari ujung atas hingga bawah. Agni paham, penampilannya yang hanya seadanya dan jauh dari kata mengesankan pastilah membuat dua mahluk ganteng ini bingung.
“Ceritanya panjang, alvin kenal gue sejak gue nolongin dia dari kecelakaan.....” agni mulai menceritakan semuanya. Awal pertemuan mereka, alvin yang menginap di rumahnya dan membantunya mengamen hingga kejadian malam ini.
“Alvin ngamen ?” tanya cakka shock yang lebih di tunjukkan untuk dirinya sendiri.
“Iya, dia semangat banget ngamen, setiap dia ngamen, pendapatan kita juga pasti banyak, tapi gue enggak nyangka, hal itu malah bikin dia dapet musibah kaya gini” ujar agni.
“Kenapa alvin enggak pernah cerita sama kita ?” tanya iel.
“Gue enggak tahu pasti, tapi dari cerita alvin ke gue, dia ngerasa kalo kalian berdua mulai jauh dari dia, mulai enggak ada saat dia butuh sama kalian” cakka dan iel tampak paham.
“Kita emang enggak pernah ngumpul bertiga lagi yel sama alvin, kita jauh dari dia sejak kita sama-sama punya cewek” ucap cakka, iel mengangguk menyetujui.
“Alvin kehilangan kalian karena kayanya dia kesepian..” tambah agni lagi.
“Orang tua alvin enggak pernah di rumah dari dulu dari dia kecil. Sering kalo weekend dia suka ikut keluarga gue atau keluarganya cakka buat pergi atau sekedar makan malam di luar. Rumahnya yang besar itu emang selalu sepi. Tapi seiring waktu kita tambah gede, semua juga mulai berubah..” terang iel.
“Apa kalian tahu kalo alvin suka mabuk atau ngelakuin hal gila kaya nyoba ngiris pergelangan tangannya sendiri ?” tanya agni pelan, tapi dari guratan kekagetan yang tampak nyata di wajah cakka dan iel, agni tahu bahwa mereka memang tidak tahu.
“Dia suka minum dan dia bilang, dia pernah beberapa kali nyoba buat bunuh diri” sambung agni lagi.
“Semakin kesini dia semakin tertutup, atau emang gue yang enggak perhatian lagi sama dia” sahut cakka.
“Kita emang bukan sahabat yang baik buat dia” timpal iel.
“Tapi kalian sahabat yang alvin punya dan itu enggak akan pernah berubah” ujar agni sambil tersenyum. Iel dan cakka ikut tersenyum bersamanya, seandainya nanti alvin cerita bahwa ia suka pada agni, maka mereka akan sangat mendukung itu, karena agni layaknya seorang malaikat penolong untuk alvin. Sementara ray yang sejak tadi memilih diam ikut mendengarkan, merasa bertambah kagum pada figur kakaknya, yang dalam hitungan detik bisa menepikan air matanya dan menggantinya dengan senyuman tulus.
“Orang tuanya lagi dalam perjalanan kesini, sebentar lagi paling mereka sampai” kata cakka.
“Kalo gitu gue sama ray pulang aja ya”
“Kenapa ?” agni hanya tersenyum, ia menunduk dan melihat penampilannya.
“Tenang aja, entar biar gue sama cakka yang jelasin. Lagipula gue rasa elo yang paling pantas buat ketemu alvin nanti” ujar iel menenangkan. Agni tampak ingin menolak.
“Udahlah kak, kita pulangnya entar aja kalo udah tahu keadaannya kak alvin” sahut ray, yang cukup membuat agni mengangguk dan mengurungkan niatnya.
***
Sekujur tubuhnya terasa sakit. Seperti adonan yang habis di lumat, atau memang seperti itu keadaannya saat ini.
“Alvin..” ia mencoba membuka matanya. Perlahan pandangannya yang agak kabur mulai jelas memperlihatkan sosok orang yang sedang menatap ke arahnya.
“Ma..ma ?”
“Iya alvin ini mama..” alvin tersenyum tipis, baru kali ini setelah 17 tahun ia hidup, mamanya ada di sampingnya saat ia terkapar seperti ini, membuat rasa sakit yang tadi ia rasakan seperti menghilang seketika.
“Maafin mama ya, mama sama papa udah denger semuanya dari cakka, iel dan agni”
“Papa mana ?”
“Papa lagi di bawah nyari sarapan”
“Kalo agni ?” mamanya tersenyum, ia menunjuk ke arah sofa yang terletak di sudut kamar, alvin dapat melihat agni dan ray sedang tertidur disana.
“Makasih ma..”
“Buat ?”
“Udah ada disini dan enggak ngusir agni sama ray” mamanya memeluk alvin dengan erat. Dan alvin menikmati itu, pelukan hangat yang telah lama di rindukannya.
“Mama enggak akan ngusir mereka, karena mereka enggak cuma ngerubah kamu, tapi juga nyadarin mama” bisik mamanya lembut di telinga alvin.
***
Hanya butuh beberapa hari bagi alvin untuk memulihkan kondisinya. Kasih sayang yang datang dari mama papa serta sahabatnya dan tentu saja agni, membuatnya lebih terlihat ceria dan selalu berpikiran positif.
Ray dan agni juga di bujuk untuk mau tinggal di rumah alvin. Orang tua alvin juga tidak keberatan untuk membayar biaya sekolah mereka berdua. Dan tentu saja ini membuat alvin senang, karena ia tidak akan kesepian lagi sekarang. Tidak akan ada lagi malam-malam dimana ia menghabiskan waktunya untuk mabuk dan ngebut di jalanan. Tidak akan ada lagi perasaan terasingkan dan tersisihkan ketika sahabatnya lebih memilih mengahbiskan waktu mereka bersama pacar masing-masing. Dan tentu saja, tidak akan ada lagi cerita tentang dia yang kecewa akan hidupnya.
Atas inisiatif dan bantuan papanya. Alvin mengadakan acara amal untuk membantu anak-anak jalanan yang kerasnya pernah sesaat ia rasakan diri. Yang ketegaran-ketegarannya memberinya pelajaran tentang hidup. Yang semangat-semangatnya membuatnya malu mengingat hidupnya yang sebenarnya masih jauh lebih beruntung di banding mereka.
“Lagu ini tercipta karena sebuah pengalaman hidup yang kami alami sendiri, dan mungkin juga di alami oleh beberapa yang ada disini. Hidup sebagai seorang pengamen jalanan memang keras, tapi setidaknya kita masih mau untuk berjuang demi sesuap nasi, dan untuk segala keberanian itu, lagu ini tercipta khusus untuk kalian semua..” ujar alvin lantang.
Ia berdiri di tengah panggung yang sederhana. Di tonton oleh puluhan anak jalanan yang ada disitu. Sambil tersenyum pada orang tua dan sahabatnya yang juga ada disana, ia mulai bernyanyi.
Malam ini hujan turun lagi
Bersama kenangan yang ungkit luka di hati
Luka yang harusnya dapat terobati
Yang ku harap tiada pernah terjadi
“Agni !” dan agni keluar dari balik panggung, nampak berbeda dari biasanya, terlihat lebih cantik dan beraura dengan gitar di tangannya. Sambil memainkan gitarnya, agni juga bernyanyi, melantunkan kisahnya dengan ketegarannya yang khas

Ku ingat saat Ayah pergi, dan kami mulai kelaparan
Hal yang biasa buat aku, hidup di jalanan
Disaat ku belum mengerti, arti sebuah perceraian
Yang hancurkan semua hal indah, yang dulu pernah aku miliki
Ray yang tiba-tiba muncul dan duduk di balik drum, mulai menggebuk drumnya, dan ikut bernyanyi bersama alvin dan agni.

Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah
Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan
Alvin menyanyikan bagiannya sambil mengerling ke arah orang tuanya. Terbersit rasa malu dalam hatinya bila mengingat saat-saat itu, saat-saat ia kalah melawan hidupnya sendiri.

Mungkin sejenak dapat aku lupakan
Dengan minuman keras yang saat ini ku genggam
Atau menggoreskan kaca di lenganku
Apapun kan ku lakukan, ku ingin lupakan
Namun bila ku mulai sadar, dari sisa mabuk semalam
Perihnya luka ini semakin dalam ku rasakan
Disaat ku telah mengerti, betapa indah dicintai
Hal yang tak pernah ku dapatkan, sejak aku hidup di jalanan
Dan mereka kembali bernyanyi tiga. Begitupun dengan yang lainnya yang ikut larut dalam hentakan drum yang ray mainkan, lengkingan gitar dari petikan jari jemari agni, serta suara khas milik alvin.

Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah
Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan
Selesai bernyanyi, alvin bersama orang tuanya dan yang lainnya, membagikan makanan dan snack-snack kepada mereka yang hadir disana. Dan alvin benar-benar merasa puas dengan semua itu. Ia merasa hidupnya mulai berarti sekarang.
Setelah hampir seharian, alvin mengajak agni untuk pergi dengannya berdua. Alvin mengajak agni ke atap sebuah gedung.
“Mau ngapain kesini ?” tanya agni bingung.
“Mau lihat matahari sore yang indah sama lo” ujar alvin sambil menarik tangan agni dan menyuruhnya duduk disampingnya.
“Matahari sore memang bagus ya..”
“Ag, makasih ya buat semuanya”
“Harusnya gue yang bilang makasih, sekarang hidup gue jadi jauh lebih baik karena elo dan keluarga lo, gue enggak tahu harus balas semua itu pakai apa”
“Hadirnya elo dan ray di tengah hidup gue dan keluarga gue, ngajarin kita arti senyuman dan kebersamaan udah cukup setimpal sama semuanya, gue jadi enggak ngerasa sendiri lagi”
“Enggak pernah ada yang sendiri disini vin. Enggak pernah cuma ada gue ataupun elo, yang ada itu kita, dan kita tidak sendiri, selama elo percaya kalo elo bukan satu-satunya orang yang menyedihkan di dunia ini, gue yakin lo bakal tahu, kalo kita tidak sendiri dan enggak akan sendiri” jelas agni sambil tersenyum. Alvin meraih tangan agni, menggenggamnya erat.
“Kalo gitu, jangan pernah tinggalin gue sendiri, gue sayang sama lo” ujar alvin mantap. Agni mengalihkan pandangannya ke arah lain, ia tahu mukanya pasti memerah sekarang. Alvin tersenyum tipis. Ia merengkuh kepala agni ke dalam pelukannya.
“Ini artinya gue enggak akan ngelepasin elo buat selamanya” bisik alvin.
“Gue enggak akan kemana-mana, gue akan terus ada disini buat lo” balas agni. Dan dalam dekapan alvin, agni terus menatap matahari, menikmati kebahagiaan sore ini, begitupun dengan alvin, terus menatap agni, matahari yang bersinar terang untuknya.

Komentar

  1. Alni... couple yang jarang tapi ini keren nih keren..




    numpang nitipin link gue yaa..kalau mau berkunjung juga boleh..
    obat kista tradisional.
    obat pelangsing herbal.
    thanks before sis..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer