Satu Hari Bersamamu (cerpen)
Aku
menyelinap di antara tubuh-tubuh manusia lain yang tampak lebih besar
dariku. Rasanya aku ingin menyingkir sesaat dari kerumunan keramaian
ini. Aku terus berjalan menjauhi panggung utama, namun semakin aku jauh
berjalan, suara itu malah terasa semakin jelas menyapa telingaku. Dan
harus ku akui, aku agak sedikit merasa tidak nyaman dengan hal tersebut.
Ada awal dan akhirnya..
yang mungkin tak dapat terurai semua..
ada duka ada bahagia..
yang mungkin takkan pernah dapat terlupa..
yang mungkin tak dapat terurai semua..
ada duka ada bahagia..
yang mungkin takkan pernah dapat terlupa..
Perasaan
menyesal menggelayuti hatiku. Tahu ia ada disini, aku tentu akan
menolak untuk hadir dalam acara musik kali ini. Aku tidak pernah
baik-baik saja bila melihat sosoknya. Tidak memiliki tujuan yang jelas,
aku memilih untuk berhenti di sebuah taman dekat parkiran, yang sepi
namun terasa tenang.
..selamat jalan kekasih..
manis yang berujung perih..
kisah yang sungguh terlalu indah..
kini semua berakhir sudah..
manis yang berujung perih..
kisah yang sungguh terlalu indah..
kini semua berakhir sudah..
Sayup-sayup,
angin masih membawa suaranya, meski tidak sejelas tadi. Aku duduk di
atas sebuah bangku, tepat di bawah lampu taman, rasanya lebih baik
memang bila aku menyingkir saat ini. Lima menit aku lewati hanya dengan
diam, bertingkah layaknya orang autis dengan dunia kesendirianku. Aku
menghela napasku beberapa kali, untuk memperlancar aliran darahku yang
terasa tiba-tiba membeku karena melihat senyumnya tadi.
Aku
memejamkan mataku, dan berharap dapat menemukan sebuah rasa nyaman.
Namun naas, wajahnya malah tergambar jelas di pikiranku, tentu saja
beserta senyumannya, yang dulu atau mungkin sekarang, selalu juara untuk
menahan hatiku.
“Ayolah,
kisah kalian udah berakhir empat tahun yang lalu..” desahku masih
dengan mata tertutup sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Apanya yang empat tahun ?”
Tubuhku
terlonjak kaget, mendapati suaranya terdengar jelas di sampingku.
Dengan segera aku membuka mataku, dan benar saja, ia sedang duduk di
sampingku. Sambil tersenyum dan seolah tanpa dosa, tahukah ia,
mengagetkan kesunyian orang pukul sembilan malam seperti ini dapat
mengakibatkan serangan bulu kuduk berdiri.
“A..alvin ?” panggilku lirih. Aku tadi telah sengaja menghindarinya, dan sekarang ia malah duduk disini.
“Hei ze, lama enggak ketemu..” sapanya, masih ramah seperti dulu. Aku hanya bisa tersenyum, karena darahku menjadi beku kembali.
Ia bersiul-siul kecil, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. “Cess..” Alvin menyalakan rokoknya.
“Lo ngerokok ?” tanyaku kaget sambil memutar bola mataku. Hei ada apa dengannya hingga seperti ini, pikirku.
Alvin nampak tersenyum, ia menghisap rokoknya, lalu membuang asapnya dari kedua lubang hidungnya, sungguh terlihat jago.
“Uhuk..uhuk..” aku yang memang tidak bisa terkena asap rokok, langsung merasa sesak dengan asap rokoknya.
“Sori..”
ujarnya, ia menghisap rokoknya sekali lagi, lalu langsung membuangnya
ke tanah dan menginjak puntung rokok itu dengan ujung sepatu ketsnya.
“Mentang-mentang
jadi anak band, sekarang mainannya rokok nih..” cibirku pelan.
Lagi-lagi ia hanya tersenyum. Hingga aku rasanya ingin menutup mulutnya
menggunakan plester agar ia berhenti tersenyum dan berhenti membuat
degup jantungku menjadi tidak beraturan seperti ini.
“Gimana penampilan gue tadi ?” aku berpikir cukup lama, sejujurnya aku tidak melihat ia sama sekali bernyanyi
bersama bandnya. Aku langsung berbalik menjauh saat aku sadar ia yang
akan mengisi acara, aku hanya mendengar suaranya dari jauh.
“Ehm..pilihan
lagu yang bagus..” ujarku asal sambil gantian tersenyum ke arahnya,
meski aku tahu, senyum ini sama sekali tidak berarti apapun untuknya.
“Biasannya
band gue manggung enggak pernah bawain lagu slow kaya tadi, tapi gue
baru putus sama cewek gue, dan dia juga dateng ke acara ini, jadi ya
udah deh, sekalian aja gue nyanyi lagu itu”
“Oh..”
sahutku datar, atau lebih tepatnya, aku juga tidak tahu harus menjawab
apa. Haruskah aku senang karena ia telah sendiri lagi saat ini ? tentu
saja aku tidak mau terlalu melambungkan harapan tinggi.
Kami
berdua lalu terdiam. Ia nampak lebih asik bermain-main tanah dengan
sepatunya, sementara aku sendiri, hah, seperti yang pernah aku bilang,
aku tidak pernah bisa baik-baik saja bila bertemu dengannya, selalu ada
yang salah dengan tubuhku.
“Drrtt..drrtt..” aku merogoh tasku, mengambil hpku yang mungil, lalu membaca sms yang masuk.
“Eh
vin, sori temen gue udah nunggu di depan, gue balik duluan ya” pamitku
dan langsung pergi meninggalkannya. Kira-kira di langkahku yang ke
sepuluh, suaranya memanggil namaku. “Zeva..”
“Hah, iya ?” tanyaku sambil berbalik ke arahnya.
“Besok mau nemenin gue enggak ?” tanyanya balik setengah berteriak.
“Kemana ?”
“Pantai,
bagus kok..” aku hanya bisa menganggukan kepalaku, ia mengacungkan
jempolnya, dan aku langsung berbalik lagi memunggunginya, aku tidak mau
ia memergoki pipiku yang sedang memerah.
“Gue
jemput jam delapan yaa..” sambungnya lagi. Dan aku terus berjalan
menjauh, sambil diam-diam tersenyum, meski separuh hatiku takut, takut
setelah kebahagiaan ini, akan ada air mata yang tumpah.
***
Entah
telah untuk ke berapa kalinya, aku mematut penampilanku di kaca. Sudah
berkali-kali aku berganti pakaian, mulai dari celana pendek, baby doll,
rok mini, tank top, tube top, kemeja over size hingga dress telah aku
coba. Padahal aku jelas-jelas tahu, tujuan kami adalah ke pantai.
“Ayolah
ze, paling-paling alvin cuma minta lo nemenin dia yang abis putus dari
ceweknya. Lagian ke pantai doang, ngapain lo harus rapi-rapi amat..”
gumamku, kali ini sambil mencoba harem pants. Dan tentu saja aku tambah
terlihat konyol.
“Teen..teeen..”
“Ze, temen kamu udah jemput tuh !” teriakan mama dan suara klakson mobil Alvin bercampur, menambah kepanikanku.
Pilihanku
akhirnya jatuh, pada sebuah jeans belel tiga perempat, kaos berwarna
kuning, sendal, dan sebuah tas selempang putih. Aku langsung menghampiri
alvin yang menungguku di depan mobilnya, sambil mencepol rambutku yang
panjang secara asal.
“Maaf
lama..” ucapku langsung. Ia nampak menawan di balik kaos abu-abu yang
di tumpuk dengan kemeja biru, celana pendek, serta kacamata hitamnya.
Membuatku menjadi sedikit menyesal dengan dandanan asalku ini.
“Ya
udah ayo naik, entar keburu siang..” aku mengangguk dan langsung masuk
ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan, kita lebih banyak berdiam diri.
Aku lebih tertarik memperhatikan hutan-hutan jati di kanan kiri jalan
yang kita lewati, lagipula aku tidak tahu harus mulai darimana mengobrol
dengannya.
“Dulu
kita malah enggak pernah jalan kaya gini ya..” ujarnya memecah kebisuan
ini. aku tersenyum tipis, tidak mengerti mengapa ia harus memulai
dengan kata ‘dulu’.
“Abis
dulu kamu backstreet sih, jadi susah banget ngajakkin kamu jalan,
lagian kita masih smp juga sih ya waktu itu..” tambahnya lagi, masih
menyelipkan kata ‘dulu’.
“Padahal
dulu aku pengen banget ngabisin banyak waktu sama kamu..” entah dia
sadar atau malah sengaja, kata ‘dulu’ lagi-lagi ada dalam kalimatnya.
“Jadi anggap aja sekarang, kita nebus waktu-waktu yang dulu lewat gitu aja ya”
“Maksudnya
?” tanyaku tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget dan bingungku dengan
pernyataannya tadi. Tapi bukannya menjawab, ia malah hanya tersenyum,
lalu kembali konsen menyetir.
Seiring
semakin menjauhnya perjalanan ini dari kota, pemandangan yang
menemanipun semakin indah, tapi itu semua sudah tidak dapat menarik
hasratku lagi, aku telah terlanjur di buat penasaran dengan kata-katanya
beberapa menit yang lalu.
Setelah
hampir satu setengah jam menyusuri jalanan yang tidak familiar untukku,
akhirnya mobil alvin berhenti di pinggir tebing kapur. Ia mengajakku
turun dan melewati jalan setapak kecil dari batuan-batuan berwarna
putih.
“Yakin nih ada pantai di tempat kaya gini ?” tanyaku.
“Tuh..”
ia yang berjalan di depanku, berhenti dan menunjuk hamparan pasir putih
yang indah dan lautan biru yang megah di hadapan kami. Layaknya seorang
anak kecil yang melihat sekarung permen, aku langsung berlari ke arah
pantai itu, tertawa riang, dan ia hanya tersenyum kecil sambil
mengamatiku.
Aku
tersenyum sendiri, bila ombak menerpa betisku dan membawa
pasir-pasirnya yang lembut ke sela-sela jariku. Seolah ini pertama
kalinya aku melihat pantai. Sementara alvin hanya duduk di bawah pohon
kelapa yang tampak teduh. Puas bermain air sendiri, aku berjalan ke arah
alvin dan ikut duduk di sampingnya.
“Kamu suka ?”
“Ka..kamu
?” tanyaku bingung, sudah lama rasanya, tidak mendengar suara itu
memanggilku dengan ‘kamu’ sejak empat tahun lalu tepatnya.
“Bolehkan ? atau udah ada yang lain yang manggil kamu dengan kamu ?”
“Enggak sih, cuma aneh aja, tiba-tiba..ehm..kamu manggil aku gitu..” ujarku ikut terbawa dengannya.
“Jadi kamu suka dengan ini ?” ulangnya lagi.
“Suka banget, pantai ini keren banget”
“Hampir
semua mantan aku yang pernah aku ajak kesini juga pada suka” aku hanya
meringis mendengarnya, baru beberapa detik yang lalu ia membuatku
tersenyum lebar dengan panggilan ‘kamu’nya.
“Kamu enggak pernah ngajak aku kesini”
“Kan tadi aku udah bilang, dulu, susah banget ngajak kamu keluar, lagian juga dulu aku belum bisa bawa mobil sih..”
“Kamu kenapa ngajak aku kesini ?”
Dia tersenyum tipis ke arahku, bukannya memberiku jawaban, ia malah mengulurkan tangannya, mengajakku berdiri.
“Mau kemana ?”
“Ikut
aja yuk” ujarnya pendek. Aku menurutinya, aku menyahut tangannya, dan
jemarinya mulai menggenggam tanganku, membangkitkan getaran-getaran
kecil di dalam tubuhku. Sepanjang jalan aku lebih banyak menunduk, tidak
ingin terlihat terlalu gugup di depannya.
Ia
terus menuntunku, kami berjalan melewati pasir-pasir putih, hingga
jalan-jalan berbatu yang penuh dengan krikil. Dan sekali lagi aku dibuat
terkagum-kagum oleh pemandangan yang ia tunjukkan. Dari tempatku
berdiri sekarang, aku bisa melihat deburan ombak yang pecah saat
menghantam karam, dengan latar air laut yang tenang.
“Aku
selalu ngajak mantan aku ke pantai ini, tapi cuma kamu yang aku ajak ke
tempat ini” ujarnya nyaring, agar suaranya tidak tenggelam oleh suara
ombak yang lebih besar.
Aku menoleh ke arahnya, sungguh-sungguh tidak mengerti apa maksudnya melakukan ini. “Kalau gitu, kenapa kamu ajak aku kesini ?”
“Dulu,
waktu aku nemuin pantai ini, aku udah janji sama diri aku sendiri, aku
bakal ngajak cewek pertama aku kesini. Tapi saat kita jadian, aku belum
sempat ngajak kamu, karena aku juga enggak tahu gimana caranya. Dan
sekarang kesempatan itu baru muncul..”
Pengakuan
itu tentu saja membuat hatiku bergetar lebih hebat dari sebelumnya.
Apakah ia sedang mencoba membuka jalan di antara hubungan ini yang telah
lama mati ? Apakah ia sadar bahwa kata-katanya barusan dapat membuatku
berharap lebih ? Atau apakah ini hanya sekedar pemenuhan janji
pribadinya ? hmm, pertanyaan-pertanyaan aneh langsung menyerbu otakku
dengan tiba-tiba.
Tanpa
sadar, aku terdiam memikirkan semua itu. Pandanganku mengarah ke laut,
namun bukan bayangan airnya yang memenuhi mataku. Aku menjadi terlalu
sibuk dengan semua dugaan yang ada.
“Ze..” panggil Alvin. “Zeva..” ulangnya lagi.
“Sreett..”
ia menarik kuciranku, membuat rambutku menjadi berkibar tertiup angin,
dan membawa kembali kesadaranku yang barusan menghilang tertelan
lamunanku.
“Alvin
!” teriakku sambil mencoba merebut kembali kunciran yang kini ia
genggam erat di tangan kanannya. Dengan gesit, ia terus menghindarkannya
dariku.
“Makanya jangan ngelamun” ujarnya lalu menjulurkan lidahnya. “Ayo kejar aku..” lanjutnya lagi menantangku.
Kami
mulai berlari-larian. Dan ini tidak adil bagiku. Ia yang seorang pemain
basket di sekolahnya, tentu saja memiliki kecepatan berlari lebih
kencang daripadaku, yang selalu berada di urutan paling belakang saat
pengambilan nilai lari di sekolah.
Sesekali
ia memelankan larinya sambil tertawa melihat aku yang semakin kewalahan
mengejarnya, namun setiap aku hampir mendekatinya, ia kembali menambah
kecepatannya. Rasanya ia memang benar-benar niat membuatku kelelahan.
Setelah
hampir dua puluh menit berlari, aku menyerah. Kedua tangannku ku
tumpukan di atas lututku, dan aku mulai mengatur nafasku,
perlahan-lahan. “Alvin, aku nyerah..” ujarku masih dengan nafas yang
tersengal-sengal.
Aku
memilih untuk duduk di atas pasir dan meluruskan kakiku. Entahlah alvin
lari kemana, tenagaku telah habis bila harus mengejarnya lagi. Dengan
tangan yang aku kepalkan, aku menepuk-nepuk kakiku yang terasa pegal.
Setidaknya lukisan alam keindahan laut di depanku ini, bisa mengurangi
rasa kesalku.
“Nih..”
alvin menyodorkan kunciran itu tepat di depan mukaku, lantas ia ikut
duduk di sampingku. “Pasti masih malas kalau disuruh olahraga” lanjutnya
lagi.
“Biarin dong” sahutku sewot sambil kembali mencepol rambutku.
Ia terkekeh melihatku. “Haha, kamu masih sama aja ya ternyata..”
“Apanya ?”
“Semuanya”
‘ya,
termasuk rasa sayang aku ke kamu alvin’ batinku miris. Ia mengambil
beberapa batu kecil di sekitar kami dan mulai melemparkannya ke laut.
Aku hanya memandanginya, dia yang sudah banyak berubah.
“Seminggu yang lalu, aku baru selesai baca novel kamu”
“Kamu baca novel aku ? makasih ya..” sahutku senang.
“Dan rasanya aku kenal kisah yang ada di dalam novel itu..” aku langsung membeku mendengar ucapannya.
“Mungkin
aku kepedean, tapi tokoh utama laki-laki disitu, aku banget” sambungnya
lagi. Aku hanya bisa menggigit bagian bawah bibirku.
“Apa
itu cerita kita ?” ia melihat ke arahku, tapi aku malah membuang
pandanganku ke arah lain. Berharap aku menemukan penyangkalan untuk ini
semua.
“Ada
satu kalimat yang entah kenapa nempel banget di otak aku, kalimat waktu
tokoh utama perempuan melihat di balik hujan, mantannya sama perempuan
lain. Aku adalah orang yang akan selalu mencintainya...”
“Dari
tempat dimana aku berada, di balik ke bahagiannya, di atas segala
penyesalanku” aku memotong kata-katanya, dan melanjutkan kalimatnya.
“Jadi ?”
“Apanya
yang jadi, aku rasa tanpa perlu aku cerita, kamu udah bisa nebak
sendirikan” sahutku, mencoba memberanikan diri menatap matanya.
Lagi-lagi ia hanya tersenyum ke arahku.
“Sebesar apa ?” meski pertanyaan ini terdengar aneh, namun aku merasa tahu kemana ia menggiring pembicaraan kami.
“Enggak
tahu. Enggak sebesar, sampai aku rela mati atau malah mau mati berdua
sama kamu. Tapi aku cukup mampu, untuk selalu ikut tertawa di saat
melihat kamu bahagia sama orang lain”
“Sejauh ini ? setelah empat tahun ?”
“Silahkan
kamu ketawa, tapi aku bahkan masih inget tanggal jadian kita, kapan
kamu pertama kali manggil aku sayang, momen-momen kecil kita berdua,
sampai sms-sms jayus kamu buat aku” tahu sudah tidak ada celah untuk
menghindar, aku rasa ini saat yang tepat untuk memberitahunya semua.
Aku menghela nafas sejenak. “Aku minta maaf, maaf karena aku terus-terusan hidup di dalam kenangan kita..”
Ia menghampiriku, dan merengkuh kepalaku agar bersandar di dadanya. “Aku udah berubah. Aku bukan alvin empat tahun yang lalu”
“Aku
tahu, seandainya aku juga bisa berubah seperti itu” bisikku. Suasana
langsung berubah seketika. Pantai yang sepi, angin yang kencang, ombak
yang menderu, menjadi latar yang terlalu sempurna, untuk percakapan yang
harusnya di lakukan empat tahun ini.
“Dulu
aku sayang banget sama kamu. Dan aku masih enggak ngerti, gimana kamu
lebih percaya sama kata-kata orang lain, ketimbang aku. Kamu lepasin aku
gitu aja, kamu tahu ? itu rasanya sakit..”
“Maaf..” ujarku.
“Kita
pisah, dan kita enggak pernah jadi baik-baik. Saat itu aku berusaha,
berusaha untuk yakinin diri aku kalau aku bisa tanpa kamu, dan ternyata
aku bisa, aku bisa berubah..” lanjutnya lagi. Kami berdua sama-sama
memandang ke arah lautan lepas.
“Sampai
kamu datang lagi, untuk minta maaf sama aku. Kamu pasti masih ingat
dengan jelas, gimana saat itu aku menolak kehadiran kamu. Aku tahu,
tindakanku terlalu pengecut saat itu, dan alasanku terlalu dangkal, aku
dendam sama kamu, dan aku mau kamu ngerasain apa yang aku rasain karena
ulah kamu” aku benar-benar hanya bisa mendengarkan ceritanya dalam
kebisuan ini.
“Dan
akhirnya aku sadar, kaya gitu cuma bakal bikin sampah di hati aku.
Akhirnya kita jadi teman, tapi kaya yang aku bilang, aku udah berubah,
begitupun dengan semua rasa itu. Aku enggak munafik, ada waktu-waktu
dimana aku bisa senyum-senyum sendiri saat aku ingat kamu, pacar
pertamaku, cinta pertamaku..”
“Waktu
aku lagi nemenin adek aku ke toko buku, aku lihat novel kamu, dan aku
bangga, orang yang aku kenal sekarang jadi terkenal. Jujur, aku enggak
suka baca novel cewek kaya gitu, tapi entah kenapa, aku langsung
tertarik dengan kata-kata yang ada di cover belakang novel itu”
“Kamu
tahu rasanya menyesal ? jika tidak, percayalah padaku, jangan pernah
mencoba untuk melakukan kesalahan, apalagi sampai melepaskan ia yang
kamu sayang, begitu saja..” lagi-lagi aku memotong kata-katanya,
lagipula itukan novelku, tentu aku juga tahu, kalimat apa yang ia
maksud.
“Ya,
kata-kata itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung beli novel kamu, dan
aku langsung baca. Sepanjang membaca novel itu, aku bahkan ngerasa bisa
nebak bagian bab berikutnya, aku tahu, ada adegan makan bakso berdua
setelah latihan drama di sekolah, aku tahu, ada surprise ulang tahu
pakai tepung, dan aku juga tahu, bagaimana cara mereka putus, tanpa
perlu aku baca novel itu sampai selesai. Hebat kan aku ?” aku hanya
tersenyum simpul menanggapinya.
“Tiba-tiba
kemarin, aku lihat kamu di antara orang-orang yang datang. Dan aku
memang udah punya rencana sebelumnya, aku pengen kita ketemu, aku pengen
kita ngebahas ini. cerita kita memang udah selesai, tapi terlalu banyak
bagian gantung yang kita biarin gitu aja kan..”
“Seharian ini kita bareng, seharian ini aku berusaha untuk melihat kamu dari mata yang
sama seperti empat tahun lalu. Tapi itu ternyata enggak segampang yang
aku kira. Aku bisa balik sama kamu, tapi aku enggak bisa, balik jadi
alvinnya kamu yang dulu”
Entahlah,
tapi aku merasa setuju dengan ucapannya barusan. Keadaan kembali hening
beberapa menit. Aku mengangkat wajahku, melihat ke arahnya, tampaknya
ini bagianku untuk berbicara.
“Kamu
orang pertama yang aku ijinin untuk masuk dan memenuhi relung-relung
hati aku, dan kamu juga orang pertama yang ngasih tahu aku, rasanya
sakit, sakit karena aku terlalu dalam mencintai seseorang”
“Aku
tahu, kesalahan ini bermula dari aku. Aku bersedia kembali dan
memperbaiki semuanya, kalau itu memang bisa. Tapi kaya yang kamu bilang,
kamu udah berubah, dan aku bahkan enggak kenal, kamu yang sekarang kaya
apa. Aku takut, takut sebenarnya alvin yang aku sayang, adalah alvin
yang empat tahun lalu, bukan alvin yang saat ini duduk di samping aku..”
“Dan untuk semua perasaan ini, aku siap. Siap untuk melepaskan kamu, siap untuk melepaskan semua harapan aku..aku siap..”
“Aku
sadar, kalaupun kita kembali bersama, mungkin perasaan itu cuma bakal
jadi sesuatu yang semu. Aku sadar, cinta kita enggak lagi sama. Kita
bukan lagi anak smp yang ngelihat cinta sebagai sesuatu keinginan untuk
terlihat lebih dewasa. Kita berdua sekarang, jelas-jelas tahu, cinta
lebih kepada kebutuhan untuk saling mengisi satu sama lain..”
“Kamu
satu-satunya yang aku sayang, sejauh ini. empat tahun, dan aku enggak
pernah lagi menjalani hubungan yang terasa sama atau malah lebih dari
milik kita. Tapi aku enggak akan maksain apapun, aku juga enggak akan
ngebebanin kamu dengan perasaanku, aku tahu, ini saatnya aku melepas
kamu..” Alvin meraba rambutku, lalu mengusapnya pelan, dan sejurus
kemudian ia mengecup ubun-ubunku.
“Maafin aku ze..”
“Kamu enggak salah apa-apa..”
“Aku
udah coba, tapi enggak bisa, aku mau, kalau aku kembali sayang sama
kamu lagi, aku mencintai kamu sesempurna dulu, tanpa cela sedikitpun,
aku enggak mau cuma ngasih kamu sekedar rasa sayang. Makasih untuk semua
pengertian kamu..” aku hanya mengangguk. Diam-diam aku sedang menahan
air mataku, bagaimanapun aku ini perempuan, mahluk yang akan menumpahkan
segala yang ia rasa melalui cairan bening itu.
Setelah
empat tahun, aku hanya mencintainya, untukku sendiri secara diam-diam.
Hari ini aku berikrar untuk melepaskannya, untuk membebaskannya dari
belengguku, karena aku tahu, bukan aku lagi yang bisa membuat dunianya
berwarna, karena aku tahu, bunga yang telah layu tidak akan pernah segar
kembali, seperti juga cinta ini.
Ia berdiri dan menyodorkan tangannya ke arahku. “Mau pulang sekarang ?”
Aku
menerima tangannya, dan mengangguk. Kami kembali ke mobil, dan kembali
berdiam diri. Separuh perjalanan, nampaknya ia mulai jengah dengan
keadaaan ini, ia mulai mengutak-atik radionya, mencari saluran yang bisa
di tangkap mobilnya di tengah tempat sepi ini.
Dan
entah sebuah kebetulan, atau mungkin memang kehendak nasib. Sebuah lagu
mengalun, memenuhi mobil ini, ikut mengisi perjalanan pulang kami.
Menahun, ku tunggu kata-kata
Yang merangkum semua
Dan kini ku harap ku dimengerti
Walau sekali saja pelukku
Tiada yang tersembunyi
Tak perlu mengingkari
Rasa sakitmu
Rasa sakitku
Tiada lagi alasan
Inilah kejujuran
Pedih adanya
Namun ini jawabnya
Yang merangkum semua
Dan kini ku harap ku dimengerti
Walau sekali saja pelukku
Tiada yang tersembunyi
Tak perlu mengingkari
Rasa sakitmu
Rasa sakitku
Tiada lagi alasan
Inilah kejujuran
Pedih adanya
Namun ini jawabnya
Aku
melirik ke arahnya, dan tampaknya ia pun mengerti dengan maksudku. Ia
tersenyum tipis, begitupun denganku. Aku dan Alvin mulai ikut bernyanyi.
Lepaskanku segenap jiwamu
Tanpa harus ku berdusta
Karena kaulah satu yang kusayang
Dan tak layak kau didera
Sadari diriku pun kan sendiri
Di dini hari yang sepi
Tetapi apalah arti bersama, berdua
Namun semu semata
Tiada yang terobati
Di dalam peluk ini
Tapi rasakan semua
Sebelum kau kulepas selamanya
Tak juga kupaksakan
Setitik pengertian
Bahwa ini adanya
Cinta yang tak lagi sama
Lepaskanku segenap jiwamu
Tanpa harus ku berdusta
Karena kaulah satu yang kusayang
Dan tak layak kau didera
Dan kini ku berharap ku dimengerti
Walau sekali saja pelukku
Lepaskanku segenap jiwamu
Tanpa harus ku berdusta
Karena kaulah satu yang kusayang
Dan tak layak kau didera
Sadari diriku pun kan sendiri
Di dini hari yang sepi
Tetapi apalah arti bersama, berdua
Namun semu semata
Tiada yang terobati
Di dalam peluk ini
Tapi rasakan semua
Sebelum kau kulepas selamanya
Tak juga kupaksakan
Setitik pengertian
Bahwa ini adanya
Cinta yang tak lagi sama
Lepaskanku segenap jiwamu
Tanpa harus ku berdusta
Karena kaulah satu yang kusayang
Dan tak layak kau didera
Dan kini ku berharap ku dimengerti
Walau sekali saja pelukku
***
Mobilnya
berhenti tepat di depan rumahku. Aku tersenyum ke arahnya, dan bergegas
segera turun dari mobil. “Makasih ya buat hari ini..”
Tanpa
menoleh, aku berjalan cepat ke dalam rumah. Aku ingin segera masuk ke
kamar, dan memeluk bantalku, menumpahkan semua air mata yang sejak tadi
masih aku tahan. Ketika tiba-tiba sebuah tangan menarik tanganku hingga
berbalik, dan langsung mendekapku bersama tubuhnya.
Alvin
memelukku. Tanpa kata-kata, ia terus mengeratkan pelukannya. Sesuatu
yang bahkan dulu tidak pernah kami lakukan, namun meski baru pertama,
rasanya tetap hangat untukku.
“Kenapa ?” tanyaku pelan.
“Maaf..”
bisiknya. “Anggap aja ini pelukan persahabatan dari aku” sambungnya
lagi. Aku hanya tersenyum, toh aku juga menikmati ini. Akhirnya alvin
melepaskan pelukannya, ia tersenyum ke arahku, dan mengacak sedikit
poniku.
“Aku
pulang ya, setelah ini kita bisa kan sahabatan kaya dulu lagi ?”
tanyanya. Aku hanya tersenyum, ia melambaikan tangannya sambil menjauh,
dan kembali ke mobilnya. Aku sendiri juga langsung masuk ke dalam rumah,
seiring dengan suara mobilnya yang mulai menghilang.
Terlihat
kedua orang tuaku sedang duduk di ruang keluarga, wajah mereka tampak
agak berbeda. Aku duduk di samping mamaku. “Kenapa ma ?” tanyaku
penasaran.
“Ayah pindah ke semarang ze, kamu mau ikut pindah, atau...”
“Iya mah aku ikut pindah” jawabku cepat sebelum mamaku menyelesaikan bicaranya.
“Yakin ? enggak sayang sama sekolah kamu, tinggal setahun lagi lho” ujar ayahku.
Aku hanya menggeleng. “Aku mau ikut pindah. Ya udah, aku capek, mau ke kamar..” pamitku langsung ngacir ke kamar.
Di
atas ranjangku, aku memeluk diriku sendiri dengan kedua tanganku,
merasakan aroma tubuh alvin yang masih terasa jelas di tubuhku. Setitik
air mataku mengalir dari ujung-ujung mata.
“Maaf alvin, aku enggak seberani yang kamu kira, aku takut untuk benar-benar melepas kamu, aku takut, karena aku mencintaimu..”
Komentar
Posting Komentar