Last part 1
Sambil
menyenderkan badan mereka di dinding, dua laki-laki itu, saling
mengelap keringat mereka masing-masing. Napas mereka masih sama-sama
tidak beraturan. Keringat mengucur deras di badan mereka.
“Nih minum” sebuah botol minuman isotonik dingin di ulurkan tepat di depan muka salah satu dari laki-laki itu.
“Thanks ya shil..” laki-laki tersebut langsung meneguk minumannya hingga tandas hampir setengah botol.
“Buat gue mana shil ?” tanya laki-laki yang satunya.
“Beli sendiri dong..” ujar shilla santai sambil duduk di depan kedua laki-laki itu.
“Yee, sama sepupu sendiri juga lo, tega amat” ujar laki-laki itu mendengus. Shilla hanya terkekeh mendengarnya.
“Biarinlah,
perhatiannya shilla kan cuma boleh buat gue doang alvin jonathan” sahut
alvin sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri. Yang langsung mendapat
cibiran dari laki-laki disampingnya.
“Minta sama ifylah yo kalo lo mau” goda shilla.
“Kalo ifynya ada disini, juga udah gue minta dari tadi”
“Ya
udah-udah, nih minum aja punya gue” alvin menyodorkan botol yang isinya
tinggal setengah itu, rio menerimanya sambil nyengir.
“Vin hari ini aku enggak pulang sama kamu ya, aku sama via mau nemenin agni” alvin hanya mengangguk.
“Cakka lagi ?” tanya rio nimbrung.
“Yeah
as usual” jawab shilla singkat. Matanya terus memperhatikan ke arah
alvin, entah mengapa dia merasa ada yang ganji dengan pacarnya itu.
“Kok
ngelihatin aku terus sih ? kenapa aku tambah ganteng ya ?” tanya alvin
narsis. Rio langsung memberinya hadiah berupa toyoran.
“Yee, sakit..” timpal alvin sambil mengelus-ngelus kepalanya.
“Haha..iya
kamu tambah ganteng aja sih..eh aku balik ke kelas ya, take care..”
ujar shilla sambil tersenyum. Alvin membalas senyum shilla. Dan rio cuma
bisa mupeng melihat pasangan mesra ini.
“Udah dong, enggak solider amat lo, malah mesra-mesraan di depan gue” celetuk rio. Alvin hanya terkekeh mendengarnya.
“Iya-iya ah, cerewet lo. Udah ayo balik ke kelas” ajak alvin sambil berdiri.
“Ayo..” rio juga berdiri.
“Ergh..” rintih alvin saat sebuah rasa enek menyerang lambungnya.
“Kenapa vin ?” tanya rio bingung.
“Enggak tahu, masuk angin kali ya, kecapekan”
“Beuh,
manja lo, baru juga main basket segini doang” cibir rio. Alvin hanya
mengangkat kedua bahunya. Kemudian mereka berdua berjalan beriringan
menuju kelas mereka.
***
He is the reason for the teardrops on my guitar
The only thing that keep me wishing on a wishing star
He’s the song in the car
I keep singing don’t know why i do..
The only thing that keep me wishing on a wishing star
He’s the song in the car
I keep singing don’t know why i do..
Dengan
lirih sambil menggenjreng gitarnya, agni menyanyikan lagu tersebut.
Kepalanya ia senderkan ke pinggir tempat tidurnya. Matanya nanar dan
pandangannya kosong.
“Tok...tok..tok..”
“Masuk..”
“Agni..”
panggil via dan shilla bersamaan. Agni hanya tersenyum meski tipis.
Shilla dan via langsung duduk di sebelah kanan dan kiri agni.
“Udah dong agni sayang” hibur via sambil mengelus-ngelus pundak agni.
“Segitu sayangnya ya lo sama cakka ?” tanya shilla.
Agni
hanya menggeleng. Tapi setetes air jatuh dari pelupuk matanya. Via
langsung memeluk agni, dan shilla menepuk-nepuk pundak agni. Mereka
tahu, percuma saja mereka mau ngomong sama agni. Lagipula saat ini yang
agni butuhkan hanya sekedar perhatian dari mereka.
“Drrtt..drrtt..drrtt...”
via melepaskan pelukannya. Ia tersenyum hambar, melihat siapa yang
menelponnya. Sementara agni dan shilla kompak tersenyum maklum. Via
menjauh sedikit dari agni dan shilla untuk mengangkat telponnya.
“Halo..”
“Via, masih di rumah agni ? udah makan belum ? nanti mau pulang jam berapa ? mau di jemput, atau pulang sendiri ? terus...”
“Yel,
aku baik-baik aja kok disini, enggak usah terlalu khawatir, oke, nanti
aku pulang sama shilla” potong via cepat sebelum iel nyerocos lebih
banyak lagi.
“Oh iya-iya, ya udah aku titip salam aja ya buat shilla sama agni”
“Hmm, dah ya, bye” via langsung memutuskan hubungannya.
“Abis
di telpon iel, yang semangat dong mukanya” goda shilla. Via tersenyum
maksa ke arah shilla, yang malah membuat shilla dan agni tertawa.
“Seenggaknya dia perhatian cuma sama lo doang kan vi” celetuk agni.
“Obat juga bisa bikin over dosis ag kalo kelebihan” sahut via jengkel. Lagi-lagi membuat agni dan shilla kompak tertawa.
***
Layaknya
seorang maling yang tertangkap basah, cakka duduk di tengah-tengah,
dikelilingi oleh alvin, rio dan iel yang menatapnya tajam.
“Lo semua kaya mau makan gue tahu enggak” celetuk cakka mencoba mencairkan suasana yang terasa horror untuknya ini.
“Iya cak, gue pengen makan elo” timpal rio geram, cakka cuma nyengir.
“Elo kok enggak kapok-kapok sih nyakitin agni mulu” ujar iel sambil nunjuk-nunjuk cakka.
“Enggak takut kena karma ?” tanya alvin enteng.
“Gue khilaf sob..” jawab cakka santai sambil masang muka innocent.
“Ya
elah, elo mah jawabannya khilaf mulu tapi enggak pernah insaf. Mau
sampai kapan sih lo giniin dia, seneng banget nambah dosa” rio mulai
melancarkan aksi ceramahnya.
“Gue
tahu sih, agni ujung-ujungnya bakal maafin lo lagi, tapi sekali aja
dong lo bener-bener ngehargain dia. Gimana kalo dia sampai beneran
ninggalin lo” tambah iel, yang membuat cakka semakin terpojok.
“Jangan
pernah nyia-nyiain yang udah lo punya cak, sejujurnya dia terlalu baik
buat lo, dan elo terlalu bejat buat dia” sambung alvin. Cakka menghela
napasnya, dia menatap sahabat-sahabatnya itu satu persatu. Apa yang
mereka katakan semua benar, cakka tidak bisa membantah ataupun menampik
itu.
“Iya
gue tahu, gue salah, entar gue juga bakal minta maaf kok sama dia” ujar
cakka yakin. Kali ini gantian iel, rio dan alvin yang menghela napas.
Entah sudah berapa kali mereka mendengar kata-kata seperti ini, dan
mungkin masih ada berkali-kali lagi kata seperti ini akan mereka dengar.
“Kali ini masalahnya apaan lagi sih cak ?” tanya iel dengan raut bosan.
“Temen gue ngajakin gue nonton film berdua dan ya..gue enggak punya alasan buat nolak itu” jawab cakka jujur.
“Cewek ? berdua aja ?” cakka mengangguk menjawab pertanyaan rio.
“Elo
sahabat gue cak, tapi jangan bikin gue nyesel ngenalin elo sama agni”
ujar alvin sambil menepuk-nepuk pundak cakka. Cakka hanya tersenyum
sekilas. Sejujurnya ia tidak punya niatan untuk menyakiti, meski ia
melakukan semuanya dengan kesadaran penuh. Ia hanya seorang laki-laki
normal yang tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menolak
permintaan seorang perempuan.
Mereka
berempat terdiam. Membiarkan angin menyelinap di antara mereka. Cakka
sibuk mengalihkan perhatiaannya, berharap dapat menepikan perasaan tidak
enak yang menyelimutinya saat ini. Alvin memilih untuk memainkan rubiks
yang baru saja ia keluarkan dari tasnya. Sementara rio, meski raganya
duduk bersender di tiang gazebo rumahnya, tapi pikirannya melanglang
jauh menyeberangi ribuan kilometer jarak yang membentang. Dan iel, tentu
saja asik dengan handphonenya, berusaha menelpon via, dan mengirimkan
sms berkarakter-karakter.
***
Sambil
menumpukan kepalanya di atas kedua tangannya yang disilangkan, rio
bersiul-siul kecil. Perasaan rindu di hatinya, sedang menggebu-gebu kuat
sekarang. Membuat dadanya sedikit sesak. Matanya menerawang, di
pikirannya terbayang jelas sosok ify yang selalu bisa membuat jantungnya
loncat kesana-kemari.
Apakah
gadis itu baik-baik saja ? apakah ia juga melakukan hal yang sama
dengan rio sekarang ? apakah ia merindukan rio ? apakah ia mengingat rio
sesering rio mengingatnya ?
Berbagai
pertanyaan absurd tambah memenuhi pikirannya sekarang. Masih teringat
jelas atau malah mungkin akan selalu teringat jelas di otaknya,
pertemuan terakhirnya dengan ify.
_Flashback_
Lekat-lekat,
rio memperhatikan ify yang tampak asik menikmati gulalinya, wajahnya
terlihat polos layaknya seorang anak berusia lima tahun. Siapa yang
menyangka, ia adalah seorang siswi cerdas yang berhasil mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan studynya di amerika. Dan malam ini, adalah
malam perpisahannya dengan ify.
“Lo beneran yakin fy sama keputusan lo ?” ify berdecak, ia telah bosan mendengar pertanyaan itu ratusan kali sebelum ini.
“Cuma orang bodoh yang menolak beasiswa ini rio” jawab ify. Rio mencoba tersenyum.
“Bukan masalah beasiswa lo fy, ini masalah perasaan gue, perasaan elo..” ujar rio pelan-pelan. Ify menoleh ke arah rio.
“Kita
udah ngobrolin ini sebelumnya kan yo ? lo udah tahu perasaan gue dan
gue tahu perasaan elo, terus apa lagi” rio mendesah pelan. Ia memegang
kedua pundak ify dan membuat ify mengarah kepadanya.
“Gue
sayang sama elo fy..” ify mengalihkan matanya, akan sia-sia saja semua
usahanya akhir-akhir ini, bila ia harus takluk pada dua bola mata sayu
yang menenangkan itu.
“Lihat gue fy, please..”
“Kalo
kita terikat dalam sebuah hubungan yang jelas, perasaan itu malah akan
nyiksa kita yo, amerika indonesia itu bukan cuma sekedar depok-jakarta
yang nyampe cuma naik krl, gue butuh konsentrasi disana, gue harus
berjuang disana sendiri, jadi tolong jangan beratin gue yo..” jelas ify
masih belum mau menatap mata rio. Rio tersenyum hampa. Gadis di depannya
ini terlalu tangguh untuk ia yakinkan hanya dengan kata-kata.
“Gue
akan selalu ada disini fy, selalu..” ify tersenyum mendengar kata-kata
rio, meski hatinya terasa sedikit miris. Rio melepaskan kedua tangannya
dari bahu ify.
“Nanti kita surat-suratan ya..”
“Kenapa harus surat ? kita bisa email, twitteran, web cam, kita kan enggak hidup di jaman nenek moyang lagi fy”
“Teknologi
emang canggih, tapi kesannya enggak dapet, kalo email atau twitter gue
kena hack gimana ? atau misalnya gue tiba-tiba lupa paswordnya gitu. Kan
jadi enggak abadi, sementara surat wujudnya bisa di simpen..”
“Kalo suratnya hilang atau kebakar juga enggak bisa kesimpen kan ?”
“Yee, kok kesannya malah nyumpahin sih” rungut ify yang membuat rio terkekeh.
“Iya
deh, terserah elo aja selama lo bahagia” ujar rio sambil mengacak-acak
rambut ify yang membuat ify langsung memukul-mukulnya pelan.
_Flashbackend_
Kejadian
itu sudah hampir satu tahun berlalu. Dan hati rio mulai gundah, bukan
perasaannya yang mulai goyah dan berniat untuk menyerah, tapi entah
kenapa semakin hari waktu berjalan, ia malah merasa jarak di antara
keduanya semakin melebar.
Rio
mengamati secarik kertas yang ia pegang di tangan kanannya. Surat
terbaru dari ify yang ia terima tiga hari yang lalu. Tulisannya yang
rapi dan condong miring ke kanan. Rio bahkan hapal di luar kepala,
berlembar-lembar surat dari ify untuknya. Dia meraba surat itu, berharap
bukan tulisannya saja yang dapat ia rasakan tapi juga raga pemiliknya.
Mario..
Gimana kabar lo ? pasti baik dong..
You know, i will play piano in my school’s event next week, and i think it will be my a great experience !
Gue kangen banget nih sama elo-elo semua ..
Pengen banget hang-out bareng lagi..
Pengen banget hang-out bareng lagi..
Elo
tahu enggak yo, gue nulis surat ini dimana ? gue nulis surat ini di
depan tamannya ‘white house’, ya ampun meski sekarang gue udah
berkali-kali sering lihat ini, tetep aja kadang gue masih suka ngerasa
mimpi. Someday, you must see it !!
Disini
tuh tenang banget, enggak ada polusi, enggak ada sampah yang
berserakan, gelandangan aja rapi banget. It’s tottaly different with
indonesia. Tapi tetep aja sih, gue cinta mati sama indonesia, gue masih
aja harus makan nasi setiap hari sementara di sekitar gue bertebaran
roti dan salad. Gue masih aja suka heboh sendiri kalo lihat sesuatu yang
‘wah’, masih aja suka ilfeel sendiri kalo ngelihat orang kissing dengan
seenak jidatnya di tempat umum. Masih aja harus pake jaket kemana-mana,
walaupun temen gue pada tanktopan semua, yeaahh..i’m still indonesia
people..
Dan gue kangen berat sama indonesia, terutama kalian semua. Kapan ya gue bisa ketemu kalian ? hiks...
Oke, gue lagi enggak mood buat mellow..
Rio,
maaf. Surat kali ini segini aja dulu ya, gue lagi di tungguin kerjaan
setumpuk nih di samping gue, hope you understand, nd keep praying for my
show next week..
Miss you all
Bighug
-Alyssa-
-Alyssa-
Selalu
seperti itu isi suratnya. Hanya ada satu pertanyaan klise tentang
keadaan rio dan selanjutnya, ify sibuk menceritakan pengalamannya
disana. Terkadang surat itu juga di lampirkan oleh selembar dua lembar
foto yang menunjukkan keakrabannya dengan hidup barunya.
Rio
mencoba mengerti, mencoba untuk tidak egois, hanya karena sebuah surat.
Tapi mengingat isi suratnya yang selalu membahas tentang kerinduannya
akan ify, kadang membuat rio sedikit merasa tidak adil dengan balasan
yang ia dapatkan. Bahkan rio tidak bisa melihat ketersiratan rasa sayang
ify untuknya dari tulisan-tulisan itu. Dia yang terlalu dalam
mengharapkan ify atau ify yang terlalu dangkal membalas perasaannya.
“Eh sori yo, ganggu ya ?” rio sedikit terkejut dengan kehadiran orang lain di kamarnya.
“Sori yo, abis tadi enggak di kunci, jadi gue masuk aja deh..” lanjut orang itu lagi.
“Mau apa ?” tanya rio langsung.
“Elo
lupa sama..ehm..itu makan malem” rio menepuk jidatnya sendiri, kemudian
ia nyengir ke arah orang di depannya itu. Orang itu hanya tersenyum.
“Ya udah gue tunggu di bawah ya” rio hanya mengangguk, dia melirik ke arah surat ify sekilas, dan melihat ke ambang pintunya.
‘gimana
cara gue jelasin ini ke elo fy’ batin rio sambil melipat surat itu
dengan rapi dan memasukkan kesebuah kotak, tempat ia menyimpan
surat-surat sebelumnya.
***
Rasanya
malam ini begitu panjang untuk via. Terjebak dalam waktu yang
membuatnya benar-benar merasa suntuk. Sesekali ia melirik jam
dindingnya, yang jarum-jarumnya seolah tidak berjalan dan tetap terdiam
di tempatnya. Via melihat ke arah iel yang sedang asik menonton tv di
sebelahnya.
“Yel, aku ngantuk”
“Ngantuk
? masih juga jam delapan vi, emang tadi siang kamu ngapain aja ? pasti
kecapekan ya ? atau kamu lagi enggak enak badan ?”
“Yel, aku ngantuk dan aku cuma butuh tidur” ulang via sekali lagi.
“Ya udah aku pulang sekarang ya, besok aku jemput kamu jam setengah tujuh, terus..”
“Good
night yel” potong via sambil tersenyum, iel berdiri dan berjalan menuju
pintu depan rumah via, via mengikutinya dari belakang. Di pintu, iel
berbalik menghadap via.
“I
love you..” ujar iel sambil tersenyum. Via hanya mengangguk. Kemudian
setelah ia melihat iel masuk ke dalam mobilnya, via langsung masuk ke
kamarnya dan merebahkan badannya di kasur.
Bukan
ia tidak bersukur dengan keadaannya. Tapi akhir-akhir ini, ia hanya
merasa sedikit jengah dengan perlakuan iel untuknya. Dia kangen
saat-saat ia mengatur hidupnya sendiri.
******************************************************************************
Senyum
mengembang di bibirnnya, tangan kanannya membawa sebuah tas kertas
berisi kotak-kotak makanan. Alvin langsung paham dan mempersilahkan
shilla masuk ke dalam apartemennya. Seperti sudah menjadi kebiasaan,
shilla langsung ngeloyor masuk ke dapur.
“Kamu
abis makan junk food lagi ya ?!” tanya shilla sambil melotot dan
menunjuk sisa sampah yang ia temukan dari atas meja makan alvin. Alvin
cuma bisa nyengir sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Udah berapa kali sih aku bilangin, aku kan pasti dateng bawain kamu makanan !” alvin mendekati shilla. Dia menarik tangan shilla dan menatap matanya.
“Makasih
ya..” ujar alvin lembut. Shilla hanya bisa mendesah pelan, ia selalu
takluk pada senyum menawan itu. Shilla mengangguk, kemudian ia mulai
memindahkan makanan-makanan yang ia bawa.
“Nih,
kemarin aku sama mama masak rendang, kalo kamu mau makan, tinggal di
panasin aja, kasih air sedikit, aku taro kulkas ya. Terus ini aku bawain
sayur sop juga, terus yang ini tadi aku gorengin ayam buat kamu”
layaknya seorang istri, shilla menerangkan secara runtut semua yang ia
bawa, menatanya untuk alvin.
“Kok senyum-senyum sih ?” tanya shilla bingung.
“Enggak apa-apa seneng aja dapet perhatian dari kamu kaya gini” jawab alvin sambil mengacak-acak rambut shilla.
“Udah dong, berantakan nih..”
“Mau berantakan juga tetep cantik kok” shilla hanya tersenyum.
“Ya udah sekarang kamu makan dulu gih”
“Masih kenyang shil” tolak alvin, shilla ingin memaksa, tapi alvin keburu menarik tangannya keluar dari dapur.
Dalam
apartemennya yang cukup luas ini, alvin memang tinggal sendiri. Karena
seluruh keluarga besarnya tinggal di singapur. Saat weekend atau libur
sekolah, kadang alvin suka mengunjungi keluarganya di sana. Tidak jarang
bersama shilla dan teman-temannya yang lain. Dan sebagai pacar yang
baik, shilla tentu saja selalu berusaha untuk memperhatikan alvin.
Apalagi ia tidak begitu suka dengan alvin yang seorang junk food
addicted.
Sambil
menyenderkan kepalanya di pundak alvin. Shilla menemani alvin
menyaksikan acara yang ada di tv, meski chanelnya sudah berkali-kali
alvin ganti. Dalam diam, shilla mengamati wajah alvin.
“Ada
apa sih ? dari kemarin kamu lihatin aku melulu” alvin yang sadar,
mengalihkan matanya dari tv ke shilla. Shilla mengangkat kepalanya dari
pundak alvin, dia menatap alvin sambil tersenyum.
“Yee, di tanya kok malah senyum-senyum..”
“Emang aku enggak boleh ngelihatin muka pacar aku sendiri” sahut shilla. Kali ini malah gantian alvin yang mengamatinya.
“Aku
emang enggak salah pilih ya, aku sayang sama kamu” alvin mendekat ke
arah shilla dan membisikkan kata-kata itu di telinga shilla. Cukup
membuat pipi putih shilla memerah.
“Aku juga sayang sama kamu”
“Bener ya ? awas aja kamu sampai berani ninggalin aku”
“Mau ninggalin kamu kemana coba ?”
“Ya
makanya sebelum kamu ninggalin aku, aku udah ngelarang duluan. Kan aku
enggak mau kehilangan kamu..” ujar alvin sambil bergelayut manja. Shilla
hanya terkekeh melihat alvin seperti itu. Alvin yang cuma bisa manja
sama shilla, tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia merebahkan
kepalanya di pangkuan shilla.
“Hmm..manjanya kumat deh” goda shilla sambil mengelus-elus rambut alvin.
“Biarin, udah lama enggak kaya gini”
Sejenak
kesunyian menemani keduanya. Terhanyut dalam suasana hangat yang mereka
ciptakan. Menikmati setiap detik kebahagiaan yang menyelimuti keduanya.
Membiarkan setiap perasaan sayang yang terasa mengikat keduanya.
“Shil..”
“Ya ?”
“Janji ya..”
“Janji apa sih vin ?”
“Jangan pernah ninggalin aku” ujar alvin serius sambil meraih tangan shilla dan menggenggamnya.
“Iya
alvin..” balas shilla sambil tersenyum. Alvin meletakkan tangan shilla
yang tadi ia genggam diatas kepalanya, mengisyaratkan agar shilla
mengusap-usap rambutnya lagi.
Dan
lagi-lagi, mereka kembali tenggelam dalam dunia privat mereka. Meski
hubungan ini telah memasuki tahun kedua, tapi nyatanya kemesraan itu
tetap dapat terjaga di antara keduanya. Yang terkadang menebarkan aroma
iri ke sekitar mereka. Tapi sejauh apakah kesempurnaan akan bertahan.
***
Suara
dentingan garpu dan sendok yang beradu dengan piring, cukup untuk
mengikis keheningan di antara mereka berdua. Bukan mereka tidak ingin
saling mengenal lebih dekat, hanya saja rasa canggung itu masih
mengelilingi keduanya.
“Ehm, sekolah lo gimana ?” rio akhirnya memutus untuk bertanya lebih dulu, berharap keadaan ini akan mencair.
“Gimana apanya ?”
“Ya gimana keadaanya ?”
“Biasa aja, gue ikut ekskul drama dan ya selebihnya gue cuma murid biasa”
Lalu
keadaan hening kembali. Mereka berdua kembali menekuni makanan di
piring mereka masing-masing. Kadang mereka saling mencuri pandang dan
menebar senyum, mencoba mengurangi rasa kikuk yang menggentayangi
mereka.
“Rio,
makasih ya udah mau nganterin gue ke toko buku” rio hanya tersenyum, ia
bingung mau membalas apa. Lagipula seperti biasa, pikirannya selalu
terpisah jauh dari raganya.
“Lagi mikirin ify ya ?”
“Gue
emang selalu mikirin dia de, tahu deh dianya mikirin gue atau enggak”
gadis yang sedang duduk di hadapannya, yang tidak lain adalah dea, hanya
tersenyum mendengar penuturan rio.
“Mikirin elo jugalah pasti, masa enggak sih” hibur dea. Rio hanya mengangkat kedua bahunya.
“Eh
sori de, kita malah ngobrolin ini, padahal elo....” rio menggantung
kata-katanya sendiri, agak sulit bibirnya mengungkapkan hal tersebut.
“Santai
kali yo, kaya yang udah kita omongin sebelumnya, gue sama elo sama-sama
punya kehidupan pribadi masing-masing, dan kita masih punya waktu buat
milih” timpal dea yang paham kemana arah pembicaraan rio.
“Thanks ya de, elo udah mau ngertiin ini”
“Sama-sama
kali yo, ini juga masih kerasa kaya mimpi kok buat gue. Oh ya, gimana
udah berhasil nemuin cara buat cerita ini ke sahabat-sahabat lo ?”
“Belom
de, elo sendiri ?” dea hanya menggeleng sambil tersenyum. Rio dan dea
sama-sama tahu, ini semua tidak semudah kelihatannya, begitu rumit malah
untuk remaja berusia 17 tahun seperti mereka.
***
Suara
pantulan bola basket yang menggema menjadi satu-satunya suara yang
tercipta di antara mereka. Paling-paling sesekali desahan napas yang
menemaninya. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan, atau mungkin tidak
ada yang bisa menemukan kata yang tepat untuk membuka pembicaraan.
“Ma..main basket yuk”
Cakka
menoleh ke arah agni yang merebut bola yang sedari tadi ia pantulkan.
Agni tersenyum ke arahnya sambil berlari-lari kecil mendribel bola.
Rambutnya yang diikat, bergoyang kesana kemari. Senyumnya yang manis,
seperti tidak menyimpan luka.
“Ag, gue mau ngomong”
Seolah tidak mendengar kata-kata cakka, agni terus mendribel bolanya. Berusaha membujuk cakka untuk ikut bermain bersamanya.
“Ag, gue mau minta maaf”
Untuk
sesaaat agni terdiam, dia tersenyum tipis, rasanya ia pernah mendengar
kata-kata seperti itu sebelumnya. Tapi kemudian agni mulai memainkan
bolanya kembali. Dia berlari ke arah ring, mengambil ancang-ancang dan
melempar bolanya.
“Yes,
masuk !” ujar agni senang. Cakka mengamati agni, gadis itu, selalu
begini. Dia mendekati agni, yang sedang mendribel bolanya kembali. Cakka
mengikuti permainan agni, sambil berharap agni mau menatap matanya.
“Ag, gue...”
“Udahlah
cak, gue enggak suka ngebahas yang udah lewat, udah ayo main lagi” sela
agni sambil tersenyum dan melemparkan bolanya ke arah cakka.
“Ayo
dong main..” bujuk agni, karena cakka hanya memegang bola itu erat-erat
dan bukan memainkannya. Ia memandangi agni. Sikap agni yang seperti
inilah, yang malah terasa menusuk batinnya, menggiringnya dalam perasaan
bersalah.
“Cakka,
lo mau sampai kapan megang itu bola ?” tanya agni sambil merengut.
Cakka melihat bola yang ada di tangannya, dia tersenyum. Kemudian mulai
mendribel bolanya.
“Nah
gitu dong dari tadi” sahut agni sambil berusaha merebut bola dari
cakka. Tidak butuh waktu lama, mereka langsung melebur dalam permainan
mereka seperti biasa. Tertawa dan bercanda bersama. Saling berkejaran
merebut bola. Berlari seperti ingin meninggalkan hari kemarin, berlari
seperti ingin cepat-cepat menemui hari esok. Dan menanti, kejutan apa
yang di berikan hidup untuk mereka.
***
Seperti
hari minggu yang sebelum-sebelumnya, hari minggu kali ini pun. Iel
telah siap sedia di rumah via sejak pagi tadi. Awal-awal hubungan ini
berlansung, via sangat menikmati kunjungan iel ini. Menunggu iel yang
menemani mamanya belanja ke pasar, memperhatikan iel yang membantu
papanya mengurusi kebun kecil di rumah mereka, melihat iel yang begitu
akrab dengan adik bungsunya yang masih berusia lima tahun.
Siapapun
pasti akan senang ada di posisi via, mendapatkan pacar seperhatian iel.
Tapi akhir-akhir ini, perhatian itu terasa sedikit menjemukan bagi
hidupnya. Terkadang via merasa bernapas pun ia di batasi. Membuatnya
sedikit suntuk, dan memerlukan sesuatu yang baru dalam hidunya.
Via
tidak bisa bohong bahwa ia sangat-sangat menyayangi iel, apapun yang
terjadi iel adalah orang yang telah menemaninya satu setengah tahun
belakangan ini. Dia tidak bisa menjamin dirinya akan baik-baik saja
tanpa kehadiran iel di sampingnya.
“Baca apaan sih vi, serius banget” via meletakkan novelnya di meja, ia memberi kode supaya iel duduk di sampingnya.
“Kenapa vi ?”
“Aku mau ngomong yel..”
“Soal
apa ? kamu lagi ada masalah ? atau aku salah sama kamu ? atau ada yang
enggak enak yang kamu rasain ? apa vi ?” via menghela napas sebentar.
“Soal kita, aku sama kamu” iel meneggakkan duduknya, ia bisa membaca raut serius di wajah via.
“Ada yang salah ?”
“Bukan
salah yel, enggak ada yang salah tapi proteck kamu ke aku udah terlalu
over dan jujur, aku agak enggak nyaman sama ini” iel diam mendengar
kata-kata via, via sendiri menunduk, lebih memilih memandangi lantai
ketimbang iel. Lama mereka saling berdiam, membuat via malah merasa
bersalah dalam keadaan ini.
“Maaf..” ujar via lirih.
“Aku
yang harusnya minta maaf, udah bikin kamu ngerasa enggak nyaman kaya
gini” iel tersenyum ke arah via, tapi via tetap menunduk. Dengan
tangannya, iel mengangkat dagu via, membuat via menatap matanya.
“Maaf ya, aku cuma terlalu sayang sama kamu. Terus sekarang kamu maunya gimana ?”
“Aku
cuma mau enggak selebai itu yel, aku tahu kok kamu sayang sama aku,
tapi enggak usah sampai segitunya” via menunduk lagi, ia takut
kata-katanya menyakiti iel.
“Ya udah kalo itu mau kamu” sahut iel.
“Makasih..”
“Senyum dong” bujuk iel sambil mengusap pipi lembut via.
Sambil
tersenyum manis, via menatap iel dalam-dalam. Berharap kali ini, iel
benar-benar mengerti apa yang dia mau. Bukan dia ingin banyak menuntut
ini itu. Dia hanya tidak ingin hubungan ini di penuhi rasa sesak di dada
masing-masing. Ia hanya ingin ikatan ini mengalir sejujur mungkin.
Tanpa perlu menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, cukup
menjalani ini semua apa adanya.
***
Sore
yang cerah, waktu yang tepat untuk berkumpul. Dan seperti biasa, gazebo
rumah rio yang luas menjadi sasaran mereka semua untuk menghabiskan
waktu bersama-sama. Saling melempar candaan dan cerita.
“Eh gue mau ngomong” ujar rio tiba-tiba.
“Ya
udahlah ngomong..” sahut alvin. Rio menatap semua temannya satu
persatu-satu, yang tentu saja malah membuat teman-temannya itu heran.
“Elo kenapa ?” tanya iel bingung.
“Emang
nyokap lo enggak cerita shil ?” shilla yang ikutan hening kaya yang
lain, cuma bisa menggeleng menjawab pertanyaan sepupunya itu.
“Ada apa sih ?” tanya cakka semakin penasaran.
“Ehm..itu..gue mau cerita..kalo gue..itu..ehm..”
“Ya elah yo, ribet amat mau bilang apa sih ?” tanya agni enggak sabaran. Rio menggaruk belakang kepalanya sebentar.
“Gue..eh..gue..”
“HALO SEMUANYA !!!”
Semua
mata yang dari tadi sibuk memandang rio, kini langsung mengalihkan
perhatian mereka ke arah lain, termasuk rio sendiri. Sorot mata bingung
dan kaget perlahan-lahan berubah menjadi sorot mata senang.
“Kok ngelihatinnya gitu banget sih lo semua ?”
“IFY !!” teriak via, agni dan shilla kompak. Mereka bertiga langsung menghambur memeluk ify.
“Eh
udah woi, sesek ini gue” ujar ify, yang membuat ketiganya nyengir dan
melepaskan pelukan mereka. Rio yang matanya terus mengamati ify sejak
tadi, berjalan mendekat ke arah ify, dan berhenti tepat di depan ify.
“Hai
rio..” ingin rasanya rio melakukan hal yang sama seperti yang tadi
dilakukan via, agni dan shilla. Tapi satu-satunya ekspresi yang bisa ia
lakukan hanyalah tersenyum. Ify membalas senyum itu. Senyumnya masih
sama, masih selalu membuat jantungnya lompat kesana kemari.
“Enggak
kangen sama gue ya lo ?” goda ify, yang sesungguhnya sedikit bingung
dengan kelakuan rio. Rio menarik tangan ify, membuat badan ify jatuh di
dalam pelukan rio.
“Selalu fy, gue selalu kangen sama elo” bisik rio, sehingga kata-kata itu hanya dapat di dengar oleh ify.
“Makasih..”
balas ify sambil tersenyum. Tanpa ify atau siapapun tahu, di balik
senyuman rio yang menawan itu, ada pikiran lain yang memenuhi pikiran
rio saat ini.
Komentar
Posting Komentar