Untuk yang Pernah Ada (cerpen) -sekuel For You-

Suara desis angin, berputar mengelilingi tubuhku, menyelipkan rasa dingin yang merasuk jiwa, sekaligus kesejukkan yang tidak pernah aku dapatkan di Jakarta. Aku memandang lurus ke bukit-bukit kecil di bawahku, menghirup udara bersih ini dalam-dalam, menikmatinya dengan seksama.
Dari ujung tebing, tempat dimana aku berdiri saat ini. Aku bisa mengamati semuanya, jalan-jalan tanah yang berliku, perkebunan teh yang terbentang luas, rumput hijau padang golf di sebelah timur, serta lengkung kubah boscha yang khas. Ya, aku ada di Lembang sekarang. Menghabiskan libur akhir tahunku.
“Shilla !!” suara cempreng itu, aku segera menoleh, terlihat sepupuku yang cantik, sedang berlari-lari kecil menghampiriku.
“Apa Vi ?” sahutku, hanya diam menunggunya disini.
“Ngapain sih lo berdiri di ujung tebing gini ? mau bunuh diri ya ?” tanyanya langsung, segera setelah bisa berdiri di sampingku.
Aku memutar bola mataku, menatapnya sinis. “Emang gue ada tampang segitu ngenesnya ya sampai lo pikir gue mau bunuh diri ?”
“Hahaha..santai mbak” ujarnya terkekeh. “Abisan elo mah, sendirian di tempat ginian, apa coba serunya ?”
“Tuh lihat tuh, pemandangannya keren tahu, enggak akan lo dapetin di Jakarta..” tunjukku bangga pada apa yang terhampar di depan kami, seolah-olah itu adalah suatu yang aku miliki.
“Yaiyalah, kan kalau di Jakarta mah pemandangannya beda, bukan yang ini, tapi yang itu tuh..” Via mengerling ke arahku, melemparkan cengirannya. Umur kami yang seusia, membuat aku dan dia, mempunyai hubungan lebih dari sekedar saudara sepupu. Meski di Jakarta, rumah kami berjauhan, tapi aku cukup sering berbagi segala hal tentangnya, segala hal tentang satu orang, orang yang sama, sejak ia masih milikku, hingga sekarang semua telah menjadi masa lalu.
Tentu kalian masih mengingatnya kan ?
Si masa lalu itu lho, Riko.
“Itu siapa ?” kilahku, berpura-pura bodoh, meski aku mengerti, tidak akan berhasil. Bukankah sudah pernah ku ceritakan sebelumnya, hidupku ini seperti tidak lagi hanya milikku, karena setengahnya, aku biarkan dengan sukarela untuk selalu mengenang segala tentang Riko.
“Oh ayolah, perlu gue sebut nih namanya ?”
“Sebut tinggal sebut ini, toh dia enggak akan muncul kan disini, enggak akan pernah muncul..” sahutku sok berani. Ya, inilah aku, jika tidak ada sosok itu dalam jangkauanku, aku akan dengan lantang dan berani menyebutkan bahkan meneriakkan namanya. Namun jika ia ada di tempat yang hanya berjarak beberapa langkah denganku, aku akan menciut, tidak bernyali sama sekali. Aku memang pengecut.
“Woaa..dasar chicken lo..” cibir Via tanpa basa-basi. Aku hanya mengulum senyum menanggapinya. Toh apa yang Via bilang memang benar kan ? aku ini memang pengecut, sangat amat pengecut.
Rumahku dan rumahnya, sesungguhnya bisa aku gapai hanya dalam kira-kira sepuluh menit dengan berjalan kaki. Temanku dan temannya, adalah orang-orang yang sama. Dan duniaku serta dunianya, tidak jauh berbeda. Hanya saja, rasa takut itu selalu datang, menghimpitku erat, dan membuatku menjadi mundur tiba-tiba, tidak pernah berani menghadapinya.
Sesungguhnya, hanya ada satu alasan kenapa aku begitu takut menemuinya langsung. Aku tidak ingin menangis di hadapannya, sama sekali tidak ingin ia melihat air mataku. Dan aku bisa menjamin, sembilan puluh sembilan persen, air mata itu akan mengalir dengan derasnya, jika aku akhirnya berani untuk menatapnya langsung. Hanya berdua.
Aku jadi ingat, suratku yang aku titipkan pada kasir  kafe beberapa hari lalu itu. Apa dia sudah membacanya ? Apa yang dia rasakan ? Apa ia kaget ? atau malah ia marah padaku ? ..pertanyaan-pertanyaan itu jadi mensesaki pikiranku saat ini.
“Eh, elo udah gila Shil, kok senyum-senyum sendiri gitu ?” Via memperhatikanku lekat-lekat sambil mengibaskan tangannya di depan wajahku.
“Hah ? woo..lo asal banget sih..”
“Abisan elo, kenapa sih ?”
Aku menggeleng, aku memang belum membagi cerita tentang surat itu pada siapapun, Ify sekalipun. “Enggak kok..mau tahu aja..”
“Apa sih ? Riko ya ? pasti ada hubungannya nih sama Riko” tebak Via yakin. Ahh..kenapa sih semua orang selalu bisa menebak apa yang terjadi padaku jika itu berhubungan dengan Riko, sebegitu kentaranya kah, segala hal tentang Riko di wajahku ?
“Cih, sotoy banget lo..udah ah ayo balik ke villa..” ajakku, mengalihkan pembicaraan, dan langsung menuruni lereng-lereng terjal itu. Membiarkan Via mengikutiku di belakang.
Bukan aku tidak ingin membaginya. Aku sendiri saja, masih terlalu ragu untuk mengakuinya, bahwa aku telah melakukan sebuah langkah tak terduga, mengabaikan segala macam gengsiku, memberi tahu Riko tentang perasaanku selama ini.
***
Malam telah larut, namun mataku tidak juga dapat terpejam. Aku melirik ke arah Via di sebelah kananku, yang sudah terlelap sejak satu jam yang lalu. Satu-satunya yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah mengutak-atik hapeku yang mungil itu, namun naasnya adalah, sama sekali tidak ada sinyal, meski hanya segaris di layar hapeku. Hape tanpa sinyal ? sama sekali tidak menarik.
Tidak ingin membangunkan Via, akhirnya aku beranjak dari kasur meraih ipod putihku memasukkannya ke dalam saku jaketku, sambil berjinjit aku keluar kamar, menuju beranda depan.
Terpaan udara langsung menyapa wajahku dengan ramah, membuat aku menyunggingkan senyum, berterimakasih karena ada yang mau menemaniku. Agar tidak terlalu sepi dan menegangkan, aku memakai ipodku, menshufflenya membiarkan benda mungil itu memilih lagu yang ia mau untuk aku dengarkan.
Di saat-saat seperti inilah. Bayang-bayang tentang Riko, akan kembali hadir. Merasuk dengan hebatnya, menggetarkan jiwaku karenanya. Mungkin bagi sebagian orang ini berlebihan, tapi inilah adanya. Dia sang juara nomor satu dalam urusan memenuhi hatiku.
Tentang segala hal. Cerita-cerita yang telah lalu sekalipun. Tuhan..kapankah ini semua akan berakhir..berakhir Tuhan. Aku lelah.
Dan tanpa sadar, aku mulai ikut bernyanyi, menyanyikan lagu yang mengalun dengan nada yang lembut di telingaku. Yang tanpa aku sadari pula, sepertinya lagu ini, terlalu pas dengan keadaanku sekarang.
“..and I go back to december all the time..It turns out freedom ain’t nothing but missing you..Wishing I’d realized what I had when you were mine..I’d go back to december turn around and change  my own mind...”
“Eh lagu ini..” ucapku, ketika mulai menyadari liriknya. Membuat aku tersenyum tipis.
Ini bulan terakhir. Penghujung di tahun ini. Desember yang basah dan berangin. Aku tiba lagi di bulan ini. Di bulan yang sama, namun tahun yang berbeda. Dan aku masih merindukannya. Biasanya, di detik-detik sebelum  akhirnya tahun bertambah satu, semua orang akan mulai mengucapkan harapan-harapannya. Tapi tidak denganku. Aku letih, setiap kali, setiap bulan desember tiba, setiap aku tahu bahwa esok tahun akan dimulai dengan bulan yang baru, setiap itu juga aku meminta untuk bisa melupakannya. Tapi nyatanya, di desember ke lima ini pun, rasa itu tidak juga mati.
Hei, aku sedang liburan saat ini. Tolong jangan usik itu dengan rasa galau atau sedikitpun hal tentangnya. Berhentilah memikirkannya, seperti ia berhenti menyayangiku. Aku mencoba mensugesti diriku sendiri, meyakinkan hatiku, bahwa aku tidak boleh lagi terlarut dalam suasana seperti ini. Sama sekali tidak.
***
Kegaduhan, suara tetot toet yang di ciptakan sepupu-sepupu kecilku dengan terompet mereka, mewarnai malam ini. Aku dan Via kebagian tugas untuk membakar jagung. Tinggal beberapa jam lagi, dan dua ribu sepuluh akan ku tinggalkan begitu saja.
“Shil, dibalik itu jagungnya, masa item separo gitu !” perintah Via sewot, melihat jagung yang menjadi tanggung jawabku, yang tadinya kuning berkilau menjadi negro tiba-tiba.
“Eh..hahaha..sori-sori, gue kan bukan elo yang tukang jagung Vi, mana ahli lah soal beginian mah..” kilahku asal, sambil tertawa tanpa dosa ke arahnya. Ia hanya mendengus. Dan aku masih saja tertawa. Aku ingin mencoba positif saat ini, aku harus mengawalinya dengan indah malam ini, aku tidak ingin lagi terpuruk karenanya.
“Ya udah, elo olesin menteganya aja..” perintah Via lagi, sepertinya ia sangat perhatian sekali dengan jagung-jagung ini. Aku mengangguk, dan mulai mengolesi mentega ke setiap jagung.
Jagung bakar. Di balik di atas bara api, merasakan panas yang tiada tara, tapi kemudian di santap dengan nikmat. Mungkin aku harus seperti itu kali ya ? sakit, sesakit-sakitnya untuk beberapa saat, tapi setelahnya, aku akan bisa memuaskan diriku sendiri, serta orang-orang di sekitarku.
“Kak Via, kak Shilla nih terompet punya kalian, jagungnya udah mateng belum ?” sepupuku Keke, yang tak lain adiknya Via, menghampiri kami berdua, dan menyerahkan terompet milik kami.
“Bentar ya Ke, masih di bakar tuh sama kak Via, entar kak Shilla anterin deh ke tempat kamu” sahutku sambil tersenyum.
“Ya udah deh kak, cepet ya..”
“Sip. Tuh Vi, cepetan katanya..”
“Songong banget lo Shil nyuruh-nyuruh gue..”
“Haha...peace mbak, peace..” ujarku sambil membentuk huruf V dengan kedua jari tanganku.
“Tahun baru enggak smsan sama Riko Shil ?”
“Siapa gue, ujuk-ujuk sms dia..”
“Ya kan, elo bilang sendiri waktu itu, momen-momen kaya gini, jadi kesempatan besar buat elo sms dia..”
Aku tersenyum kecil, meraih kipas yang tergeletak tak bertuan, dan mulai mengipasi jagung-jagung itu. “Dulu memang iya Vi, tapi gue mau berubah, beneran mau berubah..berusaha untuk membuat dia special lagi di mata gue, berusaha untuk bikin dia sama, kaya temen-temen gue yang lain..”
Via menoleh ke arahku, menatapku sambil tersenyum. “Gue yakin elo bisa, elo pasti bisa, banyak kok yang dukung elo..langkah kecil di perlukan untuk sebuah perubahan besar, iyakan ?”
“Itu dia, kaki gue memang masih susah untuk terangkat, dan membiarkannya melangkah meski cuma sejengkal, tapi gue enggak mau lagi tetap berdiri di titik yang sama, sama sekali enggak mau..”
“Gue dukung elo kok..”
Bukan, ini bukan sekedar gombalan yang meluncur dari bibirku. Ini kalimat yang aku ucapkan dengan penuh doa dan khidmat, berharap aku tidak akan menjilatnya kembali. Dan aku percaya, ada banyak tangan yang bersedia menopangku, dan menahanku agar aku tetap tegak untuk keluar dari tempat dimana aku telah berdiam diri lima tahun ini. Aku akan mengakhirinya.
***
“Lima...”
“..Empat..”
“...Tiga.....”
“....Dua......”
“..Satu...” teriakku dan semua keluargaku serempak. “BYARRRR...” kembang api berwarna-warni, langsung memenuhi langit pekat di atas kami. Mempertontonkan sinar dan gemerlapnya yang indah. Suara terompet juga ikut mengiringinya. Tahun telah berganti teman. Satu buku dengan beribu kisah, baru saja di tutup.
Aku memejamkan mataku, melafalkan doa dalam hati, berharap semua yang terbaik, yang terbaik yang Tuhan pilihkan untukku. “Selamat tahun baru..sambut aku yang baru dunia..” bisikku lebih untuk diriku sendiri. Namun aku yakin, angin akan membawanya ke seluruh sudut bumi, memberi tahu seluruh dunia.
“Selamat tahun baru Riko..semoga semua jadi lebih baik buat gue dan elo tahun ini, amin”
***
Setelah perjalanan tiga jam yang melelahkan, aku langsung menghambur keluar mobil, setibanya di rumah. Meregangkan otot-ototku yang lelah duduk selama itu. Dan langkahku terhenti, melihat sebuah kerta putih yang terlipat menjadi dua, terselip di bawah pintu rumahku. Buru-buru aku memungutnya.
To : Ashilla, si cinta monyetku.
Gleeekk. Aku menelan air liurku sendiri. Tulisan tangan kecil-kecil yang rapat itu, serta kalimat yang sangat ku kenali, rasanya tanpa membuka surat itupun aku mengerti siapa pengirim surat ini. Tiba-tiba saja tanganku jadi bergetar memegangnya.
“Apaan itu Shil ?” suara mama, yang entah sejak kapan berdiri di belakangku, membuat tubuhku terlonjak sedikit sangking kagetnya.
“B..bukan..apa-apa..kok ma..” ujarku, yang masih terguncang. Ada beribu bayangan di otakku tentang apa yang ada di dalam surat tersebut.
“Oh ya udah, awas, jangan berdiri di depan pintu gitu dong, mama mau buka pintu”
Aku langsung menyingkir, dan begitu pintu terbuka, aku langsung mendesak masuk ke dalam rumah, dan berlari ke dalam kamarku. Sambil menyandarkan kepalaku di kepala tempat tidur, setelah beberapa kali mencoba merilekskan perasaanku, akhirnya aku membuka lipatan surat itu, memberanikan diri untuk membacanya.
Hai shil..
Jujur, gue kaget, bingung, enggak nyangka sekaligus juga salut, sama semua ini. perasaan gue kaya gado-gada rasanya, hahaha..oke maaf ya gue jayus, tapi emang gue kaya gini kan ?
Apa ya ? gue speechless aja gitu, baca surat elo. Kalau gue enggak salah ngitung, kita udah putus lima tahun yang lalu kan Shil ? dan lo masih..ya ampun, seriusan gue enggak nyangka..
Tapi buat gue, elo bukan looser ! masa lalu emang kadang indah shil, gue juga enggak pernah kok bener-bener lupa, tentang hal-hal yang pernah kita lakuin berdua. Semua tetap gue simpan dan gue kenang, sampai sekarang..
Gue juga suka ketawa-ketawa sendiri, bukan karena gue gila ya, hehe, tapi karena gue ingat sama masa-masa itu..kita yang suka pulang bareng, main ke rumah elo, jalan-jalan bareng..dsb
Memang terkadang hal yang menyenangkan itu juga bisa menyakitkan, gue ngerti banget itu, tapi gue percaya lo bisa shil ! lo pasti bisa !
Kalau ada cerita, atau apapun, jangan pernah ragu buat share sama gue ya, gue siap kok dengerinnya.
Dan, by the way, gue enggak jadi sama Acha hehe..mungkin dia pilihan yang bagus menurut lo, tapi gue sama dia banyak enggak cocoknya hehe..
Happy new year ashilla..semoga tahun baru ini, semua jadi lebih baik ya buat lo. Janji ke gue, jangan pernah lagi begadang buat hari ulang tahun gue, itu konyol, karena gue enggak tahu kalau ternyata mungkin elo orang pertama yang ngucapin itu, tapi juga jangan pernah lupain hari ulang tahun gue ya..terutama kadonya..ehehe..
Riko.
Untuk beberapa detik, aku terdiam, tertegun memandangi deretan-deretan kalimat yang terpampang di mataku, lantas sejurus kemudian, aku mendekap surat itu ke dadaku, seolah ingin memeluknya.
Ia meresponku ! untuk pertama kalinya. Aku akhirnya tahu, ia masih menganggapku ada ! ia masih mengakui keberadaanku !
Baiklah, mungkin di surat itu tidak ada kalimat-kalimat romantis, atau apalah. Tapi bukan soal itu, ada yang lebih penting. Akhirnya aku mengerti, bahwa ia juga tidak pernah benar-benar melupakan tentang segala yang pernah terjadi di antara aku dan dia. Tentang cerita kita berdua, tentang kita yang pernah ada, yang pernah bersama.
Dan balasannya ini. Sama sekali tidak menjatuhkan mentalku, ia menjaga perasaanku. Dan ini juga tidak memberatkan langkahku untuk maju. Aku malah sangat amat lega sekarang, aku merasa akhirnya semua yang aku pendam selama ini dapat juga tersalurkan. Ahh..aku bahagia sekali saat ini. Sangat bahagia !
Buru-buru, aku mengubek-ubek tasku, mencari ponselku. Ingin segera mengabari seseorang tentang berita bahagia ini.
Setelah beberapa saat, nada tunggu menemani telingaku, akhirnya sebuah suara yang sangat familiar itu mengangkat telponku juga. “Halo Shil, kenapa ?”
“Ify ! Riko ngirimin gue surat Fy !” teriakku bangga.
“Hah ? seriusan lo ?! wetsah, gimana ceritanya ??” tanya Ify tak kalah semangatnya.
“Gitu deh hahaha..besok lusa aja ya gue ceritanya, kan kita udah masuk tuh, byee Ify..”
Klik. Aku mematikan telponku, agak semena-mena sih memang. Bisa aku jamin, Ify pasti sedang misuh-misuh padaku sekarang.
Rasanya, malam ini, aku akan tidur nyenyak, dan bermimpi sangat indah. Seindah yang aku mau.
***
“SHILLAAA !!! GIMANA CERITANYA ??!” suara toa Ify, tanpa malu-malu langsung menyambangiku. Untung kelasku masih sepi.
“Fy, elo cewek bukan sih ? enggak punya malu amat..” keluhku.
“Abisan elo yang biarin gue penasaran setengah mampus !” sahut Ify sewot, aku hanya nyengir lebar padanya.
“Ya udah-udah sini gue ceritain, jadi....” dan aku mulai menceritakan semuanya. Pertemuan kami di kafe sore itu, spontanitasku dan keberanianku memberikannya surat dengan membongkar segala perasaan yang aku alami, tekadku di Lembang bahwa tahun ini aku harus memulai dengan suatu yang baru, dan tentu saja balasan Riko, yang aku bawakan khusus untuk Ify agar bisa ia baca sendiri.
Ify tampak serius membaca secarik kertas di tangannya, yang tidak lain adalah surat Riko untukku. “Jadi maksudnya apa nih ?”
“Hah ?”
“Iya, dia ngerti tentang perasaan lo, dia juga cerita kalau dia enggak jadi sama Acha..terus ?”
“Ya terus enggak ada apa-apalah Fy..”
“Emang elo enggak punya niat buat balikan sama dia ?” tanya Ify telak.
Aku tersenyum tipis ke arahnya. “Ini bukan soal gue sama dia balik atau enggak, gue sadar, gue enggak akan lagi bisa buat ngisi hari-harinya dia, cerita kita udah di tutup sejak lima tahun lalu Fy. Tapi buat gue, ini lebih dari itu, akhirnya dia ngerti, masih ada gue disini, di tempat ini, dan gue sendiri juga jadi enggak ragu buat belajar move on..”
“Gue enggak ngerti deh Shil, kalau kata lo, dia akhirnya ngerti ada elo disini, dengan perasaan yang sama setelah lima tahun, kenapa elonya malah jadi enggak ragu buat move on ?”
“Karena ini memang saatnya untuk beranjak dari zona aman gue Fy. Ini saatnya buat gue, untuk lebih mencintai diri gue sendiri, saatnya buat gue untuk lebih banyak mikirin tentang hidup gue. Selama ini, kaya yang elo tahu, dua puluh empat jam, dan hampir separuhnya selama gue enggak tidur, dia selalu ada meski cuma setitik di setiap langkah gue. Tanpa gue sadari, kalau gue, bukan cuma terdiri dari hati gue yang memang masih sayang sama dia, ada otak, ada raga, dan tentu aja ada lingkungan di sekitar gue..”
“Hah, gue enggak ngerti Shil..”
“Selama ini, prinsip gue, selama gue masih mampu buat sayang sama dia, gue akan selalu sayang sama dia. tapi apa otak gue berpikir demikian ? dia jelas-jelas berlogika, kalau apa yang gue lakuin ini gila, dan raga gue, gue bukan manusia super, tanpa gue sadar, raga gue kegerus juga ngikutin kemauan gue untuk tetap berdiri di tempat yang sama, dan lingkungan gue, kaya elo misalnya, berapa aja sih orang yang udah nasihatin gue buat move on..”
“Jadi sekarang elo mau move on ?”
“Mencoba untuk move on Fy..”
“Berarti elo udah nemuin caranya ?”
“Enggak ada cara yang pasti, dan gue rasa juga enggak ada panduan atau teori yang tepat tentang move on..”
“Terus ?”
“Sederhana aja, gue mencoba berani menghadapi dia, berani menanggung segala resikonya..berani buat maju, mungkin nanti ada, saat gue harus sakit dan perih setengah mati, tapi setelah itu, kalau gue berhasil ngelewatinnya, gue pasti akan ngerasa puas, dan begitu juga dengan orang-orang sekitar gue..” mengatakan hal seperti ini, aku jadi teringat tentang jagung yang waktu itu aku bakar.
“Wow, kayaknya elo jadi dewasa banget, hahaha.. apapun, selama itu baik buat elo, gue pasti dukung ! dan, congrats ya..” Ify menyodorkan tangannya, yang aku terima dengan bingung.
“Buat apa ?”
“Buat keberanian lo, lo berani maju, masalah nanti berhasil atau gagal, seenggaknya bener kata Riko elo bukan looser”
“Makasih yaa Fy..”
Ify benar, tentu saja aku tidak berharap ini gagal. Aku tidak mau kembali terperosok di dalam lubang yang sama, itu terlalu menyakitkan. Dan aku berjanji, suatu hari nanti, aku akan memperteguh hatiku, memantapkan kakiku untuk menemui Riko secara langsung. Jika saat itu tiba, perasaan ini telah hilang seluruhnya, maka anggap saja itu semacam kunjungan silahturahmi antara kami berdua, dan seandainya jika masih ada yang tertinggal, makan aku ingin meluruskan semuanya, tentang segala cerita lima tahun lalu, yang mungkin hanya aku dan dia yang tahu, atau malah hanya dia yang tahu, entahlah.
Aku melemparkan pandanganku ke luar jendela, terlihat anak paskib sedang sibuk mempersiapkan upacara pertama di hari senin pertama di tahun dua ribu sebelas ini. Demikian juga denganku, sedang mempersiapkan semuanya, untuk mulai melangkah, semampu yang aku bisa.
Setidaknya, jika orang di sekitarku telah melangkah dengan dua langkah besar, dan aku hanya baru bisa melangkah setengahnya saja, maka aku tidak peduli, aku akan tetap berusaha mengejar ketinggalanku, suatu saat nanti, aku yakin, aku bisa mensejajarkan langkahku, dengan langkah kaki mereka, dan mungkin juga dengan langkah kakinya, Riko.
***
Jika kamu bertanya, apa aku masih mencintainya ?
Ya, aku tidak akan munafik, rasa itu masih ada. Aku tidak sejago itu, aku bukan pesulap yang mampu menghilangkan sesuatu dalam sekali ayunan tongkat.
Jika kamu bertanya, apa aku masih mengharapkannya ?
Aku hanya bisa tersenyum. Karena jujur, aku sendiri tidak pernah bisa menemukan jawaban pasti tentang pertanyaan yang satu ini.
Dan jika kamu kembali bertanya, apa aku ingin melupakannya ?
Tidak, aku tidak mau melupakannya. Yang aku ingin lupakanlah, ada perasaan ini, bukan dia. Dia teman yang baik, pendengar yang amat baik, dan tentu saja mantan yang baik. Aku tidak akan pura-pura tidak mengenalnya, garis takdir menciptakan kami untuk saling tahu di dunia ini. dan aku akan terus menjaganya seperti itu.
Apa ?
Kamu penasaran, apa akhir kisah ini ? bahagia atau tidak ?
Aku sendiri bingung menyebutnya apa. Bukankah itu relatif, aku sudah cukup bahagia mengetahui responnya, meski hanya melalui tulisan. Tapi jika kamu mengharapkan yang lebih, entahlah, itu pilihanmu.
Tapi aku bahagia. Dan akan selalu berusaha untuk bahagia. Aku punya banyak orang hebat untuk mendukungku, dan kamu tentu saja masuk di dalamnya.
TAMAT.
Dan, untuk yang pernah ada, terimakasih yaa, untuk segala waktu dan kesediaannya..
Ohya, yang dinyanyiin shilla itu lagunya taylor swift yang back to december.
Makasih.

Komentar

Postingan Populer