The Best Gift from God

rio rise
I love this story. Persahabatan yang indah, tanpa memandang status, derajat dan lain-lain....
saking sukanya, aq pos di blog q ini... moga pada suka y...

The Best Gift from God (Mini Cerbung : Goresan Pertama)
This perhaps just will be a chain of my simple words which decribes what a friendship is in my eyes...

***

    Rio menjalarkan pandangannya menelusuri sepanjang koridor di depannya sambil terus melangkah. Sepi. Dia kemudian berhenti melangkah. Kepalanya  melongok ke dalam sebuah kelas —bukan ruangan kelasnya—di samping kirinya dan mencari jam dinding yang menghuni kelas itu. Matanya memicing menatap jam dinding persegi dengan pinggiran berwarna biru tua yang tergantung di atas papan tulis di kelas itu. Pukul 6.00. Pantas saja masih sepi.

    Rio lalu menarik kepalanya keluar dari kelas itu kemudian kembali melangkah. Baru beberapa langkah, dia kembali berhenti ketika telinganya dapat menangkap dengan jelas ada suara derap langkah kaki yang tergesa-gesa yang merambat di sepanjang koridor. Rio lantas memutar badannya. Kini di hadapannya berdiri 3 orang pria yang berseragam putih abu-abu. Ketiga pria di depannya menatap dirinya dengan tatapan yang sulit ditebak.

    “Ikut dengan kami!” perintah pria yang berada di tengah singkat.

    Belum sempat Rio membuka mulutnya untuk bersuara, pria yang berbicara tadi telah mencengkram pergelangan tangan kanannya dengan kuat lalu menariknya dengan paksa. Mau apa mereka? tanya Rio dalam hati.

    Seperti yang dilihatnya tadi, koridor itu itu masih sepi. Belum terlihat ada orang lain di koridor itu selain mereka berempat. Dengan kondisi yang seperti itu, Rio hanya bisa pasrah membiarkan dirinya ditarik oleh salah satu pria dari ketiga pria di depannya. Sekali pun ada orang lain di koridor itu, Rio yakin betul, dia atau mereka pasti lebih memilih untuk berpura-pura tidak melihat daripada harus berurusan dengan 3 pria itu.

    Dan dia masih saja membiarkan dirinya ditarik paksa. Ketiga pria itu berjalan dengan langkah-langkah panjang dan cepat, membuatnya agak kesulitan untuk mengikuti mereka. Ditambah lagi tangan kanannya sedang ditarik oleh salah satu dari mereka sehingga beberapa kali dia sempat hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Rio bisa merasakan cengkraman pria di pergelangan tangan kanannya semakin erat. Agak sakit tetapi dia tidak berani sedikit pun untuk mengaduh. Dia masih berusaha menerka-nerka apa keinginan ketiga pria itu. Apa pun itu, satu yang pasti, Rio bisa merasakan akan ada hal yang tidak menyenangkan yang terjadi padanya beberapa saat lagi.

    Rio ikut berbelok ke kanan tepat di ujung koridor ketika ketiga pria itu berbelok ke arah yang sama juga. Tak perlu kepandaian lebih untuk menerka kemana mereka akan membawa dirinya. Pasti ke gudang belakang sekolah. Dan benar saja, beberapa saat setelah Rio berpikiran seperti itu, mereka—ketiga pria itu dan dirinya— telah berada di gudang belakang sekolah.

    Terdengar suara benturan yang cukup keras ketika tubuhnya dihempaskan oleh pria yang menariknya tadi ke dinding gudang itu dengan kasar. Kelupasan-kelupasan cat berwarna putih turun mengotori tanah—ada juga yang melekat di celana panjang abu-abunya—bersamaan dengan itu. Dan sekarang—sekali lagi—berdiri 3 orang pria dengan potongan rambut yang berbeda di hadapannya. Yang berada di tengah—yang menariknya tadi—dengan spike style. Di samping kanan pria itu, berdiri pria dengan gaya rambut emo, sedangkan di samping kirinya dengan potongan rambut harajuku.

    Pria dengan potongan rambut harajuku itu kemudian maju satu langkah ke depan. “Maaf sebelumnya kalau kami terkesan kasar terhadapmu.” Melihat Rio mengangguk, dia melanjutkan,”baiklah, langsung ke poin utamanya saja. Kau tahu siapa kami?” tanyanya. Lagi-lagi Rio mengangguk. “Bagus. Tetapi aku tetap saja aku ingin tekankan, kami adalah sahabat Alvin sejak SMP,” tekannya dan memberikan penegasan di empat kata terakhir.

    Pria itu kemudian mundur satu langkah. Diselipkannya tangan kanannya ke saku celananya, sedangkan tangan kirinya bergerak mengusir sedikit  debu yang menempel di nama tagnya yang bertuliskan Cakka. K. Nuraga. “Awalnya kami tidak mempermasalhkan perihal kedekatanmu dengan Alvin. Kami juga awalnya tidak keberatan kalau kalian berdua bersahabat. Tetapi...” Cakka maju satu langkah lalu menatap Rio tajam. “belakangan ini kami berubah pikiran.” Dua pria di belakangnya mengangguk. “Belakangan ini Alvin semakin jarang menghabiskan waktu dengan kami. Dia juga menjadi jarang mengikuti latihan futsal. Kau tahu sendiri kan, Alvin itu harapan terbesar tim futsal sekolah ini? Dan kau tahu penyebab semua ini?” tanya Cakka. Kali ini Rio menggeleng. Cakka tersenyum sinis. “Itu semua karena kau!” hujat Cakka dengan nada yang agak tinggi.

    “Alvin absen hampir di setiap jadwal latihan dengan alasan ingin belajar bersamamu,” ujar Cakka. Pria itu lalu tertawa hambar. “Apa gunanya belajar?” tanyanya, tidak jelas kepada siapa. Sedetik setelah itu, dia menatap Rio dengan tatapan yang tak bersahabat. “Alvin berubah semenjak dia mengenalmu. Dan kami tidak menyukai perubahan itu, kau tahu?”

    “Biar kujelaskan saja dengan cepat,” sahut suara lain. Kali ini, pria bergaya rambut emo yang angkat bicara. “Kami tidak suka kau berteman dengan Alvin. Jadi mulai sekarang, tolong jauhi dia.” Tidak terdengar seperti sebuah permintaan, tetapi lebih kepada sebuah perintah. “Kau dan Alvin terlalu jauh berbeda untuk disandingkan sebagai sahabat. Terlalu aneh malahan. Kau tahu siapa Alvin. Kapten tim futsal sekolah, anak dari pemilik yayasan sekolah ini, populer dan digilai oleh hampir seluruh siswi di sekolah ini. Sedangkan kau...” Pria itu menggantungkan kalimatnya lalu menyapu tatapannya dari ujung kepala Rio, terus menurun hingga ke ujung kakinya lalu kembali menatap Rio. “Kau hanya seorang yang beruntung karena bisa mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di sekolah elit seperti ini. Kau terlalu jauh berbeda jika dibandingkan dengan Alvin.” Pria itu tersenyum mengejek.

    “Ayolah, kami tahu kau itu murid yang cerdas. Kau pasti sudah mengerti maksud kami,” ujar pria dengan gaya rambut spike. “Jadi kami minta, jauhi Alvin mulai sekarang. Kau bisa kan, Mario Stevano?” tanya pria ‘spike’ itu. Rio mengangguk takut-takut lalu menunduk. “Baguslah kalau kau bisa. Cakka, Gabriel, ayo kita pergi sebelum ada yang melihat kita.”

    Belum sempat pria ‘spike’ itu berbalik, pria itu kembali membuka mulutnya lalu berkata,“ou ya, jangan pernah memberitahukan hal ini kepada Alvin. Percayalah, aku, Obiet, akan benar-benar berlaku kasar kepadamu jika kau berani memberitahukannya,” tegas Obiet, lalu berbalik dan melangkah pergi. Baru beberapa langkah, Obiet memutar tubuhnya, menatap Rio yang sudah mengangkat kepalanya lalu berujar,”Mario Stevano. Nama yang bagus. Malah terlalu bagus untuk orang sepertimu. Sama seperti Alvin yang terlalu baik untuk menjadi sahabatmu.” Obiet menyeringai meremehkan lalu melangkah menjauhi Rio.

***

    Rio membalik halaman buku di hadapannya dengan tak bersemangat. Matanya tertuju pada halaman buku itu tetapi dia tidak benar-benar memperhatikan isinya. Otaknya telah terganjal oleh sesuatu yang tidak menyenangkan sehingga saat ini hal tersulit baginya adalah berkonsentrasi. Otaknya masih saja memutar ulang kejadian pagi tadi. Percakapan searah yang terjadi di gudang belakang sekolah tadi terus terngiang-ngiang di kedua telinganya. Kata-kata ketiga pria itu terus membayang di telinganya bak suara yang menggema yang memenuhi rongga telinganya.

    Semua yang dikatakan mereka itu benar. Seharusnya dia sudah menyadari dari awal kalau Alvin terlalu baik untuknya. Dia tidak pantas sedikit pun bersahabat dengan Alvin. Bahkan untuk berdiri di samping Alvin pun rasanya dia tidak pantas. Apa yang dikatakan Gabriel tadi itu benar. Dia dan Alvin terlalu jauh berbeda. Lancang sekali dia karena berani-beraninya berharap dapat bersahabat dengan Alvin.

    ‘Rio, dengar! Jauhi Alvin! Kau benar-benar tidak pantas berdekatan dengannya apalagi bersahabat dengannya. Sadarlah, kau ini siapa dan Alvin itu siapa. Kau tidak pantas bersahabat dengan Alvin. Tidak akan pernah pantas,’ seru Rio kepada dirinya sendiri dalam hati.

    “Hai, Yo. Tumben pagi-pagi sudah melamun. Apa yang kau lamunkan, hah?” sapa dan tanya seorang pria yang langsung mengambil temapt di samping Rio.

    Rio terkesiap. Dengan agak ragu, dia menoleh ke samping kiri. “Eh, Alvin,” ujarnya canggung.

    “Lamunin apa?” Alvin mengulang pertanyaannya lalu tersenyum tipis. Senyum yang sangat bersahabat.

    “Bukan apa-apa,” jawab Rio cepat lalu memaksakan seulas senyum.

    Alvin membuang nafas panjang. “Jangan pernah tersenyum kepadaku kalau kau tidak benar-benar ingin tersenyum. Senyummu barusan terlihat amat aneh, kau tahu?” ucap Alvin. “Ada hal buruk yang terjadi padamu pagi ini?” tanya Alvin sambil menaikkan alis kanannya.

    Rio tersentak, tidak menyangka Alvin akan menanyakan pertanyaan itu. “Ti..tidak. Tidak terjadi apa-apa. Semuanya baik-baik saja,” jawab Rio tergagap.

    Alvin kembali membuang nafas. Sedetik setelah itu, suara lonceng menyebar memenuhi ruangan itu. Baiklah, dia tidak akan memperpanjang percakapan ini meskipun sebenarnya masih ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

***

    Penghuni kelas itu sebagian mulai menghambur keluar ruangan sesaat setelah bunyi lonceng pertanda waktu istirahat menggelitik semua telinga penghuni ruangan itu. Sebagian lagi masih menetap di kelas, termasuk Rio dan Alvin. Beberapa di antara yang masih menetap mulai membentuk kawanan di beberapa sudut. Baik Rio dan Alvin tidak peduli apa yang akan mereka lakukan atau bicarakan.

    “Yo, ke kantin yuk. Lapar nih,” ajak Alvin sementara tangan kanannya mengelus-elus kecil perutnya.

    “Maaf, Vin. Aku sudah sarapan dari rumah,” tolak Rio halus.

    “Kalau begitu kita makan siang saja,” tawar Alvin, berusaha bercanda.

    Rio melirik jam dinding bulat dengan warna emas yang membalut pinggirannya yang tergantung di depan kelas. “Ini baru pukul setengah sepuluh, Vin. Tidak ada yang namanya makan siang pada pukul setengah sembilan.” Rio menggeleng pelan.

    Alvin terkekeh. “Kalau begitu, temani aku saja. Aku lagi malas sarapan sendirian.”

    “Sekali lagi maaf, Vin. Aku tidak bisa. Ada yang harus kukerjakan sekarang di sini, di kelas ini,” tolak Rio sambil mengeluarkan buku Matematikanya, membuka halaman 102 lalu berpura-pura sedang berpikir untuk mengerjakan soal yang ada di halaman itu.

    “Baiklah, aku akan menunggumu sampai apa yang harus kaukerjakan itu selesai kaukerjakan.”

    Rio menoleh ke kiri lalu menatap Alvin. “Vin, sebaiknya kau makan sendirian saja. Butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Nanti kau malah tidak sempat  sarapan karena waktu intirahat sudah habis,” saran Rio.

    Alvin membuang nafas. Kecewa. “Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu. Mau titip sesuatu?” tanya Alvin seraya bangkit dari duduknya.

    Rio menggeleng. “Tidak, Vin. Terima kasih,” ucap Rio lalu tersenyum kikuk.

    “Sudah kubilang, jangan tersenyum kalau kau tidak ingin tersenyum,” ujar Alvin datar lalu melangkah pergi.

Rio menatap punggung Alvin dengan tatapan bersalah. Dia lalu menunduk dan bergumam pelan, “Maaf, Vin.”

***
Ada yang salah dengan Rio hari ini, simpul Alvin. Pria itu tidak seperti biasanya. Sudah dua kali pria itu memberinya senyum aneh pagi ini. Alvin sebenarnya tahu kalau pria itu berbohong saat pria itu mengatakan tidak ada yang terjadi padanya pagi ini. Dan tidak biasanya pria itu berbohong. Pasti ada yang terjadi pada pria itu pagi ini, atau sebelum pagi ini.

Saat Alvin masih sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba saja ada sesuatu yang terlitas di pikirannya yang menyentaknya. Sejak kapan Rio sarapan dari rumah? Yang Alvin tahu, selama hampir 1 tahun mengenal Rio, sarapan dari rumah bukanlah kebiasaan pria itu. Bahkan pria itu tidak jarang tidak sarapan kalau saja Alvin tidak mengajaknya bersarapan. Memang ada yang salah dengan pria itu hari ini, tegas Alvin.

Alvin lalu bangkit berdiri dan meniggalkan nasi goreng dan jus alpukat yang belum sempat disentuhnya sedikit pun. Dia kemudian melangkahkan kakinya menuju stan penjual roti di kantin itu.

***

    Alvin menjentikkan karinya begitu melihat apa yang terjadi di depannya. Dia melihat dari ambang pintu, Rio tengah menunduk dan mengelus perutnya. Anak itu pasti tengah kelaparan, pikir Alvin. Benarkan dugaannya kalu pria itu memang berbohong tadi? Dasar! Sebenarnya ada apa dengan sahabatnya itu? Membohonginya sampai dua kali hari ini. Alvin mendengus kesal lalu melangkah memasuki ruangan kelasnya.

    Rio mengangkat kepalanya begitu mendengar bunyi berisik seperti suara plastik yang diremas-remas. Ditolehkan kepalanya ke kiri. Matanya dapat melihat ada sekantung plastik, cukup besar yang entah berisikan pap di atas meja Alvin.

    “Ini,” ujar Alvin sambil menyodorkan 3 bungkus roti rasa cokelat ke hadapan Rio.

    “Aku sudah sarapan, Vin dan aku masih kenyang,” ujar Rio.

    Alvin mendengus lalu mendecak kecil. Dibukanya salah satu bungkus roti itu setelah dua yang lain dia letakkan di atas meja. Kemudian tangan kirinya merogoh sesuatu dari dalam saku kemejanya. Lalu dengan satu gerakkan, dia melemparkan sesuatu yang dirogohnya itu ke arah Rio. “Iiihhh, cicak...” teriak Alvin dengan  suara yang agak keras.

    Rio terlonjak kaget begitu ada sesuatu yang kecil, kenyal dan dingin menempel di kulit tangan kirinya. “Aaaahhh... Cicaaakk...” teriak Rio dengan suara yang lebih keras dari Alvin.

    Alvin tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan satu gerakan cepat, disumbatnya mulut Rio yang tengah terbuka lebar itu dengan roti dalam genggaman tangan kanannya. “Makanlah,” ujarnya setelah roti itu dengan sukses menyumbat mulut Rio.

    Alvin lalu membuka bungkus roti yang lain. “Aku tahu kau belum sarapan,” kata Alvin lalu mengiggit roti dalam pegangannya lalu mengunyahnya cepat. Setelah potongan roti itu melewati tenggorokannya, dia membuka mulutnya lalu berkata,”Jangan pernah membohongiku lagi. Percayalah, kau tidak punya bakat sedikit pun untuk menjadi seorang pembohong. Satu lagi, itu hanya cicak mainan.”


Bukankah seorang sahabat akan mengenalmu bahkan sampai hal terkecil yang tidak pernah kaupikirkan? 
   Alvin berusaha mengatur nafas sambil mengedarkan pandangannya, berusaha mencari sosok yang membuatnya harus berlari cepat seperti tadi. Sekali mengedarkan, dia tidak menemukannya. Lalu diedarkan pandangannya sekali lagi. Kali ini lebih lambat dan matanya memicing lebih tajam. Aha! Itu dia! Akhirnya matanya menangkap keberadaan sosok itu juga. Sosok—pria— itu sedang berjalan dengan langkah kecil dan lambat menuju gerbang sekolah.

    Alvin menatap punggung pria itu lekat-lekat. Ada yang harus dijelaskan pria itu kepadanya. Belakangan ini ia merasa pria itu sepertinya mencoba untuk menghindarinya. Ah, tidak! Pria itu memang menghindarinya. Dan semua ini bermula dari pagi itu, saat untuk pertama kalinya pria itu melemparkan sebuah senyum aneh untuknya. Sejak itu, pria itu hampir menolak semua ajakannya—ajakan untuk sarapan dan makan siang di kantin sekolah, ajakan untuk pulang bersama, belajar bersama dan masih banyak lagi. Pasti ada alasan di balik ini semua. Tidak mungkin pria itu tiba-tiba menghindarinya tanpa alasan. Dia tahu betul, itu sama sekali bukan watak pria itu.

    Alvin melangkahkan kakinya dengan cepat, atau lebih tepatnya setengah berlari ke arah pria yang sudah hampir mencapai gerbang bercatkan warna silver itu.

    “Yo, Rio,” panggil Alvin. Melihat pria yang dipanggilnya itu, Rio, tidak bergeming sedikit pun malah mempercepat langkahnya, Alvin pun melangkah dengan langkah yang lebih panjag dan cepat. “Rio,” panggilnya sekali lagi. Kali ini terdengar lebih keras namun tetap saja tidak berhasil membuat Rio menghentikan langkahnya atau sekedar menoleh.

    Alvin mendengus kesal. Apa-apaan pria itu? Sesaat kemudian, Alvin telah benar-benar berlari menghampiri Rio. Dan saat Rio sudah berada dalam jangkauannya, Alvin menepuk pundak pria itu. “Mario Stevano, sejak kapan kau tuli, hah? Atau namamu sudah bukan Rio lagi?” ujar Alvin kesal.

    Rio menoleh, singkat, lalu memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alvin.

    “Apa yang terjadi padamu, hah? Kenapa kau mempercepat langkahmu tepat setelah aku memanggilmu?” tanya Alvin.

    Tanpa menoleh, Rio membuka mulutnya lalu menjawab,”Maaf, aku tidak dengar kau memanggilku.”

    Alvin membuang nafas. Alvin yakin Rio pasti berbohong. Kenapa belakangan ini pria ini sering sekali berbohong? tanya Alvin dalam hati. Meski begitu, Alvin—kali ini—berusaha tidak memerdulikannya. Ia berusaha mencari kebenaran kalau pria itu memang tidak mendengar penggilannya.

    “Belajar bersama yuk di rumahku,” ajak Alvin. “Aku benar-benar tidak mengerti tentang pelajaran Fisika barusan. Kalor? Entah apa itu,” lanjutnya.

    “Maaf, Vin, aku tidak bisa.” Rio berhenti sesaat ketika telinganya mendengar desah nafas kecewa dari pria di sampingnya. Astaga! Harus berapa kali lagi ia harus membuat pria itu kecewa? Ada sebentuk rasa bersalah yang semakin membesar yang memadati harinya. “Aku harus berkeliling menjual martabak setelah ini,” tambahnya. Sedetik setelahnya, Rio bisa merasakan lidahnya mendadak menjadi kelu.

    “Kalau begitu, aku ikut,” ujar Alvin cepat.

    “Tapi, Vin...”

    “Dan aku akan tetap ikut sekali pun kau tidak mengizinkannya,” sambar Alvin. Nada suaranya tegas, seolah-olah tidak ingin mendengar adanya bantahan.

    “Vin...” desak Rio.

    “Oh, baiklah.”Alvin menghela nafas panjang. “Ada yang harus kaujelaskan. Belakangan ini aku merasa kau selalu berusaha menghindariku. Kenapa?” tanya Alvin dengan nada yang terdengar serius.

    Rio menundukkan kepalanya. Mesin-mesin dalam otaknya langsung bergerak cepat, berusaha memikirkan apa yang sebaiknya ia katakan kepada Alvin. Ya, ia sudah mendapatkannya! Mungkin  bukan jawaban yang efektif, tetapi ini adalah satu-satunya yang terlintas di otaknya saat ini. “Aku tidak menghindarimu. Aku...”

    “Aku tahu kau menghindariku,” sergah Alvin. “Sekarang, jelaskan kepadaku alasannya!”

    “Aku benar-benar tidak menghindarimu, Vin,” tukas Rio.

    “Yes, you did. Sudah kubilang, kau tidak punya bakat sedikit pun untuk menjadi seorang pembohong. And now, i get you to explain the reason,” desak Alvin tak sabar.

    Keberanian Rio untuk mengangkat kepalanya menguap saat itu juga. Harusnya dia sadar dari awal kalau Alvin terlalu sulit untuk dibohongi. Rio membuka mulutnya namun segera ditutupnya kembali. Dia sudah berjanji tidak akan memberitahukan alasan yang sebenarnya kepada Alvin bukan karena dia takut terhadap ancaman dari Obiet, tetapi terlalu mengerikan untuk membayangkan apa yang akan dilakukan Alvin kalau pria itu sampai mengetahuinya.

    Alvin memutar tubuhnya menghadap Rio yang masih berdiri menyampingi dirinya. Alvin menjadi gemas sendiri karena pria itu tak kunjung menyuarakan satu kata un. Sekali lagi dia menghela nafas panjang. “Baiklah jika kau tidak mau bicara. Biar aku tebak saja. Ini semua ada hubungannya dengan Obiet dan kawan-kawan?”

    Rio masih betah membisu, tidak bergeming, dan bagi Alvin itu adalah pertanda kalau dugaannya benar.

    “Mereka...” geram Alvin. “Aku harus memberi mereka pelajaran.”

    Belum sempat Alvin memutar tubuhnya dan melangkah,Rio dengan cepat mencengkram pergelangan tangan kanan Alvin. “Jangan, Vin.”

    “Kenapa?” tanya Alvin tak habis pikir. “Mereka tak bisa seenaknya seperti itu. Mereka pasti menyuruhmu untuk menjauhiku kan? Punya hak apa mereka sampai berani-beraninya menentukan dengan siapa aku harus bersahabat? Mereka sudah keterlaluan.”

    Rio mengangkat kepalanya dengan agak ragu, memberanikan diri menatap Alvin. “Yang mereka katakan semuanya benar. Aku tidak pantas, sangat tidak pantas berdekatan apalagi bersahabat denanmu. Aku dan kau terlalu juauh berbeda. Lihat saja! Kau itu kaya, anak pemilik yayasan sekolah ini, kapten tim futsal sekolah yang populer. Sedangkan aku? Aku tak lebih dari seorang yang hanya beruntung bisa mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di sekolah seelit ini. Aku seharusnya tahu diri,” jelas Rio.

    Alvin mengepalkan tangan kanannya erat-erat sehingga buku-buku jarinya memutih. Urat-uratnya yang berwarna hijau kebiruan itu menimbul di balik kulit putih yang membalutnya. “Dan aku tidak peduli dengan semua itu. Aku tidak keberatan,” tegas Alvin.

    “Ayolah, Vin. Kapan kau akan menyadari kalau aku dan kau terlalu jauh berbeda untuk bersahabat?” tanya Rio putus asa.

    “Aku tidak akan pernah dan tidak akan mau menyadarinya,” Alvin menegaskan.

    “Vin, aku tidak pantas untuk menjadi sahabatmu.”

    “Di mataku, kau jauh lebih pantas dari siapa pun.”

    “Vin, kau itu kaya. Kau tidak pantas bersahabat dengan aku yang seorang yatim piatu, yang hanya seorang penjual martabak yang mis...”

    “Miskin? Iya?” potong Alvin geram. “Lalu kaupikir aku adalah orang yang memandang status sosial dalam bergaul?” tanya Alvin kesal. “Aku tidak menyangka, selama ini kau memandangku dengan pandangan seperti itu. Aku kecewa.” Alvin lalu menyentakkan tangan kanannya dengan kasar, melepaskan pergelangan tangan kanannya dari cengkraman tangan Rio, kemudian berlalu melewati gerbang, meninggalkan Rio.

    “Vin, Alvin,” panggil Rio.

    Alvin dapat mendengar panggilan itu namun dia tak peduli. Pria itu telah terlanjur kecewa. Bisa-bisanya sahabatnya berpikir seperti itu tentangnya? Diangkatnya tangan kanannya ke atas lalu mengibas-ngibaskannya asal-asalan di udara tanpa menoleh.

    Rio menatap punggung Alvin dengan lesu. Sekali lagi, dia telah berhasil membuat pria itu kecewa. ‘Maafkan aku, Vin.”

***

    “Dasar bodoh! Apa yang sudah kaulakukan, Mario? Kau baru saja mengecewakan sahabat terbaik yang pernah kau punya.” Rio merutuki dirinya sendiri sambil memukul penggorengan datar berbentuk piringan di depannya dengan spatula yang ia pegang sehingga menimbulkan suara kasar yang berisik.

    “Berhentilah melakukan hal bodoh seperti  itu sebelum kau mendapatkan satu tiket gratis untuk menginap di rumah sakit jiwa.”

    Rio dengan cepat memutar tubuhnya begitu suara yang sudah amat dikenalnya itu menggelitik telinganya. “Alvin.” Alvin hanya tersenyum tipis. “Sedang apa kau di sini?” tanya Rio. Benar-benar bingung.

    “Kan sudah kubilang, aku akan ikut denganmu menjual martabak,” ujar Alvin dengan nada suara yang sangat bersahabat.

    Astaga! Apakah pria itu tiba-tiba saja mengalami amnesia? Apakah dia sudah melupakan kejadian 3 jam yang lalu? Kenapa pria itu bisa bersikap seramah ini kepadanya seolah-olah kejadian 3 jam yang lalu itu tidak pernah terjadi? tanya Rio.

    “Vin, aku mau minta ma...”

    “Permintaan maaf diterima,” potong Alvin lalu tersenyum hangat. “Sebenarnya sih permintaan maafmu tidak berarti. Kau tahu kenapa? Karena aku sudah memaafkanmu sejak 1 menit setelah peristiwa tadi,” jelas Alvin.

Bukankah dalam sebuah persahabatan, kata maaf itu tidak benar-benar diperlukan?

    “Dan kali ini, biar aku saja yang mengayuh gerobak ini,” sambung Alvin

    “Tidak,” tukas Rio. “Kau tidak akan kuizinkan mengayuhnya.”

    “Ayolah, Yo. Kau selalu menolak tiap kali kau ingin mengayuh gerobak ini. Sekali ini saja,” pinta Alvin memelas.

    “Tidak, Vin,” tegas Rio. Dia tidak mungkin membiarkan sahabatnya itu mengayuh gerobaknya di siang yang begitu terik seperti ini. Dia tidak tega membiarkan peluh-peluh keringat membasahi tubuh dan seragam sahabatnya itu. Dan sekali pun jika hari ini mendung, dia juga tidak akan membiarkan sahabatnya itu. Dia merasa tidak enak kepada sahabatnya itu. Sahabatnya itu terlalu tidak pantas melakukan itu. Melihat raut wajah Alvin yang berubah lesu, Rio segera menambahkan,”kau mau menemaniku berkeliling saja itu sudah lebih dari cukup, Vin.”

    “Tapi...” ujar Alvin, masih berusaha.

    “Tidak, Vin. Kau cukup duduk manis di jok belakang, ok?”

    Avin menurut. Ia Ialu mengambil tempat di jok belakang, di belakang Rio. Rio menoleh sekilas dan mendapati Alvin tengah memasang wajah terjeleknya. Kecewa mungkin? Rio kemudian membuang nafas panjang lalu turun dari sepeda yang menjadi satu dengan gerobaknya.

    “Kanapa?” tanya Alvin sambil menaikkan sebelah alisnya.

    “Tidak akan ada yang mau membeli martabakku kalau kau memasang tampang sepeti itu,” ujar Rio pasrah. Rio lalu menunjuk jok depan dengan dagunya. “Sudah sana.”

    Sedetik kemudian senyum Alvin mengembang. Segera saja dia melompat ke jok depan dengan semangat.

    “Ingat, Vin, ini kali pertama dan kali terakhirnya. Jangan pernah meminta untuk mengayuh gerobakku lagi,” ucap Rio.

    Alvin mengacungkan jempolnya lalu tersenyum. Rio membalas tersenyum. Namun sesaat kemudian, senyum di wajah Rio menghilang dan digantikan oleh ringisan. Rio mencengkram dada sebelah kirinya dengan erat. Suara rintihan kesakitan keluar dari mulutnya.

    “Yo, kau kenapa?” tanya Alvin panik begitu menyadari ada yang tidak beres dengan Rio. Alvin menyapu pandangannya dengan cepat. Sial! Amat sepi. Alvin segera turun dari sepeda dan mendekati Rio. “Yo, Rio, kau kenapa?” tanya Alvin, terdengar lebih panik saat tubuh Rio ambruk dalam tangkapannya.

    Telinga Rio masih bisa mendengar suara Alvin dengan jelas saat pandangan matanya mulai mengabur. Telinganya menjadi panas saat suara tajam berfrekuensi tinggi menyerang telinganya. Dan beberapa detik kemudian, gelap sudah menutupi pengelihatannya dengan sempurna.

    Dan tanpa berpikir sedetik pun, Alvin segera menggendong tubuh Rio yang melemas itu lalu berlari.

Seorang sahabat tidak akan mengulurkan tangannya untukmu ketika kakimu terluka dan kau terjatuh. Lebih dari itu, dia akan meminjamkan punggungnya sebagai tempatmu bersandar sementara dia menggendongmu. 

    “Apa, Dok tadi?” tanya pria berseragam putih abu-abu itu.

    “Valvular Stenosis. Itu salah satu kelainan jantung dimana klep jantung berukuran lebih kecil dari biasanya karena kelopak klepnya menjadi kaku. Hal ini menyebabkan jantung harus bekerja lebih berat untuk memompa darah. Ini harus segera ditangani. Kalau tidak, kelainan ini akan dapat menyebabkan kelainan jantung yang lebih parah seperti gagal jantung,” jelas dokter itu.

***

Jari-jari Rio bergerak cepat di atas remote berwarna hitam dalam pegangan tangan kanannya. Dia terus-menerus menggonta-ganti channel siaran yang disuguhkan oleh televisi di depannya sampai akhirnya dia menarik satu kesimpulan. Tidak ada siaran yang menarik baginya. Pria itu lalu melemparkan remote itu ke samping kirinya, di ruang yang masih kosong di atas ranjang putih yang juga tengah ia duduki sekarang.

    Pria itu memutar kepalanya, menatap keluar jendela. Dihembuskannnya nafas panjang. Sampai kapan dia harus tetap tinggal di sini? Jujur saja, bau obat-obatan khas ini mulai menganggunya. Dan lagi, pria itu sering merasakan sesuatu yang dinamakan kebosanan selama dia berada di rumah sakit ini.

    Rio melepaskan pandangannya dari dunia di luar sana dan menoleh ke arah pintu kamar rawatnya begitu suara decitan pintu menggelitik halus telinganya. Seorang pria yang sudah amat dikenalnya berjalan menghampirinya sambil membawa amplop berwarna cokelat yang lumayan besar.

    “Jelaskan kepadaku maksud dari semua ini!” tuntut Alvin lalu melemparkan amplop yang ia pegang ke arah Rio. Belum sempat Rio membuka dan mencari tahu isi amplop itu, Alvin telah membuka mulutnya lalu bertanya,”Sejak kapan kau merahasiakan ini dariku, hah? Kenapa kau merahasiakannya?”

    Rio mengerutkan keningnya, tidak mengerti apa yang sedang Alvin bicarakan. “Vin, apa yang sedang kau bicarakan? Rahasia apa?”

    “Penyakit jantung. Valvular Stenosis. Kenapa kau tidak pernah memberi tahuku kalau kau mengidap penyakit jantung?”

    Air wajah Rio berubah terkejut. Bibirnya mengering tiba-tiba. Baru saja Rio hendak membuka mulutnya ketika Alvin kembali berusara.

    “Sudahlah. Aku yakin kau punya alasan yang kuat untuk menyembunyikan hal ini dariku. Hanya saja, jika kau memberitahukanku dari awal, aku akan lebih memerhatikan kondisi fisikmu,” ujar Alvin. “Baiklah, istirahatlah. Kau masih akan tinggal di sini selama 1 minggu ke depan.” Melihat Rio yang hendak bersuara, Alvin buru-buru menambahkan, “Dan jangan membantah. Aku urus biaya administrasimu dulu. Setelah itu, aku akan kembali,” kata Alvin lalu berbalik dan melangkah menjauhi ranjang Rio. Saat baru saja tangan kanannya memegang kenop pintu, Alvin berbalik. “Satu lagi, aku mohon, jangan pernah merahasiakan apa pun lagi dariku,” pintanya. Setelah itu, tangan kanannya memutar kenop pintu di depannya lalu berlalu keluar dari kamar itu.

***

    “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Alvin di suatu siang lalu meletakkan ranselnya di atas lantai, di samping kursi yang sesaat kemudian telah ia duduki. Pria itu masih mengenakan seragam sekolah yang ia pakai sewaktu hendak berangkat ke sekolah pagi tadi. Penampilannya agak berantakan dengan kemeja yang sebagian keluar dari celana panjangnya.

    “Akan jauh lebih baik kalau aku boleh meninggalkan penjara putih ini detik ini juga,” ujar Rio. Ada nada kekesalan di sana. “Aku sudah menanyakan kepada dokter perihal kondisiku. Dan katanya aku sebenarnya sudah boleh pulang semalam. Saat aku menanyakan kenapa aku masih ditahan di sini, dokter itu menjawab ini semua atas permintaanmu. Kau mau aku mati kebosanan di sini ya?” tanya Rio kesal.

    Alvin menyeringai. “Aku hanya takut penyakitmu kambuh lagi dan aku harus menggendongmu lagi. Kau itu berat, kau tahu?” balas Alvin santai.

    “Vin...” geram Rio.

    “Sudahlah, Yo. Ini juga kan untuk kebaikan..”

    “mu, bukan untuk kebaikanku,” potong Rio lalu memajukan sedikit bibirnya, kesal, lalu memalingkan wajah.

    Alvin tertawa lepas melihat wajah Rio yang tengah kesal. Namun itu tidak berlangsung lama. Beberapa detik setelah itu, tawa Alvin lenyap. “Shit! Aku mohon jangan sekarang,” ujar Alvin agak pelan. Tangan kanannya mencengkram pinggang kanannya kuat-kuat.

    Meski pelan, Rio bisa mendengar suara Alvin yang sepertinya tengah menahan sakit. Dengan cepat Rio menoleh dan mendapati Alvin yang sedang tidak dalam keadaan baik. Matanya dapat menangkap dengan jelas, Alvin sedang meringis kesakitan. Segera saja tangan Rio bergerak menekan bel kecil yang ada di samping ranjangnya. “Vin, apa pun yang terjadi kepadamu sekarang ini, bertahanlah!”

***

    Rio menarik kursi di dekatnya lalu duduk di atasnya. “Sudah sadar kau rupanya,” kata Rio. Nada suaranya terdengar tidak begitu ramah. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Rio dengan nada suara yang masih sama.

    “Jauh lebih baik dari sebelumnya, tentunya,” ujar Alvin enteng.

    Bugg! Rio mendaratkan sebuah pukulan ringan ke atas pipi kiri Alvin. Alvin yang menerima pukulan itu menunjukkan ekspresi yang aneh. Pria itu malah tersenyum.

    “Kau...” garam Rio. “Bagaimana kau bisa memintaku untuk tidak merahasiakan apa pun darimu tetapi nyatanya kau sendiri juga merahasiakan sesuatu dariku?” tanya Rio geram.

    Alvin tertawa kecil. “Sepertinya kita mempunyai alasan yang sama untuk merahasiakan penyakit kita dari sahabat kita.”

    “Karena kita tidak ingin sahabat kita khawatir,” ujar Alvin dan Rio bersamaan. Mereka berdua lalu saling berpandangan dan tertawa.

    “Miris ya?” ucap Alvin. “Dua orang bersahabat dan sama-sama memiliki penyakit yang bisa saja merenggut nyawa mereka kapan pun.”

    “Sebuah kebetulan yang konyol,” tambah Rio lalu terkekeh pelan.

***

    Rio menutup novel dalam pegangannya dengan agak kasar, enggan untuk membukanya lagi. Dia sudah melahap isi novel itu tiga kali sampai-sampai pria itu yakin seperdelapan dari isi novel itu dapat dia tuturkan dengan lancar. Alvin, kau benar-benar harus bertanggung jawab atas semua ini, umaptnya dalam hati.

    Rio masih harus tinggal di sini, di rumah sakit ini 2 hari lagi—yang terasa seperti 2 bulan. Sedangkan Alvin? Pria itu bersikeras meminta kepada dokter untuk diizinkan pulang. Dan pria itu sudah meninggalkan tempat ini sejak 2 hari yang lalu. Alvin hanya dirawat 1 hari. 1 h-a-r-i! Sedangkan dirinya, atas permintaan konyol Alvin harus dirawat 1 minggu. Seenak Alvin saja memutuskan sesuatu, gerutunya.

    Rio meletakkan novel itu ke atas meja kecil di samping kiri ranjangnya, bersebelahan dengan gelas berisi air putih yang tinggal sedikit itu. Kemudian nafas panjang keluar dari hidungnya. Apa lagi yang bisa dia lakukan agar jarum jam dinding bulat itu bisa bergerak 10 kali labih cepat? tanyanya sendiri.

    Rio menggerakan kepalanya, mengarahkan pandangannya ke arah pintu saat suara kenop pintu yang diputar mulai menyebar di kamar itu. Matanya dapat meihat seorang pria sedang berdiri di balik pintu itu, melemparkan seulas senyum bersahabat sambil mengangkat tangan kanannya ke atas.

    “Keadaanmu?” tanya pria itu begitu pria itu sudah berdiri di samping ranjang yang sedang ditempati Rio. Rio belum sempat menjawab saat pria itu menarik kursi di dekatnya lalu duduk.

    “Keadaanku? Seperti yang pernah kubilang. Akan jauh lebih baik kalau aku tidak lagi berada di sini,” ujar Rio gemas. “Tunggu dulu. Aku tidak pernah tahu kalau kau merokok, Vin.”

    “Hah?” tanya Alvin tak mengerti.

    “Aku mencium bau asap rokok,” jelas Rio.

    “Oh itu. Tidak. Kau tahu sendiri aku sangat benci asap rokok. Bagaimana mungkin aku merokok,” kata Alvin
.

    “Lalu?”

    “Aku naik bus tadi.” Alvin memberi penjelasan.

    “Bus? Bus kota?” tanya Rio. Melihat Alvin mengangguk, Rio kembali bertanya,”Dimana motormu?”

    “Sudahlah. Tidak penting untuk dibahas,”Alvin menolak menjawab pertanyaan Rio. “Ou ya, ada sesuatu untukmu.”Alvin lalu memutar ransel di belakang punggungnya ke depan, merogoh sesuatu dari dalam lalu mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih “Ini.” Alvin menyerahkan amplop yang termasuk besar itu kepada Rio.

    Rio menerimanya tanpa bersuara. Dibukanya amplop itu lalu tangan kanannya bergerak masuk ke dalam dan mengeluarkan beberapa lembar kertas berukuran HVS dari dalam amplop itu. “New York International Hospital?” tanya Rio setelah membaca sekilas isi kertas itu.

    Alvin mengangguk. “Dokter mangatakan jantungmu harus segera ditangani,” kata Alvin. “Pamanku adalah seorang dokter spesialis jantung di sana. Aku sudah membicarakan tentang kondisimu dengan pamanku. Kau bisa menjalani operasi transplantasi jantung di sana. Masalah donor jantungnya dapat diusahakan. Di dalam amplop itu sudah ada tiket pesawat, paspor dan surat-surat lainnya. Masalah administrasi juga sudah aku urus. Kau tinggal berangkat saja,” jalas Alvin dengan ringan lalu tersenyum

    “Vin, tapi...”

    “Kau tidak boleh menolaknya,” sergah Alvin. “Aku masih ingat kau pernah mengatakan kau takkan mau menerima sesuatu yang kubeli dengan menggunakan uang orang tuaku. Dan percayalah, semua ini aku usahakan dengan menggunakan uangku sendiri,” terang Alvin.

    Rio kelihatan tengah berpikir. Beberapa detik kemudian, kelopak matanya melebar. Sepertinya dia sadar akan sesuatu.

    “Tunggu dulu, kau tadi bilang kau datang ke sini dengan menggunakan bus kota kan? Katakan padaku, dimana motormu?” tanya Rio.

    “Sudah kukatakan, itu tidak penting untuk dibahas,” jawab Alvin.

    “Biar kutebak. Kau menjual motormu untuk ini semua?”

    Alvin terdiam.

    “Jawab aku, Vin,” desak Rio. Alvin lalu mengangguk kecil. “Beritahu aku, apa lagi yang kaujual. Aku yakin hasil dari penjualan motormu takkan cukup untuk menutupi biaya semua ini.”

    “Yo, itu tidak penting.” Alvin mengibaskan tangannya.

    “Vin, aku mohon beritahu aku,” pinta Rio.

    “Itu tidak pen...”

    “Beritahu aku, Vin!” desak Rio. Suaranya meninggi.

    Alvin membuang nafas. “Baiklah. Aku menjual semua koleksi jam tanganku dan miniatur Supermanku.”

    Rio tersentak kaget. “Astaga! Apa yang kau lakukan? Aku tahu betul, semua jam tanganmu kaudapatkan dari luar negeri. Semua jam tanganmu bermerek terkenal dan selalu keluar dalam edisi yang terbatas. Juga miniatur Superman itu. Semua itu limited edition kan? Kau mendapatkan miniatur-miniatur itu dengan susah payah dan dengan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Semua itu, jam tangan dan miniatur itu, mereka adalah barang yang sangat berharga bagimu. Kenapa kau menjualnya dengan sebegitumudahnya?” tanya Rio tak habis pikir.

    “Alasannya sederhana. Karena kau jauh lebih berharga dari semua barang-barang itu.”

Bukankah seorang sahabat itu lebih berharga daripada sebongkah emas murni dan lebih bernilai daripada sebutir berlian paling berkilau sekali pun? Kau bisa membeli sebongkah emas dan sebutir berlian, tetapi percayalah, kau tidak akan bisa membeli seorang sahabat. Sahabat yang benar-benar seorang sahabat.

    “Maaf, Vin, aku tidak bisa menerima ini,” ujar Rio lalu memasukkan kembali kertas-kertas itu ke dalam amplop.

    “Bagitu ya? Baiklah, aku juga tidak akn pernah menjalani operasi pencangkokkan ginjal,” kata Alvin enteng.

    “Kau...!!!” Rio menggeram.

    “Aku hanya seorang yang ingin menolong sahabatnya. Apa itu salah?” tanya Alvin lantang.

    Rio terenyuh. Kepalanya lalu tertunduk. “Tapi aku takut, Vin. Aku takut aku tidak akan pernah bisa membalas kebaikkanmu. Sudah terlalu banyak yang kauberikan untukku.”

    “Dan aku tidak  pernah mengharapkan balasan apa pun,” ujar Alvin sungguh-sungguh. “Mungkin ini akan terdengar berlebihan, tapi percayalah, aku akan melakukan apa pun asalkan kau bisa sembuh. Aku bahkan rela memberikan jantungku kalau itu bisa membuatmu sembuh.”

    “Dasar bodoh.” Rio melemparkan bantal di sampingnya tepat ke wajah Alvin. “Balum pernah ada dan tidak akan pernah ada manusia yang bisa hidup tanpa jantung. Kau kira aku akan membiarkanmu mati demi aku?”

    “Aku memang bodoh,” aku Alvin.

    “Ya. Orang paling bodoh yang pernah kutemui.”

    “Dan aku bersyukur untuk itu, karena jika aku tidak bodoh, aku tidak akan mungkin bisa memikirkan keputusan ini. Keputusan yang mungkin saja menurutmu bodoh, namun ini akan menjadi keputusan yang tidak akan pernah aku sesali.”

    “Vin, terima kasih,” ujar Rio. Dia tidak mampu menahan laju air matanya. Air hangat menyeruak keluar begitu saja dari matanya.

    Alvin menyambar bantal yang sempat mendarat di wajahnya yang kini berada di atas lantai, lau melemparkannya ke arah Rio, “Dasar bodoh! Untuk apa kau menangis? Hapus air matamu! Jangan pernah berharap aku akan meminjamkan jari-jariku untuk mengapus air matamu. Akan terasa sangat aneh sekali kalau aku melakukannya.”

    Tangan kanan Rio terangkat bermaksud untuk menyeka air matanya. Namun belum sempat jarinya menyentuh pipnya sendiri, tangan lain terjulur dan jari dari tangan itu menyeka air matanya.

    “Ini kali terakhirnya aku meminjamkan jariku untuk menghapus air matamu,” ucap Alvin lalu tersenyum.

    “Lalu, apakah kau akan menemaniku ke Amerika nanti?” tanya Rio.

    Alvin menarik kedua ujung bibirnya ke atas. “Tentu saja. Aku akan mati di sini karena khawatir kalau aku tidak ikut.”

    “Vin, teri...”

    “Sama-sama.”

Seorang teman akan memberikanmu lilin ketika kau sedang berada dalam kegelapan, tetapi seorang sahabat tidak akan segan-segan menjadi lilin untukmu. 
Alvin mengangkat wajahnya begitu suara decitan kasar roda-roda besi dan suara roda yang beradu dengan lantai itu merambat sepanjang koridor itu. Dilihatnya Rio tengah berbaring, masih tersadar, di atas ranjang yang tengah didorong oleh beberapa perawat itu.

    Alvin bangkit dari duduknya saat ranjang itu berhenti di hadapannya.

    “Dok, boleh saya bicara sebentar dengan Alvin dulu?” tanya Rio kepada dokter yang berdiri di sampingnya yang juga adalah paman Alvin.

    “Sure,” jawab pria berumur itu.

    “Vin,” panggil Rio.

    “Yo, apa yang kau rasakan sekarang? Kau takut?” tanya Alvin.

    “Bohong jika aku menjawab tidak. Aku bukan takut mati. Ya, sedikit. Tapi aku lebih takut aku tidak akan punya waktu dan kesempatan lagi untuk membalas semua kebaikanmu,” ujar Rio lemah.

    Air mata Alvin jatuh begitu saja. Untuk kali ini saja, detik ini saja, untuk pertama kalinya dia membiarkan dirinya menangis di depan sahabatnya itu. “Aku sama takutnya denganmu.”Alvin tidak berbohong. Sedikit pun tidak. Detik itu, dia benar-benar merasa takut. Rasa takut terbesar yang pernah ia alami.

Menangis karena takut kehilangan. Bukankah itu manusiawi?

    “Bodoh! Berhentilah menangis!” tangan kanan Rio kemudian terangkat dan ibu jarinya menghapus bulir air mata di pipi kiri Alvin. “Ini mungkin akan menjadi kali terakhirnya aku menghapus air matamu.”

    “Yo, aku mohon, berjuanglah. Demi dirimu sendiri dan demi aku.”

    Rio mengangguk kecil. “Pasti.”

    “Aku akan mendoakan segala sesuatu yang terbaik untukmu,” janji Alvin. Rio mengangguk. “Paman, aku mohon lakukan yang terbaik.”

    “Tentu Alvin. Bantulah kami dengan doamu,” balas pria berjas putih itu.

    Sesaat setelahnya, Rio telah menghilang di balik ruang operasi.

    Alvin duduk kembali lalu mengepalkan tangannya dan memejamkan matanya. “Tuhan, berikan apa yang menurutMu paling baik untuk Rio. Aku mohon.”

***

    Sudah hampir 4 jam berlalu sejak Rio menghilang di balik ruangan itu, namun lampu di atas pintu ruangan itu tak kunjung padam, menandakan operasi masih berlangsung. Alvin masih menunggu dengan segala kecemasan dan ketakutan yang membalut seluruh tubuhnya. Duduk di koridor itu dengan gelisah sambil meremas-remas tangannya, satu kebiasaan yang hanya akan dia lakukan ketika pria itu benar-benar tengah cemas. Dan sejak tadi, pria itu terus-menerus menyerukan doa yang mewakili keinginan terbesarnya kepada Tuhan dari dalam hati. Pria itu sadar, dia bukan anakNya yang baik, namun dia benar-benar berharap Tuhan akan tetap mengabulkan keinginannya.

    Alvin melompat berdiri begitu pintu ruangan operasi itu terbuka. Tanpa menunggu detik berikutnya berjalan, dia segera menghampiri pamannya yang sedang berjalan keluar ruangan.

    “Bagaimana, Paman?” tanya Alvin segera.

    Pria di hadapan Alvin menggeleng. Dan saat itu pula, Alvin bisa merasakan tulang kakinya tiba-tiba saja melunak. Dia pasti akan jatuh kalau saja pria di hadapannya tidak dengan cepat menangkap tubuhnya.

    “Alvin, kendalikan dirimu,” ujar pria itu. Pria itu melepaskan tangannya dari pundak Alvin ketika Alvin mengangguk.

    Alvin lalu berjalan menjauhi pamannya dan kembali duduk. Meski dia sudah mempersiapkan diri selama hampir sebulan untuk kemungkinan buruk ini, namun tetap saja kekagetan, kehilangkan dan kesedihan itu berhasil mengguncang tubuhnya. Dia tidak pernah mengira daya guncangnya akan sebeginibesarnya sampai-sampai mampu melunakkan tulang-tulangnya.

    Tidak akan ada lagi yang menemaninya belajar di rumah. Tidak akan ada lagi yang akan memberikan contekkan untuknya ketika ulangan. Tidak ada lagi yang bisa ditemaninya untuk berkeliling menjual martabak. Dan tidak akan ada lagi yang memintanya untuk mengusir cicak.

    Dia tidak bisa melihat senyum hangat pria itu lagi. Dia tidak akan bisa mendengar suaranya lagi. Tawa pria itu tidak akan menggelitik telinganya lagi. Dia tidak akan bisa bercanda dengan pria itu lagi.

    Pria yang selalu berhasil membuatnya tertawa lepas sudah meninggalkan dirinya. Sahabat terbaiknya sudah pergi.

    Sebulir air mata turun dari matanya.

    “Ada sebuah amanat dari Rio untuk paman, tetapi sebelum itu, baca dulu ini,” kata pria yang telah duduk di sebelah Alvin sambil menyodorkan sebuah surat kepada Alvin.

    Alvin menerima surat itu. Dengan tangan yang agak gemetar, dia membuka lipatan kertas itu. Pupil matanya mulai mengikuti alur tulisan tangan Rio di atas kertas itu.

Untuk Alvin, sahabat terbaik yang pernah kumiliki.

Vin, bisa kupastikan, saat kau membaca surat ini, kemampuanku untuk bernafas pasti telah menguap.

Vin, mungkin aku sudah mengatakan hal ini berulang kali, tetapi kali ini aku ingin kau benar-benar percaya saat kukatakan kau adalah pria yang baik, amat baik. Pernahkah kau menyadari itu? Bahkan aku sudah mengetahuinya saat pertama kali kita bertemu.

Aku ingat, saat itu kita tengah mengikuti MOS. Kala itu, pada hari pertama kegiatan MOS, aku lupa membuat topi kerucut dari karton. Aku masih ingat betul, saat itu kau yang tengah berdiri di sampingku melepaskan topi yang kaukenakan lalu menyerahkannya kepadaku. Saat aku menolaknya, kau malah meremas-remas topi itu menjadi bola lalu membuangnya sehingga kita berdua sama-sama dihukum. Jujur, sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, kenapa kau melakukan hal itu karena setiap kali aku menanyakannya kepadamu, kau selalu bilang tidak ada alasan khusus.

Vin, selama hampir 1 tahun kita bersahabat, pernahkah kau mencoba untuk menghitung sudah berapa banyak kebaikan yang kaulakukan untukku? Banyak, Vin, sangat banyak hal baik yang telah kau berikan untukku sampai-sampai aku menjadi takut aku tidak akan pernah bisa membalasnya. Kau sangat baik, Vin. Terlalu baik kepadaku. Bahkan aku sempat berpikir kau akan dengan senang hati memberikan rumahmu kepadaku kalau saja aku memintanya. Hahaha...

“Dasar...” gumam Alvin.

Vin, mungkin ini belum bisa membalas semua kebaikanmu kepadaku, namun aku minta, terimalah ginjalku. Jangan menolaknya, aku mohon. Ini akan menjadi hal terakhir yang bisa aku lakukan dan berikan untukmu.

Vin, mungkin kau sudah bosan mendengar kalimat yang satu ini, tetapi tetap saja aku ingin mengatakannya.
Terima kasih untuk semuanya, Alvin Jonathan.

Vin, percayalah saat kukatakan kau adalah hadiah terbaik yang pernah Tuhan berikan untukku.

Dan kalau kau masih berkenan melakukan sesuatu untukku, aku minta, tetaplah hidup dengan ginjalku dan jadilah orang yang berguna suatu hari nanti. Hanya dengan begitulah, aku akan benar-benar bisa tersenyum melihatmu dari tempatku nantinya.

Sahabatmu,
Rio.

    Alvin melipat kembali surat itu. Sebulir air mata kemudian turun lagi dari matanya.

    “Jadi bagaimana Alvin? Apa kau menerimanya?” tanya pria di samping Alvin.

    “Dia pasti akan menghantuiku kalau aku tidak menerimanya,” ujar Alvin.

    Pria itu tersenyum. “Jadi kapan kau siap menjalani operasi itu?”

    “Secepatnya.”

    Pria itu mengangguk. “Dia pasti adalah orang yang berarti bagimu.”

    Alvin mengangguk. “Sangat berarti. He is the best gift that God ever gave me,” ujar Alvin lalu tersenyum ke arah pamannya.

Tuhan memberimu sepasang mata untuk melihat hadiah terbaikNya untukmu. Dia juga memberikan sekeping hati untukmu agar kau bisa merasakan bahwa hadiah itu adalah sahabatmu.

-SELESAI-

Epilog

Dan waktu tidak pernah berhenti berjalan, meski hanya sedetik...

“Jujur saja, Vin, paman sampai saat ini masih belum percaya, kau yang dulu sangat memusuhi buku-buku pelajaran sekarang bisa berada di sini,” ujar seorang pria paruh baya dengan kacamata yang bertengger di atas hidung mancungnya dan jas putih yang membalut tubuhnya.

    Alvin menurunkan cangkir berisi kopi hangat yang baru ia sesap ke atas meja persegi di depannya. Pria itu lalu memundurkan tubuhnya, bersandar ke belakang kursi yang tengah didudukinya. “Aku sendiri juga masih sulit memercayainya, Paman. Tapi ya, seperti yang bisa Paman lihat, aku memang berada di sini sekarang,” ucap Alvin.

    Jo tersenyum. “Ou ya, Vin, ada satu hal yang ingin Paman katakan kepadamu 10 tahun yang lalu, namun saat itu Paman lupa mengatakannya.”

    Alis kanan Alvin terangkat. “Apa itu?”

    “10 tahun yang lalu, sewaktu Paman tengah melakukan operas transplantasi jantung kepada sahabatmu, entah kenapa Paman merasa sahabatmu itu mirip dengan almarhum adikmu,” tutur Jo.

    “Bukan hanya Paman yang merasakan hal itu. Aku juga merasakannya. Dia memang mirip dengan Deva, meski sedikit.”

    “Itukah alasannya kenapa kau rela berkorban sedemikian jauh untuknya?”

    Alvin mengangguk. “Tapi itu hanya sepersekian persennya saja. Selebihnya, itu karena dia adalah sesuatu yang paling berharga yang kupunya saat itu. Dan dia akan selalu begitu sampai kapan pun.”

    Lagi-lagi Jo tersenyum. “Diakah alasan utama kenapa kau memilih untuk menjadi dirimu yang sekarang?”

    “Dokter Alvin,” panggil seorang perawat yang sedang berdiri di samping meja yang ditempati oleh Alvin dan pamannya.

    Alvin menoleh dan bersuara, “Ya. Ada apa?”

    “Keluarga dari pasien yang akan menjalani operasi transplantasi jantung sore ini ingin berbicara dengan Dokter. Mereka sedang menunggu di ruangan Dokter,” jawab perawat itu.

    “Oh, baiklah,” ujar Alvin lalu bangkit berdiri. “Paman, kita lanjutkan pembicaraan ini nanti saja,” ucap Alvin. Jo mengangguk maklum.

    Alvin kemudian berjalan mengikuti perawat itu.

    ‘Menjadi orang yang berguna. Itu kan pesan terakhirmu? Saat pertama kali aku membuka mata setelah menjalani operasi pencangkokkan ginjal itu, aku sudah memutuskan untuk berjuang agar aku bisa menjadi seorang dokter spesialis jantung. Yo, sekarang seharusnya kau sudah bisa tersenyum melihatku. Iya kan?’




the end

Komentar

Postingan Populer