THE BEST BROTHER FOR ALL

The best brother of all time…

Kakak…

Cukup kuat kah kau?

Cukup tangguh kah kau?

Sanggupkah kau menahannya?

Kakak…

Ceritakan semuanya padaku

Aku mau jadi pendengarmu

Aku akan menyisihkan waktuku untukmu

Kakak…

Apakah kau mengerti?

Perasaanku yang begitu sakit

Sakit sekali ketika mendengar semuanya

Kakak…

Tegakah engkau?

Aku yang selama ini orang yang paling dekat denganmu

Tegakah engkau membuatku bisu saat ditanya mereka ada apa sebenarnya?

Kakak…

Tegakah kau membuatku menyesal?

Tegakah kau membuatku menangis?

Katamu aku tak boleh meneteskan air mata..

Kakak…

Kau tersenyum jika aku bahagia

Kau ikut sedih dan menghiburku di kala aku sedih

Namun mengapa kau melarangku bertanya jika aku mendapatimu sedang menangis?

Kakak..

Apakah kau mau terlihat kuat?

Kalau ya, boleh kau perlihatkan di depan mereka

Tapi jangan di depanku

Kakak…

Kau sosok manusia yang amat ku sayangi

Kau sosok panutanku

Kau sosok pelindungku

Kakak..

Ini yang dapat aku sampaikan

Yang paling dalam dari lubuk hatiku

Aku sayang padamu kak, hingga akhir waktuku



***



“Woi minta tissue dong Cha” Rio menghampiri Acha yang tengah asyik main game, The House of the Dead.

“Buat apaan sih?” Acha mengalihkan pandangannya pada Rio tanpa mem-pause gamenya

Belum sempat Rio menjawab, Acha sudah keburu teriak. “Aaaaa, elu sih Yo ! Liat nih ! Nyawa gue kan tinggal satu, ah kan ! Jadi mati ini !!!!” teriak Acha.

“Ah lama lu Cha, cepetan punya tissue nggak?” tanya Rio panik.

“Iya iya bentar. Nih” acha memberikan satu pak tissue kecil yang masih utuh

“Thanks” Rio langsung pergi ke tempat duduknya dan memberikannya pada teman sebangkunya yang sedang menunduk.

“Ada apa Cha?” tanya Shilla yang baru datang dari kantin, membawa makanan yang sebelumnya dititipkan Acha karena Acha sedang bersemangat menamatkan game yang baru ia dapat dari Cakka.

“Tau tuh si Rio, masa tiba-tiba dia minta tissue”

Shilla ngakak, Acha cemberut.

“Ngapa lo Cha, tampang udah jelek gitu pake ditekuk segala” Ozy mencubit pipi Acha gemas, gemaaas banget.

“Muna lo Zy, Acha pacar lo juga” Shilla menengahi

“Hahaha, iya cantiiik. Kalo nggak cantik, nggak mungkin Ozy mau sama Acha”

“Haa, lo Zy ! Ngganggu waktu gue sama Acha aja. Lo kan bisa berduaan sama Acha…”

“Berduaan apa ! Orang berduanya cuma pas berangkat sama pulang sekolah doang ! Nggak dibayar pula, mana si Gabriel ngekor mulu sama Sivia kalo kita jalan”

“Oh, jadi mau dibayar nih?” Acha ikut menimpali

“Ya dibayar dong, dibayarnya dengan cinta. Asiiiik” Ozy ngakak sendiri dengan ucapannya barusan.

“Najis lu Zy, sok romantis lu , pas nembak Acha aja kayak ngajak main !” bentak Shilla

Ozy dan Shilla asik adu bacot, Acha menoleh ke arah Rio yang tadi meminta tissue miliknya.

‘Ngapain ya tadi Rio?’ dilihatnya Rio yang tengah menatap Gabriel dengan sorot cemas

“Ngapain Rio ngeliatin kakak gue?” gumam Acha pelan.

***

Ya, Gabriel adalah kakak kandung Acha. Mengapa bisa sekelas? Gabriel hanya beda 10 bulan dari Acha. Akhirnya mereka disekolahkan di sekolah yang sama dan kebetulan sekelas.

Pertamanya, Acha tidak tahu banyak tentang Gabriel, jelas. Itu semua dikarenakan Gabriel dulunya di sekolahkan di Amerika. Acha hanya tau fotonya dari mamanya yang rutin menghubungi Gabriel yang tinggal dirumah sepupunya yang ada disana. Lambat laun, Acha mulai mengenal Gabriel lebih jauh setelah ia dan Gabriel tinggal bersama, jelas saja, mereka kan satu keluarga. Namun mereka berdua sering ditinggal berdua oleh orangtua mereka yang sibuk satu sama lain. Yang satu sibuk karena pekerjaanya, yang satu lagi sibuk mendampingi pasangannya ke setiap tempat yang dikunjungi pasangannya.

Gabriel sendiri kembali ke Indonesia saat ia lulus dari JHSnya di Amerika. Entah apa yang ia fikirkan. Kalau Acha sendiri berada di posisi Gabriel sekarang, ia akan meneruskan studinya di Amerika. Dan mereka saat ini tengah menanti ujian kelulusan mereka dari SMA.

Namun Acha akrab dengan Gabriel yang pembawaannya ramah tapi misterius dan terkesan cuek. Gabriel juga sering menjadi pendengar yang baik jika Acha sedang ada masalah, apapun itu. Namun jika Acha meminta Gabriel untuk cerita, Gabriel seakan mengganti topik. Acha sendiri tidak ambil pusing, ia juga tidak mau terlalu ikut campur urusan orang meskipun itu kakak kandungnya sendiri.

Ozy sendiri pertama kali melihat Gabriel sedikit jealous juga. Ozy dan Acha membina hubungan mereka dari kelas 3 SMP dan sampai saat ini telah terjalin dengan baik dengan bumbu pertengkaran dan salah paham kecil di dalamnya. Waktu itu, Ozy tengah menunggu Acha di stasiun. Rencananya mereka akan jalan-jalan ke tempat wisata berdua.

Ozy membuang pandangannya karena bosan melihat kereta yang silih berganti lewat di hadapannya. Tepat pada arah mata Ozy melihat, ada sosok perempuan yang begitu dikenalnya dengan baik sedang tertawa lepas kemudian laki-laki yang ada disampingnya mengejarnya dengan sorot gemas. Entah apa yang dilakukan mereka.

Ozy menatap laki-laki tadi dengan tatapan jealous. Ozy segera menghampiri Acha.

“Eh Ozy” ucap Acha begitu menyadari kehadiran Ozy

“Acha, siniin nggak” ujar laki-laki itu sambil merebut bingkisan kecil yang Acha genggam sedari tadi

Acha menoleh lagi ke arah laki-laki itu sambil menyembunyikan bingkisan itu dibalik tubuhnya sambil tersenyum jahil.

“Nggak, tunggu sampe Sivia dateng” ujar Acha kembali

‘’Sivia? Mirip nama sepupu gue’ batin Ozy

“Ah elo Cha, ntar bingkisannya rusak” ujar laki-laki itu kembali

Merasa kesal, Ozy menarik Acha kasar.

“Au, apa sih Zy kok tarik-tarik? Sakit tau” kata Acha sembari mengusap lengannya yang tadi ditarik Ozy secara kasar.

“Dia siapa?” tanya Ozy dengan tatapan marah

“Dia siapa? Siapa apanya?” Acha balik bertanya

“Dia” Ozy menunjuk laki-laki yang tadi datang bersama Acha dengan sorot mata yang orang sekali lihat dapat diketahui bahwa Ozy, cemburu.

“Oh, emang kenapa?”

“kamu kok balik nanya terus sih?”

“Lah, kamu kenapa sih Zy? Kok tau-tau marah sama aku? Ngomongnya jutek gitu segala pake narik tangan aku lagi !” Acha agak sebal juga atas perlakuan Ozy.

“Cha.. siniin dong bingkisannya, keburu dia dateng” laki-laki itu terus mencari celah Acha yang terus menggenggam kuat bingkisan itu.

“Bentar dulu yel…” Acha menimpali

Ozy bingung sendiri. “yel ? Dia siapa sih?” tanya Ozy lagi

“Maksud kamu dia?” tanya Acha balik sambil menunjuk laki-laki tadi yang telah berhasil kembali merebut bingkisan miliknya.

“Iya” jawab Ozy ketus

“kamu cemburu Zy?” tanya Acha dengan tawa gelinya

“Yel, perkenalin diri lo deh” sambung Acha sambil menoleh ke arah laki-laki tadi.

“Ke siapa?” tanya laki-laki itu.

“Ah, ribet ya. Ozy , ini kakak aku, namanya Gabriel, panggil aja Iel” Acha meraih tangan Gabriel a.k.a laki-laki tadi dan Ozy secara bersamaan.

“Oh? Jadi ini yang kamu ceritain waktu itu Cha? Gabriel yang kakak kamu dari Amerika itu?” raut muka Ozy berubah begitu Acha menyebutkan nama laki-laki itu dan langsung menyalami tangan Gabriel secara ramah.

“Hai Kak, nama gue Ozy, pacarnya Acha”

“Nggak usah panggil Kak kali, panggil gue Iel aja”

“Nah, kan? Kamu nggak usah jealous sama Iel” Acha tertawa kecil

“Hm, jadi kan Cha jalan-jalannya?” tanya Ozy

“Jadi, tapi tunggu seseorang dulu ya..” Iel ikut menimpali

“Siapa?” tanya Ozy

“Gabriel, maaf ya aku telat” ucap seorang perempuan yang tengah berlari kecil ke arah Gabriel.

“Nah, ini Sivia, Zy” Gabriel memperkenalkan.

“Nih gini ya biar nggak salah paham. Iel itu kakak aku yang baru datang dari Amerika tiga hari yang lalu, tepat pas kita mulai libur sekolah. Dan cewek cantik disebelahnya, pacar Iel nih. Tau dah pas kapan kenalnya. Hahaha” jelas Acha panjang lebar.

“Emang ada apa sih Cha?” tanya Sivia

“Nggak usah dikenalin Cha” kata Ozy sambil menahan tawanya

“Loh? Kenapa? Kan biar kamu nggak jealous lagi, Zy..” ujar Acha heran

“Sivia sepupu aku” ucap Ozy

“Sepupu kamu?” tanya Acha balik

“Iya, dia juga sekolah di Amerika” jelas Ozy

“Oh, ini Ozy? Aku lupa sama wajah kamu Zy, waktu terakhir kita ketemu, kamu belum sebesar ini, masih tinggian aku, hehe” kata Sivia sedikit terkejut

“Dan kemaren pas aku bilang aku ke di ajak mama aku jalan, ternyata aku di ajak ke bandara buat jemput Sivia”

“Oh, dunia ini sempit ya, emm, jangan jangan kalian kenalnya di Amerika ya dan dan kalian satu sekolah?” tebak Acha

“100 persen Cha” ujar Gabriel

Acha tersenyum senang, yey tebakannya benar

“100 persen salah” lanjutnya

“Hahahaha, Acha.. Acha.. nggak harus kenal di Amerika kan?” kata Gabriel santai

“Hm, tapi yang satu sekolahnya itu bener kok” sahut Sivia lembut, benar benar anggun dan benar benar pantas pula dengan kodratnya sebagai perempuan. Tapi anggunnya anggun konyol. Lucu deh tampangnya.

Acha tersenyum dan menjawil tangan ceking Gabriel gemas,”tuh dengerin kak, jadi orang tuh yang lembut kayak Sivia”

“Au ah, ayo jalan” sahut Gabriel sambil memegangi tangannya yang tadi dicubit gemas oleh Acha.

Acha menerawang ke atas, kejadian itu sudah lama berlalu, tapi masih berbekas di ingatannya. Selamanya.

***

“Yaudah, gue cabut duluan ya, sob. Gue mau nganter Ify pulang” pamit Rio sepulang sekolah.

“Iya, yaudah sono. Gue juga nganter Sivia pulang” Gabriel membenahi tissue-tissue yang berserakan di kolong mejanya, dan membuangnya ke tong sampah.

***

“Thanks ya, Zy” ucap Acha

“Sama sama”

“Mau masuk dulu nggak?”

“Hmm, nggak deh. Aku pulang duluan ya”

“Eh, Zy”

“Apa?”

“Nggakpapa, hati-hati ya” ucap Acha seraya mencium tangan Ozy. Tanda hormat perempuan pada pasangannya.

“Ekhem” seseorang berdekham keras dan terkesan pura-pura.

“Pacarannya nanti ya, habis UN” lanjutnya sambil memisahkan keduannya

“Ya’elah yel, gini doang sih” sahut Ozy

“Udah sana pulang” usir Gabriel

“Ah elu yel, jahat amat” hardik Ozy sambil menstarter motornya

“Achanya mau belajar dulu. Yuk , Cha” Gabriel menarik Acha pelan

“Hahaha, masuk dulu ya, Zy, dah..” Acha melambai-lambaikan tangannya sambil sesekali mencubit perut dan tangan Gabriel dengan gemas.

***

“Mau kemana yel?” tanya Acha bingung

“Emm, jalan-jalan bentar”

“Ikut dong”

“Jangan !”

Acha bingung. ‘gabriel kenapa sih?’ batinnya

“Hm, urusan cowok soalnya” alasan Gabriel

“Oh, yaudah” ucap Acha sambil lalu

“Mau ngapain?”

Acha menoleh, “Urusan cewek !”

Gabriel melengos dan pergi.

***

Hening suasana ruangan itu. Menambah rasa tegang di hati laki-laki itu.

“Stadium kamu naik” ucap laki-laki itu. Cukup tampan untuk seorang dokter muda.

“Tuh kan bener, obat fungsinya cuma memperlama waktu saya aja dok”

“Itu semua karena kamu nggak mau kemo dan…”

“Bolos check-up” sambung Gabriel cepat

“Jaga kondisi kamu yel”

“Pasti dok”

“Kamu yakin nggak mau ngasih tau keluarga kamu?”

“Jangan dok, saya nggak mau”

“Hem, yasudahlah. Saya juga nggak bisa maksa. Ini resepnya, cepet tebus obatnya”

“Iya dok”

Gabriel meninggalkan ruangan itu dengan hati yang nggak karuan. ‘mungkin emang ini takdir gue, oh iya, dia …’ batin Gabriel lalu segera keluar rumah sakit itu dan mencari sinyal lebih untuk menelfon.

“Halo”

“Halo, kenapa yel?”

“Lo jadi nggak Vin ke Indonesia?”

“Jadi, tapi masih lama, mungkin pas lo mulai UN deh”

“Sip”

“Udah check-up belom?”

“Udah, tenang aja”

“Trus?”

“Trus apaan?”

“Makin baik apa makin…”

“Makin buruk”

“Maksudnya?”

“Stadium gue naik satu”

“Jadi…?”

“Iya”

“Stadium akhir?”

“Iya”

“Gue mesti cepet dateng”

“Bagus, ntar lo tidur di kamar gue aja”

“Nggak penting dimana, yang penting mah keadaan lo”

Gabriel tersenyum, “Thanks ya Vin”

“Sama-sama”

“Udah ya, pulsa gue tekor nih nelponin lo”

“Iya iya”

“Bye Vin”

“Bye”

***

2 bulan kemudian…

“Stress dasar” hardik Gabriel pada Ozy yang sedang belajar bersama di rumahnya.

“Yee, lo yang stress, mana ada rumus fisika macem begini?” sahut Ozy santai

“Eh, Zy, rumus yang lo pake itu ajaib tau nggak? Rumus yang gue pake ini tuh yang biasa di pake”

“Yee, kalo gitu kita minta pendapat Acha” Ozy melirik ke Acha dan bergeser ke tempat Acha.

“Cha, rumus mana yang bener? Yang aku pake atau si iel ini?” tanya Ozy lembut sambil sesekali melirik ke arah Gabriel

“Yang iel pake yang bener” sahut Acha santai

Plak ! Sebuah timpukan pelan buku fisika yang lumayan tebal itu mendarat mulus di kepala Ozy. Gabriel nyengir.

“Kan, makanya nurut sama gue, makanya belajar lebih serius, jangan ngajak adek gue, si Acha, pacaran mulu, 2 minggu lagi kita UN tau” cibir Gabriel

Sivia yang juga hadir disana hanya senyum senyum saja melihat kelakuan ajaib 2 anak manusia itu. Lalu ia menatap Acha, melihat tatapan Acha yang seakan berbicara “Plis dong diem, gue mau belajar !!!!”

***

Gabriel menatap obatnya. Tersisa 2 buah kapsul. Lalu mengambilnya satu dan menelannya bersama air.

“Kapsul terakhir gue kayanya…” gumam Gabriel pelan sambil menimang tempat obat itu.

“Iyel, pinjem pulpen dong” Acha membuka pintu kamar Gabriel tanpa mengetuknya

“Eh, ketuk pintu dulu dong, Cha” kata Gabriel setengah ketus

Acha menatap salah satu tangan Gabriel yang terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. “Itu apa?” ucapnya.

“Nggak, oh iya, lo mau minjem pulpen kan? Ini nih, udah sana balik ke alam lo” usir Gabriel sambil mendorong-dorong Acha keluar kamarnya.

Acha menatap pintu yang tertutup itu bingung.

“Gabriel tambah pucet nggak sih? Tambah kurus ya? Harus gue selidikin” gumam Acha sedikit khawatir

***

Esok malamnya. Acha menghampiri kamar Gabriel yang sedikit terbuka. Dan melihat ke dalamnya.

“Iyel..” panggil Acha halus

Gabriel terkesiap dan menghapus air matanya.

“Lo kenapa yel?”

“Nggak, nggakpapa. Kenapa ?”

“Gue tidur disini ya? Males dengerin alasan papa , sibuk mulu dia”

“Papa kan begitu buat kita Cha, biarin ajalah”

“Seenggaknya ada gitu waktunya buat kita”

“Ada kok”

“Bentar doang, nggak puas !”



Hening sebentar…



“Gue dongengin mau?”

Acha mengangguk, “Tapi gue maunya…”

“Apa?”

“Yel, ceritain dong pertemuan awal lo sama Sivia..”

“Oke, jadi gini..”

-Flashback-

“Iyel ! Anterin dong adek kamu ke sekolah ! Jangan tidur terus !” bentak papa pagi itu.

“Iya iya”

Sesampainya di sekolah….

“Maaf ya yel” pinta Acha

“Nggakpapa, udah sana masuk ntar telat”

“Misi…” seorang perempuan menepuk pundak Gabriel pelan

“Eh , iya” Gabriel kaget

“Eh maaf” ucap perempuan itu sambil menunduk

‘gila, manis banget’ batin Gabriel

“Numpang tanya, ini SMP Nusantara kan?” tanya nya

“Iya”

“Kelas 8.2 dimana ya?”

“Ada kok, deket lab kimia. Masuk aja”

“Aduh, saya nggak berani ke dalem, padahal mau nganterin surat”

“Surat?”

“Sepupu saya sakit”

“Kelas adik saya tuh, nitip sama dia aja. Saya panggilin ya”

Perempuan itu mengangguk. Lalu Gabriel menelfon Acha, “Cha ke gerbang sekarang”

“Emang kenapa yel?”

“Udah, cepetan”

“Iya” klik, telfon diputus

“Em, maaf, namanya siapa ya?” tanya perempuan itu lucu.

‘ha? Dia yang ngajak kenalan duluan’ batin Gabriel

“Gabriel, panggil aja Iel. Kamu siapa ya?”

“Sivia”

Detik itu juga, tanpa sadar Sivia telah masuk dalam kotak hati Gabriel dan menguncinya rapat-rapat.

-Flasbackend-

“Keren kan pertemuan gue sama Sivia?” tanya Gabriel bangga

“Aneh, bukan keren”

“hahaha. Tapi kan hebat, nggak taunya dia juga tinggal di Amerika. Mana satu sekolah pula, sayangnya nggak satu kelas”

***

‘fuuh, untung Gabriel belum pulang, gue bisa selidikin’ batin Acha.

“apaan nih? Obat? Obat apaan nih namanya aneh banget?” gumam Acha

“hm, gue catet aja dah, daripada lupa namanya, aneh sih”

“apa nih? Kok banyak tissue?”

“apaan nih? Tempat sampah isinya tissue ber bercak darah semua?”

“apa jangan-jangan? Gue tanya Rio dah” gumam Acha.

***

“Halo, Rio?”

“Iya, ngapa lu Cha? Tumben nelfon”

“Iel sering mimisan ya?”

“Iya, emang kenapa?”

“Nggakpapa. Dia kenapa sih?”

“Mana gue tau, kan lo berdua yang kakak-adik”

“Dia nggak pernah mau cerita”

“Hm, dia cuma bilang mungkin cuma kedinginan, itu sebabnya gue pake jaket terus gitu katanya”

“Oh, makasih ya, daaah”

Klik. Telfon diputus.

“Gue mesti nyari” Acha beranjak ke laptopnya dan membuka internet

Setelah men-search, ternyata…

“Asli gila ! itu obat kanker !” jerit Acha

Untung saja Gabriel belum pulang, alasannya sih ngajak jalan Sivia.

“Gue harus tanya ke Gabriel !”

***

Malam itu Acha ke kamar Gabriel lagi.

Gabriel batuk, makin lama makin keras. Acha bingung dan segera masuk ke kamar Gabriel, ‘tuh kan dugaan gue bener !’

Gabriel membuka tangannya, ada darah disana.

“Ya ampun yel, bentar ya” Acha berlari ke laci meja Gabriel. Ada sapu tangan pemberiannya disana.

“Nih” Acha menyerahkannya

“Ma..kas..ih..y..ya”

“Lo kenapa sih yel?”

“Nggakpapa”

“Lo makin pucat yel, gue juga liat lo makin lemes akhir-akhir ini, makin kurus”

“Aah, paling cuma kecapean doang”

“Lo juga sering mimisan kan? Gue tanya sama Rio tadi..”

“Itu gue cuma…”

“Apa? Cuma apa? Kedinginan hah? Gue nggak percaya, dan sebentar.." Acha beranjak ke lemari Gabriel.

Acha mengeluarkan botol kecil plastic tempat obat Gabriel bersemayam, “Ini apa? Setelah gue search di internet, ini obat kanker kan?”

Gabriel menunduk, “I..i.ya” jawabnya

“Lo sakit yel?”

“I..ya”

Acha membukan tutupnya, “Udah habis?”

“Iya, dari kemaren. Gue belom beli lagi”

Acha duduk, menghempaskan tubuh nya ke sofa. Gila ! selama ini Gabriel dengan mudahnya nyembunyiin semua ini darinya, dari Sivia, dan dari papa-mama nya.

Gabriel terbatuk lagi, kali ini lebih parah. Dan pingsan.

“Lho ? Iel, lo, ih, aduh gimana nih, aduh, mana cuma berdua dirumah, ah, telfon Ozy !”

Jemari Acha lincah menari di hpnya, namun karena terlalu lincah, sering terpeleset saking paniknya.

“Halo”

“Zy, cepetan ke rumah aku !”

“Ada apa? Udah malem tau, Cha”

“Bawa mobil ya, jangan motor”

“Ada apa sih?”

“Ah, em, Gabriel pingsan, tadi batuk darah, trus mimisan juga”

“Ha? Yaudah, aku ajak Via ya”

“Terserah dah, boleh. Cepet ya”

Klik, telfon diputus

“Aduh yel, kok lo nggak pernah bilang sih?” gerutu Acha masih panic sambil membersihkan darah yang tadi keluar dari mulut dan hidung Gabriel.

Tin..tiin..

Acha segera keluar rumah.

“Cepet Zy, dia mimisan sama batuk darah !”

***

Sepanjang jalan, Acha menceritakan semuanya, dari penyelidikannya, pencarian data di internet dan yang terakhir pengakuan Gabriel tadi sambil terisak. Sivia apalagi. Dia tidak menyangka sama sekali, Gabriel membohonginya.

***

Ozy mondar-mandir di depan ICU.

Krriiittt…

Decitan suara pintu membuat mereka menatap pintu ICU itu lekat.

“Dia koma, padahal saya sudah bilang berkali-kali” ucap dokter.

Acha tersentak, “Bilang apa? Iel kenapa?”

Dokter itu, dokter yang menangani Gabriel dan yang selama ini ikut menyembunyikan penyakit Gabriel. Dia menceritakan semua. Semua tanpa terkecuali.

Sivia makin terisak. Acha? Dia diam mematung.

“Dok, setiap check-up pasti ada hasilnya kan?” Tanya Ozy

“Ada”

“Apa dokter menyimpannya? Soalnya saat saya menggeledah isi kamarnya, saya tidak menemukan hasil lab satu pun” sahut Acha

“Ada di dokumen saya, mari saya antar”

***

Acha menatap hasil lab itu dengan hati yang berdesir, dan takut akan kehilangan menerpanya.

“Oiya, Alvin” dokter itu tiba-tiba mengucapkan sebuah nama yang tidak asing di telinga Acha.

“Alvin?” tanya Acha bingung

“Dia orang yang tahu penyakit Gabriel selain saya dan dokternya di Amerika”

“Dokter punya nomernya?”

“Ini” dokter itu menyerahkan secarik kertas kecil berisikan angka angka yang berderet panjang.

“Makasih dok”

Acha keluar ruangan dan segera menelfon Alvin. Meminta kejelasan semuanya.

***

“Acha ya?” Acha menoleh, seseorang bermata sipit menghampirinya dengan nafas yang terengah-engah dengan membawa tas koper besar.

“Iya, siapa ya?”

“Gue Alvin”

“Oh”

“Lo pulang dulu sana, gue jagain Iel”

“Yaudah, lagian gue udah seharian disini”

“Hati-hati ya”

Acha menoleh, “iya”

***

Alvin menatap sahabatnya itu nanar. Tiba-tiba jemarinya bergerak. Perlahan Gabriel membuka matanya.

“Eh, Alvin”

“Iya, gue”

“Em, tolong ambilin kertas dong sama pulpen”

“Mau ngapain? Keadaan lo belum stabil”

“Udah, cepetan”

“Iya, ini” Alvin meraih tasnya dan mengambil secarik kertas serta sebuah pulpen.

“Thanks. Bisa tolong tinggalin gue sebentar?”

“Yaudah”

Gabriel mulai menulis. Entah apa yang ditulisnya.

***

Alvin masuk kembali ke ruangan ICU itu. Terlihat Gabriel yang masih menggenggam surat itu kuat-kuat. Bibirnya pucat, begitu juga dengan bagian tubuhnya yang lain.

“Udah yel?”

“Udah, ntar kasih ini ke Acha ya kalo gue udah..”

“Nggak, lo pasti sembuh”

“Cih, nggak mungkin. Nggak lama lagi pasti gue mati, Vin”

“Jangan gitu, yel”

“Nggak, gue tau itu”

“Terserahlah. Hm, gue panggil dokter dulu ya?”

“Nggak usah, gue tidur lagi ya? Pusing pala gue”

“Yaudah, tapi gue tetep panggil mereka ya? Buat ngecek keadaan lo”

“Iyadah, thanks ya Vin. Maafin gue ya, udah banyak ngerepotin lo”

“Alvin, iel udah siuman belum?” tanya Sivia sambil membuka pintu ruangan ICU.

“Iel?” panggil Sivia tak percaya

“Via?” sahut Gabriel

“Alvin?” goda Alvin menambahi

“Udahan ah, gue mau ke dokter dulu, silahkan pacaran” goda Alvin lagi

“Maaf” ucap Gabriel tertahan, entah kenapa, nafasnya makin tercekat, dadanya sesak.

“Iya”

“Maaf”

“Iya”

“Maaf”

“Iya”

“Ma..” Sivia menutup mulut Gabriel dengan telunjuknya.

“Sampe kapan lo mesti minta maaf yel?”

“Maaf” ucap Gabriel sambil menitikkan air mata, sakit di tubuhnya makin menjadi jadi. Raut mukanya menunjukkan bahwa sakit itu diluar kadarnya. Sudah terlalu sakit.

“Vi..a, a..k..ku mi..n..nta… ma..a..af” makin sulit rasanya untuk Gabriel mengucapkan satu kata dengan lidahnya. Rasanya, satu kata keluar, seperti seribu sayatan tajam menggores jantungnya.

“Iya” Sivia meraih tangan Gabriel dan menggenggamnya.

“a..a..kku.. ma..u t..tid..dd..dur y..ya”

“Iya” tangis Sivia makin pecah

“Maaf” kata itu meluncur begitu saja dengan lancar seolah mengantarkan pada Gabriel untuk tidur nyenyak tanpa ada rasa sakit lagi.

Melihat itu, Sivia pasrah.

“Makasih yel, makasih banget kamu udah ngisi kehidupan aku”

“Dokter, ini tadi Gabriel udah sadar” ucap Alvin seraya masuk ruangan ICU.

“Loh? Vi? Kenapa?” tanya Alvin bingung

Sivia tidak menjawab, tetap menangis dan tetap menggenggam tangan Gabriel erat.

“Sebentar, Sivia tolong permisi…” Alvin mengangguk mengerti dan melepaskan genggaman Sivia dengan Gabriel dan menuntunnya untuk duduk di sofa depan ruang ICU.

“Sabar, Via” Alvin merangkul Sivia hangat.

Sivia terus menangis.

“Hei? Sivia kenapa nangis?” tanya Acha yang baru datang dengan tampang ceria.

“Maaf, dia sudah pergi” ucap dokter saat keluar dari ruangan ICU.

Tangis Sivia tambah deras.

Acha bingung, “maksudnya?”

“G..ga..bri..el u..ud..dah tenang, d..dia ud..dah pergi” sahut Sivia masih dengan isakkannya yang memilukan. Kalimatnya kadang tergagap, kadang lancar.

Acha limpung. Ozy yang baru datang langsung menangkap sambil terduduk jatuh bersama kekasihnya yang menahan isak tangisnya.

“Ada apa?” tanya Ozy kepada siapapun yang mau menjawab

“Gabriel udah nggak ada” Alvin menjelaskan, Alvin juga meneteskan air mata. Jelas saja, Alvin adalah teman sekaligus saudara angkat Gabriel sejak Gabriel sekolah di Amerika.

Ozy tersentak. Kenangan bersama Gabriel terputar di otaknya dengan cepat. Gabriel, yang 3 tahun terakhir ini adalah teman bertengkarnya. Yang pertama kali bertemu menyebabkan dia cemburu karena salah paham. Sekarang…sudah pergi.

***

Pemakaman Gabriel berjalan lancar. Semua sudah pulang, tak terkecuali Acha, Alvin, Sivia dan Ozy. Serta kedua orang tua Acha dan Gabriel. Papa-mama langsung berangkat lagi ke tempat kerja selanjutnya yang tidak bisa ditunda. Mendengarnya, Acha marah.

“Pa ! Iel meninggal ! Papa ngerti nggak sih? Kenapa papa masih mikirin kerja juga sih? Kenapa pa? papa nggak sedih apa !” bentak Acha kasar, Alvin menahannya. Sivia? Tengah ditenangkan Ozy di lantai atas, kamar Gabriel dan Acha.

“Udah, Cha” kata Alvin lembut.

“Vin, dia nggak ngerti !” sahut Acha masih dengan berurai air mata.

“Cha, papa ngerti. Ngerti, tapi ini benar-benar nggak bisa ditinggalkan, pemakaman Iel juga sudah selesai. Jadi setelah ini papa dan mama harus berangkat lagi”

“Papa ! masih sempetnya ya papa mikirin kerjaan ? Ah, Acha nggak mau tau lagi, semua terserah papa”

“Maaf Cha…”

Acha lari ke kamar Gabriel yang sekarang jadi kamar Alvin.

“Alvin, jelasin ya ke Acha. Om pergi dulu sama tante”

“Iya om, pasti”

***

Malam penuh duka, Acha termenung di balkon kamarnya. Dipandanginya foto kakak kandungnya itu dalam. Satu yang nggak pernah dia ucapkan kata “kakak”.

Alvin masuk ke kamar Acha.

“Cha.. ini ada titipan dari Gabriel”

Acha menoleh, “Apa?”

“Surat, ini” Alvin menyerahkan surat itu. Masih ada sedikit bercak darah di ujung kertasnya.

“Dibaca?” tanya Acha. Agaknya otaknya jadi error setelah menagis seharian.

“Iya, kita baca berdua ya?” tawar Alvin

“Kakak yang bacain aja”

“Kakak?”

“Bolehkan gue manggil elo kakak? Mulai sekarang kan lo kakak gue, gue nggak mau ngulang kesalahan yang sama. Gue mau manggil elo dengan sebutan kakak”

Alvin menatap Acha iba, “Boleh. Gue seneng kok punya adik”

“Baca kak”

“Iya”

Untuk Acha…

Yang cantik, yang manis, yang pinter, yang lucu

Tapi juga…

Yang ngeselin, yang cengeng, yang nyebelin, yang cerewet

Acha, adikku tersayang. Ejieee, bahasa gue romantis amat ya?

Acha, maafin gue ya kalau selama ini gue nggak pernah mau cerita ada apa sebenarnya. Maafin gue yang nggak pernah mau cerita masalah gue ke elo. Itu semua karena gue nggak mau ngeliat elo nangis, Cha. Gue nggak suka liat cewek nangis terutama elo, mama, dan tentu saja Sivia. Hehehe … tapi gue selalu cerita kan kalau gue lagi seneng ? walaupun setelah itu lo bakalan ketawa terus dan habis-habisan ngeledekin gue karena ulah konyol gue.

Gue akan cerita sekarang, tapi lewat surat ini aja nggakpapa ya?

Soalnya saat ini pasti gue udah pergi jauh Cha, lo udah nggak bisa liat gue lagi sekarang. Eh, bisa deng, liat foto gue aja kalau kangen sama gue…

Langsung aja ya Cha..

Gini Cha, tahun terakhir gue tinggal di Amerika kemarin, gue sempat check-up. Itu semua gue lakuin karena dua tahun terakhir gue disana, gue sering mimisan, demam, yaa semacam itulah. Pertamanya gue kira cuma masuk angin biasa atau demam biasa. Kalo mimisan yaa mungkin karena gue kedingingan kali ya, makanya gue jadi sering pake jaket lebih sering dibanding biasanya setelah itu. Sebab lain gue mau disuruh check-up adalah saat itu ada salah paham antara gue dan Sivia. Sivia bilang, “aku mau maafin kamu, tapi kamu harus periksain keadaan kamu sekarang. Aku nggak mau keadaan kamu tambah parah”. Ya karena itulah gue check-up ke dokter. Sebenarnya salah paham antara gue dan Sivia juga karena Sivia cemburu berat sama gue. Asal lo tau aja ya Cha, gue terkenal ganteng sama pinter disana, di sekolah gue. Jadi ya banyak yang sms gue, nelfon gue. Dan Sivia cemburu banget. Tapi nggakpapalah, tandanya Sivia sayang kan sama gue, Cha?

Seminggu setelah gue check-up, gue ambil hasilnya di rumah sakit. Tapi yang nggak gue sangka sama sekali adalah hasil dari uji lab tersebut. Dan lo tau Cha? Hasil dari lab itu menunjukkan bahkan meng-capslock besar-besar bahwa gue, mengidap penyakit kanker hati stadium 2. Tapi gue juga nggak nyangka sebulan setelahnya stadium itu naik jadi stadium 3. Wow, separah dan sedahsyat itukah penyakit kanker yang sering gue denger dan mematikan itu?

Oke, fine. Akhirnya gue mutusin untuk pulang ke Indonesia. Gue mau ngabisin sisa waktu gue sama keluarga gue, sama Sivia juga. Salah satu penyebab gue pulang ke Indonesia juga karena Sivia mau ngelanjutin SMAnya di Indonesia. Selain itu, gue kangen sama keluarga, Cha. Gue kangen suasana rumah, kangen makan bersama walau itu jarang. Kangen berantem sama lo, kangen sama masakan mama, kangen sama cerita-cerita konyol lo, bahkan gue… kangen sama amarah papa. Gue kangen papa ,Cha. Papa yang sibuk sama kerjaannya.

Keluarga kita yang di Amerika juga nggak tau tentang keadaan gue. Jadi jangan tanya mereka, mereka bener-bener nggak tau apa-apa soal gue. Gue udah cukup bahagia tinggal sama mereka dengan keadaan yang sederhana. Gue tau mereka banyak masalah, terutama di hal keuangan. Dan gue juga memutuskan kerja sambilan disana. Itu sebabnya gue sering pulang malam. Lo dan papa-mama juga nggak tau itu kan, Cha? Karena gue juga nggak mau ngerepotin papa-mama. Yang gue mau, papa-mama udah cukup bayarin sekolah gue disini aja udah cukup. Uang saku yang papa-mama kasih juga cukup buat jajan gue yang nggak banyak. Sisanya gue tabung. Dan tabungan itu di tahun terkahir hampir habis karena biaya check-up dan obat kanker yang sama sekali nggak murah.

Kalo lo tanya, “kenapa lo nggak kemo?”. Gue bisa jawab. Gue tau keluarga kita tergolong sederhana , Cha. Gaji papa udah cukup buat bayar sekolah gue, sekolah lo, biaya hidup keluarga kita, uang saku gue buat di Amerika. Dan sisa gaji papa juga harus ditabung kan untuk di masa depan? Gue nggak mau nambah beban pikiran papa-mama. Gue nggak mau papa lebih memeras otaknya lagi untuk bagaimana caranya punya uang lebih untuk biaya-in gue kemoterapi. Liat aja papa sekarang. Kita udah mau kuliah, dia sibuk terus kan?

Selain itu, gue juga nggak mau botak. Oke untuk alasan yang terakhir terasa konyol dimata gue, termasuk dimata lo juga. Pasti lo ketawa kan ?! hhahaha :D

Sivia nggak tau juga soal ini. Gue nggak mau dia sedih. Gue juga nggak buat surat buat Sivia. Karena gue nggak tau mau ngomong apa buat dia. Sampaikan kata “maaf” gue buat dia. Gue tau gue udah beribu kali bilang itu ke dia. Sudahlah. Sampaikan saja kata “maaf” gue tadi ke Sivia.

Acha, gue capek nulisnya nih. Liat aja tulisan gue udah amburadul gini. Udah acak-acakan.

Terakhir, satu kata buat kalian semua, termasuk lo, Cha. Adik gue yang paling gue sayang. Sebenernya gue rada nggak rela juga nitipin lo ke Ozy. Secara anaknya rada gila gitu. Hehe, maaf Cha. Tapi mau nggak mau gue harus relain lo ke Ozy. Karena gue nggak bisa selamanya jagain lo. Kalo bisa, pasti dengan senang hati gue jagain lo, Cha. Dan gue juga ngirimin pengganti gue kok.

Gue juga nggak rela ngelepas Sivia. Tapi, hidup Sivia masih panjang. Masih sangat panjang. Bilang ke dia, gue sayang, cinta, suka sama dia. Bilang ke dia, dia cinta pertama gue. Bilang ke dia, dia yang bikin gue ngerti hidup ini dengan cinta di dalamnya. Karena gue selama ini melihat kehidupan gue dengan kesendirian. Tapi semenjak gue kenal Sivia dengan tampang gue yang kusut bener waktu itu, gue jadi ngerti semuanya. Lo udah gue ceritain kan waktu gue pertama kali ketemu Sivia dan gue langsung suka? Kalo lupa, minta ceritain Sivia aja ya. Tapi jangan dalam keadaan sedih-sedih. Kalo sedih, mendingan nggak usah cerita. Gue udah bilang kan? Gue nggak suka liat cewek nangis apalagi kalian berdua. Ditambah mama tentunya.

Gue sadar betul Cha…

Gue udah nggak bisa ngehibur lo lagi, Cha.

Gue udah nggak bisa ngelindungin lo lagi, Cha.

Gue udah nggak bisa ada di sisi lo lagi, Cha.

Gue udah nggak bisa ngebela lo lagi, Cha.

Gue udah nggak bisa ngejagain lo lagi, Cha.

Tapi…

Gue akan selalu ada di hati lo.

Jadi bintang paling terang di langit.

Senyum gue akan selalu terlihat di awan.

Foto gue jadi pajangan paling keren di kamar lo.

Oke, untuk yang terakhir tadi konyol. Tapi emang iya kok, gue ganteng dan keren. Jangan lupa gue juga pinter. Buktinya gue dapet beasiswa sampe lulus perguruan tinggi. Tapi waktu ngehalang gue untuk menyelesaikan beasiswa itu. Jangan lupa juga gue setia. Setia sama Sivia. Lo juga harus gitu ya? Setia sama Ozy.

Maaf . Cuma itu yang bisa gue kasih ke lo. Ke mama. Ke papa. Ke Sivia. Ke semuanya.

Oya, bakal ada temen gue dari Amerika juga yang bakal pindah ke Indonesia. Temen gue. Temen baik gue. Bisa dibilang dia anak angkat keluarga kita yang di Amerika. Dia bakalan tinggal sama lo. Gue tau Ozy bakal mencak-mencak. Jelas aja. Temen gue itu ganteng. Keren deh pokoknya. Tadinya malah gue pikir, lo sama dia aja. Eh nggak tau nya lo udah sama Ozy.

Namanya Alvin Jonathan. Panggil aja Alvin. Inget nggak orang yang gue ajak ke rumah 2 tahun lalu? Gimana? Keren kan?

Dia udah kenal Sivia kok. Dia juga orang Indonesia. Alvin udah kenal Sivia jauh sebelum gue kenal Sivia. Hm, ralat. Dia kenal setahun sebelum gue kenal Sivia. Gue di kenalin sama Sivia juga sama Alvin. Padahal waktu itu gue udah kenal pas di Indonesia. Tapi ya gue hargain usaha Alvin lah.

Ya ampun, Cha. Pegel banget gue. Udah nggak kuat megang pulpen lagi nih. Liat aja, makin keriting kan tulisan gue. Kalo dijadiin mie kayanya enak. Hehehe :p

Udah ah Cha. Jangan nangis dong..

Gue tau lo pasti nangis sekarang. Jangan lupa tunjukkin surat ini ke Sivia ya. Ke papa-mama juga boleh. Ke Alvin juga boleh. Ke siapapun yang kenal gue juga boleh. Simpen surat ini selalu ya? Ini permintaan terakhir gue.

Makasih ya, Cha. Lo udah jadi penyemangat hidup terbesar gue. Jadi orang yang paling sering bikin gue ketawa dengan lelucon konyol yang lo dapet dari Ozy. Gue jadi rada nggak rela (lagi) untuk pergi. Tapi sekali lagi, maaf, gue harus pergi.

Sering-sering ya dateng ke rumah gue. Rumah terakhir. Jangan rumah yang di Amerika.

Oya, jangan lupa belajar. Belajar yang rajin. Kan mau UN. Gue mau kamu dapet nem sempurna. Kalo Ozy ngajak lo jalan, tenang aja. Gue udah siapin Alvin. Alvin yang paling tau gue. Penyakit gue juga hanya dia yang tau. Maaf tadi salah bilang, cuma Alvin yang tau di keluarga kita mau yang di Amerika atau di Indonesia.

Gue harap, kehadiran Alvin bisa bikin lo nemuin sosok kakak selain gue. Dia seumuran sama kita, cuma sekolahnya kecepetan setahun. Jadi dia udah kuliah. Dia beneran persis sama gue. Gue harap, Alvin bakal bisa gantiin sosok kakak buat lo. Walau gue tau, gue nggak akan pernah terganti kan? Gue tau kok, gue kan baca diary lo, Cha. Hehehe, maaf ya…

Oh ya, terakhir, soal Sivia. Bilang ke Alvin, gue mau dia yang jagain Sivia. Yang gantiin posisi gue di hatinya. Bilang ke Alvin, ini permintaan terakhir gue. Bilang ke Sivia, dia nggak perlu repot-repot cari pengganti gue, udah ada Alvin.

Udah beneran ah , Cha. Daritadi bilang udahan nggak udahan-udahan. Bye.



Tertanda

Kakak terhebat sepanjang masa,





Gabriel Stevent Damanik





Tangis Acha makin pecah kala mendengar semuanya. Alvin mengusap air matanya sambil tersenyum. Senyum pahit.

“Kak, sesuai apa yang diinginkan sama Iel. Kasih tau semua ini ke Sivia, Ozy, sama Rio”

“Rio siapa?”

“Temen sebangkunya Iel, pasti dia tertekan juga kan?”

“Hm, kakak fotokopi trus kakak kirim deh ya? Ke papa-mama, ke Rio, ke Siv..” tawar Alvin

“Sivia sama Ozy biar kita samperin aja Kak ke rumah mereka”

“Kapan?”

“Minggu depan, gue nggak yakin dia siap kalo sekarang”

“Yaudah, kamu tidur ya. Ini, suratnya simpen, jangan sampe lecek”

***

Alvin menatap semua foto Gabriel yang ada di kamar Gabriel yang telah berganti majikan, menjadi dirinya.

“Gabriel, lo yakin?..” tanyanya pada foto Gabriel yang terpampang besar di kamarnya.

“Lo yakin nitipin Sivia buat gue?”

Pikirannya melayang ke tahun yang ia lalui bersama Gabriel

“Yel, gue akan berusaha. Jadi kakak yang baik buat Acha, dan mulai menyayangi Sivia semampu gue…” air mata keluar begitu saja dari mata sipitnya.

***

“Ini semua Gabriel yang nulis? Kapan?” Tanya Sivia setelah membaca surat Gabriel.

“Sebelum lo dating kemaren, dia sempet siuman sebentar dan minta gue ngasih pulpen sama kertas. Nggak taunya dia nitip surat ini dan minta gue ngasih ini ke Acha” jelas Alvin.

“Alvin, gue nggak bisa buka hati gue sekarang, tapi gue akan berusaha..” ucap Sivia.

“Gue juga, gue nggak bisa secepat itu dan semudah itu untuk sayang sama lo” balas Alvin. Dia nggak bohong.

“gue juga bakal usaha..” sambungnya.

“Kita ke rumah Iel yuk?” usul Acha sambil tersenyum. Sudah tak ada lagi tangis. Sudah tak ada lagi rasa kesalnuya pada papa. Ia sudah rela sepenuhnya.

“Yuk” sahut Sivia sambil meraih tangan Alvin dan mengahpus air matanya lalu tersenyum. Alvin bingung, “Via?” matanya melirik ke arah tangannya.

“Gue udah bilang, gue akan berusaha” sahut Sivia santai. Tampaknya dia juga seperti Acha. Rela. Mau gimana lagi?

***

“Yel, nih aku udah coba buat sayang sama Alvin” ucap Sivia memecah keheningan yang tercipta di pemakaman itu.

“Gue juga, yel. Gue akan coba” sambut Alvin

“Gue akan setia sama Acha, yel” janji Ozy

“Gue akan belajar serius, yel” kata Acha lirih

Tanpa mereka sadari, awan membentuk seutas senyum. Mewakilkan senyum Gabriel yang kini sudah tidak dapat dilihat dengan nyata.

***

Malam itu, Acha dan Alvin duduk santai di balkon rumah. Memerhatikan bintang-bintang yang bertebaran luas. Tumben banyak bintang, biasanya jarang.

“Banyak bintang ya kak, apa iel ada di salah satu bintang itu?” Tanya Acha

“Iel nggak mungkin jadi bintang Cha, tapi dia menyampaikan sinar bahagianya dan ketenangannya disana lewat bintang”

“Hm, udahlah. Acha tidur duluan ya” pamit Acha setelah puas memandangi bintang

“iya”

Mata Alvin mengekori langkah Acha yang sampai di depan kamar tidurnya. Menatap bingkai foto yang ada di meja sebelah pintu kamarnya.

“Kak iel..” lirihnya. Acha tersadar, mengambil nafas dan menghembuskannya. Lalu masuk ke kamarnya

Alvin menatap bintang-bintang itu lirih.

“Gabriel. Gue adalah gue. Lo adalah lo. Gue akan berusaha menjalankan tugas lo. Tanpa mengubah posisi lo di hati mereka. Acha dan Sivia. Lo beruntung ya yel. Gue janji, gue akan usaha semampu gue”

Alvin tersenyum dan menutup pintu luar serta mematikan seluruh lampu yang ada di dalam rumah.

Alvin berhenti sebentar menatap foto Gabriel. Dan tersenyum, lalu mematikan lampu terakhir yang masih menyala.

***

Pagi hari, UN pertama untuk SMA dimulai.

“Good luck ya Cha” Alvin tersenyum.

“Thanks kak” ujar Acha kemudian berlalu masuk ke kelas. Alvin terdiam sebentar. Sivia datang bersama Ozy.

Alvin member senyumnya pada Sivia dan Ozy. Ozy membalasnya lalu mengejar Acha yang sudah lebih dulu masuk ke kelas. Sedangkan Sivia mengampirinya.

“Gue rasa, gue udah siap buka hati gue buat lo” ujar Siviaa

Alvin tersenyum, lalu menatap Sivia. “Do you wanna be my girl?”

Sivia mengangguk, “Yes, I do”

“Good luck ya Vi, sana masuk kelas. Ujian yang bener” kata Alvin

“Makasih ya” Sivia tersenyum dan kemudian berlalu.

Alvin tersenyum dan mendongakkan kepalanya ke atas.

“Gue yakin, lo tersenyum sekarang yel. Gue akan mulai semuanya mulai hari ini dan selamanya”

Alvin tersadar, awan itu membentuk seulas senyum.

“Wakil dari senyum lo awan ya yel? Sejak kapan lo jadi puitis gitu?” gumamnya lalu tertawa kecil.

***

Kakak…

Sampai kapanpun

Posisimu tak akan pernah terganti

Meski kini ada sosok kakak baru di depanku

Kakak…

Terima kasih kau telah mengirimnya

Tanpanya. Mungkin mataku masih bercucuran air mata

Sosoknya mengingatkanku padamu

Kakak…

Tiga kata dan dua kalimat untukmu

Kau takkan terganti dan aku sayang padamu

Kau kakak terbaik sepanjang masa hidupku



Larissa Safanah Arif





Acha menutup suratnya dan menyelipkannya di bawah bantal. Berharap malam itu ia bertemu dengan Gabriel di alam mimpinya.

***

Sivia memandang bintang di langit.

“kamu akan tetap hidup di hati aku yel, dan Alvin akan nemenin kamu di hati aku” gumamnya pelan saat lagu yang seakan menjadi backsound keadaannya saat pemakaman Gabriel terputar.

Usap air matamu

Dekap erat tubuhku

Tatap aku sepuas hatimu

Nikmati detik demi detik

yang mungkin kita tak bisa rasakan lagi

Hirup aroma tubuhku

yang mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu

Gundahmu…

Nyanyikan lagu indah

Sebelum ku pergi dan mungkin tak kembali

Nyanyikan lagu indah

Tuk melepasku pergi dan tak kembali

Nikmati detik demi detik

yang mungkin kita tak bisa rasakan lagi

Hirup aroma tubuhku

yang mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu

Gundahmu…

Nyanyikan lagu indah

Sebelum ku pergi dan mungkin tak kembali

Nyanyikan lagu indah

Tuk melepasku pergi dan tak kembali

Nyanyikan lagu indah

Sebelum ku pergi dan mungkin tak kembali

Nyanyikan lagu indah

Tuk melepasku pergi …

Ku pergi…

Nyanyikan lagu indah

Sebelum ku pergi dan mungkin tak kembali

(Mungkinkah aku kembali)

Nyanyikan lagu indah

Tuk melepasku pergi dan tak kembali



Sivia menutup matanya. Dan membukanya kembali. Kemudian menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Tak lama Sivia pun terlelap disana.

Tak Pernah Aku Membayangkannya

Bila Insan Sedang Patah Hati

Kali Ini Ku Rasakan Sesungguhnya





Siang Hariku Bagaikan Malam

Pelangipun Berwarnakan Kelam

Inikah Yang Dinamakan Patah Hati







Tak Ingin Kujalani Cinta Yang Begini

Yang Kutahu Cinta Itu Indah

Tak Ingin Kurasakan Jiwa Yang Tak Tenang

Kumau Kau Tetap Disisiku





Siang Hariku Bagaikan Malam

Pelangipun Berwarnakan Kelam

Inikah Yang Dinamakan Patah Hati







Tak Ingin Kujalani Cinta Yang Begini

Yang Kutahu Cinta Itu Indah

Tak Ingin Kurasakan Jiwa Yang Tak Tenang

Kumau Kau Tetap Disisiku





Dan Tak Ingin Kurasakan Jiwa Yang Tak Tenang

Kumau Kau Tetap Disisiku



Siang Hariku Bagaikan Malam

Pelangipun Berwarnakan Kelam

Komentar

Postingan Populer