Sepenggal Kisah Kita (cerpen)
Sebuah
mobil berwarna merah menyala berlogo kuda jingkrak, memasuki sebuah
halaman rumah tua yang terlihat tidak begitu terurus. Seorang laki-laki
dengan perawakan tinggi dan putih keluar dari mobil tersebut, memandangi
halaman rumah tersebut, dari balik kacamata hitamnya.
Selang
beberapa menit kemudian, mobil jaguar hitam, juga memasuki halaman
rumah tersebut. Si empunya mobil, keluar dan tersenyum ke arah laki-laki
berkacamata tersebut. Dia berdiri di samping laki-laki tersebut, dan
bersama-sama memandangi rumah di hadapan mereka.
“Udah lama banget ya vin...”
“Ya, 10 tahun lalu yang lalu yo..” ujar laki-laki tersebut sambil melepas kacamata hitamnya.
“Mana ray ?”
Alvin hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum.
“Teen..teen..teen..”
“Selalu saja terlambat” celetuk rio.
“Sori bro..” seorang pemuda, yang akrab di panggil ray, nyengir ke arah mereka berdua, dari atas harley davidsonnya.
“Ayo
masuk..” ajak alvin sambil merogoh sebuah kunci berwarna keperakan dari
kantong celananya. Ray dan rio hanya mengikuti saja, sambil berusaha
menyingkirkan rumput-rumput, yang tingginya sudah hampir saingan sama
tinggi badan mereka bertiga.
“Klik..”
alvin memutar kunci di lobang kunci, dan langsung di sambut oleh debu
serta bau tengik, dan sarang laba-laba yang tersebar dimana-mana.
“Seinget gue dulu rumah ini warnanya putih, kenapa jadi coklat gini ?” celoteh ray yang masih berdiri di luar rumah.
“Masih
banyak waktu buat ngenang itu ray..” ujar rio sambil menarik ray supaya
mengikutinya dan alvin masuk ke dalam rumah tersebut. Terlihat jelas,
kain putih masih menutupi sebagian perabot yang tersisa di rumah itu,
meski atap-atap rumah tersebut sudah banyak yang hancur terkena rayap,
tapi kegagahan dan kemewahan rumah itu masih nampak jelas dari
ukiran-ukiran dan walpaper-walpaper yang sedikit banyak telah terkelupas
di dinding.
Mereka
bertiga tidak bercakap-cakap, tapi sama-sama tahu kemana kaki mereka
akan melangkah. Terus berjalan ke arah halaman belakang, sebuah kolam
renang, yang terlihat bagus pada masanya, penuh oleh air berwarna coklat
dan daun-daun yang berguguran.
Alvin
berjongkok di bawah sebuah pohon mangga yang sudah nampak tua,
tangannya meraba ukiran yang ada di pohon dan tertutupi oleh lumut.
“Kita
gali sekarang ya” alvin menoleh ke arah rio yang menyodorkan sekop ke
arahnya, alvin menerima itu, dan mulai menggali. Tidak sampai lima belas
menit kemudian, sebuah kaleng bekas coklat, tersembul keluar, ray
langsung mengambilnya. Dia menatap ke arah rio dan alvin yang sama-sama
mengangguk, lalu diapun mulai membukanya.
-10 tahun lalu-
Suasana
haru penuh kesedihan, masih jelas-jelas terasa di rumah tersebut. Semua
penghuninya, masih terbenam di antara tangis dan derai air mata
masing-masing, tidak ada yang saling bicara, semua hanya terdiam, duduk
menatap langit, mencoba mengadu kepada alam, tentang roda kehidupan yang
tidak pernah bisa di tebak.
“Ray, enggak mau berhenti sekolah”
Seorang anak yang bertubuh paling kecil di antara empat laki-laki itu, mengeluarkan jeritan hati yang dari tadi di pendamnya.
“Lo enggak usah berhenti sekolah, lo cukup pindah ke sekolah negri yang biasa-biasa aja, begitupun kita semua”
“Entar apa kata temen-temen ray kak rio ! pokoknya ray mau tetep sekolah disana !”
“Ray..”
“Apa
kak alvin ?! apa sih hubungannya mama sama papa meninggal, sama ray
harus pindah sekolah !” ray berdiri, dia menatap wajah kakak-kakaknya
satu persatu.
“Sial !!”
“Bruuk”
ray terjatuh ketika badannya di dorong oleh kakaknya yang paling tua,
riko. Rio menghampiri ray yang matanya mulai berkaca-kaca. Sementara
alvin mengejar kakaknya, hingga ke tempat mereka berempat biasa main, di
bawah pohon mangga.
Alvin
tidak menghampiri riko, dia hanya mengamati kakaknya itu dari jauh, dia
hanya melihat kakaknya sedang duduk bersender di bawah pohon, sambil
menulis sesuatu. Alvin tidak ingin mengganggunya, dia tahu kakaknya
sedang butuh waktu sendiri, dia tahu beban yang ada di pundak kakaknya
cukup berat.
“Sini aja vin” alvin mendekat dan duduk di samping kakaknya itu.
“Kenapa ?”
“Ini..” riko mengulurkan sebuah kunci ke alvin.
“Kunci rumah ?”
“Iya,
itu cadangan punya gue, lo yang pegang mulai sekarang, gue kan enggak
pegang kunci cadangan lagi” jelas riko tanpa menatap alvin sedikitpun.
Alvin hanya mengangguk, ia masukkan kunci itu ke dalam saku celananya.
“Lo masukin apa barusan ke kaleng ?” tanya alvin penasaran.
“Enggak
penting. Vin, dengerin gue ya, gue punya rencana, dan gue butuh bantuan
lo..” riko mengalihkan pandangannya ke alvin dan dia menatap alvin
tajam.
“Apa ?”
“Besok,
para renternir itu bakal dateng kesini, dan gue enggak tahu apa yang
bakal mereka lakuin sama rumah ini, sama kita, yang jelas kaya yang
kemarin malem gue bilang ke elo sama rio, utang papa sama mama itu gede
banget. Gue bakal usahain semampu gue untuk nahan mereka, dan elo, elo
harus ngelindungin rio sama ray..”
“Caranya ?”
“Saat
gue nyuruh lo pergi besok, lo bertiga berarti harus pergi, apapun yang
terjadi. Lari sekenceng mungkin, gue udah minta tolong sama pak ahmad
untuk nungguin lo bertiga di jalan kecil belakang komplek, jangan pernah
nengok ke arah gue, jangan pernah mencoba untuk nolong gue, lo bertiga
harus selamat, apapun yang terjadi, setelah itu, biarin pak ahmad yang
jelasin rencana selanjutnya..”
Alvin
memandangi kakaknya tersebut, nampak keletihan dan keputus asaan di
matanya. Tidak ada lagi, sosok riko yang bandel dan galak sama
adek-adeknya, tidak ada lagi pancaran semangat di matanya. Alvin
berusaha mencerna kata-kata riko, dia tidak begitu paham maksud
kakaknya.
“Lo mau ngelakuin apa kak ?”
“Itu urusan gue, tapi janji ke gue, lo bakal ngelakuin semua perintah gue tadi”
“Iya kak, gue janji”
“Ya
udah sana, tidur gih lo..” seperti biasa alvin pun menuruti kata-kata
riko, ia masuk ke dalam rumahnya yang nampak kosong. Dia masuk ke dalam
sebuah kamar, yang isinya hanya tinggal karpet dan beberapa bantal.
Terlihat ray sudah tertidur dan rio sedang mengamati gitar
kesayangannya.
“Yo..”
“Kak
riko ngomong apa ?” tanya rio langsung, jelas sekali ia begitu
penasaran. Alvin pun mulai menceritakan semuanya ke rio, adik yang hanya
berjarak satu tahun darinya. Rio hanya dapat mengernyitkan dahinya,
dibuat bingung akan cerita alvin.
“Gue
enggak nyangka keluarga kita akan kaya gini..” desah rio pelan, ia
memetik senar gitarnya pelan-pelan takut mengganggu ray. Alvin
menerawang, ya, sama halnya seperti rio atau siapapun, ia tidak
menyangka keluarganya akan seperti ini.
Riko,
alvin, rio dan ray, terlahir sebagai seorang pangeran dari sebuah
kerajaan bisnis nomer satu di indonesia. Orang tua mereka, sangat di
segani di kalangan pebisnis. Rumah mereka sangat mewah di lengkapi oleh
beragam fasilitas yang sangat memadai. Apapun yang mereka inginkan
tingal mereka bilang dan akan tersaji di depan mata mereka. Tapi semua
kemewahan itu, lenyap dalam sekejap mata. Ketika kedua orang tua mereka
tewas dalam sebuah kecelakaan mobil, dan tepat hari ketiga kematian
orang tua mereka, mereka berempat harus dihadapkan pada sebuah
kenyataan, bahwa selama ini orang tua mereka sedang terlilit utang oleh
seorang renternir kelas kakap.
Satu
persatu barang-barang di rumah mereka di ambil paksa, mobil-mobil
mereka, surat-surat dan investasi-investasi lainnya. Apalah daya seorang
anak berumur, 15, 13, 12, dan 10 tahun, kecuali menyerahkan segalanya
pada takdir.
“Tidur yo, udah malam..”
“Bentar
lagi vin, entah kenapa, gue ngerasa ini malem terakhir gue sama gitar
ini. Mungkin kalo besok renternir itu beneran dateng, gitar ini pun
bakal dia ambil kali..” alvin memandang lirih rio. Dia tahu rio tidak
bisa di pisahkan oleh gitarnya tersebut, tapi apa daya, meski hanya
sebuah gitar, pasti para renternir kejam itu tetap tidak peduli.
Akhirnya
malam itu, hanya mereka berdua habiskan dalam diam. Menikmati suasana
mendung yang menyelimuti hati mereka akhir-akhir ini.
Keesokan harinya.
“PRANG ! BRUKK ! GUBRAK !”
Alvin
mengucek-ngucek matanya, terdengar keributan di bawah. Dia melirik ke
arah kanannya, terlihat riko sudah tidak ada lagi di tempatnya.
“Rio..ray..bangun...”
“Suara apa itu vin ?” tanya rio yang nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.
“Kak
alvin, itu apa ? mana kak riko ?’ tanya ray. Alvin hanya menggeleng,
tapi ia tahu, pasti rentenir-rentenir itu telah datang ke rumah mereka.
“Ray,
dengerin gue ya, apapun nanti yang lo lihat dan terjadi di bawah, lo
harus dengerin kata-kata gue, ngerti kan ?” ray mengangguk ke arah
alvin.
“Ya
udah, sekarang lo berdua ambil jaket lo, sama apapun yang lo berdua
bisa bawa, satu barang aja” ray mengambil secarik poto dan memasukkannya
ke dalam kantong jaketnya, alvin memeriksa kunci yang masih ada di saku
celananya, dan rio melirik penuh harap ke arah gitarnya.
“Bawa
aja yo..” ujar alvin sambil menepuk bahu rio. Rio tersenyum, dia
mengambil gitarnya itu. Lalu kemudian mereka bertiga keluar kamar dan
turun ke lantai satu.
Hati
mereka semakin miris dan mencelos melihat kondisi rumah mereka yang
semakin tidak karuan, riko sedang di pegang oleh dua orang berbadan
besar penuh tatto. Tatapannya sendu melihat ke arah adek-adeknya.
“Aha
! ini dia pangeran-pangeran yang lain !” seorang berperawakan bantet
dengan senyum licik menghampiri mereka bertiga yang berdiri mematung di
ujung tangga.
“Gitar
ya ? siniin gitar lo !!” orang itu menarik gitar rio, dan rio berusaha
mempertahankan gitarnya, adegan tarik menarik pun terjadi.
“Lepasin ! lepasin !” ronta rio. Alvin ikut membantu sekuat tenaganya.
“Bug !” alvin memberi orang itu sebuah pukulan telak di wajahnya.
“Rio lari ! ray ayo !” komando alvin.
“Kakak
! tolong...” perawakan ray yang mungil dengan mudah di tangkap oleh
salah satu komplotan mereka, alvin langsung berbalik dan membantu ray,
sementara rio berusaha membantu riko.
“Lepasin adek gue !”
“Apa lo anak kecil ?!”
“Lepasin adek gue !”
“Kak
alvin !” alvin memutar otaknya, dia bukanlah seorang ahli bela diri,
dan orang di depannya ini jelas bukan lawan untuknya, tiba-tiba matanya
melihat ke arah sebuah baygon. Dengan gerakan cepat, alvin mengambil
baygon tersebut dan
“Sruuuttt”
alvin menyemprotkan baygon itu tepat ke muka orang tersebut. Dengan
keadaan yang seperti itu, alvin langsung menarik ray dan membawanya
lari.
“Kak riko..”
“Lari yo lari..”
“Terus lo gimana ?”
“Udah lo lari aja, entar gue nyusul !”
“Rio
ayo !!” panggil alvin yang telah berhasil membawa ray lari hingga
hampir sampai ke depan pintu rumah mereka. Rio bergantian melihat ke
arah riko dan alvin serta ray. Hatinya bimbang.
“Krek..krek...”
riko, rio, alvin dan ray menelan ludah, ketika melihat pria bantet tadi
mengokang pistolnya dan mengacungkannya lurus ke arah rio.
“SEMUA
TETAP DIAM DI TEMPAT, ATAU NYAWANYA AKAN MELAYANG SIA-SIA ! KALIAN
BEREMPAT HARUS IKUT SAMA GUE DAN MENGHASILKAN DUIT BUAT GUE !!”
“GUE ENGGAK RELA ADEK-ADEK GUE LO JADIIN ORANG JAHAT MACEM LO !!” raung riko.
“ALVIN
DENGERIN GUE ! LAKUIN PERINTAH GUE YANG KEMARIN ! RIO RAY, LO SEMUA
HARUS NURUT SAMA ALVIN ! JANGAN PERNAH BALIK KESINI LAGI, JANGAN PERNAH
!!” lanjut riko lagi sambil berusaha melepaskan dirinya. Sementara rio
tetap diam di tempatnya, karena pistol itu semakin mendekat ke arahnya.
“RIO
LARI !!” entah dapat kekuatan darimana, riko berhasil bebas dan
mendorong rio. Rio langsung berlari, mengikuti alvin dan ray. Mereka
bertiga terus berlari keluar rumah.
“DOR !!”
“Jangan
noleh ! tetep lari ! ini perintah kak riko !” ujar alvin masih terus
berlari, rio dan ray nurut, mereka bertiga terus berlari mengikuti
alvin. Hingga sampailah mereka di jalan kecil sesuai intruksi riko, pak
ahmad, supir mereka dulu, sudah setia menunggu mereka disitu dengan
sebuah angkot.
“Ayo
den, semuanya naik, kita harus pergi sekarang” alvin duduk di depan
bersama pak ahmad sementara rio dan ray di belakang. Rio terus
menggenggam tangan ray yang terasa dingin, dia sendiri berusaha menepis
perasaan takutnya akan suara tembakan tadi dan kondisi kakaknya.
Tidak
jauh berbeda, alvin pun berusaha menenangkan hatinya, berusaha positive
thinking sama apa yang terjadi beberapa menit yang lalu.
“Pak
ahmad mau bawa kita kemana ?” laki-laki tua yang hampir seluruh
rambutnya telah berwarna putih itu, menyodorkan sebuah amplop coklat ke
alvin. Perlahan, alvin mulai membukanya, dan membacanya satu persatu.
“Itu apa vin ?” tanya rio dari kursi belakang.
“Ini semua rencana kak riko pak ?’ bukannya menjawab pertanyaan rio, alvin malah kembali bertanya ke pak ahmad.
“Iya,
waktu saya dateng ke tujuh hariannya nyonya sama tuan, den riko ngajak
saya ngobrol dan ngasih saya ini, dia yang udah rencanain ini semua,
saya tinggal jalanin aja”
“Emang itu apa kak ?” tanya ray ikut penasaran.
“Dengerin
ya, kak riko udah masukin gue ke sebuah sekolah sepak bola, dan kak
riko masukin lo berdua ke sekolah musik. Ini semua beasiswa, gue bakal
pisah dari kalian, gue bakal masuk asrama dan begitupun kalian, janji
sama gue, jangan kecewain kak riko, jangan kecewain papa sama mama..”
terang alvin sesingkat mungkin sambil memberikan amplop coklat itu ke
rio untuk dibacanya sendiri.
“Jadi kita enggak akan pulang ke rumah lagi ?” tanya ray pelan.
“Enggak ray..” jawab rio lirih.
“Sampai kapan kak ?”
“Sepuluh tahun lagi” ujar alvin mantap, sambil berusaha tersenyum.
-saat ini-
Tidak
ada yang begitu istimewa di dalam kotak tersebut, hanya ada beberapa
lembar kertas di dalamnya. Alvin langsung mengambil lembar kertas yang
paling atas.
“Ini
tulisan kak riko malem itu..” ujar alvin sambil membuka kertas yang
telah berwarna kuning kecoklatan tersebut. Mereka bertiga merapatkan
kepala masing-masing, mulai membaca kertas tersebut.
Gue
ini baru 15 tahun, baru ngerasain senengnya jadi anak sma, baru
ngerasain indahnya punya gebetan. Tiba-tiba dunia gue bagai kapal yang
karam, tenggelam perlahan. Kenapa gue harus terlahir jadi anak pertama ?
kenapa harus gue yang nanggung semua beban ini ? kenapa ?!
orang tua gue meninggal dengan ninggalin utang yang bertumpuk dan gue masih punya tanggungan tiga orang adek, satu-satunya jalan yang terpikir di otak gue adalah mati bareng-bareng sama adek-adek gue !
orang tua gue meninggal dengan ninggalin utang yang bertumpuk dan gue masih punya tanggungan tiga orang adek, satu-satunya jalan yang terpikir di otak gue adalah mati bareng-bareng sama adek-adek gue !
Tapi
kemudian gue sadar, adek-adek gue terlalu spesial untuk mati muda.
Mereka berbakat, alvin yang jago mengolah bola pakai kakinya, rio yang
udah jodoh sama gitar dan ray yang cinta mati sama drum. Gue enggak
boleh nyia-nyiain itu, itu sebabnya gue ajuin mereka bertiga untuk dapet
beasiswa, dan untung masih ada segelintir orang baik yang mau bantuin
gue.
Apa
tulisan gue ini, terasa kaya surat wasiat ? haha. Ya mungkin emang
gitu. Besok renternir keparat itu akan datang lagi ke sini, dan gue
enggak punya apa-apa untuk bayar mereka. Satu-satunya hal yang gue bisa
lakuin adalah, nyelametin adek gue semua dari rumah ini, dan biarin
mereka ngeraih impian mereka masing-masing, sementara gue, tinggal
nunggu vonis Tuhan mau ngasih gue jalan hidup kaya apa.
Gue
emang marah sama takdir dan keadaan, tapi seenggaknya sekali ini, gue
harap Tuhan mau ngasih jalan yang indah buat adek-adek gue.
Isi
surat itu membuat mata mereka berkaca-kaca semua, mereka tidak peduli
dengan kondisi mereka saat ini. Alvin melipat kertas itu, dan
memasukkannya lagi ke dalam kaleng, kaleng curhat mereka. Tangannya
kembali meraba ke pohon, membersihkan lumut-lumut, dan ukiran yang
familiar terlihat disana.
Riko
Alvin
Rio
Ray
Rio
menepuk-nepuk pundak alvin, matanya sendiri merah, ia tidak peduli,
sudah lama ia tidak menangis, dan sekarang anggaplah ini semua akumulasi
kesedihan dan kerinduannya akan sosok riko. Alvin mengeluarkan sesuatu
dari balik blazer yang di kenakannya, terlihat sebuah koran yang sudah
lusuh,meski terjaga rapi.
ANAK SEORANG KONGLOMERAT DI TEMUKAN TEWAS TERTEMBAK
Riko
anggara, 15 th, ditemukan tewas dengan peluru yang menembus jantungnya
di rumahnya kemarin siang. Dia adalah anak dari pengusaha Hariawan, yang
beberapa waktu lalu meninggal
bersama istrinya dalam sebuah kecelakaan mobil. Sementara, ketiga anak
yang lain, alvin, rio dan ray, belum dapat dilacak keberadaannya....
Sepotong
koran itu, sengaja alvin simpan. Dia berhasil membeli koran ini, saat
mendapat izin keluar dari asramanya. Saat itu ia hanya dapat menangis,
tapi setelah itu, ia berjanji, tidak akan pernah menyia-nyiakan
pengorbanan riko.
Ray
menghapus air mata yang terlanjur mengalir dari matanya. Bayangan kelam
saat itu, langsung berkelebat di otaknya, dia masih ingat dengan jelas,
saat hari-hari pertamanya di asrama, ia terus menangis di pelukan rio.
Alvin,
kini telah berhasil menjadi pemain sepak bola profesional, salah satu
yang terhebat di indonesia. Di umurnya yang baru 23 tahun, ia telah
menjadi pesepak bola yang sukses, karirnya sangat berkembang di luar
negeri, bahkan sekarang ia tengah merumput di tanah inggris, ibukota
sepak bola.
Rio, sukses menjadi musisi nomer satu di
indonesia dan sedang merintis karirnya untuk go international. Umurnya
yang baru 22 tahun, bukan penghalang untuk rio meraih segala prestasi
gemilang. Semua karyanya selalu hits dan menduduki posisi nomer satu di
seluruh tangga lagu. Saat ini, ia sedang menyiapkan album barunya, di
sebuah negara penuh musisi hebat sepanjang jaman, negeri paman sam.
Ray,
tidak ada lagi ray yang cengeng dan manja, dia sekarang adalah seorang
pemain drum yang sibuk melanglang buana dari satu negara ke negara lain.
Namanya terkenal apalagi gebukan drumnya yang penuh semangat, prestasi
nasional maupun internasional telah dia raih, meski usianya baru saja
menginjak 20 tahun.
“Kak
riko, gue udah megang teguh janji gue selama 10 tahun ini, gue udah
bawa lari mereka, bahkan bawa lari hidup gue sendiri, hari ini kita
semua balik kesini, kita semua mau mulai dari awal lagi” ujar alvin.
“Kak,
makasih buat semua pengorbanan lo, buat semua hal yang telah lo lakuin
dan bikin hidup kita jadi kaya sekarang ini, semoga lo bisa lihat kita
dari atas sana dan tersenyum puas ya..” timpal rio.
“Segala
hal yang gue raih sampai hari ini itu semua berkat elo dan buat elo
kak, gue enggak akan pernah lupa itu, gue bakal selalu ngenang lo
sebagai kakak terhebat yang pernah gue milikin” lanjut ray.
“Jadi kalian setuju kan sama usul gue buat bangun rumah ini lagi ?” tanya alvin.
“Iya dong, entar gue mau ada studio musik..”celetuk rio
“Entar gue mau ada ruangan khusus koleksi drum gue”sambung ray.
Dan
rencana-rencana indah terus terlontar dari mulut mereka masing-masing.
Mereka telah berdiri tegak sekarang, menatap dunia, membuktikan kepada
semua orang tentang kemampuan mereka. Dan yang paling penting, mereka
tetap mengenang masa lalu mereka, meski pahit tapi tetaplah sebuah masa
lalu yang memberikan pelajaran serta semangat kehidupan. Sepenggal kisah
yang paling ingin mereka hindari dalam hidup, tapi juga sepenggal kisah
yang telah membuat mereka menjadi bersinar terang seperti sekarang.
Komentar
Posting Komentar