Another Way to Love Part 10

Acha tidak mengerti apa yang terjadi dengan aren sahabatnya ini. Kemarin hampir sepanjang hari aren terus-terusan menangis dan merasa bersalah, atas peristiwa penyerangan vailant ke vendas. Tapi sekarang, wajah sendu itu sudah berganti dengan wajah penuh senyum.
“Lo kenapa sih ren ?” tanya acha heran.
“Gitu deh cha..”
“Iya gitu kenapa ? cerita dong sama gue..” pinta acha.
“Gimana ya ? entar lo ketawain gue lagi, kalo gue cerita” ujar aren.
“Ah lo mah, masa main rahasia-rahasian gitu sih sama gue, enggak seru”
“Haha, iya-iya, jangan ngambek dulu dong, gue cerita nih..”
_Flashback_
Sambil bermain ayunan sendirian, aren masih saja terus memikirkan tentang penyerangan kakaknya dan teman-temannya ke vendas. Entah kenapa perasaan bersalah itu, begitu terasa di hati aren. Sudah seharian ini dia masang aksi ngambeknya ke kak riko. Dia enggak abis pikir kenapa kakaknya bisa punya pikiran sependek itu.
“Cantik..kok sendirian aja..” aren celingukan nyari siapa yang ngajakkin dia ngobrol.
“Kak iel ?”
“Enggak usah kaget gitu juga kali ren. Nih buat lo..” iel menyodorkan sebatang coklat untuk aren, yang diterima aren dengan sumringah.
“Siapa juga yang enggak kaget. Tahu darimana gue disini ? eh iya, makasih coklatnya..”
“Tahu dari acha, tadi gue kerumahnya, terus dia bilang lo kalo lagi pengen sendiri suka kesini, ya udah gue cari aja lo disini” jelas iel.
“Kenapa kak ? ehm, gue mau minta maaf, buat ulah kakak gue ke sekolah kakak” ujar aren sambil menundukkan kepalanya. Iel menyentuh dagu aren, mengangkatnya agar mata aren bisa menatap matanya.
“Gue yang harusnya minta maaf, lo enggak salah apa-apa, dari awal kan elo udah ingetin gue siapa lo dan kakak lo. Gue kesini karena gue khawatir sama elo, kata acha, di sekolah lo nangis terus ya” aren menatap mata itu, tersirat kedewasaan yang dalam yang terpancar dari sinar mata iel, yang masuk menembus hatinya.
“Pasti satu sekolahan vendas benci banget deh sama gue” kata aren lirih.
“Haha, enggaklah, kan ada gue, biar gue yang nanggung, oke..” iel mengacak-acak rambut aren sambil tertawa. Aren ikut tertawa karena itu. Ini untuk pertama kalinya aren merasa nyaman berbicara berdua dengan seorang laki-laki yang baru dikenalnya.
“Makasih ya kak..”
“Ada syaratnya tapi”
“Apaan ?”
“Jangan jera gue ajakin jalan”
“Kakak enggak jera jalan sama gue ?”
“Enggaklah. Cuma mungkin setelah ini kalo kita mau jalan, kita harus lebih profesional lagi kali ya..hehe..”
“Iya, dan kakak juga enggak boleh lupa buat ngelepas, blazer vendas kakak”
“Sip..”
_Flashbackend_
“Cie...ada yang jatuh cinta nih..” goda acha setelah mendengar cerita aren.
“Apaan sih lo cha..” balas aren yang tidak bisa menyembunyikan semburat merah jambu di wajahnya.
“Haha..pipi lo merah tuh” tunjuk acha ke pipi aren.
“Eh lo sendiri gimana nasibnya sama kak cakka ?” tanya aren mengubah topik.
“Gitu deh, sama kaya lo. Gue sama kak cakka masih smsan, tapi udah enggak ketemu dari kemarin dia jemput gue itu. Kata dia, kak alvin nemuin dia, dan ngelarang dia deketin gue..” curhat acha lirih.
“Sabar ya cha, nasib kita sama nih, enggak dapet restu dari kakak..hehe..”
“Tapi kalo lo kan jelas di larangnya karena apa, lha gue ? kak alvin sama kak cakka kan jelas-jelas temenan, masa gue di larang deket sama temennya sendiri”
“Gue yakin kok cha, kak alvin pasti punya alasan yang tepat untuk itu. Kalo kak rio gimana ?”
“Gue belum sempet cerita sama kak rio, tahu sendiri kan lo, kakak gue itu kan sibuknya ngalah-ngalahin presiden kali”
“Lebai deh lo..”
“Hehe, emang bener, gue aja heran kok kak via mau ya di tinggal-tinggal gitu sama kak rio, gue sih enggak betah”
“Hmm..ya mungkin kak via udah biasa aja kali..” acha cuma ngangguk-ngangguk aja denger pendapat aren. Lalu kemudian, ia mulai sibuk smsan sama cakka, dan aren kembali sibuk mengenang saat berduanya dengan iel kemarin.

Hari ini alvin benar-benar malas sekolah, dia malah milih buat pergi dengan motornya. Mengikuti kata hatinya kemanapun dia mau. Toh enggak akan ada yang repot-repot khawatirin dia. Alvin menghentikan motornya di sebuah taman kota. Dulu omanya sering mengajak ia kesini, sekedar untuk membacakan dongeng yang harusnya ia dapatkan dari orang tuanya.
Alvin memilih duduk di sebuah kursi sambil melihat orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Sudah lama sekali alvin tidak kesini, dan taman ini tetap tidak berubah dimatanya. Tetap sebuah taman yang teduh dengan pohon-pohon besar yang berdiri dengan gagahnya. Sebuah taman yang memberikan ketenangan luar biasa bagi siapapun yang memerlukannya, karena letaknya yang bukan di jalan utama, membuat taman ini terhindar dari kebisingan lalu lintas.
Dan untuk itulah alvin memutuskan ke taman ini, untuk sekedar mencari ketenangan. Dia bukan orang yang suka berlari dari sebuah masalah, dia bukanlah seorang lelaki yang pengecut. Kehidupan mengajarkannya untuk selalu tegar apapun yang terjadi. Waktu yang telah membuatnya menjadi pribadi yang cenderung kasar. Dan kenangan pahit, yang membuatnya terus berjalan dalam langkahnya, berusaha tidak mempedulikan orang lain.
“Pa, aku mau balon, mau balon..” rengek seorang anak yang berdiri bersama papanya di tempat yang tidak jauh dari tempat alvin duduk.
“Iya tapi tukang balonnya belum datang sayang”
“Tapi aku mau balon..hiks..”
“Jangan nangis dong, adek mau terbang juga kaya balon ya ? ayo sini papa terbangin..” anak itu di gendong papanya, kemudian papanya mengayun-ayunkan dia di udara, membuat anak itu tertawa bahagia. Alvin menatap itu dengan lirih. Reflek ia meraba pipinya. Tamparan, hal yang sering papanya berikan untuk dia. Alvin tidak mengharapkan sebuah balon, apalagi sebuah gendongan, alvin hanya ingin papanya menghargai apa yang ia pilih, hanya sesimpel itu.
“Alvin ?” alvin menoleh ke belakang, melihat siapa yang menyapanya. Tapi seolah tidak peduli, alvin memalingkan mukanya dari orang itu.
“Gue minta maaf ya vin, atas kelakuan riko kemarin di sekolah lo. Seandainya gue tahu dia punya rencana kaya gitu, gue pasti akan ngelarang dia abis-abisan” ujar zeva sambil duduk di samping alvin. Tidak jauh berbeda dengan alvin, zeva juga masih memakai seragam sekolahnya, bedanya, zeva rapi sementara alvin berantakan.
“Dia cuma terlalu sayang sama aren, gue tahu dia berlebihan, tapi gue harap lo bisa ngertiin itu” lanjut zeva lagi. Alvin menoleh kearah zeva, ia melihat ada lebam keunguan di ujur bibir zeva.
“Bibir lo kenapa ?” zeva terlihat kaget dengan pertanyaan alvin, dia membuang mukanya, berusaha menutupi lukanya yang ditunjuk alvin.
“Riko yang bikin lo kaya gitu ?” entah kenapa, ada sedikit kepedulian yang terlintas di pikiran alvin.
“Enggak kok, ini..gue..gue jatoh” jawab zeva kelabakan.
“Enggak pinter bohong tahu enggak lo ! sini gue lihat” alvin memaksa zeva melihat ke arahnya, dia mengamati luka tersebut.
“Lo di pukul sama dia ? dan lo masih berusaha belain dia di depan gue ? kenapa sih jadi cewek bego banget !” zeva tidak melawan kata-kata alvin, dia malah menunduk. Alvin merasa sedikit bersalah, sepertinya ia terlalu kasar tadi.
“Gue..sayang banget sama dia..” ucap zeva pelan.
“Sayang sampe lo mau di pukul kaya gini ?”
“Dia cuma marah sama gue, karena gue bilang, kalo apa yang dia lakuin ke vendas itu salah. Gue tahu, dia cuma reflek doang, entar juga kita balikan lagi” alvin cuma bisa geleng-geleng kepala, dia tidak mengerti sama jalan pikiran cewek di sampingnya ini.
“Apa sih yang riko kasih ke elo, sampe elo bisa takluk kaya gini ?”
“Cinta vin, cinta..”
“Cinta lo buta kalo gitu !”
“Mungkin lo bener, tapi ketika gue jatuh cinta dan percaya sama cinta itu, gue akan selalu nganggep cinta itu indah meski kata orang ini pahit”
“Sarap !”
“Apa lo enggak pernah jatuh cinta ? apa lo enggak pernah ngerasa, kalo lo bersedia ngelakuin apa aja asal dia tetep tersenyum, apa lo enggak pernah ada di posisi, dimana lo siap terluka, asal lo tahu dia baik-baik aja” alvin terdiam, kata-kata zeva telah mengenai saraf perasaannya.
“Seenggaknya, gue tahu dia ada di orang yang tepat, itu udah cukup buat gue” zeva menatap alvin bingung, dia enggak nangkep sama sekali apa maksud kata-kata alvin.
“Maksudnya ?”
“Lupain aja. Lo cabut juga dari sekolah ?” zeva tersenyum dan mengangguk ke arah alvin.
“Kenapa lo bisa ada disini ?” tanya alvin lagi.
“Ini tempat riko nembak gue. Gue selalu kesini saat gue butuh buat sendiri, tapi mungkin riko udah lupa kali sama tempat ini, dia bahkan mungkin udah lupa, sama kenangan antara gue sama dia yang indah-indah..”
“Hah ? lo udah lama jadian sama riko ?”
“Gue sendiri enggak ngerti apa gue masih jadian sama riko atau enggak, gue enggak tahu”
“Lo ngomong apa sih ?”
“Gue sama riko temenan dari sd. Dia nembak gue pas kelas 3 smp, disini. Enam bulan setelah itu, dia kecelakaan, dia amnesia, dan entah kenapa, perilakunya juga berubah, tapi gue enggak pernah bisa ninggalin dia, di mata gue, dia tetep riko, riko yang lembut dan penuh perhatian”
“Amnesia ?”
“Iya. Awalnya dia enggak inget siapa gue, tapi gue enggak pernah pergi sedikitpun dari dia, gue selalu berusaha ada buat dia. Enggak ada yang tahu pasti, kenapa amnesia itu bisa sampe merubah perilakunya, tapi itu enggak akan ngalangin gue vin, gue sayang sama dia, apa adanya” alvin yang dari tadi hanya diem menyimak, memberi aplause dalam hati untuk gadis tegar di sampingnya ini.
“Bentar deh, riko seorang penderita amnesia semenjak dua tahun yang lalu, tapi maksud gue dia kan sering berantem, apa itu enggak berbahaya buat kesehatannya ?” alvin sendiri bingung, kenapa ada rasa kasihan liar yang tumbuh di hatinya untuk musuhnya itu.
“Enggak ada, dia normal, normal banget. Cuma perilakunya aja yang enggak bisa balik lagi kaya dulu”
“Gimana kalo riko enggak akan balik lagi kaya dulu ?”
“Gue udah berjalan sampe sejauh ini vin, enggak mungkin buat gue untuk mundur atau malah berhenti, gue akan selalu ada disini buat dia. Terserah dia mau nganggep gue apa, yang jelas saat dia ingin kembali, dia bakal tetep nemuin gue disini”
“Kenapa lo cerita ini semua sama gue ? gue bisa aja pake itu buat nyerang riko, dia musuh gue”
“Sederhana alvin, karena gue percaya, kalo lo itu orang baik, dunia ini panggung sandiwara kan ?” zeva tersenyum sendiri, tapi alvin kembali terdiam mendengar kata-kata zeva. Ya zeva benar, dunia ini memang penuh orang yang bermain sandiwara untuk menutupi jati dirinya, bahkan mungkin alvin adalah salah satu pemain sandiwara itu.
“Gue mau cabut dari sini, lo balik naik apa ?”
“Gampang, gue bisa nyari taksi”
“Udahlah lo ikut gue aja, daripada supir taksinya stres ngadepin lo” meski diucapkan dengan nada sinis, zeva malah cengengesan mendengar kata-kata alvin. Teman barunya ini memang tampilannya sekeras batu, tapi hatinya bahkan mungkin lebuh rapuh dari kapas.
Sepanjang jalan, mereka berdua hanya terdiam. Tidak ada yang ingin berbicara, semua sibuk dengan isi otak mereka masing-masing, meski di tanggapi dengan dingin oleh alvin, zeva sudah merasa sedikit lega, setidaknya ia sudah membagi sedikit kisahnya dengan orang yang menurutnya tepat. Dan alvin, di kepalanya, ia sibuk memikirkan via. Sahabatnya dari kecil yang selalu bersamanya, yang sekarang telah dimiliki oleh rio, sahabat serta saudaranya sendiri.
“Vin ini rumah siapa ?”
“Ini rum...” alvin bengong sendiri, menyadari kebodohannya. Karena terus memikirkan via, entah bagaimana caranya, alvin  sekarang memberhentikan motornya di depan rumah via. Bukan rumah zeva.
“Hei..helooo ! lo udah lupa sama rumah gue ?” tanya zeva yang asli bingung banget.
“Eh sori-sori zev, ayo gue anterin lo ke rumah lo”
“Lo enggak apa-apa kan vin ? emang ini rumah siapa ?”
“Gue tadi cuma ngelamunin pemilik rumah ini, dan entah kenapa, tanpa sadar gue bawa motor gue kesini” jelas alvin. Zeva yang tadinya bingung bercampur kesal, malah jadi tertawa terpingkal-pingkal.
“Haha..cewek ya vin ? haha..next time lo wajib cerita ini ke gue, udah ayo sekarang anterin gue pulang” perintah zeva sambil menahan tawanya, alvin cuma bisa nyengir-nyengir doang, kemudian ia dan zeva langsung bergegas meninggalkan rumah via.

Hati via mencelos melihat pemandangan di depannya. Tubuhnya berdiri di kaku di atas beranda kamarnya, dan hatinya entah kenapa terasa sakit. Gara-gara mendengar suara motor alvin yang begitu akrab di telinganya, via segera berlari melihat keluar rumah dari beranda kamarnya. Tapi yang ia dapati malah alvin bersama cewek lain, lalu cewek tersebut tertawa ke alvin, dan alvin juga terlihat memberikan senyumnya untuk cewek tersebut.
“Gue kenapa ? kenapa gue enggak enak gini ?” tanya via pada dirinya sendiri.
“Alvin enggak pernah ketawa sama cewek lain selain gue selama ini, dan tadi alvin keliatan ketawa. Terus apa maksud alvin berhenti di depan rumah gue ? apa ?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk di otaknya, menyiksanya sepanjang sisa hari itu. Membuatnya terus memikirkan alvin, membuatnya melupakan misinya untuk berusaha sepenuh hati mencintai rio.
***
Dua laki-laki itu sama-sama tidur terlentang di atas rumput. Meski yang mereka lihat hanya gelapnya malam, tapi tidak menghalangi mereka untuk melakukan itu dari hampir satu jam yang lalu.
“Kemana lo tadi seharian ?” rio membuka percakapan diantara mereka.
“Malas sekolah gue”
“Gue tanya kemana bukan kenapa”
“Tempat yang enggak pentinglah buat lo”
“Pentinglah vin, gue harus tahu lo kemana, gimana kalo sampe ada apa-apa sama lo, dan enggak ada satu orangpun yang tahu”
“Yo, semua orang juga tahu, kalo gue enggak perlu di khawatirin, gue bisa jaga diri gue sendiri” rio pasrah. Dia menghormati alvin lebih dari apapun. Buatnya alvin adalah saudara, sahabat, teman, kakak bahkan pahlawannya.
“Gue mau lo jujur sama gue vin”
“Apa ?”
“Apa lo pernah mencintai via ? apa lo pernah mengharapkan dia jadi pacar lo ?” alvin menegakkan badannya, kemudian dia duduk di samping rio.
“Gue sayang sama dia sebagai sahabat, dan enggak akan lebih” ujar alvin. Rio ikut-ikutan duduk.
“Kalo gue ngelepasin via, apa yang bakal lo lakuin ?” alvin menatap rio sekilas.
“Lo enggak bakal ngelepasin via, gue tahu itu. Lo enggak akan bisa tanpa dia..”
“Kenapa lo bisa seyakin itu ?”
“Ya karena gue tahu kalo perasaan lo buat via itu besar banget”
“Lo bakal selalu dukung gue kan vin, lo bakal selalu ada buat gue kan vin ?”
“Iyalah” rio tersenyum mendengar jawaban alvin. Ia merangkul pundak alvin, lalu menepuk-nepuknya, alvin hanya menoleh lalu tersenyum ke arah rio. Di saat yang bersamaan, tanpa siapapun bisa melihatnya, hati alvin bergejolak sedemikin hebat, rasanya hati itu, ingin berkhianat dengan kata-kata yang alvin ucapkan tadi.
***
Tidak ada yang istimewa di hari ini untuk via. Tugas seabrek telah menunggunya, dia menutup lokernya dengan malas-malasan. Dia mengedarkan matanya, bingung ingin menghabiskan waktu istirahatnya dimana. Rio jelas-jelas tidak bisa diharapkan saat ini, dia sedang ijin tiga hari, untuk mengikuti rapat papanya di luar negri. Dari kejauhan, via melihat alvin sedang menggiring bola di koridor, masa bodo dengan orang lain yang terganggu dengan aktivitasnya. Via menghampiri alvin, sudah beberapa hari ini alvin terus menerus menghindari via.
“Vin, mau ke lapangan ya ? gue ikut ya..” alvin tidak menggubris via sama sekali, ia tetap berusaha asik dengan bolanya itu.
“Gue salah apa sih sama lo ? kok lo diem terus sama gue ?”
“....”
“Alvin...” tanpa kenal lelah, via terus mengikuti alvin.
“Vin, lo lagi ada masalah ?” alvin masih terus saja hening. Via yang lama-lama merasa kesal juga, menarik tangan alvin, membuat langkah alvin terhenti dan terpaksa menengok ke arahnya.
“Hargain gue dong vin ! kalo gue punya salah, lo bilang dong ! biar gue bisa minta maaf dan perbaikin kesalahan gue !”
“Kesalahan lo adalah, lo terus-terusan ngikutin gue dari tadi. Gue mau sendiri..oke” alvin melepaskan tangannya dari tangan via. Dia berlalu meninggalkan via yang mematung di tempatnya. Berusaha tidak menoleh ataupun peduli ‘maafin gue vi, maaf..’ hanya dalam hatinyalah, kata maaf itu terlontarkan.

Komentar

Postingan Populer