Selepas Kepergiannya (cerpen)

Aku menggigit bagian bawah bibirku kuat-kuat, berharap tidak ada air mata yang menetes turun dan akan membasahi pipiku. Aku benci menangis. Menangis hanya akan membuat dadaku sesak. Aku tidak suka menjadi lemah. Aku bukan gadis seperti itu.
Tapi sepertinya semua sia-sia, bersatunya air mata dan segumpal kesal di hatiku mampu menjebol kekuatanku. Hah, selalu saja begini ! Karena kehadirannya, karena segala hal tentangnya, ia selalu saja menjadi yang juara. Aku benci padanya ! sangat-sangat benci padanya ! ia selalu menghancurkan semuanya. Bahkan sepertinya, keberadaannya di dunia ini tidak lebih untuk selalu mengganggu hari-hariku.
Jika boleh, aku ingin ia tidak ada. Tidak disini. Tidak di rumah ini. Tidak di sekolah. Tidak di manapun.
Dimanapun.
***
Siang ini, matahari begitu terik memancarkan sinarnya. Dan aku rasa juga tidak ada satu orang pun yang cukup bodoh yang bersedia untuk menantangnya. Aku mendengus kesal, ketika mendapati swift hitam milik kak Alvin terparkir di depan rumah, itu artinya ia ada di dalam, dan aku benar-benar malas jika harus melihat wajahnya, yang entah mengapa, menurut orang lain sangat innocent, ganteng atau apalah itu, pujian-pujian kosong tak beralasan menurutku.
Jangan tanya mengapa, aku begitu kesal pada kakak semata wayangku itu. Ya, tentu saja aku memiliki alasan atas segala sikapku padanya. Bagiku ia sama sekali tidak menampilkan figur kakak laki-laki impian seperti yang sering aku lihat di film ataupun cerita-cerita di novel.
“Wetsah adek gue udah balik, nyelonong aja lo..”
Aku sama sekali tidak bergeming mendengar sapaannya. Benar apa yang ia bilang, aku memang langsung masuk begitu saja, tanpa sekalipun menggubrisnya.
“Siang Fy..” suara lain, yang lebih lembut, yang terdengar lebih merdu, ikut juga menyapaku.
“Siang kak Rio..” sahutku, tersenyum manis, berusaha menampilkan yang termanis yang aku punya.
Kau boleh menganggapku jahat, tapi siapa peduli, jika boleh memilih, terang-terangan tentu saja aku akan memilih kak Rio, yang notabene adalah sahabat karib kak Alvin, sebagai kakak laki-lakiku ketimbang kak Alvin.
Kak Rio membalas senyumku dengan senyumnya yang tidak kalah manis. Dan aku langsung bergegas naik ke lantai dua menuju kamarku, masih tanpa sekalipun memperdulikan kehadirannya. Mencoba tidak menganggap dirinya. Berlalu dan menghilang begitu saja.
***
Alunan lagu dari Taylor Swift penyanyi kesukaanku, memenuhi sudut-sudut kamarku, menemaniku yang sedang larut dalam setumpuk pr yang harus ku selesaikan. Sambil ikut berdendang, seolah aku sedang berduet dengannya, aku terus asik mengerjakan soal-soal yang ada di depanku.
Klik. Lagu berhenti tiba-tiba. Serta merta aku langsung menoleh ke arah rak dimana disc playerku berada. Dan betul saja, ia sedang berdiri di sana, sambil memamerkan deretan gigi putihnya ke arahku.
“Ngapain sih lo matiin, ganggu aja !” ujarku ketus, menatapnya tajam.
“Lagian elo di panggil dari tadi, di suruh makan, enggak nyahut-nyahut..”
“Ya tapi enggak usah pakai asal matiin gini dong, udah mana masuk enggak ketuk-ketuk pintu dulu lagi, enggak sopan banget sih” aku masih saja menggerutu sambil menatapnya sebal.
“Haha..iya-iya..udah ah, ayo mau makan enggak lo ?”
Dan dari segala rasa sebalku terhadapnya, inilah yang paling membuatku sebal. Ketika aku masih dalam rasa sebalku terhadapnya, dan ia malah tertawa. Bisa tidak sih dia lebih serius daripada ini ? Bisa tidak sih sekali saja dia mengerti bahwa aku ini sedang marah terhadapnya ?!
“Duluan aja sana, entar gue nyusul”
“Ya udah..cepetan yaa..”
Aku hanya mengangguk tipis. Sekilas aku jadi memandangi foto kami berdua yang sengaja mama letakkan di atas meja belajarku. Saat itu, aku masih kelas satu sd dan kak Alvin kelas empat. Kami masih akur, atau mungkin yang lebih tepatnya aku belum antipati seperti ini padanya. Di dalam foto itu, kak Alvin merangkul sambil mengecup ubun-ubunku. Aku dan dia tampak begitu manis di sana, khas anak-anak.
Tapi semua berubah semenjak aku smp, dan kak Alvin sma. Aku mulai bisa mengerti dan membedakan. Aku mulai membanding-bandingkannya dengan kakak laki-laki teman-temanku yang lain, hingga akhirnya aku memperoleh satu kesimpulan, kak Alvin bukanlah sesosok kakak yang bisa di banggakan. Semua itu di perparah oleh sikapnya yang nakal dan iseng, serta orang tuaku yang lebih memperhatikannya di banding aku.
Kenyataan-kenyataan itu membuatku tidak suka padanya, tidak suka akan kehadirannya, hingga tanpa aku sadari, aku mulai antipati kepadanya. Dan perlahan kami pun menjauh.
Sekuat apapun kamu mencari, kamu tidak akan menemukan satupun foto aku dan kak Alvin di masa sekarang ini. Karena aku tidak pernah mau di foto dekatnya. Sama sekali tidak.
Ahh ya, bukankah tadi ia menyuruhku untuk makan malam, lagipula cacing-cacing di perutku sudah saling menggeliat menantikan makanan. Segera setelah merapikan alat tulisku, aku bergegas menuju ruang makan. Dari tangga, aku bisa melihat, bagaimana mama dan papa mengelus-elus punggung kak Alvin. Hal yang tidak pernah mereka lakukan secara bersamaan padaku.
Nafsu makan yang tadinya menggebu hebat, menguap tiba-tiba, sebelum terlihat, aku segera berbalik menuju kamarku kembali. Di balik pintu kamar, aku terduduk dalam diamku, meremas-remas tanganku, entah untuk apa.
Aku benci semuanya. Aku iri padanya. Iri akan apa yang ia bisa dapatkan dengan mudah dan aku tidak. Iri karena ia bisa dengan mudahnya mendapatkan perhatian kedua orang tuaku di banding aku.
Dan rasa iri itu terus memelukku erat malam itu. Menjadi satu-satunya teman yang menyatu dengan sepinya udara. Menjadi senyawa tak terlihat namun terasa di balik dinginnya lantai keramik.
Ya aku iri, dan aku membencinya.
***
Aku hampir saja menjatuhkan pisau yang kugunakan untuk mengoleskan selai coklat ke atas rotiku, ketika mama mengatakan bahwa pagi ini, kak Alvinlah yang akan mengantarkanku ke sekolah, dan begitu juga nanti, ia yang akan menjemputku.
Ingin rasanya aku menolak. Tapi apa daya, kata-kata mama adalah sederet kalimat yang langsung tersegel dengan cap tidak dapat di ganggu gugat. Menolaknya sama saja dengan sukarela menerima ceramah mama yang tiada henti pagi-pagi begini, dan tentu saja aku tidak mau.
“Asikk dah gue nganter elo ke sekolah..haha..” dengan spontan, tangan kak Alvin menepuk-nepuk kepalaku pelan. Yang buru-buru langsung aku singkirkan.
“Ish apaan sih..”
“Haha..” lihatlah, ia hanya terkekeh, padahal itu yang tambah membuatku sebal terhadapnya.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku hanya diam dengan tangan terlipat di dada. Suara dentum dari lagu rock atau metal atau sama sajalah namanya, yang demi apapun bisa merusak gendang telinga orang yang mendengarnya, menjadi suara-suara asing yang ada di dalam mobil ini.
Aku bahkan tidak bisa menangkap satu katapun dari lagu-lagu yang terus berkumandang ini. Hentakan drum dan teriakan sekencang mungkin, hanya itulah yang aku rasa ada di dalam lagu ini. Tapi sepertinya kak Alvin tidak peduli, sama sekali tidak peduli. Kepalanya ikut bergoyang-goyang dan tangannya ia pukul-pukulkan ke stir mobil.
Berlebihan, tapi rasanya aku benar-benar ingin sujud sukur ketika akhirnya mobil ini memasuki pekarangan sekolahku. Setidaknya delapan jam ke depan, aku terbebas dari mahluk satu ini. Meski sialnya, pulang nanti aku harus menghadapi suasana seperti ini lagi.
“Jangan turun !” cegahku, menarik ujung kaos kak Alvin, ketika ia hampir saja membuka pintu.
“Lho kenapa ? gini-gini kan, ini sekolah gue juga dulu, almamater gue..”
“Gue bilang jangan ya jangan !!”
“Fy, apa salahnya sih gue turun ?”
“Please, lo di mobil aja..” nadaku melemah, aku benar-benar menatapnya sambil memohon. Hal yang sangat jarang aku lakukan terhadapnya.
“Ya udahlah, padahal kan gue pengen ketemu gebetan-gebetan gue dulu tuh..”
Aku hanya melengos, sama sekali tidak berhasrat mendengarkan kenarsisannya. Buru-buru aku langsung turun dari mobil dan sedikit berlari kecil menjauh.
“Hai Fy, di anter siapa ?” Nova salah satu teman sekelasku, tiba-tiba saja sudah berada di sisi kiriku.
“Eh..itu, ehm sama..”
“Sama siapa ?”
“Kak Alvin” jawabku akhirnya, amat pelan, dan terpaksa. Berharap bisa menemukan nama lain untuk aku sebut. Bahkan rasanya aku lebih senang menyebut nama pak udin, supirku, ketimbang kak Alvin.
“Oh kak Alvin lagi disini ya ? baru pulang dari Bandung ?”
“Iya, lagi libur semesteran”
“Sama sih, kak Riko juga..”
Aku hanya mengulum senyum, kak Riko sama seperti kak Alvin, alumni sekolah ini juga. Hanya saja mereka sangat berbeda jauh. Dan aku rasa, aku akan bangga bila memiliki kakak seperti kak Riko.
“Eh Fy, ada pak Tedy samperin yuk..”
Tanpa persetujuan dariku, Nova langsung saja menarik lenganku agar ikut bersamanya menemui pak Tedy yang sedang berdiri di depan ruang guru. Setahuku ia guru matematika kelas dua belas, dan sebagai murid kelas sepuluh tentu saja kami belum pernah di ajar olehnya.
“Pagi pak..” sapa Nova sambil mencium tangan Pak Tedy, begitu pula denganku.
“Pagi-pagi..” sahutnya ramah, meski dari desas-desus yang aku dengar, ia sangat galak bila di kelas.
“Saya Nova pak, adeknya Riko anggara, kakak saya nitip salam buat bapak..”
“Ohh, Riko ya ? di mana dia sekarang ? pasti lebih pintar deh..”
“Di ITB pak..”
“Ya, kalau dia sih, memang udah bapak duga bakal sukses..”
Tiba-tiba aku seperti merasa terasing oleh dua orang di dekatku ini. Mereka mulai sibuk membicarakan tentang prestasi-prestasi kak Riko yang memang seorang juara olimpiade matematika di sekolahku. Dan aku mulai menyesal mengikuti Nova kesini, kak Alvin juga anak sini, tapi sepertinya tidak akan ada satu orang pun yang ingat tentang prestasinya, karena toh dia memang tidak berprestasi apa-apa.
“...kakaknya temen saya ini juga alumni sini lho pak”
Sial. Aku hanya bisa melemparkan cengiranku, yang pasti terlihat aneh ke arah Nova. Untuk apa juga Nova harus bilang begitu.
“Oh ya ? siapa nama kakak kamu ?”
“Alvin pak..”
“Alvin ? oh iya-iya saya ingat, Alvin yang bandel itu kan ya ? yang hampir saja di keluarkan karena terlibat tawuran, iya kan ?”
Tuhan, apa pula guru di hadapanku ini tidak sama sekali menyaring ucapannya. Rasanya di depan Nova tadi ia berkata dengan nada yang manis dan amat terkesan. Kenapa ia terlihat begitu meremehkan ketika di hadapanku.
Ini semua gara-gara kak Alvin. Selalu karenanya.
“Iya kali pak, saya juga enggak gitu tahu, kakak saya dulu gimana..” sahutku berusaha biasa saja. “Nov, ke kelas yuk, gue belum bikin catatan yang kemarin..” sambungku lagi, merasa tidak sanggup jika harus ada disini terus.
“Eh, catetan ?”
“Iya..catetan..” ulangku sambil mencubit tangan Nova, memberinya kode, bahwa sebenarnya aku hanya tidak ingin berlama-lama disini.
“Ayo..ayo..pak kita ke kelas dulu ya..” tanpa berkata-kata dan hanya tersenyum, aku langsung menarik Nova menjauh dari hadapan pak Tedy.
“Ehm..fy..” Nova menahan tanganku dan menghentikan langkahnya. “Maaf ya..”
“Buat apa ?”
“Itu tadi, pasti lo enggak nyaman sama kata-katanya Pak Tedy..”
“Lupainlah Nov, emang enggak ada yang bisa di banggain dari kak Alvin kaya kak Riko kok, lagipula ini juga bukan pertama kalinya..” ujarku sambil mengibaskan tangan seolah tak peduli.
Bukan pertama kali. Ya, bisa di bilang ini bukan pertama kalinya, aku mendengar catatan buruk tentang kak Alvin di sekolah ini. Hampir semua guru yang pernah mengajar kak Alvin dan kemudian mengajarku, pasti akan membuka kartu-kartu aib miliknya, entah ia yang dulu sering bolos, cabut jam pelajaran, ulangan yang selalu remidial, dan sebagainya. Belum lagi, kakak kelas yang mendatangiku untuk menanyakan keberadaannya, mereka adalah korban-korban dari permainan cinta kak Alvin, yang memang terkenal sebagai seorang playboy.
Dan selalu saja aku yang ikut terkena getahnya. Tidak berbuat namun ikut terseret. Wajar kan jika aku tidak ingin mengenalnya ?
***
Jika biasanya, bel pulang sekolah itu  terasa menyenangkan, maka kali ini aku merasa yang sebaliknya. Karena setengah jam ke depan, aku harus terkungkung di tempat yang sama lagi dengan kak Alvin.
Belum lagi, hari ini secara aklamasi aku di tunjuk untuk menyanyi di depan pengurus yayasan sekolah besok pagi. Aku yang memang anggota dari kelompok paduan suara di sekolahku, menyukai bidang tarik suara, tapi untuk menyanyi di depan umum secara dadakan tanpa latihan sebelumnya dan seorang diri. Aku benar-benar mual jika memikirkan bagaimana penampilanku besok.
Rasanya besok aku ingin mengurung diri saja di kamar, dan pura-pura amnesia dengan kewajiban ini, meski rasanya itu tidak mungkin, karena wali kelasku langsung menelpon mama tadi untuk mengabarkan ini. Dan mama yang memang sejak kecil suka tampil, tentu saja langsung penuh semangat menyambut ini.
“Nah itu adek gue..”
Aku langsung mengangkat kepala yang sejak tadi aku tundukkan, suara yang begitu aku kenali, dan benar saja, kak Alvin sedang bersandar di lobi sekolah, di kerubuti oleh beberapa anak yang kebanyakan perempuan.
“K..kak..A..alvin..” panggilku lirih. Mengutuki kebodohannya.
“Oh jadi ini adeknya Alvin..”
“Kok beda banget ya sama kakaknya..”
“Haha..apa ya rasanya punya kakak kaya kak Alvin..”
Sesuatu yang dari dulu, sejak aku harus menerima nasib bahwa mama mendaftarkanku di sekolah yang sama dengan kak Alvin, aku takuti akhirnya hari ini terjadi. Aku berani bertaruh besok pagi, seluruh penjuru sekolah pasti tahu, bahwa aku ini adiknya Alvin si biang onar.
Padahal aku paling benci di banding-bandingkan, meski ya aku tahu, aku jauh lebih unggul bila di bandingkan dalam soal pendidikan olehnya.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirku. Aku hanya menariknya keluar dari kerumunan itu, mengajaknya ke parkiran mobil, dan diam sampai sekarang aku sudah sampai di rumah.
Dan tahukah kamu ? ia sama sekali tidak mengucapkan kata maaf, tidak.
“Kamu kenapa sih, kok cemberut terus ?” tanya mama akhirnya, ketika kami bertiga berkumpul di meja makan.
“Enggak apa-apa” jawabku singkat.
“Beneran ?”
“Iya”
“Bohong tuh ma pasti..” celetuk kak Alvin, yang menurutku sama artinya dengan mengibarkan bendera perang.
“Kenapa sih Fy, bilang dong sama mama, atau kamu enggak mau disuruh nyanyi besok ?”
“Enggak ma, Ify enggak kenapa-napa” kilahku lagi.
“Besok dia mau nyanyi ma ? asik deh, besok Alvin ikut ya..”
“Enggak !!” tanpa sadar aku berteriak kencang. Membuat mama dan kak Alvin langsung menoleh ke arahku.
“Kenapa Fy ? Alvin kan kakak kamu..”
“Justru karena itu, Ify enggak mau kak Alvin ikut besok, enggak mau !” aku berdiri, membiarkan nasiku yang masih tersisa separuh di piring. Aku sudah muak.
“Kamu ini kenapa sih ?! enggak sopan sama kakak sendiri kaya gitu !”
“Ma, enggak ada yang bisa Ify banggain dari kak Alvin ! enggak kaya temen-temen Ify yang lain, kakak laki-laki mereka, semuanya berprestasi, enggak kaya kak Alvin !” raungku lagi, kali ini, air mata telah terbayang-bayang ingin menyeruak turun.
“IFY !!” mama menatapku tajam, belum pernah sebelumnya begini, membuat nyaliku menciut karena telah melawannya, namun kepalang basah, aku tetap pada pendirianku, berdiri di atas apa yang aku yakini.
“Apa ?! belain aja terus kak Alvin ! semua memang lebih sayang sama kak Alvin di banding Ify ! padahal dari dulu cuma Ify yang selalu masuk tiga besar, Ify enggak pernah bikin malu mama dengan berkali-kali di panggil ke BP, Ify juga enggak pernah nyusahin mama..tapi kenapa semuanya lebih sayang ke kak Alvin ?!!!”
Segala hal yang aku rasakan selama ini akhirnya terbuncah keluar, di iringi oleh isakan tangisku, aku meluapkan semuanya. Tentang rasa iriku, tentang ketidak sukaanku pada kak Alvin. Semuanya.
“Ify benci sama kak Alvin, benci !!” seperti adegan-adegan yang sering aku lihat dalam sinetron, dengan tangis yang berurai, aku naik ke lantai dua, menuju kamarku. Sama sekali tidak menghiraukan teriakan mama yang memanggil namaku berkali-kali.
Aku terus menangis, meski wajahku telah ku dekapkan ke dalam bantal. Dan benar saja kan, menangis hanya bisa membuat dadaku sesak, aku tidak suka begini.
Kak Alvin, memang hanya ia yang membuatku cengeng seperti ini, sekarangpun ia membuatku bertengkar dengan mama. Ia benar-benar menyebalkan.
Aku tidak ingin ia ada disini.
***
Mata panda. Itu yang terjadi padaku hari ini. Lingkaran hitam menghiasi daerah sekitar mataku dengan sempurna. Membuat wajahku jadi terlihat aneh. Padahal tinggal satu jam lagi aku harus tampil, menghibur semua tamu yang telah hadir.
Tapi yang paling sial, aku sama sekali belum berlatih. Sejak kejadian pulang sekolah kemarin, aku hanya menangis dan mengurung diri di kamar. Aku bahkan tidak tahu, lagu apa yang harus aku nyanyikan nanti. Benar-benar mimpi buruk.
Aku mencoba menenangkan hatiku, sambil menghapal lirik lagu yang diberikan guruku, aku mencoba mensugesti diriku untuk lebih positif. Ku panjatkan doa agar semua bisa baik-baik saja, meski melihat persiapanku tentu saja semua jadi terasa berat. Sepertinya perlu ada campur tangan Tuhan yang besar untuk membuatku sukses nanti.
“Ify, siap-siap ya, habis ini kamu tampil..”  perutku seperti melilit dan ditikam jatuh ke bawah mendengar rentetan kata itu. Aku belum siap dan tidak akan siap sepertinya.
Setelah berdoa beberapa kali, melafalkan hampir semua ayat-ayat yang aku bisa, memohon kepada ia satu-satunya Zat yang paling bijak, aku melangkah ke atas panggung. Lagi-lagi rasa gugup setengah mati menggentayangiku ketika ku saksikan puluhan orang yayasan dan para orang tua murid yang datang. Semua baris lirik yang ku hapal tadi menghilang entah kemana. Kepalaku terasa kosong, nyaris tak berisi.
Denting piano mulai di mainkan, dan suaraku tidak keluar sama sekali. Lagipula aku sendiri kan juga tidak mengerti harus menyanyikan lagu apa. Aku benar-benar tak ada akal, dan hanya ingin turun dari panggung ini lalu menangis.
Kasak-kusuk mulai terdengar, ketika intro telah lewat dan tak ada satupun alunan lagu yang ku nyanyikan. Guruku yang berdiri di bawah panggung, menggerak-gerakkan tangannya berusaha memberi tahuku sesuatu, namun sia-sia, aku seperti tak dapat mencerna apapun saat ini.
Tiba-tiba saja, entah darimana, ku dengar suara gitar, bukan hanya itu, aku juga begitu mengenal petikannya, dan lagu apa yang di mainkan.
Tak semestinya ku merasa sepi
Kau dan aku di tempat berbeda
Seribu satu alasan
Melemahkan..tubuh ini...
Di ujung panggung, terlihat kak Alvin sedang menggenjreng gitarnya, ia tersenyum ke arahku yang masih kaget dengan kehadirannya, yang harus aku akui sangat membantuku dan tentu saja menyelamatkanku. Ia terus saja memainkan gitarnya, dan melirikku menyuruhku untuk melanjutkan lagu yang telah ia mulai.
Lagu kami berdua. Lagu yang di ajarkan kakek ketika kami masih sd dulu. Ketika aku masih mau berduet dengan kak Alvin.
Aku disini
Mengingat dirimu
Ku menangis tanpa air mata
Bagai bintang tak bersinar
Redup hati ini
Dan ku mengerti sekarang
Ternyata kita menyatu
Di dalam kasih yang suci
Kuakui kamulah cinta terakhir.. (2x)
Kak Alvin mendekat ke arahku ketika aku berhasil menyelesaikan lagu ini, ia menggenggam tanganku, dan mengajakku memberi hormat kepada para tamu undangan. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak menampik tangannya, meski tangan itu menyentuh tubuhku, karena tanpa ia sadari, untuk pertamakalinya pula, aku melihatnya berbeda, tidak seperti kakakku yang biasanya.
“Makasih..” bisikku.
Ia menatapku, dan kemudian tersenyum sambil mengangguk.
Untuk beberapa saat, aku tertegun, tatapan itu, senyum itu, apakah selama ini, hal-hal itulah yang terlalu sibuk aku tampik hingga aku tidak peduli akan segala perubahan yang terjadi padanya. Ia sudah terlihat dewasa saat ini, wajahnya tidak lagi sebengal dulu, dan aku baru menyadarinya.
Apakah selama ini, tindakanku sangat keterlaluan padanya ?
***
Setelah peristiwa itu, meski tetap antipati, namun sikapku jauh melunak pada kak Alvin. Setidaknya, aku berusaha untuk tersenyum atau tidak lagi menatapnya sinis, satu hal yang dulu tidak pernah aku lakukan terhadapnya. Seminggu setelah itu, ia kembali ke Bandung, kota tempatnya menjadi mahasiswa.
Dan aku juga kembali menjalankan aktivitasku seperti biasa, tidak ada yang spesial. Aku kembali berkutat dengan buku-bukuku, satu hal yang aku tahu, akan jauh membedakanku dengan kak Alvin, prestasi kami di sekolah. Setidaknya itulah yang aku tahu dari guru-guru. Dan satu lagi, untuk membuktikan ke-eksistensianku, aku memutuskan untuk ikut ldks dan menjadi anggota Osis. Aku tidak ingin di samakan dengan kak Alvin yang ‘nol’ prestasi.
Sudah sejak satu jam yang lalu aku membuat segala hal yang di perlukan untuk kegiatan ldks-ku nanti, segala hal yang berhubungan dengan sesuatu yang ‘aneh’ . Seperti nametag yang harus berbentuk binatang, topi-topian kertas, kacamat kertas, tas dari karung goni, kalung dan gelang dari sedotan, segala hal yang membuatku senewen sejak tadi. Satu-satunya hiburan yang menemaniku hanyalah timeline twitter yang terpampang di layar laptopku.
“Lo ngapain Fy ?”
Aku menoleh, dan bingung mendapati kak Alvin ada di rumah. Baru dua bulan yang lalu ia libur semesteran, untuk apa ia ada disini sekarang.
“Ldks. Kok ada disini ?” jawab dan tanyaku berbarengan. Lihatkan, setidaknya aku tidak seperti dulu.
“Ada yang harus gue urus, mau gue bantu ?” tawarnya, sambil duduk di sebelahku, sama sekali tidak melepas jaket atau sekedar mengganti dulu bajunya. Padahal pasti ia lelahkan, setelah menyetir dari Bandung kemari.
“Enggak usah, makasih”
Dan entahlah apakah otaknya sudah kebalik, sehingga baginya penolakan adalah persetujuan, yang jelas saat ini ia mulai membantuku untuk menggunting-gunting kertas. Dalam diam kami bekerja sama, untuk pertama kalinya.
“Elo suka sama Rio ya Fy ?” tanyanya tiba-tiba. Tanpa menoleh ke arahku, masih asik dengan kertas warna dan gunting di tangannya.
“Enggak”
“Kalau iya bilang aja sih iya, dianya suka sama lo soalnya”
Aku memutar bola mataku, menatapnya dengan tatapan penasaran yang amat sangat, dan rasanya ingin mengguncang-guncang tubuhnya untuk menceritakan segala hal yang ia tahu. Karena, bukankah sudah ku bilang, keberadaan kak Rio selalu membuatku merasa lebih nyaman.
“Gue enggak bohong, tunggu aja lo naik kelas, atau ya paling enggak lama lagi, pasti dia nembak lo” sambung kak Alvin lagi, seolah bisa menangkap sirat-sirat penuh pertanyaan tak tersampaikan di mataku.
Dalam sekejap, aku jadi merasa bahagia. Entahlah tapi ya, aku memang selalu mengagumi sosok kak Rio yang bagai dua mata sisi uang dengan kak Alvin.
“Err..gue ambilin minum ya kak..” tawarku, lagi-lagi untuk yang pertama kalinya. Dan tanpa jawaban dari kak Alvin, aku langsung saja ngacir ke dapur untuk mengambilkannya segelas air putih.
Tubuhku terpaku, ketika melihat apa yang terjadi di hadapanku. Entah bagaimana caranya, kak Alvin sepertinya dengan sukses menumpahkan cat air di hasil karyaku yang telah ku kerjakan sejak tadi. Di dorong emosi, dan mungkin juga karena rasa letihku, tanpa sekalipun berniat untuk mendengar penjelasan kak Alvin, yang menatapku dengan perasaan bersalah, namun sama sekali tak menyentuh hatiku, aku langsung saja menyiramkan segelas air yang ada di tanganku, tepat ke kepalanya.
“Gue benci elo kak ! elo selalu ngerusak semuanya !! gue pengen elo enggak ada disini ! enggak ada !!” aku meraung-raung putus asa. Segala rasa kesal, lelah, emosi, bingung dan sebagainya bercampur, membuat tubuhku tidak terkendali.
Kak Alvin hanya menatapku lirih. Sepertinya ia sama sekali tidak menyangka atas reaksiku ini. Tapi masa bodo dengan semuanya, aku benci padanya. Dan perlu beberapa kali lagi, aku katakan itu untuk menunjukkan rasa benci ini ?!
“Ify ka..lho Alvin ?!” mama dan papa yang sejak tadi diam di kamar, tidak mengerti apa yang terjadi dengan kami. Bisa kau bayangkan mungkin, kak Alvin dengan tubuh basah kuyup, lantai ruang keluarga yang berserakan dengan berbagai kertas dan alat-alat lainnya, serta aku yang menangis sendiri.
Tidak mau berlama-lama seruangan dengan pengacau ini, aku segera berlari menuju kamarku, aku benar-benar menyesal mengijinkannya ikut campur. Harusnya aku bisa mengira dari awal, ia akan mengacaukan segalanya.
***
Ternyata jauh di luar dugaanku, kak Alvin adalah sosok yang sangat bertanggung jawab. Keesokan paginya, tepat di depan kamarku, aku menemukan sekardus hasil karyanya yang sama persis dengan apa yang telah aku buat, bahkan jauh lebih bagus dan lebih rapi. Baru aku tahu, ternyata ia berbakat juga di bidang prakarya.
Saat aku akan berangkat pagi itu, ia belum bangun, entahlah sampai jam berapa ia begadang menyelesaikan semua ini. Di buru waktu, aku tidak sempat mengucapkan terimakasih padanya hari itu.
Aku mengikuti ldks di bumi perkemahan dengan lancar, segala hal yang kakak kelas perintahkan ku coba kerjakan dengan baik, meski bentakan-bentakan mereka tercipta memang untuk menciutkan nyali kami semua.
Dan hari ini, setelah dua hari satu malam aku di gojlok, akhirnya datang juga hari kebebasan itu. Aku sudah rindu rumah, rindu kamarku dan kasurnya yang empuk. Dan tentu saja, aku masih berhutang kata terima kasihku pada kak Alvin. Segala peralatan elektronik yang disita, seperti handphone dan ipod sudah di kembalikan, aku sendiri langsung mengabarkan mama agar di jemput nanti setelah upacara penutupan.
***
Di tatapnya kotak putih berisi strawberry chessecake yang sangat menggugah selera itu, di bawanya hati-hati kotak itu, dan ia letakkan di jok mobilnya, berharap tidak akan ada yang terjadi pada cake itu, hingga nanti diterima oleh pemiliknya.
Kue kesukaan adiknya, adik semata wayangnya, dan ia sangat berharap cake ini dapat membuat adiknya tersenyum senang saat menemukannya di rumah nanti. Dapat ia bayangkan, bagaimana wajah cantik itu berseri-seri ketika melihat cake ini seperti biasa. Kebahagiaan tersendiri dalam hatinya, tanpa seorang pun tahu.
Pelan-pelan, ia mulai memacu mobilnya, kecepatannya benar-benar rendah, ia hanya tidak ingin terjadi guncangan dan kemudian cake itu akan hancur, tidak boleh terjadi. Bahkan dalam hati ia berujar, matipun ia rela asalkan cake itu tetap utuh.
Berkali-kali mobil di belakangnya menghujaninya dengan rentetan klakson, namun ia tidak peduli ada yang jauh lebih penting. Sebentar-sebentar ia mengalihkan pandangannya pada cake itu, memastikan bahwa letaknya tidak bergeser sedikitpun.
Semua tampak aman, hingga di perempatan jalan yang besar, ketika lampu hijau jalurnya masih menyala terang, dan mobilnya berbelok ke kanan, sebuah truk dengan kecepatan besar mencoba menyalipnya dari sisi kiri. Bahu jalan yang sempit, menimbulkan gesekan keras pada body kedua mobil, mobilnya terus berputar dan oleng tanpa kendali, dan akhirnya berhenti setelah menabrak tiang-tiang lampu, menyilang di jalur busway dengan bagian depan terangkat ke taman-taman jalan.
Dadanya terasa sesak, ke alpaannya memakai sabuk pengaman membuat ia terlempar ke belakang dan lalu terbentur ke stir mobilnya sendiri. Dengung-dengung suara serta seperti ada yang mengalir dari kedua telinganya, membuat dirinya sama sekali tidak bisa membuka mata, dan perlahan semua tampak memudar. Tapi ia tahu satu, tangan kirinya masih bisa merasa, kotak itu masih di tempatnya, tetap di tempatnya.
***
Aku tahu ada yang tidak beres. Di mulai dengan kedatangan kak Rio untuk menjemputku disini, dan bukannya mama atau papa, serta wajah kak Rio yang terlihat panik. Aku tahu pasti. Sesuatu telah terjadi, dan tampaknya itu begitu parah.
Kecurigaanku semakin terbukti, ketika kak Rio membelokkan mobilnya ke dalam parkiran sebuah rumah sakit. Belum apa-apa saja bulu kudukku sudah merinding tidak karuan. Aku mencoba tenang tapi tidak bisa. Ingin bertanya, tapi aku merasa takut mendengar jawaban yang akan kak Rio berikan nantinya. Seolah aku bisa menebak jawaban itu akan membuatku kehilangan.
Kak Rio menggandeng tanganku, dan mengajakku berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Dari tangannya yang dingin aku bisa merasa bahwa ada ketegangan atau apapun namanya, yang berhubungan dengan orang terdekat kami. Dan tentu saja, aku tidak sebodoh itu. Sejak tadi, aku telah menduga meski di waktu yang sama aku juga menampiknya, ini berhubungan dengan kak Alvin.
Aku langsung ingin menangis, ketika aku melihat mama menangis di pelukan papa. Dugaanku pasti benar, pasti ada apa-apa dengan kak Alvin. Aku mengeratkan tanganku dalam tangan kak Rio, aku ingin tahu, tapi sekali lagi, aku tidak mampu mendengar satu jawaban pun tentang keadaan ini. dan aku juga tahu, semua ini pasti ada hubungannya dengan kabar buruk.
“Keluarganya Alvin..” seorang dokter, keluar dari ruangan yang atasnya baru ku sadari bertuliskan ICU. Kami semua langsung mendekat, termasuk aku, meski pada kenyataannya akulah yang belum tahu ada apa dengan semua ini.
“Sebaiknya kalian ke dalam, manfaatkan waktu sebaik-baiknya..” ujar dokter itu pelan, lantas menepuk-nepuk pundak papa. Dan aku memperhatikan ketika dokter itu berlalu, apa maksudnya dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Apa yang terjadi pada kakakku ?!!
Dan meski menjadi satu-satunya yang tidak tahu apa-apa, aku melepaskan tangan kak Rio dari tanganku dan langsung berlari memasuki ruangan itu. Baru di ambang pintu, langkahku terhenti. Air mata tak lagi dapat ku bendung, semua tumpah, dan aku juga sama sekali tidak ingin menahannya.
Dengan perlahan aku mendekat, mendekat ke arah kak Alvin yang tampak begitu lemah, di balik segala perban yang membalut kepala, lengan, dada. Matanya terbuka, ia sadar, dan aku menatapnya, dengan tatapanku yang paling ramah yang aku miliki, bukan tatapan permusuhan yang selama ini aku tunjukkan, melainkan tatapan seorang adik kepada kakaknya.
“Kak Alvin..” panggilku pelan, di antara entah sudah berapa ratus rinai air mata yang jatuh sejak aku masuk kemari tadi.
Ia tersenyum, dan aku akui sekarang, ia tampak begitu tampan dan mengesankan. Hah, kemana saja aku selama ini, hingga tidak menyadari bahwa aku mempunyai kakak laki-laki yang tampan.
“Jangan nangis..” lafalnya, suaranya tidak keluar, tapi aku mengerti apa yang di maksud.
“Enggak bisa, gue mau minta maaf kak, gue juga mau bilang makasih..gue..gue sayang sama elo..” ujarku tersengal-sengal, seolah ada yang memberi tahuku, bahwa aku harus mengatakannya dengan cepat, selama ia masih bisa mendengar segalanya.
“Alvin..sayang..Ify..”
Dan tangisku kembali pecah. Kenapa harus seperti ini ? kenapa harus ada kejadian seperti ini dulu baru aku bisa mengaku tentang semuanya. Kemana aku selama ini ? kenapa aku harus membiarkan kak Alvin menunggu selama ini. kenapa ?!
Ada tangan yang menarikku untuk mundur, dan aku tahu itu tangan kak Rio, ku biarkan mama dan papa yang kali ini gantian mendekat ke arah kak Alvin.
Semua terasa hening, semua terasa lama dan panjang. Seperti ada yang tak tampak yang berdiri dengan gagahnya di ruang ini, yang siap untuk menarik ia yang kamu sayang. Dan kamu akan mengerti, tidak ada kekuatan yang mampu menahannya. Seperti apa yang telah di gariskan, darimana sebuah hal berasal, maka kesanalah ia akan kembali. Ke tempat yang akan kau jamah suatu saat nanti, yang kau sendiri tidak mengerti kapan kau datangi.
Aku bergetar dalam pegangan kak Rio. Aku bisa melihat bagaimana mama menciumi kak Alvin begitu juga dengan papa. Sekali ini, aku tidak merasa iri dengannya. Aku benci keheningan ini, seperti ada lagu dengan nada minor yang terlalu menyayat hati dan menggiring paksa air mata ini terus mengalir.
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiit. Aku tidak tahu itu alat apa, yang aku tahu, ketika suaranya berbunyi seperti itu, dan ketika garis zigzagnya berubah menjadi  garis lurus mendatar, itu artinya, artinya, mulai besok, atau detik ini, aku tidak akan lagi menemukannya disini. 
Di dunia yang sama denganku.
***
Semua tiba-tiba saja berjalan lambat, bagai alunan musik klasik yang seolah tak berujung, semua tiba-tiba saja tak lagi bersuara, dunia ini seperti kosong, atau hati ini yang kosong ?
Aku meringkuk di tempatku. Semua tampak sibuk berlalu lalang. Aku masih bisa mengetahui ini sudah hampir tengah malam. Tapi selain itu, aku tidak ingin menerima kenyataan lainnya. Aku tidak ingin menerimanya. Tidak ingin melepaskannya.
Dia pergi dan aku kehilangan. Tidak, tidak sesederhana itu. Dia pergi dan aku menyesal, sangat amat menyesal, tiba-tiba saja, jika selama ini berulang kali aku selalu memintanya untuk tidak ada disini, maka kali ini, meski baru sekali, tapi dengan sungguh-sungguh, aku benar-benar berharap, ia ada disini, di sisiku, disini, di tempat yang sama denganku.
Permintaanku. Aku membenci diriku sendiri saat ini. Membenci tentang segala permintaan laknat yang pernah ku ucapkan berkali-kali, membenci mengapa Tuhan menjabahnya, membenci kenapa aku baru bisa membenci perkataan itu saat ini. Bukan kemarin, bukan beberapa hari yang lalu, mengapa harus saat ini. Di saat sebuah selubung tipis, telah memisahkan kami, di saat jari jemariku kecilku tak dapat lagi menyentuhnya meski aku sangat ingin menyentuhnya, di saat sejuta kalimat sayang siap aku sampaikan padanya dan ia takkan membalasnya.
Aku memperhatikan sekelilingku, meski rasanya mata ini tidak lagi fokus, karena air mata yang tak dapat ku hentikan, dan memang tak mau ku hentikan. Seluruh saudara-saudaraku telah datang, semua tanteku menenangkan mama yang masih sama shocknya seperti aku, sementara papa berusaha tegar mengurus segala hal yang harus di urus, teman-teman kak Alvin juga pada datang, dan aku baru tahu ia ternyata memiliki banyak teman, bahkan dari desas-desus yang ku dengar teman-teman kampusnya dari Bandung juga ada disini.
Tapi tidak ada satupun yang duduk di sebelahku. Aku hanya sendiri, dan terasing. Apa mereka pikir aku tidak sedih ? aku tidak meratapi kepergiaannya ? apa ini ganjaran atas segala sikapku selama ini yang tidak pernah benar-benar menganggapnya ada ?
Aku jadi ingat. Tiga tahun yang lalu, ketika kakekku meninggal, semua orang juga sibuk seperti ini. Semua orang juga tidak ada yang mempedulikanku. Tapi tidak dengan kak Alvin, ia memilih duduk di sebelahku, meski aku selalu menampik tangannya ketika ia hanya ingin sekedar menyeka air mataku. Dan kini, kak Alvinlah yang pergi, tak ada lagi yang mau susah-susah duduk di sebelahku. Tak ada.
“Fy..”
Aku menoleh, terlihat kak Rio tersenyum tipis ke arahku, ia juga tampak letih dan tentunya sama kehilangannya sepertiku. Di banding dengan aku yang adiknya, aku yakin, kak Rio jauh lebih tahu segala hal tentang kak Alvin.
“Iya kak..” jawabku lirih, berusaha tersenyum, berusaha menyamarkan segala tangis, meski tampaknya sia-sia.
“Ini..” ia duduk di sebelahku, dan meletakkan sebuah kotak kue di pangkuanku, aku sangat mengenalnya, itu cake kesukaanku. Kotak itu tampak rusak di beberapa bagian sudutnya, dan aku tidak bisa meraba apa artinya memberiku chessecake tengah malam di saat suasana perkabungan seperti ini.
“Buka Fy..” suruhnya. Dan aku patuh, ku buka kotak itu pelan, dapat ku temukan cake di dalamnya, meski strawberrynya banyak yang berjatuhan, dan bagian pinggirnya hancur, namun cake itu masih sangat terlihat layak di makan.
“Ini apa kak ?”
“Ini dari Alvin buat kamu Fy”
Aku mengernyit, jika ini sebuah lelucon maka sama sekali tidak ada bagian yang lucu. Aku memandang kak Rio bingung. “Kak..tapi..”
“Aku enggak bohong Fy, ini dari Alvin, sebelum kecelakaan Alvin sengaja beli ini buat kamu, bahkan..” kak Rio jeda sebentar, menghela nafasnya berkali-kali. “Bahkan..waktu warga berusaha ngeluarin dia dari mobilnya, katanya tangan kiri dia masih tetap dalam posisi di atas kotak kue ini, menjaga kotak kue ini..”
“Cukup kak..” pintaku, nyaris tanpa ekspresi. Dengan tangan, aku mengambil sebagian kecil cake itu, memakannya, dan terus memakannya, karena tanpa siapapun mengerti, rasa sesak diikuti berkarung-karung rasa bersalah, menghimpitku tanpa ampun.
Aku memakannya, sambil menangis, terus memakan dan terus menangis. Dan kamu tahu, bukan rasa manis atau malah asin yang terasa di lidahku saat ini. Sama sekali bukan.
Ini strawberry chessecake terpahit yang pernah ku makan.
“Maaf..kak Alvin..maaf..” desahku, mulai meracau tanpa kendali. Tangan kak Rio menarik kepalaku agar bersandar di dadanya. Dan tangisku kembali kencang. Meski aku tahu, bahkan jika aku menangis hingga air mataku habis, semua tetaplah telah terjadi, tidak bisa di ganggu gugat, tidak bisa ku tuntut untuk kembali. Maka biarkanlah aku terbenam dalam segala rasa ini. Rasa pahit ini.
***
Aku yang paling tidak dekat dengannya, namun aku yang menangis paling kencang ketika kepergiannya.
Pemakaman sudah usai sejak beberapa jam yang lalu. Sedang ada doa di rumahku saat ini, tapi aku sama sekali tidak berenergi untuk mengikutinya. Tentu saja doaku akan selalu terlantun untuknya, tapi biarlah doa itu menjadi suatu jembatan pribadi antara aku dan kak Alvin. Doa khusus untuk kakakku tersayang.
Pelan-pelan, untuk pertama kalinya, setelah entah berapa tahun ini, detik ini, aku berdiri di ambang pintu kamarnya. Aku duduk di atas kasurnya, ku ambil bantalnya dan ku cium. Tidak lebih dari dua puluh empat jam yang lalu, tubuh itu masih terbaring aman disini. Aku memperhatikan kamarnya, tampak bersih, tampak rapi. Tidak begitu banyak barang, karena aku tahu, sebagian barangnya pasti ada di kamar kosnya di Bandung.
Tenggorokanku tercekat, ketika sebuah benda kuning terasa menyilaukan mataku, seolah memanggilku untuk mendekat dan melihatnya. Dan aku tertawa lirih, ketika ku sadari itu adalah sebuah piala sepak bola milik kak Alvin, berapa lama aku melupakan itu, berapa lama aku melupakan bahwa kakakku adalah pemain bola yang hebat.
Semakin aku melihat benda-benda di kamar ini, rasanya aku semakin mengecil, aku semakin merasa sangsi, benarkah aku, adik dari seorang Alvin Jonathan. Karena begitu banyak hal yang baru ku sadari tidak kuketahui tentangnya. Aku baru sadar, bahwa aku tidak tahu apa makanan ke sukaannya, apa benda favouritenya, tim sepak bola mana yang menjadi jagonya, dan bagaimana kehidupannya selama ini.
Pernahkah ia membenciku ? Karena rasanya lebih pantas jika hal itu ia yang melakukannya padaku ketimbang aku padanya.
Aku beringsut dari tempatku sekarang, menuju sudut kamarnya, tempat gitar kesayangannya ada. Aku terduduk lemas di lantai, tanganku memetik senar-senar itu tak beraturan. Aku jadi ingat ketika ia bak pahlawan menyelamatkanku dalam penampilan perdanaku di depan umum beberapa bulan lalu. Ia memang selalu ada dan aku selalu menolak kehadirannya.
“Tak semestinya ku merasa sepi...Kau dan aku di tempat berbeda...Seribu satu alasan...Melemahkan..tubuh ini...” aku bernyanyi dengan suara yang nyaris tak terdengar. Dan aku memejamkan mata, berharap dapat menemukan suara gitarnya sedang mengiriku dari alam sana.
“Aku disini...Mengingat dirimu...Ku menangis tanpa air mata...Bagai bintang tak bersinar...Redup hati ini..”
“Kak Alvin, ayo iringin Ify kak..kaya biasa..kaya dulu..” ratapku ketika tak kunjung kutemukan suara itu meski dalam hatiku. Tak ada ikatan batinkah aku dengannya ? tak bisakah aku tetap merasa hadirnya meski ia tak lagi di sini ?
“Ify..”
“Kak Rio, bilangin ke kak Alvin, bilang kalau Ify mau nyanyi sambil di iringin sama dia..bilang kak..” aku merajuk, merajuk seperti anak kecil, memohon kepada kak Rio yang kini bersimpuh di sebelahku. Dan entah telah untuk keberapa kalinya, lagi-lagi kak Rio memelukku, pelukan yang terasa hangat, namun tetap saja tak mampu meredakan segala nyeri di hatiku.
“Jangan kaya gini Fy, kamu harus ikhlas, biar Alvin tenang” bisiknya lembut.
Aku hanya diam, tak mampu lagi menangis, tak bisa lagi mengeluarkan air mata. Aku melirik pada kotak kardus yang tadi sepertinya kak Rio bawa kemari. Setelah merasa lebih baik, aku melepaskan pelukannya, meski sepertinya pelukan itu mulai terasa seperti candu bagiku.
“Itu apa ?” tunjukku pada kotak kardus tersebut. Kak Rio tersenyum, dan menariknya agar lebih dekat dengan kami.
“Buku sama barang-barangnya Alvin di Bandung”
“Boleh aku lihat ?”
“Bolelah Fy, kamu kan adiknya..” aku hanya tersenyum, belum pernah sebelumnya aku berniat ingin tahu tentang apa yang menjadi miliknya. Buku-buku dengan judul yang tak dapat ku ketahui maknanya tersimpang banyak disana, di selingi dengan pajangan-pajangan kecil dan kertas-kertas tugasnya. Tapi satu yang menarik minatku, sebuah album foto, aku merasa mengenalnya.
“Ini kan..”
“Album foto kalian berdua” sambung kak Rio. Dan ia memang benar, itu album foto yang menyimpan gambar-gambar kami semasa kecil, tak ku sangka kak Alvin yang menyimpannya.
“Kak Rio, bisa kakak ceritain semua hal yang kakak tahu tentang kak Alvin dan aku enggak ?” tanyaku tanpa memandang kak Rio melainkan album foto itu.
“Dia sayang banget sama kamu, banget” ujar kak Rio, hanya itu yang keluar dari bibirnya.
“Ceritain aja semua kak..”
“Iya, dia sayang banget sama kamu Ify, kamu enggak pernah tahu itu kan ?” aku berusaha mencerna kata-katanya yang simpel namun terasa menohok tersebut, dan kemudian yang bisa ku lakukan hanyalah mengangguk kecil.
“Dia enggak pernah tahu kenapa kamu segitu antipatinya sama dia, dia juga enggak tahu kenapa kamu bahkan enggak mau untuk dia sentuh, di depan kamu, dia memang selalu terlihat seperti itu, cenderung slengean dan cuek, tapi di balik semua itu, dia selalu berusaha agar selalu bisa untuk dekat sama kamu”
Aku hanya diam, diam sambil terus melihat foto-foto itu, membiarkan kak Rio membuka semuanya, membuka segala kebodohanku selama ini.
“Kalau menurut kamu, dia bukan kakak yang bisa banggain, kamu salah Fy, sebagai sahabatnya dia, bagi gue, dia itu sahabat terbaik, orang paling setia kawan yang pernah gue temuin..okelah dia memang enggak pintar dan nakal, tapi kesetia kawanannya, belum ada yang nandingin. Lo lihat kan tadi di pemakaman, banyak banget temen-temennya yang datang, banyak banget yang kehilangan dia, kamu harusnya bangga punya kakak yang punya banyak teman di manapun dia ada”
“Cuma kak Rio yang sering dateng ke sini” selaku pelan.
“Karena kamu, kamu enggak tahu kan, dia enggak pernah mau temen-temennya dateng ke sini, ke rumah ini, selain gue yang memang udah sering ke sini, karena dia enggak mau ada yang gangguin kamu, semuanya selalu aja balik ke kamu sebagai alasannya Fy..” tiba-tiba saja, aku merasa kalimat itu seperti menusukku tanpa ampun. Sepengertian itukah kak Alvin padaku ?
“Dan kalau kamu dengar dia hampir di keluarin waktu sma karena tawuran, kamu tahu, saat itu dia ngebelain kita, gue masih ingat ada dua puluh orang termasuk gue yang terlibat tawuran itu, tapi cuma dia yang berani datang ke guru untuk ngakuin kesalahannya, dan hebatnya lagi dia enggak sekalipun nyebut salah satu nama dari kita..saat itu gue merasa malu banget sama dia, dan sekaligus ngerasa kalau dia bodoh banget, tapi memang itulah dia, Alvin bakal selalu lakuin apa aja buat teman-temannya, dan kamu Fy..”
“Aku ?”
“Iya. Kamu tahu, kenapa kemarin Alvin bisa tiba-tiba datang ke Jakarta cuma buat bantuin kamu, itu semua karena tweet kamu di twitter, temen kampusnya bilang kalau saat itu dia langsung aja pergi setelah lihat tweet kamu, begitu juga dengan chessecake itu Fy..”
Aku tertegun, kak Rio benar, saat itu aku memang berkali-kali melontarkan kekesalanku atas segala prakarya yang harus ku selesaikan malam itu juga. Dan chessecake itu, aku ingat, tepat setelah handphoneku di kembalikan, sebelum aku memberi tahu mama untuk menjemputku, aku sempat mengecek akun twitterku dulu, dan memposting sebuah tweet baru..
‘bebas ldks, badan pegel banget T.T ..jadi pengen strawberrycheseecake’  
Aku merasa limbung sejenak, aku benar-benar tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti, aku seperti pembunuh yang tidak membunuh. Aku merasa bersalah, atas semuanya, meski aku juga tidak ingin di salahkan, terlalu rumit, dan menyesalinya hanyalah kesia-siaan belaka. Meski tetap saja penyesalan itu bergerak merayap dan mencekikku erat.
***
Dua tahun kemudian.
Ini bukan hari yang istimewa, karena sesuatu yang istimewa selalu identik dengan kebahagiaan bukan ? tapi meski tidak istimewa, ini adalah hari yang akan selalu dan selalu aku ingat dalam hidupku, melebihi hari ulang tahunku sendiri, melebihi semuanya.
Ini hari perginya kak Alvin ke surga. Ya, dua tahun sudah ia menempati rumah barunya yang damai, damai karena pastinya tidak ada malaikat yang membenci dia seperti aku. Tapi bagiku, mama, papa dan kak Rio, ini adalah dua tahun yang sangat panjang. Hari-hari seperti tidak lagi terdiri dari dua puluh empat jam, namun lebih, semua benar-benar terasa berat. Kidung-kidung kesedihan masih nampak di setiap sudut rumah ini, meski perlahan kami semua mencoba mengisinya dengan tawa.
Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan kak Rio lebih dulu berangkat ke makam kak Alvin, aku ingin lebih lama disana. Meski hampir setiap bulan aku tidak pernah absen untuk mengunjunginya.
Aku bersimpuh, dan mulai melantunkan doa, seperti biasa, titik-titik air mata mengalir, aku masih bisa belum berhenti menangis jika harus mengingat tentangnya. Agak buruk, namun apalah daya, aku memang belum bisa mencapai titik ketegaran itu.
Terlalu banyak penyesalan, itu yang aku rasakan, hingga detik ini. Seperti alasan kenapa mama dan papa lebih memperhatikan kak Alvin ketimbang aku, karena bagi mereka kak Alvin yang pergaulannya luas, lebih harus di pantau daripada aku yang memang lebih mengenal batas-batas aman. Atau, dugaanku selama ini bahwa tidak ada hal baik yang kak Alvin lakukan selama di sma, ternyata semua itu benar-benar salah, berita meninggalnya kak Alvin, membuatku tahu bahwa ternyata dulu kak Alvin sangat loyal terhadap para penjaga kantin, satpam sekolah, bahkan pesuruh sekolah, mereka menceritakan bagaimana baiknya dan sopannya kelakuan kak Alvin pada mereka.
Ya, penyesalan, kata yang susah terdefinisi, tapi aku rasa setiap manusia pernah mengalaminya, sekalipun manusia itu selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam hidupnya.
“Kak Alvin, udah dua tahun ya kak..” ujarku sambil meraba nisannya. Di ikuti kak Rio yang sedang menaburkan bunga di atas pusaranya.
“Hai Vin, gimana disana ? pasti lo udah punya banyak temen ya ?” timpal kak Rio. Ia merangkulku sekedar untuk menguatkan diriku.
“Ify yakin, kak Alvin pasti bahagia disana, Ify percaya itu..Ify juga mulai bahagia disini, ada kak Rio yang selalu nemenin Ify..”
“Sayang elo enggak ada disini saat gue nembak Ify Vin, enggak ada yang bisa gue ajak berbagi waktu gue dek-dekan setengah mati nunggu jawaban adek lo ini...tapi gue yakin, lo akan selalu menjaga kita dari atas sana, selamanya..”
“Kak Alvin..” aku mengeluarkan sebuah amlop dengan gambar malaikat kecil di bagian depannya. “Ini aku titipin disini, biar malaikat-malaikat kecil ini bawa buat kakak di surga..kakak baca ya, ini memang cuma hadiah kecil dari aku..tapi ini aku bikin dengan sepenuh hati, dan berharap kak Alvin percaya, kalau aku juga sayang sama kakak..selalu sayang sama kak Alvin..”
Aku menyandarkan amplop itu tepat di nisannya. Membiarkannya di situ, aku tahu, kak Alvin pasti akan mengerti, bukankah ia selalu mengerti tentang aku ?
Kehilangannya membuat aku rapuh, padahal kehadirannya tidak pernah aku hiraukan. Itu sebabnya, saat ini, aku berjanji, aku akan menjaga semuanya, menyayangi semuanya selama semuanya masih ada dalam jangkauanku.
Dan untuk kamu, berjanjilah juga sepertiku, aku berani bersumpah, kehilangan dan penyesalan adalah kombinasi kesakitan yang tak berujung, butuh waktu lama untuk mengobatinya. Sangat lama.
***
Untuk kakak terhebat, Alvin..
Secercah cahaya matahari lembut menyapa jendela kamar ku pagi ini.
Membuka kelopak mataku yang terpejam.
Ada yang berbeda pagi ini, ada satu suara yang tak ku dengar.
Tak ada satu pun tawa yang pecah.

Kemarin, ribuan malaikat turun bergandeng tangan, menembus langit demi langit bumi.
Tangan halus nya merangkulmu, menjemputmu.
Kepakan sayapnya semakin membawamu kedalam damai.
Tetapi aku tak bisa melihat damai itu,.
Aku hanya bisa mengusap wajah dinginmu, menggenggam tangan kaku mu.
Tangisku tak akan pernah lagi kau dengar.

Tuhan, jutaan nyawa yang kau pelihara, jutaan nyawa yang kau kasihi.
Tetapi mengapa harus kakak yang kau peluk.
Tuhan, kini aku sendiri.
Apakah ini jawaban do'aku Tuhan??
Mengapa kau jabah do'a ku ini Tuhan....

Rasanya baru kemarin dirimu pergi.
tetapi aku sudah sangat merindukanmu.
Bisakah engkau kembali ?
Air mata kami masih jatuh hingga hari ini
Sungguh berbeda dengan tangis yang biasanya.

Aku memang membencimu.
Tetapi tidak dengan hatiku.
Karena walau bagaimana pun, kakak bagian dariku.
Kakak yang berdo'a pada Tuhan agar aku lahir.
Kakak yang meminta pada mama dan papa agar aku ada.
Kakak yang melindungiku saat aku rapuh.
Kakak yang mengajakku mengenal dunia.
Berjalan bersama dengan kaki kecil kita.
Berlari bersama dengan kaki kecil kita.
Dulu......
Kakak......
Aku sayang kakak.
Aku tidak membencimu kak.
Tapi percuma, kakak tak akan pernah membalas kata kataku lagi.
Kakak, aku mersa berdosa.
Kakak, aku minta maaf.
Kini aku baru mengerti kak.......
Hanya waktu yang bisa mengartikan apa itu cinta, apapun cinta itu......

Tenanglah di sana kak.
Do'a baikku selalu bersamamu.
Berbuat baiklah di rumah Tuhan kak...
IFY.

TAMAT.
Yak, puisinya lagi-lagi bikinan temen gue, panji, hehe Lagunya dari gigi cinta terakhir


Komentar

Postingan Populer