Last special part "Song.."

Dinginnya udara yang berdesis perlahan, tidak menyurutkan langkah kaki gadis itu untuk terus menyusuri jalan-jalan setapak yang masih basah sisa hujan tadi pagi. Di ujung jalan, ia memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah kafe kecil yang cukup hangat.
Ia memilih untuk duduk di sudut ruangan, menikmati sepinya yang sendiri. Segelas coklat panas yang ia pesan, hanya ia aduk-aduk saja, menimbulkan buih-buih di atas permukaannya. Dari dalam tasnya, ia keluarkan sebuah amplop berwarna biru cerah, warna yang sesungguhnya sangat kontras dengan keadaannya saat ini. Pelan namun pasti, ia mulai membuka amplop, mengeluarkan secarik kertas yang ada di dalamnya, surat yang baru tadi pagi ia terima dengan hati bergetar.
Hai Alyssa..
Udah lama ya gue enggak ngirim surat ke elo. Sebenernya udah lama gue pengen ngirim surat lagi ke elo, tapi gue takut, surat gue cuma bakalan keselip di antara tugas-tugas lo yang berjibun dan akhirnya enggak akan lo baca sama sekali..haha..
Terus kenapa sekarang akhirnya gue mutusin buat ngirimin lo surat lagi ? karena dea berhasil yakinin gue kalo elo enggak akan setega itu sama gue, dia bilang, lo pasti bakal dengan senang hati terima surat dari gue, baik ya dia..
Ify diam sejenak, hanya untuk sekedar mengalihkan matanya sesaat dari surat di tangannya itu, menetralisir rasa perih yang tiba-tiba muncul dalam hatinya.
Dan gue harap, emang kaya gitu yang bakal terjadi, lo bakal seneng terima surat ini. Kaya yang waktu itu lo bilang ke gue, kita tetap sahabat, apapun yang pernah terjadi sama kita.
Gue belum nanyain kabar ya daritadi ? haha, maaf deh. Gimana kabar lo ? gue tebak, pasti lo lagi sibuk ngerjain tugas-tugas lo dan ngejar segala macem impian lo. Tetap semangat ya, kita semua disini pasti bakal dukung elo terus kok..
Kabar gue sendiri baik disini, gue sama dea sekarang lebih deket, dia nerima gue apa adanya, meski kadang gue masih suka keingetan tentang lo, tapi dia enggak keberatan, atau malah mungkin elo yang keberatan masih gue inget ? haha, peace..
Keadaan emang enggak sama lagi. Gue tahu lo masih suka berhubungan sama shilla kan ? ya, dia selalu mencoba tegar, walau ada malem-malem dimana gue nemuin dia dalam keadaan yang rapuh banget. Begitupun iel, dia masih belum bisa maafin dirinya sendiri, hampir setiap hari dia pergi ke makamnya via, cuma untuk duduk dan minta maaf berulang-ulang. Perubahan besar juga terjadi sama cakka, enggak ada lagi cakka yang playboy, dan keras, dia benar-benar belajar banyak dari kebodohannya dia ngelepasin agni.
Jujur gue masih enggak tahu kenapa, waktu itu lo balik ke amrik tanpa pamit sama gue. Kita ketemu terakhir di rumah shilla selepas pemakaman alvin, dan tiba-tiba gue tahu lo udah pergi gitu aja. Bukannya kita udah janji untuk tetap sahabatan ?
Kayanya gue udah nulis panjang banget ya ? Gue tahu elo sibuk, tapi bisalah lo sempetin setengah jam aja buat ngebales surat ini, biar gue yakin, kalo persahabatan kita emang enggak berubah, biar gue yakin, kalo elo baik-baik aja, dan lagi enggak coba sembunyi di balik topeng cita-cita lo..
Kita kangen sama lo ify, cepet balik ya kesini. Take care, jangan terlalu sibuk, inget sama badan fy.
Mario.  
Ps : terus peluk apa yang udah lo pilih untuk lo peluk Alyssa, cita-cita lo.
Tanpa terasa, meski tidak ada bagian yang mengharu biru dalam surat tersebut, tapi rinai-rinai air mata telah membentuk alurnya di pipi ify. Ia mendekap surat itu di dadanya. Seolah ingin menerkamnya masuk ke dalam hatinya, hati yang telah memutuskan apa yang kini ia hadapi, satu tahun yang lalu.
Satu tahun. Ify mengasingkan dunianya sendiri, meyakinkan hatinya bahwa apa yang ia pilih, bahwa impian-impian yang ia kejar adalah sesuatu yang paling benar dan mutlak. Tidak sepenuhnya salah. Nilai-nilai A yang bertebaran di lembar ujiannya, pujian-pujian yang terlontar untuk seorang gadis manis dari asia tenggara yang saat pertama kali datang hanya di pandang sebelah mata, kepopuleran yang tidak main-main yang ia dapatkan dari hasil kerja otaknya sendiri. Tapi ada yang kosong di balik semua itu, hampa yang menganga lebar. Sesuatu yang tanpa ia sadari dulu terisi dengan satu nama, rio.
Bukan penyesalan. Ini hanya sebuah rasa pedih. Rasa yang ternyata tidak dapat ia hilangkan dalam sekejap. Rasa yang cara penanganannya tidak ada di dalam buku manapun. Rasa yang begitu hebat tapi tidak diajarkan dalam sekolah bertaraf super sekalipun. Rasa manusiawi yang kehadirannya tidak ia duga sebelumnya, kehilangan.
Tidak ada lagi satu lembar surat penuh rayuan gombal nan manis untuknya. Tidak ada lagi kalimat-kalimat yang penuh dengan sisipan kata ‘sayang’ di tiap barisnya. Tidak ada lagi harapan-harapan tinggi yang biasanya tak pernah absen dalam surat-surat rio.
Rio benar, keadaan memang tidak pernah sama lagi. Begitupun untuk mereka berdua. Rio telah bahagia bersama dea, dan dirinya ? bertahan dengan rasa kehilangan saja, sudah terlalu indah untuknya.
Ia tahu, satu-satunya jalan adalah ia harus maju. Tidak peduli di depan nanti ia akan jadi seperti apa. Karena tidak mungkin untuknya, untuk mundur apalagi berbalik. Setidaknya ia bangga akan dirinya, ia telah berani memilih, sesuatu yang mungkin tidak akan di lakukan oleh remaja lain seusianya. Ia telah memilih cita-cita untuk masa depannya, dan kesejatian untuk hari-harinya ke depan, biarlah ia serahkan pada Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Dengan ujung jari-jarinya sendiri, ia menghapus air matanya. Ia melirik ke arah gelas di hadapannya, yang masih penuh tidak berubah sejak tadi. Tanpa perlu meniup lagi, karena memang sudah berubah dingin, ia meminum coklat tersebut hingga tandas hampir setengah. Lalu ia masukkan surat tadi ke dalam tasnya kembali sambil berjanji di dalam hati, sesampainya dia di asrama akan langsung menulis balasan surat tersebut. Dengan senyum manisnya, ia berjalan keluar dari dalam kafe, tidak lupa ia memakai headshetnya untuk sekedar menemani sisa harinya hari ini.
Sebuah siaran radio dari kbri ify pilih karena rasa rindu yang merasuk akan negara tercintanya indonesia. Siang-siang begini, adalah jam siaran pelajar-pelajar indonesia yang magang demi mencari tambahan uang saku, dan dengan mendengar celotehan mereka, ify merasa ia sedang tidak ada begitu jauh dari indonesia.
“Halooo..indonesia..siang ini, ada  saya dita yang bakal nemenin kalian-kalian semua satu jam ke depan. Lagu pertama, di request sama lydia dari bethesda road, katanya dia lagi inget sama si mantan di indonesia..okee..kita temenin lydia sambil bermellow-mellow ria..enjoy it..”
hey...
belum juga aku mengerti.
apa yang sedang ku rasakan,
tak seperti biasanya.
Ify tertegun sesaat mendengar lagu yang saat ini mengalun di telinganya. Apakah sebegitu kentalnya rasa persaudaraan orang indonesia disini, hingga isi hatipun bisa sama.
hey ye..
mungkin semua karenamu.
sudah tak bisa ku nikmati,
saat kau tak bersamaku.
Tapi ify tidak mau ambil pusing, ia meneruskan langkahnya, ikut bersenandung kecil sesuai lagu yang sedang ia dengar saat ini. Tidak peduli apakah lagu ini pas dengannya atau tidak. Ia hanya ingin menjalaninya sekarang, sesuai seperti apa yang telah ia pilih.
seandainya saja ku bisa katakan
jangan kau tinggalkan.
saat ini ku ragu
bisakah ku nikmati semua tanpamu.
selamanya..

hey..
pernah ku katakan dalam hati,
mencoba untuk menikmati..
semua yang terjadi.

hey ye..
ternyata sangat melelahkan.
harusku hadapi kenyataan,
sendiri tak bersamamu.

berharap ku terbiasa
sendiri menikmatinya.
berharap ku terbiasa
sendiri menikmatinya.
***
Dari celah-celah pintu, dengan lirih dea memperhatikan rio yang nampak begitu asik dengan benda di tangannya. Niatnya untuk masuk tadi ia urungkan seketika. Dari tempatnya berdiri, dea bisa melihat rio dengan jelas. Laki-laki yang sudah hampir setahun ini dimiliki dan memilikinya. Dan dea tidak bisa bohong, rasa sayang itu telah berkembang pesat di hatinya sekarang, menguasai jiwa dan pikirannya.
Hanya saja, akhir-akhir ini keraguan itu datang mengusik. Dea selalu merasa takut, takut bahwa ia hanya bisa memliki raganya rio, tapi tidak akan bisa mengikat hatinya. Masih ada waktu dimana rio sesekali membahas tentang ify. Meski rio telah meyakinkan dirinya berkali-kali, bahwa rasa cinta itu juga telah ada dan tumbuh di hatinya untuk dea, tetap saja, dea merasa rio akan meninggalkannya.
Di pinggir tempat tidurnya, tanpa rio sadar akan kehadiran dea, ia terus saja memperhatikan syal biru di tangannya, kenang-kenangan dari ify. Rio tidak mau memungkiri, kadang rasa kangen akan sosok yang pernah bertahta di hatinya itu berkelebat dalam hatinya seperti saat ini, rio tahu ada dea disampingnya sekarang, orang yang akan menemaninya kapanpun dan orang yang tidak akan rio lukai sedikitpun.
Beberapa hari yang lalu, rio mengirim surat untuk ify. Setelah berbulan-bulan ia tidak pernah melakukan itu. Dan ternyata waktu telah membawa perubahan yang nyata dalam dirinya. Tidak ada lagi lusinan kata-kata gombal untuk ify dalam suratnya. Ia menulis surat itu atas kesadaran penuh dari seorang sahabat untuk sahabatnya yang lama tidak ia jumpai.
Ia merindukan ify, senyumnya, tingkahnya, sosoknya, tapi hanya sebagai sahabat. Rasa itu telah berubah. Hanya ada dea dalam hatinya sekarang. Dan rio telah berjanji untuk tidak menyia-nyiakan dea, ia akan mencintai dea sepenuh hati, mempertahankan gadis itu untuk selalu ada disisinya.
Sadar telah menghabiskan beberapa menitnya hanya untuk berdiri di depan pintu kamar rio dengan sejuta pikiran negatif, akhirnya dea memutuskan untuk turun ke bawah. Ia tidak mau seolah-olah sedang memergoki rio yang sedang mengingat ify, meski kenyataan yang ia temui demikian adanya. Dea berusaha untuk menghapus pikiran-pikiran itu, ia tidak ingin semuanya menjadi beban dan sampah yang lantas akan memenuhi isi otaknya.
“Abis dari kamar rio de ?” di tangga, dea berpapasan dengan cakka.
“Eh..i..iya, ehm..gue ke bawah ya kka, mau bantuin tante dulu” ujar dea cepat, dan langsung melesat meninggalkan cakka.
“Kok si dea agak aneh ya” gumam cakka sambil terus berjalan ke arah kamar rio. Pintu kamar rio yang memang tidak tertutup membuat cakka merasa sah-sah saja bila ia langsung masuk ke dalam tanpa basa-basi dulu sebelumnya.
“Ceilah yo, masih dilihatin aja, entar cemburu tuh si dea..” celetuk cakka saat mengetahui apa yang sedang di lakukan oleh rio.
“Enggaklah, lagian dea enggak disini”
“Enggak disini apaan. Gue aja tadi papasan sama dia di tangga, dia bilang dia baru dari kamar lo” sahut cakka bingung.
“Daritadi gue sendirian, atau jangan-jangan dea lihat...” rio tidak melanjutkan kata-katanya, ia melirik ke arah syal biru yang masih ada dalam genggaman tangannya. Ia tahu, dea pasti telah melihatnya tadi.
“Samperin sana yo, jelasin sama dia, jangan bikin dia kecewa” ujar cakka yang akhirnya mengerti keadaan ini.
“Jangan sampai lo nyesel ngelepasin gitu aja orang yang sayang sama lo, mempertahankan seseorang emang enggak mudah, tapi lebih enggak mudah lagi buat bikin seseorang balik lagi sama kita” lanjut cakka sambil menerawang. Rio paham, ia menepuk-nepuk pundak cakka.
“Gue tahu kka, gue enggak akan ngulangin kesalahan yang sama kaya lo. Ayo turun..” ajak rio, cakka hanya tersenyum tipis, lalu ikut turun bersama rio. Mereka berdua menghampiri dea yang sedang menata piring di meja makan keluarga rio.
“De, aku mau minta maaf, aku tahu kamu pasti tadi lihat ak...”
“Apa sih yo ? dateng-dateng kok langsung minta maaf gini. Udah ah, aku lagi bantuin mama kamu siapin makan siang, kamu sana dulu deh sama cakka” tanpa memandang ke arah rio, dea memotong kata-kata rio begitu saja, dan terus asik menata piring di hadapannya.
Rio melirik ke arah cakka yang berdiri di sampingnya, cakka hanya bisa mengangkat kedua bahunya. Lalu rio kembali melihat ke arah dea. Dia tahu, dea bukan model pemarah atau pencemburu, tapi tetap saja rio merasa tidak enak dengan kelakuannya ini. Kemarin dea yang membujuknya untuk kembali mengirimi ify surat, dan sekarang sikap rio seolah-olah tidak menghargai toleransi dan kebaikan dea.
“De sini deh..” tanpa aba-aba, rio langsung menarik tangan dea. Dea tampak kaget tapi ia pasrah saja di gandeng rio. Rio membawanya ke depan piano.
“Ini buat kamu dea..” ujar rio mulai menekan-nekan tuts-tuts hitam putih tersebut.
Kadang aku berfikir
Dapatkah kita terus coba
Mendayung perahu kita
Menyatukan ingin kita
Rio tersenyum lembut ke arah dea, sementara dea hanya berdiri mematung di tempatnya, menikmati permainan piano rio dan alunan suaranya yang merdu.

Sedang selalu saja
Khilaf yang kecil mengusik
Bagai angin berhembus kencang
Goyahkan kaki kita
Di tengah-tengah lagu, rio berhenti sejenak, ia meraih tangan dea dan mengajaknya duduk di samping dirinya. Ia memberi kode pada dea agar ikut memainkan piano bersamanya.

Genggam tanganku jangan bimbang
Tak usahlah lagi dikenang
Naif diri yang pernah datang
Jadikan pelajaran sayang

Dengar bisikanku oh dinda
Coba lapangkan dada kita
T'rima aku apa adanya
Jujur hati yang kita jaga

Mengapa selalu saja
Khilaf yang kecil mengusik
Bagai ombak yang besar
Goyahkan kaki kita
Genggam tanganku jangan bimbang
Tak usahlah lagi dikenang
Naif diri yang pernah datang
Jadikan pelajaran sayang

Dengar bisikanku oh dinda
Coba lapangkan dada kita
T'rima aku apa adanya
Jujur hati yang kita jaga

Bila gundahmu tak menghilang
Hentikan dulu dayung kita
Bila kau ingin lupakan aku
Ku tak tahu apalah daya
“Maafin aku ya, aku sayang sama kamu, dan aku enggak mau nyakitin kamu sedikitpun, aku enggak mau kehilangan kamu” bisik rio tepat di telinga dea.
“Enggak ada yang perlu di maafin, kamu enggak salah apa-apa” tanpa berkata-kata lagi, rio merengkuh dea dalam pelukannya. Ia menyayangi dea sekarang dan berharap akan terus begitu selamanya. Ia tahu rasanya di paksa berhenti berharap seperti apa, dan untuk itu semua, ia akan membiarkan dea terus berharap kepadanya, karena dia akan selalu berusaha untuk mewujudkan segala harapan dea, segalanya.
Sementara rio dan dea menikmati waktu-waktu mereka berdua, cakka yang sejak tadi masih berdiri disana, tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu, ia masih mengingat jelas rasa hangat ketika ada seseorang yang kita sayang ada dalam pelukan kita. Tidak ingin mengganggu, cakka memutuskan untuk pergi, ia tahu, dunia terus berputar sekarang, meski ia masih ada dalam posisi jalan di tempat.
Dea menikmati bersandar di tubuh rio, karena rasa aman dan nyaman itu langsung terasa di sekelilingnya. Ia percaya pada rio, ia tahu rio akan selalu tulus untuknya, dan dea akan memberi semua yang terbaik untuk rio.
“De..”
“Hmm..”
“Apa harapan kamu ke depan ?”
“Aku mau semua berjalan apa adanya, enggak usah muluk-muluk, selama aku masih bisa lihat senyum orang-orang yang aku sayang, aku udah bersyukur banget”
“Ciri khas kamu banget, miss.pasrah..hehe..” goda rio sambil mengacak-acak rambut dea.
“Bukan gitu, aku enggak akan setegar shilla kalo kamu harus pergi kaya alvin, padahal kenangan yang mereka berdua jalanin, lebih hebat dari kita berkali-kali lipat kan ? makanya aku cuma mau permintaan sederhana aja, sesuai sama kapasitas yang aku punya” rio tersenyum tipis. Di balik pembawaannya yang sederhana dan apa adanya, dea selalu bisa membuatnya melihat segala sesuatu dari tempat yang tidak terlalu tinggi, tapi masih bisa untuk di renungkan.
“Kalo gitu aku bakal selalu senyum sama kamu setiap saat” timpal rio. Dea mengangguk kecil sambil tersenyum. Mereka berdua kembali terbenam dalam kisah mereka. Hanya duduk berdua di depan sebuah piano, tapi suatu hari nanti, saat hari ini telah terlewati dan akan mereka kenang, mereka tahu pasti, bahwa hari ini adalah kepingan kebahagiaan yang akan ikut menyusun jalannya hidup mereka.
***
Penyesalan selalu datang terlambat. Kalimat yang dulu tidak pernah ia gubris, tapi kini terasa telak menyerangnya tanpa ampun. Dan benar kata orang yang pernah mengalaminya, penyesalan adalah sebuah rasa paling pahit yang lebih baik di hindari dari awal.
Ia tidak pernah tahu, atau lebih tepatnya, ia tidak pernah menduga, bahwa rasa sakitnya menyesal, tidak akan berlalu begitu saja dengan sendiri. Tidak ada yang baik-baik saja saat ini, tapi sekali lagi ia mengerti, ini memang sesuatu yang pantas untuknya, setelah ia begitu saja, membiarkan orang yang ia sayang terjatuh sendiri hingga akhirnya menyerah dan menghilang.
Dalam suasana ramai di tengah-tengah kafe, ia bagaikan menciptakan dunianya sendiri, yang kosong dan hampa. Salahnya datang ke tempat seperti ini pada malam minggu, hingga sejauh mata memandang, yang ia lihat hanyalah pasangan-pasangan yang sedang asik menikmati waktu-waktu mereka.
Dia pernah menjadi bagian kebahagiaan itu. Saat disampingnya ada sosok bidadari manis yang setia menemaninya. Bidadari yang rela memberikan sayapnya untuk ia tawan, sementara ia sendiri, terbang kemanapun ia mau. Bidadari yang selalu berusaha tersenyum untuknya, meski berkali-kali sudah, rasa sakit yang dengan sengaja ia torehkan. Bidadari yang akhirnya, menemukan lagi sayapnya, dan terbang meninggalkannya. Bidadari yang ia lewati begitu saja, yang makna hadirnya baru terasa sejak kepergiannya.
Dari dalam saku celana jeansnya, ia mengeluarkan telepon genggamnya. Seperti yang sebelum-sebelumnya sering ia lakukan, ketika rasa rindu itu menyergap jiwanya yang sunyi.
“Kka, lo dimana ? kita jadi basket kan ? gue udah dari sejam yang lalu nunggu disini. Cepat dateng ya, gue tunggu..”
Rekaman suara agni yang masuk ke pesan suaranya. Seandainya cakka tahu, hari ini dia akan duduk sendiri disini, maka mungkin saat itu, ia tidak akan melupakan janjinya untuk agni, mungkin saat itu, ia akan selalu ada untuk agni, sehingga ia tahu, tahu kapan ia harus menahan agni, tahu kapan ia bisa mengucapkan kata perpisahan yang lebih layak untuk agni.
Berkali-kali sudah cakka berusaha untuk menghubungi agni. Tapi posisi agni yang tinggal di asrama atlet, dengan segudang peraturan yang ada di sekelilingnya, cakka berusaha maklum dengan agni yang tidak pernah merespon usahanya.
Cakka tahu, agni bukan seorang pecundang yang pergi begitu saja dari sebuah masalah. Dalam masalah ini, secara gentleman, cakka mengakui ialah sang pengecut yang telah menyia-nyiakan semuanya.
Tidak ada lagi, saat-saat dimana cakka menebar senyumnya secara cuma-cuma untuk membuat siapapun jatuh hati melihatnya, meski tetap saja jumlah fansnya terus saja meningkat. Tidak ada lagi, cakka yang mudah saja memberi perhatian lebih untuk wanita-wanita di sekelilingnya. Tidak ada lagi, cakka yang menyebalkan yang bermain petak umpet dengan masalah. Cakka yang sekarang, adalah cakka yang lebih dewasa, yang bertanggung jawab, yang berusaha ada untuk sahabatnya, dan cakka yang berharap bisa mengucapkan ‘maaf’ langsung di hadapan agni.
“Hei kka, tumben lo nongol lagi disini ..” cakka tersenyum sekilas, memang belakangan ini, cakka tidak lagi seaktif dulu untuk beredar di tempat-tempat keramaian semacam ini.
“Haha, bisa aja lo syad..”
“Sendiri lo ? insaf ?”
“Iyalah, belum dapet yang sebaik agni gue syad” ujar cakka jujur.
“Sabar bro, entar ada saatnya lagi lo bahagia..”
“Amin. Eh tumben malem minggu kafe lo enggak ada yang ngeband ?”
“Ada kok, tapi entar malem, jam sepuluhan lah, kenapa ? mau ngisi lo ?”
“Boleh ?”
“Boleh banget..” setelah mendapat persetujuan dari Irsyad, cakka naik ke atas panggung. Dari sana, ia bisa melihat sebuah meja yang letaknya ada sudut kafe, meja favorit agni dan ia dulu.
“Malem semuanya..” sapa cakka pada para pengunjung kafe.
“Malem ini, gue mau menghibur kalian semua yang ada disini. Lagu ini, khusus untuk seorang perempuan yang pernah menemani gue dan yang udah gue sia-siain gitu aja, semoga kalo suatu saat nanti dia balik, gue bisa minta maaf langsung ke dia, dan buat elo semua, pegang tangan pasangan lo masing-masing, jangan pernah nyia-nyiain kesempatan yang ada, penyesalan itu enggak enak rasanya...”
Oh ini kisah sedihku
Ku meninggalkan dia
Betapa bodohnya aku

Dan kini aku menyesal
Melepas keindahan
Dan itu kamu

Tuhan tolonglah aku
Kembalikan dia
Ke dalam pelukku
Karena ku tak bisa
Mengganti dirinya
Ku akui jujur aku tak sanggup
Sungguh aku tak bisa

Dan t'lah ku jalani semua
Cinta selain kamu
Tapi tak ada yang sama

Beribu cara kutempuh
Tuk melupakan kamu
Tapi tak mampu

Oooo.. Sungguh aku tak bisa
Jujur aku tak sanggup
Sungguh aku tak bisa
Huuuuu.. Yeeeee
***
Dari balkon yang menghadap ke arah taman kecil. Ia berdiri dalam diamnya sendiri. Menikmati sepoi-sepoi angin sore yang berputar-putar di sekitarnya. Rasa lelah karena aktivitasnya yang menumpuk, terasa menguap begitu saja, saat ketenangan seperti ini menyapanya.
Setelah merasa cukup, ia kembali masuk ke dalam kamarnya. Hatinya miris melihat kondisi ruangan yang sepertinya lebih layak di sebut gudang ketimbang kamar. Majalah-majalah bercampur dengan buku pelajaran serta pakaian-pakaian yang entah bersih atau tidak saling berbaur menumpuk di lantai, di atas meja, hingga di atas kasur.
Jadwal yang padat dari pagi hingga malam, belum lagi setengah harinya yang ia habiskan di lapangan basket, membuatnya tidak sempat lagi merapikan kamarnya. Hanya saja, melihat keadaan seperti ini, ia merasa sudah bukan saatnya lagi untuk menunda pekerjaan membersihkan kamar.
Ia mengikat rambutnya dan menarik lengan kaosnya, bersiap untuk bertempur dengan barang-barang yang menyesaki kamarnya ini. Untuk menambah semangat, ia berniat untuk menyetel pemutar musiknya. Di tariknya laci meja, dan terlihatlah setumpuk cd baru yang belum sekalipun ia sentuh sejak ia beli beberapa hari yang lalu.
Agni meneliti satu persatu cd apa saja yang sudah ia beli. Kebanyakan adalah cd dari penyanyi indonesia, hal ini memang sengaja agni lakukan  untuk sekedar mengurangi rasa rindunya akan indonesia dan jakarta khususnya. Matanya tertarik pada sebuah cd kompilasi yang sepertinya berisi lagu-lagu baru yang belum agni dengar. Dengan semangat, ia langsung memutuskan untuk memutar cd tersebut.
Di tengah semngatnya yang sedang menggebu-gebu untuk membersihkan kamar, agni merasa ganjil dengan intro musik dari lagu yang akan ia dengar. Ia bisa menebak, lagu ini akan terkesan mellow dan tidak cocok untuk menemani aktivitasnya.
biar aku sentuhmu berikanku rasa itu
pelukmu yang dulu pernah buatku
Tebakannya tepat, alunan nada-nada sendulah yang mengalir memenuhi sudut-sudut kamarnya. “Ahh, kayanya gue salah pilih lagu nih..” gumam agni sambil beranjak untuk mengganti dengan lagu lain.
ku tak bisa paksamu tuk tinggal di sisiku
walau kau yang selalu sakiti aku dengan perbuatanmu
Baru ia ingin menekan tombol ‘stop’ tangannya berhenti. Lirik yang barusan terdengar oleh telinganya, terasa tepat mengenai hatinya. Bukannya mengganti lagu tersebut, agni malah duduk bersandar di pinggiran tempat tidurnya, ingin mendengarkan lanjutan lagu tersebut.
namun sudah kau pergilah jangan kau sesali

karena ku sanggup walau ku tak mau
berdiri sendiri tanpamu
aku mau kau tak usah ragu tinggalkan aku
kalau memang harus begitu
tak yakin ku kan mampu hapus rasa sakitku
ku selalu perjuangkan cinta kita namun apa salahku
hingga ku tak layak dapatkan kesungguhanmu
Sudah lama rasanya ia tidak menjadi seperti ini. Kesibukan telah menyerap waktunya, dan tidak sedikitpun menyisakan tempat baginya untuk sekedar mengingat ceritanya yang telah tutup buku. Atau mungkin lebih tepatnya, agni memang selalu sengaja mencari kesibukan, agar ia tidak perlu terbenam dalam rasa pedihnya.
karena ku sanggup walau ku tak mau
berdiri sendiri tanpamu
aku mau kau tak usah ragu tinggalkan aku
kalau memang harus begitu
Agni berdiri untuk mematikan pemutar musiknya lalu kembali duduk dan memeluk kedua lututnya, membenamkan wajahnya di celah antara tekukan lutut dan badannya. Lagu ini terasa pas sekali di hatinya, seolah bagai kunci yang membawanya mengingat sosok itu, sosok yang telah ia tinggalkan dan serahkan begitu saja kepada takdir di antara mereka berdua.
Ia memandang berkeliling. Tidak ada satupun barang dikamar ini yang berhubungan dengan cakka. Di malam sebelum keberangkatannya, dengan sangat rapi ia telah mengirimkan kembali semua benda yang pernah cakka berikan untuknya. Untuk sebuah alasan sederhana, agni tidak mau menjadi lemah dengan terus-terussan menyimpang barang-barang itu. Karena toh nyatanya tanpa barang-barang itu pun, agni tidak seratus persen baik-baik saja.
Semangatnya membersihkan kamar telah meredup seketika. Rasa rindu yang teramat sangat dan telah ia coba pendam selama ini, sedang berkumpul sekarang, dan mengepungnya bersama-sama. Ia meraih bola basket dan jaketnya, lantas ia keluar kamar dan beranjak menuju lapangan kecil di belakang asramanya.
Hanya ini, satu-satunya cara, untuk agni bisa merasakan kenangan-kenangan itu secara nyata, bukan melalui foto ataupun benda istimewa, tapi melalui basket. Satu hal yang dulu selalu membuatnya dan cakka ada dalam masa-masa bahagia bersama. Periode-periode dimana mereka tertawa berdua, saling berkejaran dan bercanda di tengah-tengah lapangan basket.
Dengan langit yang mulai menggelap, agni mulai mendribel bolanya, pelan namun penuh makna. Seolah setiap pantulan yang ia lakukan, mencerminkan rasa rindu sekaligus rasa pedihnya. Agni terus memainkan bolanya sendiri, ia tahu cakka tidak akan datang tiba-tiba untuk merebut bolanya, dan memasukkannya ke dalam ring seperti dulu. Tapi basket telah menyimpan cerita mereka berdua, dan agni sedang ingin mengenangnya kali ini.
Kadang terbersit dalam pikirannya, tentang hubungan ini. Bisakah mereka kembali bersama, saat agni pulang nanti. Bukankah saat itu mungkin saja cakka telah banyak berubah. Mungkin saja, cakka tidak lagi seperti dulu. Tapi agni sendiri tahu, ia bukanlah model orang yang maju selangkah untuk mundur tiga langkah. Ia adalah ia, yang sedang menggenggam cita-citanya, yang telah memutuskan kisahnya, yang telah pasrah menyerahkan semuanya pada takdir, dan yang tidak akan berhenti atau malah kembali untuk menyongsong masa lalunya lagi.
Meski tidak setegar batu karang, nyatanya ia tetap berdiri tegak. Ia tetap bisa bernafas dan bergerak semaunya tanpa cakka. Hidupnya memang sepi saat ini, sepi dalam arti tidak ada lagi orang yang pesannya ia tunggu untuk sekedar mengucapkan ‘selamat malam’. Tapi dunia terus berputar, dan agni tidak ingin menjadi bagian yang tertinggal. Kalaupun suatu saat nanti ia bertemu lagi dengan cakka, bukan berarti mereka harus kembali, karena sadar ataupun tidak, jalan mereka telah jauh berbeda sekarang.
Gerimis dengan rinai-rinainya yang kecil, perlahan turun. Agni segera menepi ke pinggiran asramanya. Meski telah satu tahun tinggal disini, waktunya habis hanya dengan diisi oleh sekolah dan basket. Paling-paling di hari libur, bila tidak tidur sepanjang hari, ia sempatkan untuk berkumpul dengan beberapa teman barunya.
Mengingat kamarnya yang masih berantakan, agni menjadi malas untuk kembali kesana. Ia lebih memilih untuk masuk ke ruang santai, tempat dimana hiburan seperti tv dan game-game berada. Disana ia memilih duduk sendiri ketimbang berbaur dengan teman-temannya yang lain. Dirinya masih ingin menyepi sesungguhnya, lagu dan suasana malam ini dengan rintik hujannya yang romantis, membuatnya lagi-lagi entah kenapa, terkenang saat-saat lalu itu.
Awal kedatangannya kesini, agni begitu merindukan cakka. Selalu ada saat-saat dimana, air matanya harus dengan susah payah ia tahan sedemikian rupa. Apalagi bila mengingat pertemuan terakhir mereka, yang dilalui dengan begitu indah. Semua tambah tidak mudah ia lalui, ketika ia mendapat kabar bahwa dua sahabatnya, alvin dan via, telah meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Ingin rasanya saat itu ia lari dan pergi dari asrama. Tapi ia tahu, kesempatan emas seperti ini tidak akan pernah datang dua kali.
Ahh, ada apa ini. Mengapa tiba-tiba rasa kangen itu memeluknya dengan erat, membuat dadanya sedikit sesak. Bukankah baru beberapa menit yang lalu ia meyakinkan hatinya, bahwa apa yang telah berakhir, memang tidak akan pernah di mulai kembali. Memikirkan hal ini malah membuat kepalanya sedikit pusing, pusing karena ia sendiri menjadi gamang akan sikapnya. Apakah memang perasaan ini sedang terlalu kuat, hingga rasanya ia benar-benar takluk dan harus mengingat rasa bahagia dan kekecewaan itu bersamaan.
Tidak menjadi lebih baik dengan duduk disini, agni akhirnya ingin kembali ke kamar, mungkin tidur akan melenyapkan semua yang sedang memenuhi pikiran dan hatinya sekarang. Saat akan naik ke lantai dua menuju kamarnya, matanya tertambat pada ruang telpon di ujung lorong. Entah dapat dorongan darimana, agni malah melangkahkan kakinya kesana.
Ia mengangkat gagang telpon berwarna merah itu, jari telunjuknya siap menekan angka-angka, yang ternyata masih dia hapal. Dengan satu tarikan napas, ia mulai menarikan jarinya, di atas tombol-tombol tersebut.
Nada tunggu yang sebenarnya biasa, terasa terlalu menegangkan untuknya, bagai musik di film horor mungkin. Tangannya yang lain, memainkan ujung-ujung kaosnya, untuk sekedar mengurangi rasa gugup yang datang.
“Halo..”
“Halo, sia...”
Klik. Agni langsung menutup telponnya. Suara itu terdengar jelas, masih sama, tidak ada yang berubah, agni masih mengingat suara itu, suara yang dulu pernah memanggilnya dengan lembut dan mencampakkannya dengan perlahan namun pasti, suara yang selama satu tahun ini menghilang dari hidupnya. Suara cakka.
Ia tersenyum sekilas, tindakannya ini memang konyol, ia baru saja menelpon ke jakarta, memotong uang sakunya, hanya untuk mendengar sebuah kata. Tapi hatinya puas, rasa kangen itu terbayar lunas. Agni benar-benar kembali ke kamarnya kali ini, hatinya terasa lebih baik sekarang. Ternyata ia masih sama, masih agni telah berhenti berharap, karena ia memang tidak ingin kembali, namun masih terus bertahan, karena cinta itu masih ada di dalam hatinya.
***
Gadis itu menghempaskan tubuhnya di atas kasur, hari ini ia baru menyelesaikan satu hari meski ia tahu mungkin masih ada banyak hari untuknya yang harus ia lalui. Setelah merasa cukup, ia berpindah ke depan meja riasnya.
Kaca di hadapannya menampakkan seorang gadis yang masih dalam balutan seragamnya dengan rambut panjang tergerai, mata yang sayu, tulang pipi yang tampak lebih menonjol, senyum tipis tanpa makna, dan gurat wajah cantik yang tertutupi oleh ketegaran semu.
Ia sendiri rasanya tidak mengenal pantulan dirinya itu, ada yang berbeda disana, ada yang bukan sesuatu tentang ia yang menghilang dan entah kapan kembali. Ia rindu tersenyum penuh makna, ia rindu saat-saat dirinya menjadi dirinya yang apa adanya.
Shilla mencoba tersenyum, mencoba dan terus mencoba, ia ingin tersenyum seperti dulu lagi. Ia ingin benar-benar tersenyum, senyum tulus yang dulu menjadi miliknya. Ia bergegas masuk ke kamar mandi, malam ini, dengan caranya sendiri ia akan menjalani pesta kecilnya sendiri.
Setelah selesai mandi, ia kembali mematut wajahnya di depan cermin. Ia mulai memulas wajahnya, menyaputkan bedak, menambahkan blush on berwarna pink di pipinya, melentikkan bulu matanya, memberikan efek menggunakan eyeshadow di kelopak matanya agar tidak terlihat sayu, dan mengoleskan lip gloss di bibir merahnya.
Merasa cukup dengan wajahnya, ia beralih ke depan lemari pakaiannya. Setelah beberapa kali memilih, akhirnya pilihan jatuh pada sebuah long dress bunga-bunga yang terkesan feminin dan manis. Tidak berakhir sampai disana, ia melanjutkan dengan menata rambutnya, setelah ia blow sendiri menggunakan hairdryer, shilla menyemangatkan sebuah jepit kupu-kupu untuk mempercantik dirinya malam ini.
Detak waktu menunjukkan tepat pukul delapan, Shilla menarik organ di kamarnya, menggesernya tepat di depan tv. Ia meraih remote dvdnya, sambil berusaha terus tersenyum, ia beranikan diri untuk memutar tombol ‘play’ di remote itu.
Layar tvnya menampakan potongan-potongan gambar dirinya dan alvin, saat-saat mereka tertawa berdua. Lalu layar berganti, tampak alvin duduk di balik pianonya, tersenyum ke arah shilla.
“Hai, ashilla ku yang cantik, enggak kerasa ya, hari ini kita tepat tiga tahun, happy anniv ya my dear..”
“Happy anniv too..” respon shilla, seolah-olah alvin memang sedang ada di hadapannya.
“Aku sengaja bikin video ini buat hadiah hari jadian kita sejak setahun yang lalu. Aku cuma mau nunjukkin ke kamu kalo sekeliling kita bisa berubah, tapi aku enggak akan berubah. Nanti kamu bakal lihat, foto-foto kamu selama setahun, kenangan-kenangan kita yang udah lewat setahun kemarin. Tapi sebelum kesana, aku mau nunjukkin dulu rasa sayang aku, buat kamu, anugerah terindahku..”
Melihat tawamu
Mendengar senandungmu
Terlihat jelas dimataku
Warna - warna indahmu

Menatap langkahmu
Meratapi kisah hidupmu
Terlihat jelas bahwa hatimu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki

Sifatmu nan s'lalu
Redakan ambisiku
Tepikan khilafku
Dari bunga yang layu

Saat kau disisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki

Belai lembut jarimu
Sejuk tatap wajahmu
Hangat peluk janjimu

Anugrah terindah yang pernah ku miliki
“Suka kan ? suka dong. Kaya yang lagu itu bilang, kamu itu memang anugerah buat aku. Aku sayang sama kamu, dan aku janji, aku enggak akan ninggalin kamu, aku alvinnya shilla, dan tetap akan jadi seperti itu..”
Sekuat tenaga shilla menahan getar-getar air mata yang ingin menyeruak turun. Ia tidak ingin menangis malam ini, hari ini semua harus ia lalui dengan senyuman. Alvin tidak akan suka melihatnya menangis.
Gambar beralih, kembali menampilkan saat-saat mereka sedang berdua. Tidak sampai lima menit setelah lagu, video itu berhenti tepat di gambar, alvin dan shilla sedang berpose berdua saat mereka jalan-jalan ke taman bunga. Ya, video itu memang belum selesai di buat oleh alvin. Shilla menemukannya di apartement alvin, dari judulnya, shilla tahu video itu adalah surprise kado dari alvin, untuk hari jadian mereka di tahun ketiga.
“Alvin, sekarang gantian aku ya, aku juga punya lagu buat kamu, happy anniv alvin, love you..”
Seperti bintang-bintang
Hilang ditelan malam
Bagai harus melangkah
Tanpa kutahu arah
Lepaskan aku
dari
Derita tak bertepi
Saat kau tak disini
Hatinya bergetar hebat, tapi shilla terus memainkan organnya. Ia ingin tampil sesempurna mungkin untuk alvin malam ini, untuk malam mereka berdua.

Seperti dedaunan
Berjatuhan di taman
Bagaikan debur ombak
Mampu pecahkan karang
Lepaskan aku dari
Derita tak berakhir
Saat kau tak
ada disini

Saat kau tak ada
Atau kau tak disini
Terpenjara sepi
Kunikmati sendiri
Tak terhitung waktu
Tuk melupakanmu
Aku tak pernah bisa
Aku tak pernah bisa
“Aku tahu, harusnya aku udah move on sekarang. Tapi enggak segampang itu buat aku bertahan tanpa kamu alvin. Kamu tahu, saat kamu pergi, semua orang datang dan bilang, semua akan baik-baik saja, tapi apa ? sampai saat ini, aku masih belum bisa kembali sepenuhnya alvin..” shilla mendesah sendiri, nadanya lirih.
“Aku sayang kamu alvin, selalu sayang kamu..” lanjut shilla lagi, ia beranjak dari duduknya, berjalan ke arah tvnya, lalu mengecup gambar alvin yang ada disana.
Lalu shilla duduk lagi di atas ranjangnya, ia meraih foto alvin. Di tatapnya dalam-dalam foto itu. Setelah setiap tahun, mereka selalu menghabiskan waktu bersama, malam ini, shilla harus menjalani hari jadian mereka sendiri. Menikmati dalam sepi dan sunyi kamarnya. Tanpa makan malam romantis, tanpa bunga-bunga yang harum, tanpa coklat-coklat mahal, bahkan tanpa raga alvin di sampingnya.
Shilla mendekap foto tersebut di dadanya, seolah-olah ia memang sedang memeluk alvin sekarang. Shilla tahu kelakuannya ini, bisa di sebut sebagai gangguan kejiwaan, tapi ia hanya ingin melewati malam ini dengan caranya, ia tidak mau, meski alvin telah tiada, lantas ia melupakan semuanya. Apapun, alvin akan selalu dan tetap ada di hatinya. Dan bila nanti, ada pangeran lain yang siap mengisi kisahnya, alvin tetap saja, akan memliki sebuah ruang khusus di dalam jiwanya. Alvin tidak akan pernah mati untuk shilla, karena cintanya, terus membantu ia untuk bertahan hingga sejauh ini.
***
Dalam senyapnya malam, iel memilih untuk duduk sendiri di ambang jendela kamarnya, sambil mendekap gitar. Ia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri, meski semua orang telah meyakinkannya bahwa ini semua takdir, dan ia tidak bisa mengganggu gugat itu.
Dunianya berubah menjadi pekat, berjuta-juta rasa bersalah terasa selalu mengiringi langkahnya. Ia ingin bangkit, ia tahu harus bangkit. Tapi tidak pernah semudah itu. Rasanya ia bahkan rela menukar nyawanya untuk menebus segala hal yang telah ia perbuat.
Matanya beralih ke arah pajangan dinding yang menggantung tepat di atas tempat tidurnya. Kumpulan foto-foto yang via buat sebagai ucapan maaf untuknya, kado terakhir yang indah namun menyesakkan.
Terlarut aku
Dalam kesendirian
Saat aku menyadari
Tiada lagi dirimu kini
Iel mulai memetik senar-senar gitarnya. Ia benar-benar terhanyut dalam perasaan menyesal yang terasa tidak berujung.

Sampai kapankah
Aku mampu bertahan
Tertatih aku jalani
Semua kisah hidupku ini
Hidupnya terasa kaku, untung rio dan cakka selalu berusaha menemaninya. Sempat ada masa, dimana emosinya menjadi lebih labil tidak menentu, membuatnya hampir gila.

Tak akan terganti
Setiap kenangan yang telah terukir
Yang terendap indah
Dan melekat di hati
Matanya terus menatap ke arah foto via. Ia merindukan gadis itu, dengan segenap jiwanya. Caranya tertawa, pipinya yang chubby, senyumnya yang menawan, semuanya. Semuanya melekat hebat dalam ingatan iel.

Akankah berakhir
Semua rasa yang telah tercipta
Didalam benakku
Dan didalam asa-ku
Terbenam seperti ini, memang tidak baik untuknya. Ia telah berusaha, untuk terus maju. Setidaknya bila orang normal berjalan dua langkah, dan ia hanya setengah langkah, ia mencoba untuk terus berjalan. Karena ia tahu, waktu tidak akan menunggunya untuk kembali. Waku adalah waktu, yang akan tetap berlari sesuai alurnya, tidak peduli pada masalah-masalah yang menimpa para pelaku di dalam lintasannya.
Iel beranjak dan duduk di depan meja belajarnya, ia meraih sebuah cd. Tangannya bergetar hebat, selama setahun, cd itu hanya abadi menempati rak di kamarnya, belum sekalipun iel berani untuk mendengarkan cd tersebut.
Cd tersebut di temukan di dalam tas via saat kecelakaan itu berlangsung, dari covernya, ditulis bahwa cd itu untuk iel. Itu sebabnya, iel merasa ia benar-benar harus mengumpulkan keberanian dan ketegaran, untuk mengetahui isi cd tersebut.
Ia mengambil laptop, lalu memasang cd tersebut untuk ia dengarkan. Sambil terus menguatkan hatinya, ia memberanikan diri untuk mulai mendengarkan isi cd tersebut.
“Iel, aku minta maaf..”
Entah untuk alasan apa, iel langsung menekan tombol ‘stop’. Baru mendengar kalimat pertama saja, rasanya seleuruh tubuhnya telah bergetar. Ia menghela napasnya berkali-kali, ia harus menghadapinya malam ini. Iel kembali melanjutkan mendengar cd tersebut.
“Aku tahu, aku salah, makanya aku minta maaf sama kamu. Aku udah enggak tahan harus diem-dieman gini sama kamu. Aku mau kita kaya dulu lagi iel, kamu yang dulu, aku kangen..”
“Kamu mau kan maafin aku ? mau ya, jangan ragu, aku selalu sayang sama kamu, selalu..”
kau tak sepenuhnya sendiri
Aku kan slalu ada di sini
Mengapa oh mengapa dirimu
Penuh dengan rasa bimbang
Tak perlu kau pergi tuk mencari
Mencari arti cinta
Aku sendiri di sini menunggu
Aku sendiri di sini menanti
Aku tak terbiasa untuk berharap
Berlari untuk mengejar dirimu
Dalam menggapai semua impiku
S'moga kau kan tetap jadi apa yang ku inginkan

Mengapa oh mengapa dirimu
Penuh dengan rasa bimbang

Jangan pernah berubah
Ingat janjimu
Jangan pernah menghilang
Dari hatiku
“aku masih pakai kalung dari kamu, enggak pernah aku lepas. Kamu masih inget janji kamu kan ? kita baikan ya, aku tahu kamu enggak bakal ngecewain aku, kamu enggak akan pergi dari hidup aku, karena aku bakal sekuat tenaga untuk pertahanin kamu disini, jangan pernah berubah ya iel, aku sayang kamu, sekali lagi, maaf..”
Hening. Iel menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Perasaannya campur aduk saat ini. Ia menarik keluar kalung berbandul cincin milik via yang dulu ia berikan dan kini ia kenakan sendiri. Hatinya betul-betul miris saat ini. Matanya merah, bila ia seorang wanita, mungkin banjir air mata telah terjadi sejak tadi.
“Maafin aku vi, maaf..aku juga sayang banget sama kamu..” hanya itu kalimat yang mampu terlontar dari bibirnya. Ia memejamkan matanya, berusaha menenangkan hatinya, berusaha meyakinkan, bahwa via telah bahagia saat ini. Bahwa ini memang jalan yang harus mereka lewati. Bila Tuhan mengijinkan, hidupnya mungkin masih panjang, dan iel tahu, itu adalah jalan untuknya, agar menebus semua kesalahannya, ia harus bisa. Ia memang gagal menjaga via dan senyumnya, tapi bukan berarti ia harus menyerah, ia harus lebih menciptakan banyak senyum di dunia ini, agar Tuhan mau memaafkannya dan berkenan menemukannya kembali dengan via suatu hari nanti.

Komentar

Postingan Populer