Yang Tak Terlihat (cerpen)
Gemuruh
hujan yang menyapu bumi tanpa ampun, menimbulkan riak-riak basah hampir
di seluruh sudutnya yang tak bertepi. Menimbulkan suasana yang begitu
dingin, yang begitu luruh dengan kesunyian. Mendukung detik-detik
keputus-asaan ini.
Aroma
karbol, yang menyengat hidung, memerihkan mata, menjadi teman tak
bersahabat namun setia sejak entah berapa jam yang lalu. Hingar bingar
tak mewah yang sedari tadi terasa, meredup perlahan, meninggalkan
tubuh-tubuh yang terikat dalam rasa takut dan kegusaran yang entah
dimana ujungnya.
Dalam
alunan waktu yang terasa menggebu, meski sebenarnya, biasa saja. Dua
anak manusia itu saling diam. Diam dalam rasa diam yang mereka ciptakan.
Diam dalam atmosfir bulir-bulir rasa sesak yang menghantui.
Bangku
panjang plastik berwarna putih gading itu merekam segala rasa yang
mengalir dalam angan keduanya. Jika bisa, bahkan rasanya ia ingin
sekedar menegur, agar ada setidaknya, sepatah kata untuk membiarkan
malam ini bernada.
“Gue
anter elo pulang ya Shil..” ujar si laki-laki, akhirnya menyerah dalam
kebisuan yang membelenggunya. Tiba-tiba, dan terlihat agak mengagetkan.
Perempuan
itu menggeleng. Tatapan matanya yang kosong, jari jemarinya yang terus
ia remas sejak tadi, secuil jiwa yang mencoba bertahan dalam raga yang
seolah takmau lagi berirama. “Enggak mau Vin, gue mau tetap disini”
“Tapi dokter kan udah bilang, Rio masih belum bisa ditemuin siapapun”
“Gue
mau disini Vin, gue enggak mau kemana-mana” tanpa menoleh, tanpa
penekanan, bahkan tanpa tenaga. Hanya kedataran yang lurus dan tipis.
Dan
laki-laki itu mengerti, bahkan sekalipun ia memaksa atau malah menyeret
gadis cantik di sebelah kirinya ini, ia tetap akan tidak akan bisa
membuat gadis itu beranjak. Alih-alih kembali memaksa, tanpa melihat
juga, menggunakan tangannya, ia membuat kepala gadis itu bersandar di
bahunya. Untuk saat ini saja. Hanya ini. Yang bisa ia lakukan.
Sesaat,
gadis itu terkejut, laki-laki ini tidak pernah seperti ini sebelumnya,
tidak pernah sehangat ini, ia tahu betul itu. Tapi siapa peduli, tidak
ada sedetikpun waktu untuk mempermasalahkan perubahan cepat ini. Ada
yang lebih penting dari itu. Ada tubuh kekasihnya di dalam ruangan, di
ujung lorong tempatnya duduk saat ini, yang entah bagaimana keadaannya.
***
Kesenyapan, dinding hati yang perlahan memudar, jatuh dan luruh oleh waktu. Meninggalkan pedih yang tak bisa ditinggalkan.
***
Bayang-bayang
tetes air mata gadis itu masih menari dengan anggun, memenuhi matanya.
Ada sakit lain yang terasa begitu hebat, ini bukan tentang sahabatnya,
yang sedang terbaring koma dan entah kapan bisa kembali sadar
menyapanya, tapi ini tentang gadis itu. Gadis sahabatnya. Gadis yang ia
yakini, lebih dulu ia cintai ketimbang sahabatnya.
“Mas..”
“Mas..ada
yang salah ?” senggolan halus di punggung tangannya, reflek menarik
jiwa-jiwanya yang terlepas tak sengaja berkumpul kembali dalam dirinya.
“Eh, iya kenapa ?” tanyanya balik, linglung.
“Itu..”
penjaga cafetaria itu menunjuk tangan kanannya, yang baru ia sadari
sedang meremas segelas kopi panas yang memang ia pesan tadi.
“Maaf mas, boleh minta dua lagi, yang sama kaya gini, sama roti coklatnya satu”
Setelah
mendapatkan apa yang ia pesan, laki-laki itu kembali menyusuri
selasar-selasar rumah sakit, dan langkahnya berhenti, pilu, ketika di
dapatinya, gadis itu sedang berdiri, mencoba melihat ke dalam ruangan
tempat sahabatnya berada.
“Shil..”
Gadis
itu tidak menoleh. Ia masih saja meraba kaca di pintu itu, merabanya
seolah ia juga bisa meraba tubuh belahan hatinya, yang dari tempatnya
berdiri hanya bisa ia lihat ujung kakinya saja.
“Sarapan
dulu yuk..” Alvin tidak menyerah. Ia mendekat, menumpukan sebelah
tangannya di pundak Shilla. “Rio pasti enggak mau lihat elo sakit..”
bisiknya kemudian, percaya bahwa menyelipkan nama itu akan berfungsi
baik. Dan benar saja, Shilla langsung menoleh ke arahnya, dan kemudian
mengangguk pelan.
Di
kursi yang sama, kursi tempat mereka membagi waktu sejak berpuluh-puluh
jam yang lalu, Alvin memperhatikan Shilla yang sedang memakan roti
coklatnya tanpa ekspresi. Sementara dirinya sendiri, hanya menikmati
kopinya, menikmati pahitnya.
Ia
mengerti sekarang, mengapa dua tahun ini, ia baik-baik saja, karena
gadis itu tetap tertawa bahagia di hadapannya. Tapi sejak kemarin sore,
sejak air matanya terus berurai tanpa henti, sejak itu pula, senyap tak
terkendali, asap-asap pedih, menyelubungi rasanya. Membuatnya tidak
mengerti, apa yang harus ia lakukan.
“Elo enggak makan Vin ?”
“Udah tadi, lo aja..”
Shilla
tersenyum tipis. Kehangatan ini, ini sama sekali bukan milik seorang
Alvin yang ia kenali, Alvin tidak seperti ini. Atau ia yang tidak
mengenalnya ?
***
Ku antar engkau ke masa laluku, ketika linang air mata menjadi pemeran utamanya..
***
Dia
tidak pernah tahu. Atau lebih tepatnya, tidak ada seorangpun yang
pernah tahu. Ada cinta yang sama yang tumbuh untuk perempuan yang sama,
di atas persahabatan indah bertahun-tahun ini.
Cinta
yang amat sangat klasik. Dua laki-laki mencintai satu orang perempuan.
Hanya saja bedanya, tanpa pertaruhan atau perkelahian, keberanian
memenangkan salah satunya, dan membuat yang tersisa menjadi sang
pecundang.
Alvin
masih mengingat semuanya. Rasa kecewa itu, ketika sahabatnya, dengan
penuh semangat menceritakan setiap detail yang perempuan itu miliki,
yang tanpa pernah Rio ketahui, Alvin telah mengenalnya lebih dulu, telah
menyelami setiap incinya lebih dulu, meski dari kejauhan. Dan ketika
pada akhirnya, cinta yang sama itu tidak pernah menyapanya meski hanya
sekali, melainkan memeluk sahabatnya, ia memutuskan untuk tetap berdiri
di tempat yang sama. Tempat yang abadi dan ia yakini takkan mampu di
sentuh oleh siapapun..
Kecuali dirinya sendiri..dan Tuhan mungkin.
Di
dalam hatinya. Di dasar yang terdalam. Di tempat dimana segala rasa
serta asa itu hidup dan padam bergantian. Di letakkan dengan rapi dan
terus ia hayati meski dalam diam.
Duk.
Duk. Duk. Gema suara bola basket yang berpendar dalam ruangan itu,
mengisi setiap lekuk kekosongan yang teramat nyata. Ia membiarkan bola
itu memantul dari telapak tangannya ke lantai dan terus seperti itu.
Sesekali ia akan melemparkannya ke arah ring, meski jarang sekali ada
tembakannya yang masuk berpusar disana.
Setidaknya ini terasa lebih baik. Jauh lebih baik, daripada...
“Alvin..”
Meski
mengerti ada suara yang memanggilnya. Ia tidak dengan segera berbalik,
meski juga ia mengerti siapa yang memanggilnya. Alvin lebih memilih
mengambil dulu bola basketnya yang menggelinding ke ujung ruangan, dan
baru berbalik, berjalan mendekat ke arah gadis itu, gadis hujan,
julukannya sejak gadis itu tak kunjung berhenti menangis.
“Kenapa Shil ?”
“Gue..gue..kangen Rio..”
“Oh..”
dengan wajahnya yang datar, dan tatapan matanya yang sejak dulu tak
pernah berubah, dingin cenderung tak bersahabat, jawaban bodoh itu
terlontar begitu saja. Meski dalam hati, lagi-lagi tanpa siapapun pernah
mengetahui, langsung ia sesali saat itu juga.
Tatapan
pedih langsung di arahkan padanya dengan sukarela. Shilla menatapnya
beberapa detik, menyiratkan ketidak-tahuan, kebingungan, dan tentu saja
kekecewaan yang Shilla sendiri tidak mengerti untuk apa, bukankah ia
tahu bahwa laki-laki di depannya ini adalah sang pangeran es.
“Maaf
Vin..gue pikir, karena elo sahabatnya Rio, jadi elo orang yang paling
tepat buat gue ngebagi rasa kangen ini..” ucap Shilla akhirnya, menunduk
menatap ujung sepatunya yang terasa lebih bersahabat untuk di pandang.
“Maaf..” ulangnya lagi, dan berjalan mundur lantas berbalik.
Alvin
memperhatikan bola basket oranye di tangannya, jika ada Rio, ia yakin,
bola ini telah melayang ke kepalanya. Hanya Rio, hanya sahabatnya itu
yang bisa membuatnya peduli pada sekitarnya. Pandangannya teralih pada
punggung Shilla yang telah berjalan semakin jauh dari tempatnya. Gadis
itu sedang rapuh dan ia malah tambah membuatnya menjadi hancur
berkeping-keping. Pantas saja Tuhan lebih memilihkan Rio ketimbang dia.
Dengan
sedikit terburu-buru, Alvin berusaha menyusul Shilla dan kemudian
mencekal pergelangan tangan gadis itu. Membuat langkah keduanya
terhenti. Membuat degup jantung Alvin tak berjalan sesuai fungsinya. Dan
membuat Shilla bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan Alvin.
“M...mmaa..aaf..”
dengan amat sangat terbata, kata itu akhirnya dapat terucap juga dari
bibir merahnya. “Maaf Shil..” ujarnya lagi, lebih lancar.
“Enggak apa-apa, guenya aja yang sensitif..gue mau ke..”
“Sini
aja, temenin gue” potong Alvin, dan kemudian menarik tangan Shilla,
tanpa membiarkan gadis itu menyelanya. Ia terus menariknya, hingga
mereka berdua tiba di tepi lapangan.
“Duduk
disini aja” masih tanpa membiarkan Shilla untuk membuka suara, Alvin
telah membuat mereka berdua duduk di bangku, yang memang di peruntukkan
bagi supporter ketika ada pertandingan.
“Dia pasti sadar, dia bakalan baik-baik aja..”
“Eh..”
“Rio,
dia pasti bakalan sadar buat elo Shil..” sambung Alvin, menatap lurus
ke depan, dan bukannya menengok ke arah Shilla di sebelah kirinya. Bukan
tidak ingin, tapi ia tidak mau, tidak mau melihat kilat cinta Shilla
untuk Rio yang tidak pernah akan ada untuk dirinya.
“Udah delapan hari dia koma, enggak ada perkembangan sama sekali, gue benar-benar kangen hadirnya dia Vin..”
Inilah.
Ini yang membuat Alvin akhir-akhir ini entah mengapa memilih untuk
menghindari Shilla. Selalu ada yang berdenyut menyiksa hati, ketika
kalimat-kalimat rindu bukan untuknya itu tersampaikan dengan sempurna
dan tulus.
“Gue juga pengen dia ada disini, bukan elo doang..”
Shilla
tersenyum tipis. Ia mengerti, tidak ada yang lain yang sanggup bertahan
lama di sisi Alvin. Bahkan terkadang rasa cemburu menggelayuti Shilla,
ketika waktu-waktu Rio lebih banyak habis terbuang untuk Alvin meski itu
konyol.
Mereka
berdua tidak bisa di pisahkan. Shilla tahu betul akan hal itu. Rio dan
Alvin, dua sahabat karib yang selalu beriiringan bersama, yang jauh
sebelum Shilla masuk dan memiliki salah satunya mereka telah lebih dulu
saling melengkapi sebagai sahabat yang berusaha untuk sejati. Dan
siapapun juga mengetahui, persahabatan mereka adalah dua kutub yang tak
sama, yang berbeda, dan yang tak sejalan.
Sekilas
Shilla mencoba untuk memperhatikan Alvin di sebelahnya. Lekuk wajahnya,
yang sesungguhnya mampu untuk membius kaum hawa namun tak pernah
disadari pemiliknya. Alvin terlalu tangguh dalam bentengnya sendiri,
segala sifat angkuh atau apalah itu, yang mungkin hanya bisa Rio yang
menyentuhnya.
“Eh Vin..” Shilla menekan-nekan pelan lengan Alvin dengan telunjuknya. “Kacamata lo kemana ?”
Entah
sadar apa atau tidak, Alvin meraba matanya, dan kemudian tersadar
kacamata bulat berframe hitam yang biasa bertengger disana tak lagi ada.
“Eh..kema..oh..itu ada di tas..” jawabnya baru teringat dimana ia meletakkan barang pentingnya itu.
“Lo bagusan gini deh, mata lo bagus tahu” puji Shilla sambil menyelipkan senyumnya yang khas di ujung kalimatnya.
Mendengar
kalimat pujian dari gadis ini langsung saja membuatnya kikuk, hingga
Alvin hanya bisa tersenyum. Senyum yang aneh. Senyum untuk sebuah hal
kecil yang membuahkan kebahagiaan besar di hatinya.
“Kita
pernah kenal sebelumnya enggak sih Vin ?” tanya Shilla tiba-tiba. Ia
mengayun-ayunkan kakinya, tampak santai, berbanding terbalik dengan
manusia di sampingnya.
“Kenal ?” ulang Alvin seolah ingin menegaskan.
“Iya, enggak tahu kenapa, gue ngerasa familiar aja sama elo..”
Alvin menggeleng pelan. “Enggak, perasaan lo doang. Gue kenal elo ya pas Rio ngenalin ke gue”
Untuk
beberapa saat, Shilla mengamati Alvin kembali. Entah kenapa, ia tidak
sepenuhnya puas dengan jawaban yang baru saja Alvin berikan. Wajah ini,
jauh sebelum dua tahun lalu, Rio mempertemukan mereka berdua, Shilla
merasa orang ini pernah ada di dekatnya.
Sadar
di perhatikan, Alvin menekuni bola di tangannya, cukup ia dan akan
selalu seperti itu. Tidak ada yang perlu tahu. Tidak ada yang perlu
mengerti. Bahwa dulu, ia pernah menjadi seseorang, yang selalu duduk di
kursi depan sebuah tempat bimbingan belajar, hanya untuk menantikan
seorang gadis berseragam smp yang akan datang pukul tiga, dan ia juga
akan melesat keluar pertama dari kelasnya hanya untuk melihat gadis itu
berjalan keluar kelas di tempat yang sama, pukul lima.
“Berhenti
lihat gue kaya gitu Shil” tukas Alvin, bukan risih, hanya saja ia
merasa kerah seragamnya seperti mengkerut lantas membuatnya susah
bernafas, ia tidak ingin gugup mengusainya.
“Hehehe..”
tawa renyah yang selama ini hilang sejenak, tiba-tiba saja kembali,
membuat Alvin kontan menengok ke arah Shilla. Gadis pelanginya telah
kembali, tidak lagi menjadi gadis hujan seperti beberapa hari ini.
“Maaf
Vin maaf. Abisan gue benar-benar ngerasa pernah ngelihat lo, sebelum
gue jadi ceweknya Rio dan sebelum kita ada di SMA yang sama..”
“Dan itu bukan gue”
“Iya deh iya, enggak usah galak gitu dong..”
“Maaf..”
“Seneng deh gue, hari ini elo udah dua kali gitu bilang maaf sama gue, biasanya kan enggak pernah”
Ingin
rasanya Alvin menimpali lagi kata-kata itu, hanya saja ia tidak
mengerti, apa yang harus keluar dari bibirnya. Lagipula apa yang Shilla
betul juga, selama ini, ia selalu memposisikan dirinya tidak begitu
menyukai gadis dengan tipe manja dan ceria ala Shilla. Meski yang
terjadi adalah sebaliknya. Dan saat ini, saat ia memiliki kesempatan
untuk berdua saja dengan Shilla, ia bahkan tidak bisa memikirkan satu
kalimat yang mampu untuk ia sampaikan dan mungkin akan Shilla ingat
untuk selamanya, tidak seperti Rio..
Ah ya, Rio..
Mengingat
nama itu, tiba-tiba saja seperti ada gelembung-gelembung rasa bersalah
tak terlihat memenuhi aliran darah dalam tubuhnya.
Pantaskah
ia bahagia saat ini ? saat sahabatnya mungkin sedang bernegosiasi
dengan para malaikat-malaikat Tuhan agar bisa tetap bernafas. Bolehkah ?
Dengan
ekor matanya, Alvin menangkap gambaran Shilla yang sesungguhnya telah
ia ingat di luar kepala. Gadis ini, ia tidak sempurna, sama seperti
manusia lainnya. Hanya saja cinta, seperti halnya cinta yang apa adanya,
tidak pernah peduli pada siapa ia jatuh dan kemudian tertinggal meski
tak dapat termiliki.
***
Dalam diam penantian ini terasa begitu lama, dalam diam, kau takkan kunjung datang..
***
Dengan
langkah-langkah besar, ia berlari dan terus berlari, ingin segera tiba,
ingin segera tahu apa yang terjadi. Dan ketika akhirnya, kedua kaki itu
terhenti tepat di depan pintu, ia malah hanya bisa diam, dan terus diam
meski nafasnya terasa memburu, menuntut waktu lebih setelah dipacu
dengan paksaan tadi.
Ia
bisa melihat dengan jelas. Sangat jelas bahkan. Dan untuk kali ini, ia
tidak ingin melihatnya, walau bukan untuk yang pertama kali. Ia manusia,
ia punya rasa sakit itu. Pedih itu datang sendiri tanpa undangan dan ia
membencinya.
Perlahan,
ia mundur, perlahan. Setengah berharap, seandainya ia juga bisa mundur
dari segala rasa yang membuatnya seperti ini. Di ambang pintu, ia
berbalik, menyelipkan kedua tangan di saku celana jeansnya, seolah tidak
melihat apapun, ia berjalan menjauh.
Tidak akan ada waktu untuknya, meskipun ada, itu tetap bukan untuk dia.
**
Kecemasan
berpacu dalam jiwanya. Ia hanya bisa berdoa sambil meremas handphone
putih di tangannya, setelah beberapa menit yang lalu ia gunakan benda
itu untuk menelpon seseorang. Tidak ada lagi air mata, ini sudah hari
kesepuluh, mungkin air matanya telah lenyap, lenyap terbawa sejuta takut
yang menghantuinya.
Pintu terbuka, dan ia langsung menyeruak maju. Ingin tahu secepatnya. “Gimana dok, gimana keadaan Rio ?”
“Kondisinya telah kembali stabil, meski keadaannya tetap sama....”
Shilla
tidak mampu mencerna kalimat-kalimat ilmiah yang dokter jelaskan
padanya, yang ia ketahui hanyalah kekasihnya itu masih bertahan hidup
meski tak sekalipun membuka matanya. Dan ketika akhirnya ia di ijinkan
untuk masuk, Shilla bak seorang anak kecil yang di ajak ke arena
bermain, antusias dan penuh semangat.
Ia
pandangi wajah Rio. Luka goresan dan lebam kebiruan tidak akan pernah
mengurangi ketampanan laki-laki itu di matanya. Rio sempurna, dan akan
selalu seperti itu. Tentu saja ia tidak memilih Rio atas alasan fisik
semata, ada berjuta alasan lain yang mampu membuatnya takluk dan selalu
ingin ada di samping Rio, selalu, kecuali hari itu..
Hari
yang seolah merengut sebagian jiwa Rio dan hanya menyisakan tubuhnya
yang penuh luka dan secuil nafas yang tak kunjung cukup untuk menatap
dunia..
*
Laki-laki
itu menatapnya memohon, tatapan yang pernah sanggup untuk ia tampik.
Membuat Shilla kesal setengah mati. Sambil melipat kedua tangannya di
dada, ia terus bertahan dengan sikapnya, mencoba tidak larut dalam
rayuan yang sedang Rio layangkan untuknya.
“Ayolah Shil, sekali ini aja, beneran deh, ini yang terakhir..” rajuk Rio lagi, entah untuk keberapa kalinya.
Hanya
untuk hal inilah, Rio akan merengek sedemikian rupa padanya. Karena
hanya untuk hal ini saja, Shilla akan menolak mentah-mentah apa yang Rio
minta.
“Lagian kenapa kamu jadi over protect gini sih sama aku ? kamu kan tahu, ini hal yang aku suka..”
Shilla
mendesah pelan. Ia tidak ingin, hal sepele ini menjadi sepercik api
yang akan membakar keduanya. “Bukan aku yang jadi over protect Yo, kamu
tahu sendirikan, jelas-jelas beberapa hari yang lalu, ada yang
kecelakaan parah, dan sekarang kamu minta ijin aku buat balapan motor
kaya gini..gimana aku enggak takut..”
Tidak
hilang akal, Rio menarik kedua tangan Shilla, memaksa Shilla untuk
melihat ke arahnya. Dia paham betul, gadis di depannya ini
mengkhawatirkan dirinya, tapi di sisi lainnya, jiwa laki-lakinya, egonya
yang besar juga sedang menguasainya erat-erat.
“Aku
tahu, kamu khawatir sama aku, tapi aku janji sama kamu, aku enggak akan
kenapa-napa, aku cuma akan nge-trak satu putaran dan udah, enggak
lagi..”
Kesungguhan
dan kemantapan seperti inilah yang tak pernah mampu Shilla hiraukan.
Selalu seperti ini. Bila bukan Alvin, maka motorlah yang akan menjadi
saingannya untuk mendapatkan kualitas waktu bersama Rio. Miris memang.
“Boleh ya Shil, please..”
“Ya..ya udahlah..” ujar Shilla pasrah.
“Beneran ?”
Dengan
berat hati Shilla mengangguk dan berusaha tersenyum. Lagipula ini bukan
pertama kalinya, Rio akan melakukan hal ini. Tidak akan terjadi
apa-apa.
“Makasih ya sayang..” tanpa malu-malu, Rio menggendong Shilla dan kemudian mereka berputar.
“Rio..ihh..aku
takut jatuh ! Rio !!” raung Shilla, meski ia juga menikmati. Rio hanya
tertawa dan malah terus berputar, membuat detik-detik mengalah pada
kebahagiaan yang mereka ciptakan. Rio selalu punya cara untuk membuatnya
menjadi satu-satunya.
“Udah..udah..turunin..”
pinta Shilla lagi, dan kali ini di kabulkan. Rio membuat Shilla kembali
berdiri tegak di lantai, dan kemudian, dalam hitungan yang begitu
cepat, hanya selewat kedipan mata, Rio mengecup keningnya.
“Aku sayang kamu..” bisik Rio lembut, terasa penuh cinta.
Shilla
diam. Ini aneh. Rio terbiasa seperti ini, tapi Shilla bisa merasa ada
yang aneh, yang tak biasa kali ini. Sesuatu yang tak mampu ia lukiskan
dengan kata-kata, namun terasa begitu kuat di hatinya.
“Heh,
kamu enggak sayang aku ya ? kok kalimat aku enggak di balas ?” tanya
Rio pura-pura sewot sambil bertolak pinggang, ketika Shilla hanya
menatapnya tanpa berkata apapun.
“Eh..sayang kok sayang..”
“Ih, kepaksa gitu ngomongnya..”
“Aku sayang juga sama kamu Rio, sayang banget”
“Nah gitu dong” ujar Rio puas, lantas menepuk-nepuk kepala Shilla pelan. “Udah ya, aku jalan, kamu mau ikut ?”
“Enggak ah, aku enggak mau liat kamu ngetrak, takut..”
“Beneran nih ?”
“Iya, udah sana”
“Ikut aja deh kamunya..” Rio kembali memberikan tatapan memohonnya. Berharap Shilla mau menemaninya kali ini.
“Enggak
Rio, aku enggak mau, udah ah sana, katanya tadi udah ditungguin sama
temen kamu” tolak Shilla, yang memang tidak pernah mau melihat Rio
berpacu cepat di atas motornya. Ia lebih suka menunggu di rumah.
“Tadi enggak di ijinin, sekarang malah ngusir-ngusir”
“Aku enggak ngusir, kan tadi kamu sendiri yang bilang temen-temen kamu udah nunggu disana..”
“Err..iya sih, tapi beneran nih kamu enggak mau ikut ?”
“Enggak, kan kamu tahu, aku enggak suka lihat kaya gitu”
“Ya
udah deh, aku pergi ya, take care Shil..” Rio tersenyum dan berjalan
mundur ke arah motornya yang terparkir di halaman depan rumah Shilla.
Sebelum memakai helm, ia tersenyum lagi, dan..
*
Dan
itulah senyum terakhir Rio untuknya. Dua jam kemudian, Alvin
menjemputnya, dan langsung mengajaknya ke rumah sakit. Sejak saat itu
pula, keadaan Rio tetap sama. Tidak ada perkembangan sama sekali.
“Yo,
aku kangen..udahan dong tidurnya..” bisik Shilla, sambil meletakkan
kepalanya di dada Rio. Berharap ada detak jantung yang berdenyut wajar
dan normal, berharap ada tanda-tanda kehidupan disana.
“Sepi Yo enggak ada kamu..aku bener-bener pengen kamu ada disini..”
Shilla
mengerti, sekuat apapun ia meminta, Rio tidak akan mengabulkan
permintaannya dengan segera seperti biasanya. Hanya Tuhan, hanya Dialah
yang mampu membuat segalanya kembali seperti sedia kala, dan Shilla
sangat berharap akan hal itu.
Ia menoleh ke arah pintu, rasa-rasanya tadi seperti ada yang berdiri disana. Alvinkah ?
Namun
tidak seorang pun. Ruangan itu tetap hanya terisi olehnya dan Rio.
Shilla mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan, ke sudut-sudut yang
sedari tadi menemaninya.
“Aku tahu, dimanapun sekarang kamu, kamu sedang ngawasin Yo, aku tahu, kamu selalu menjaga aku..”
***
Akan kucintau kau dengan sederhana, meski luka yang kau toreh tak pernah sederhana..
***
Hari
jumat yang bearawan dan meniupkan angin-angin sore yang menawan. Ini
hari kelima belas, ada lima belas bulatan merah di kalender kamar Shilla
yang tak pernah absen ia lingkari setiap malam, sepulangnya ia dari
rumah sakit.
Ini
bukan lima belas hari yang melelahkan, hanya lima belas hari yang mulai
membuat harapannya meredup meski ia tak ingin. Meski hanya setitik, ia
akan terus mempertahankannya. Dan saat ini, Alvin berhasil membujuknya,
sejenak untuk menghirup udara yang segar di taman rumah sakit, dengan
segelas kopi hangat di tangan.
Shilla
menyeruput kopinya, meski perempuan, ia menyukai kopi hitam tanpa gula.
Dan entah bagaimana caranya, Alvin mengetahui itu. Sama sepertinya,
Alvin tidak pernah absen selama lima belas hari ini. Bahkan lebih
darinya, Alvin malah menjaga dua orang sekaligus, Rio dan Shilla tentu
saja.
“Gimana kalau Rio enggak pernah bangun lagi..”
Alvin
menoleh. Suara Shilla yang bergetar jelas-jelas memperlihatkan ada
tangis yang tersamar dalam kalimat itu. Tidak dengan kata, ia merengkuh
kepala Shilla, memeluknya, dan menepuk pundaknya.
“Dia akan bangun, dia enggak akan ninggalin elo, percaya sama gue”
Sesaat
Shilla terperanjat, bukan karena kata-kata Alvin, melainkan apa yang
Alvin lakukan. Kehangatan yang benar-benar bukan seperti dirinya. Rasa
hangat yang mengalir dari ruas-ruas jari Alvin dan tersalurkan dalam
tubuhnya. Rasa hangat yang sederhana namun begitu terasa.
“Tapi
dia enggak nunjukkin perkembangan satupun Vin, gue enggak sebodoh itu,
gue tahu kok kesempatan dia buat sadar lagi enggak sampai tiga puluh
persen..”
“Sekalipun gue harus nukerin nyawa gue sama nyawanya Rio, gue rela Shil..”
“Alvin
! jangan ngomong sembarangan ah..” sergah Shilla, mengangkat tubuhnya
dari pelukan Alvin. Menatap laki-laki di hadapannya yang selalu datar
nyaris tanpa ekspresi.
“Kalau gue harus pergi untuk beberapa waktu, lo enggak apa-apa kan Shil, nungguin Rio sendiri ?”
“Emang lo mau kemana ?”
“Rio pasti pernah ceritakan, tentang rencana gue sama dia buat naik gunung ?”
Shilla
mengangguk. Tak ada satupun rahasia di antaranya dengan Rio. Ia tahu
semuanya, begitu juga sebaliknya. “Lo mau tetap naik gunung Vin ?”
“Harus naik, itu maunya Rio, gue bakal naik untuk Rio..”
“Kapan ?”
“Besok
pagi Shil. Lo mau oleh-oleh apa ?” Alvin tampak melunak, matanya yang
jernih terlihat bersahabat kali ini. Atau ini karena Shilla mulai sering
menatapnya ?
Shilla berpikir sejenak, lantas ia tersenyum ke arah Alvin. “Gue cuma mau elo selamat, itu aja..”
Alvin
mengerti, Shilla mengucapkan ini atas nama persahabatan dan rasa
takutnya akan kehilangan. Tapi Alvin juga tak dapat memungkiri, bahagia
yang menyeruak pelan dan menambal seluruh masa sepi yang selama ini
mengendap.
Dan
Shilla sendiri, bukan tidak rela, hanya saja, lima belas hari ini,
pundak Alvinlah tempat ia membagi segala duka, kesedihan, air mata,
hingga beban-beban yang mencekik tubuhnya. Laki-laki itulah yang
menopang segalanya. Yang memberinya kedamaian tak terlihat namun terasa.
Sore
itu mereka akhiri hanya dengan diam. Kopi yang mendingin menjadi
satu-satunya pelarian untuk membunuh waktu, yang tidak membosankan,
hanya terlalu sunyi. Dan ketika akhirnya Alvin mengantarkan Shilla
kembali ke kamar Rio, lantas ia sendiri pamit sebentar kepada sahabatnya
itu lalu menghilang di balik pintu. Maka Shilla kembali sendiri dalam
keremangan kamar.
Yang
tiba-tiba saja, terasa begitu sepi. Sepi dalam arti, Shilla mengerti
beberapa hari ke depan, hanya akan ada dirinya yang memenuhi kamar ini.
Tidak ada Alvin, tidak ada sorot mata dinginnya yang hangat.
***
Doa akan selalu teralun dalam cinta yang tak pernah tersampaikan..
***
Shilla
membuka matanya, ketika cahaya matahari itu menyapanya dengan lembut
namun mengganggu. Seorang suster yang baru saja membuka tirai kamar
tersenyum ke arahnya. Shilla meraih jam tangannya di meja, dan cukup
terkejut, melihat angka delapan terpeta disana. Sepertinya ia tidur
terlalu pulas.
“Maaf Sus..” ujarnya tak enak, sedikit kikuk.
“Enggak
masalah mbak, lagipula ini hari sabtu” sahut suster itu maklum. “Infus
mas Rio udah di ganti, saya keluar dulu, kalau ada apa-apa silahkan
pencet belnya..”
“Iya Sus..”
Sepeninggal
suster itu, Shilla bergegas ke kamar mandi untuk membasuh mukanya dan
mengikat rambutnya yang panjang. Merasa lebih baik, ia kembali menemui
Rio yang tetap tertidur.
“Pagi
Rio, ini hari ke enam belas..dan aku harap ini hari terakhir kamu
ngacangin aku dalam tidur panjang kamu ini..” ucap Shilla seperti biasa.
Ia
menoleh ke arah sofa, tempat dimana, Alvin biasa menemaninya. Dan kali
ini sofa itu kosong tidak lagi ada tubuh putih itu. Tatapannya teralih
ke meja kecil tempat ia meletakkan jam tangannya tadi, biasanya disana
sudah ada sebungkus roti coklat yang Alvin sediakan sebagai sarapan
untuknya, dan mulai hari ini, sepertinya Shilla harus membeli sendiri
roti itu.
Sebelum
matanya beralih kembali pada Rio, kedua bola mata itu tertumbu pada
sebuah amplop putih, yang terlihat menyatu dengan meja itu. Ia
meraihnya, membuka dan membacanya..
Gadis pelangi..
Aku
ingin menitipkan ini, kenangan yang mungkin tak bernilai dan kau
abaikan begitu saja. Tapi bagiku, ini lebih dari itu..ini aku, dalam
hidupmu..
Kening
Shilla berkerut. Gadis pelangi ? benarkah ia yang di maksud oleh entah
siapa pemilik amplop ini. Dan keraguannya berubah menjadi kepastian,
ketika dari dalam amplop ia menemukan sebuah kartu identitas, miliknya.
Kartu
yang Shilla ingat, sebagai kartu absen di sebuah tempat bimbingan
belajar yang pernah ia ikuti saat SMP, yang sempat hilang. Dan kini
kembali, entah darimana asalnya.
Shilla
meraba tulisan di secarik kertas itu, berharap ia dapat mengenalinya,
tulisan siapa ini dan apa yang di maksud oleh penulisnya. Tak kunjung
mendapatkan jawaban, karena toh dia bukanlah seorang yang ahli dalam hal
seperti ini, Shilla hanya mampu memandangi kartu di tangan kirinya dan
surat di tangan kanannya.
Bergerak.
Shilla menyadari itu, ia buru-buru meletakkan kedua benda di tangannya
itu, dan menggenggam tangan Rio. Benar saja, tangan itu bergerak,
jari-jari itu terasa menggeliat dalam tangannya. Shilla langsung menekan
bel berkali-kali.
Semua terasa terlupakan, yang di nanti, mungkin akan segera kembali.
***
Irama mungkin tak sama. Satu nada menghilang. Tunggu aku di pintu surga, sahabat..
***
Gerimis
cukup untuk membasahi payung yang menutupi kedua orang yang sedang
berjalan di bawahnya. Langit sendu, sesendu raut wajah laki-laki yang
baru sadar bahwa sahabatnya telah pergi, tanpa pernah ia merasakan
pamitnya.
Tak
ada pusara. Tak ada jejak tertinggal. Hanya kenangan yang terus
melekat, meski rasanya menyesakkan. Dan yang pasti, penyesalan, segudang
penyesalan.
Payung
di letakkan di ujung teras. Rio tampak pilu untuk memasuki ambang pintu
yang menganga lebar, seolah menantikannya sejak lama. Ia tahu diri, ini
sudah lewat sebulan, dan ia baru datang. Padahal ialah sang sahabat
yang selalu di agungkan oleh pemilik rumah ini.
“Semua
tahu Yo kamu sakit, semua ngerti kenapa kamu baru datang hari ini”
Shilla yang dapat membaca segala cemas dari laki-laki di hadapannya,
mencoba menguatkan serta meyakinkan.
“Tapi...”
“Nak
Rio ?” seorang ibu, dengan selendang hitam yang tak kunjung lepas,
sejak berita itu datang, sejak Shilla datang ke rumah ini seorang diri
dan menangis tanpa pegangan. Sejak kehilangan itu menyeruak dalam
dingin, sedingin ia yang telah pergi.
“Tante,
maafin Rio, Rio..” dan tanpa membiarkan Rio menyelesaikan kalimatnya,
ibu itu langsung saja memeluk Rio, memeluknya dengan cucuran air mata
yang mengalir tanpa henti.
“Alvin Yo, Alvin..dia udah pergi, dia hilang di gunung..dia..”
“Iya tante, Rio tahu..”
Shilla
hanya dapat menyaksikkan. Rio sendiri sempat marah kepadanya, ketika
baru kemarin kabar itu ia sampaikan. Bukan sengaja menundanya, tapi
Shilla mengerti, tidak akan mudah Rio menerimanya. Karena ia sendiripun,
masih tidak bisa menerimanya.
Setelah
tangis yang sarat kehilangan, Shilla menemani Rio yang masih terguncang
dalam kesedihannya, menelusuri sisa-sisa yang tertinggal dalam kamar
Alvin yang rapi. Dengan kardus di tangannya, Rio memasukkan semua foto
dan barang milik Alvin, ia akan membawa semua itu ke rumahnya, sudut
kenangannya.
Tidak
hanya Rio, Shillapun merasa sesak ada disini. Sesak memikirkan bahwa
tubuh itu sempat memeluknya di pertemuan terakhir mereka. Shilla duduk
menghadap meja belajar Alvin, membaca judul-judul buku yang ada disana.
Ia mengambil satu buku, yang tidak masuk dalam barisan buku lainnya,
melainkan tergeletak secara asal, terlihat bahwa mungkin itu buku
terakhir yang Alvin baca.
Dilingkupi
rasa penasaran, Shilla membuka buku itu, dan alangkah terkejutnya ia,
mendapati apa yang terselip di halaman pertama buku tersebut.
Selembar foto, dan itu fotonya. Foto Shilla dalam balutan seragam SMPnya.
“Apa itu Shil ?” tanya Rio yang mendekatinya.
Buru-buru Shilla menutup buku itu, dan tersenyum ke arah Rio. “Buku, kayanya bagus, mau aku bawa pulang, boleh kan Yo ?”
Rio mengangguk, ia mengacak pelan poni Shilla. “Love you..”
“Love
you too..” balas Shilla langsung. Tak ingin kehilangan waktu. Ada
banyak hal yang telah mengajarkannya tentang bersukur. Rio kembali
menggeledah sisi lain kamar Alvin, dan Shilla hanya memperhatikannya,
laki-laki itu, Tuhan telah memberinya mujizat untuk umur yang masih
ditambahkan, berkah yang tak ternilai harganya.
Hari
yang panjang. Mereka berdua menghabiskan satu hari ini di rumah Alvin
atas permintaan Rio yang tentu saja tidak akan Shilla tolak. Dan kini
mereka ada di mobil, tepat di depan rumah Shilla.
“Makasih ya Shil, hari ini kamu udah mau nemenin aku..”
“Makasih ? ini udah kewajiban aku Yo, kamu enggak perlu bilang makasih sama aku”
“Kamu memang yang terbaik, aku pulang ya..”
“Hati-hati ya, enggak usah ngebut, aku enggak mau kejadian kemarin keulang lagi”
Rio
mengangguk mengerti. Shilla turun dari mobil Rio, dan menyaksikan mobil
itu melaju perlahan dari hadapannya. Ia bergegas masuk ke dalam rumah,
ada yang ingin buru-buru ia baca, yang ingin buru-buru ia ketahui, untuk
apa ada fotonya di dalam buku milik Alvin.
***
Namanya Shilla, tapi aku lebih suka memanggilnya gadis pelangi..
Karena pertama kali aku melihatnya, adalah saat pelangi muncul dengan indahnya setelah hujan..
Karena pertama kali aku melihatnya, adalah saat pelangi muncul dengan indahnya setelah hujan..
Ia adalah ujung senja yang tak akan pernah dapat ku sentuh..
Ia adalah dermaga namun bukan tempat untukku menepi..
Aku hanyalah semacam rintik hujan yang jatuh..lalu jejaknya segera hilang
Ia adalah dermaga namun bukan tempat untukku menepi..
Aku hanyalah semacam rintik hujan yang jatuh..lalu jejaknya segera hilang
Dia istimewa..
dan aku menyukainya, ia alasan untuk waktu-waktu yang diam dalam duniaku
dan aku menyukainya, ia alasan untuk waktu-waktu yang diam dalam duniaku
Satu-satunya cara, yang tidak pernah berani ku coba
untuk membuatku sedikit lebih bahagia dari hari ini
adalah menepikan jejak tentangnya..
untuk membuatku sedikit lebih bahagia dari hari ini
adalah menepikan jejak tentangnya..
Ia gadis pelangi..dan aku penikmatnya, bukan pemiliknya..
-Alvin-
TAMAT.
Komentar
Posting Komentar