Another Way to Love Part 11
Mata
mereka saling beradu pandang satu sama lain. Yang satu menatap penuh
harap, dan yang satu membalasnya dengan pandangan tajam. Alvin berdiri
ia berjalan ke arah acha, ia rengkuh badan adiknya itu ke dalam
pelukannya.
“Tolong cha, gue punya alasan ngelarang lo deket sama cakka, tolong ngertiin gue” bisik alvin lembut.
“Alasan apa kak ? kak alvin aja enggak bisa jelasin itu ke gue kan ?!” acha mendorong alvin menjauhinya.
“Cha..” panggil alvin sambil berusaha deketin acha lagi.
“Stop
! stop kak. Sebelum kakak bisa kasih gue alasan, gue minta maaf, gue
sayang sama kak cakka, gue enggak bisa nurutin permintaan kakak” acha
langsung berlalu meninggalkan alvin.
“Brukk !” alvin menendang kursi yang ada di teras belakang rumahnya tersebut. Dia mengacak-acak rambutnya sendiri.
“Ah
lo egois banget sih vin ! alasan lo konyol vin, konyol !” alvin malah
mengumpat dirinya sendiri. Lalu dia menghempaskan tubuhnya di kursi,
memandangi sekawanan burung yang berarak pulang.
***
Suasananya
begitu ramai, penuh dengan anak-anak yang berceloteh disana-sini. Ada
yang meributkan tenda, barang bawaan mereka, bahkan menebak-nebak siapa
teman sekelompok mereka di acara menjelajah hutan nanti. Tapi itu semua
tidak berlaku untuk alvin, ia malah sibuk mendengarkan ipodnya. Matanya
memandang ke arah hutan yang terbentang di hadapannya, lalu dia
tersenyum sekilas.
“Lo enggak diriin tenda ?” rio menepuk pundak alvin, alvin pun melepas ipodnya.
“Udah” jawab alvin singkat.
“Yah vin, semangat dong”
“Kalo enggak karena lo paksa gue juga enggak akan ikut acara kemping ini kali yo”
“Ya
elah vin, ini tuh wajib tahu. Udah tradisi setiap angkatan juga, tahun
kedua mereka di vendas bakal kesini dan jelajah hutan”
“Peduli amat gue sama giniian”
“Ya
udahlah gue mau ngurusin yang lain dulu, anggep aja lo disini jagain
gue, iya enggak bro ?” rio mengedipkan matanya sebelah, alvin hanya
tersenyum kecil melihat itu. Dia suka petualangan, tapi bila itu masih
ada sangkut pautnya dengan urusan sekolah, maka perasaan malas alvin
akan lebih dominan menguasainya.
Semua
anak berkumpul dan berbaris rapi. Seperti yang telah rio bilang, ini
memang tradisi di vendas. Setiap tahun kedua suatu angkatan, mereka akan
mengadakan kemping untuk menjelajah hutan. Hutan ini sebenarnya masih
merupakan kepunyaan yayasan vendas, yang sengaja di buat untuk
konservasi alam dan penelitian.
“Baiklah
anak-anak semua, sesuai tradisi yang telah dijalankan oleh para senior
kalian, hari ini kalian akan mulai melaksanakan jelajah hutan. Jelajah
hutan ini bukan di maksudkan untuk membuat kalian takut, tapi untuk
membuat kalian lebih memahami dan menghargai tentang alam juga percaya
kepada teman sekelompok kalian. Baiklah, tanpa banyak kata, saya
nyatakan acara ini resmi di buka”
“Prok..prok..prok..”
tepuk tangan mengakhiri pidato singkat dari Kepala sekolah mereka.
Kemudian gantian rio yang naik ke atas panggung.
“Teman-teman
semua, sedikit penjelasan dari saya sebagai perwakilan panitia dan
osis, setiap kelompok akan berisi masing-masing dua orang peserta,
laki-laki dan perempuan, dan setiap kelompok, akan di bekali dengan
sebotol air mineral dan sebuah gps. Gps itu yang akan menuntun kalian
sampe kembali kemari. Dan gps itu harap terus di aktifkan, karena bila
sampe terjadi apa-apa, tim sar dapat segera menemukan kalian. Sekian
penjelasan dari saya, sekarang harap diam karena akan di bacakan
kelompoknya” semua diam menuruti perintah rio.
“Kelompok 39 alvin jonathan dan sivia azizah”
Alvin
dan via sama-sama melirik ke arah rio yang sedang tersenyum ke arah
mereka berdua. Mau tidak mau, alvin dan via maju ke depan. Alvin
mendekat ke arah rio.
“Lo yang bikin gue sekelompok sama via ya ?” tanya alvin curiga.
“Iya,
gue mana tenang kalo dia sekelompok sama orang lain. Pengennya sih juga
gue sama dia vin, tapi gue kan panitia, enggak bisa. Jagain via ya..”
alvin enggak bisa ngelakuin apa-apa lagi. Dia meraih jatah air
mineralnya dari tangan rio, dan berjalan mendahului via yang memegang
gps mereka berdua.
“Vin, lo masih marah sama gue ?” tanya via sambil berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah alvin.
“Hmm”
“Ngomong dong vin..”
“Males” via pasrah, dia enggak mau buang-buang energinya buat memaksa alvin bicara.
“Vin, kan gue yang megang gps, kok malah elo yang jalan di depan gue sih ?”
“Ya
udah jalan gih cepetan” meski alvin menyuruhnya duluan, via tetap saja
jalan di belakang alvin. Dia mengamati sekitarnya, tempat ini diam-diam
menyimpan kenangan indah untuk via. Kenangan yang entahlah, hanya ia
kenang sendiri, atau juga di kenang oleh orang yang bersamanya saat itu.
Mereka
terus berjalan, via memberi intruksi dari belakang, entah harus belok
kanan, kiri ataupun lurus. Hanya suara via saja yang bergaung di antara
mereka berdua, alvin tetap diam seribu bahasa. Via menyeka bulir-bulir
keringat yang menetes di pelipisnya. Rasanya ia ingin berhenti sejenak
dulu untuk sekedar meneguk air.
“Gubrakk !”
“Auww
!” via meringis menahan sakit. Karena kurang berhati-hati, kaki via
tersangkut di akar pohon dan membuatnya jatuh tersungkur.
“Lo enggak apa-apa kan vi ?” alvin langsung berbalik ke arah via.
“Ma..maaf
vin...gpsnya kayanya..rusak..” via menunjuk benda kecil berbentuk
persegi panjang yang saat via terjatuh lepas dari genggaman tangannya
sehingga melayang bebas terantuk batu, membuatnya hancur dan tak
berfungsi. Alvin tidak menghiraukan itu, ia memeriksa kaki via,
mengamatinya, sementara via menggigit bibir bawahnya, menahan sakit dan
rasa bersalahnya.
“Lo mau ngapain vin ?” tanya via bingung saat alvin berjongkok memunggunginya.
“Cepetan
naik, kaki lo keseleo, enggak akan bisa kalo harus di paksa jalan,
lagian ini udah keburu sore, kayanya juga mau ujan deh” via merasa
dejavu dengan kejadian ini. Via mengalungkan tangannya di sekitar pundak
alvin, membiarkan alvin menggendongnya.
“Gimana cara kita bisa tahu jalan ?” tanya via berbisik di telinga alvin.
“Berdoa
aja” jawab alvin singkat. Via hanya terdiam, ia begitu menikmati
detik-detik ini, meski ia tahu nasibnya dan alvin sedang tidak jelas
sekarang. Jantungnya berdegup kencang, dan via hanya dapat berharap
alvin tidak merasakan gerak jantungnya itu. Dengan tangannya dia
menghapus keringat-keringat alvin, alvin berhenti sejenak, menoleh ke
arahnya, lalu tersenyum manis.
‘Akhirnya lo senyum juga sama gue vin’ batin via.
“Ternyata lo lebih berat ya vi” celetuk alvin.
“Emang lo pernah gendong gue apa sebelum ini ?” tanya via bingung.
“Oh gitu ya, jadi lo udah lupa nih..” via berusaha mengingat saat-saat itu. Dia mencari di kotak kenangannya, berpikir keras.
“10
tahun lalu vi..” alvin mengatakan itu seolah ia bisa membaca pikiran
via yang sedang kesusahan mengingat itu. Kata-kata 10 tahun itu, bagai
kunci untuk via, karena entah bagaimana caranya, kenangan itu langsung
tergambar jelas di pikirannya.
_Flashback_
Gadis kecil itu,
hanya diam menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya,
sibuk memindahkan barang dari truk ke dalam rumah barunya. Dia mengamati
lingkungan barunya, yang nampak asri. Tiba-tiba matanya menangkap dua
sosok anak laki-laki yang terlihat sebaya dengannya, salah seorang anak
yang nampak manis menghampirinya.
“Hai, kamu orang baru ya ? kenalin aku mario, tapi panggil aja rio” anak tersebut menyodorkan tangannya.
“Iya,
namaku sivia, tapi kamu bisa panggil aku via” via membalas tangan anak
itu. Tapi matanya langsung tertarik ke anak yang satunya, kulit putihnya
terlihat kemerahan, karena terkena panas matahari, anak tersebut tidak
menghampiri via, dia sibuk dengan bola sepaknya.
“Dia itu alvin, kakak aku” jelas rio yang ikut melihat ke mana arah pandangan mata via.
“Oh, boleh aku ikut main sama kalian ?”
“Boleh
dong. Alvin, kenalin ini sivia, tapi panggil aja via..” alvin
menghentikan permainannya sebentar, dia tersenyum sekilas kearah via,
lalu kembali sibuk dengan bolanya.
“Maaf
ya, dia emang gila bola. Tapi kamu beruntung, dia jarang senyum sama
orang baru” jelas rio lagi, via hanya menganggukan kepalanya, dia terus
menatap alvin, mengamati setiap gaya yang alvin lakukan.
“Yo, aku mau ke lapangan !” teriak alvin sambil mengiring bolanya.
“Kamu
mau ikut enggak ? deket kok lapangannya” tawar rio ke via. Via
tersenyum, ia ikut rio berlari mengejar alvin yang telah jauh di depan.
“Gubrakk !”
“Auww..hiks..hiks..” via memegangi lututnya yang berdarah mencium aspal. Rio yang ada di dekatnya langsung menghampiri via.
“Cup..cup..cup..jangan nangis dong vi, aku tiupin ya” rio mulai meniup-niup luka via, membuat via sedikit tersenyum.
“Kenapa dia yo ?” tanya alvin.
“Jatoh terus berdarah deh”
“Perih yo..” ujar via lirih
“Minggir yo” meski bingung tapi rio tetap menuruti permintaan alvin. Alvin segera berjongkok memunggungi via.
“Kamu mau ngapain ?” tanya via heran.
“Kamu
harus di obatin, ayo aku gendong sampe rumah kamu” jelas alvin. Via
paham dan langsung melingkarkan dua tangannya di pundak alvin.
“Aku berat ya ?”
“Enggak
kok, aku kan kuat” dan alvin terus menggendong via hingga rumah via,
rio mengiringi mereka berdua, membawakan bolanya alvin.
_Flashbackend_
Via
tersenyum sendiri mengingat saat itu, pantas tadi ia merasa de javu,
ternyata memang kejadian ini pernah terjadi sebelumnya, entahlah mengapa
via bisa sampai melupakan kenangan ini. Ya, semenjak awal pertemuan
mereka, via sudah lebih dulu mengagumi alvin.
“Udah inget ?” tanya alvin.
“Hehe, udah kok..”
“Ternyata dari dulu lo enggak berubah ya, tetep ceroboh dan cengeng..” timpal alvin.
“Lo
juga enggak berubah, selalu punya cara sendiri buat perhatiin gue” ujar
via pelan-pelan, ia tidak ingin suasana yang telah mencair ini menjadi
beku kembali. Alvin hanya tersenyum, meski pelan, tapi kata-kata itu
terdengar jelas di telinganya, dan langsung merasuk membaur dengan
kebahagiaan di hatinya.
“Tik..tik...tik...”
“Gerimis ya ?” via menengadahkan tangannya, untuk merasakan tetes-tetes air hujan.
“Gimana dong vi, gue mulai ragu kalo kita ada di jalan yang bener”
“Hah ? lo serius vin ?”
“Enggak tepat juga kali vi kalo
gue harus bercanda sekarang” via diam, dia kembali merasa bersalah.
Andai saja ia sedikit lebih berhati-hati dan memperhatikan langkahnya,
atau kalaupun ia memang harus terjatuh, ia berharap gps itu tetap utuh
dalam genggamannya.
“Maaf vin..”
“Jangan minta maaf lagi, oke ? gue capek dengernya..”
“Maaf..”
alvin menoleh sebentar ke via, kemudian ia menghentikan langkahnya,
membuat via bingung. Apalagi waktu alvin menurunkannya, apakah ia baru
saja melakukan kesalahan lagi ke alvin ?
“Nih pake jaket gue, tambah deres ujannya” ternyata alvin berhenti untuk melepas jaketnya, dan mengulurkannya ke via.
“Eh jangan, gue kan udah pake ini” via menunjuk cardigan yang dipakainya.
“Itu
tipis vi, entar lo masuk angin lagi, udah cepetan pake, lo enggak mau
pake, gue tinggal nih disini” ancem alvin, yang bikin via enggak bisa
ngebantah apa-apa lagi, dia menerima jaket itu dan memakainya, aroma
tubuh alvin membuatnya merasa hangat.
“Terus lo enggak apa-apa cuma pakai itu ?” via memperhatikan alvin yang hanya memakai kaos.
“Gue
kan kuat, udah ayo kita jalan lagi” alvin menggendong via kembali.
Semakin lama, hujan turun semakin deras dan cuaca semakin gelap, tanpa
gps, mereka jelas-jelas tahu bahwa mereka berdua ini sedang tersesat
sekarang.
“Vin
itu ada gubuk disana !” alvin mengalihkan pandangannya ke arah
pandangan yang sama dengan via. Alvin tahu sia-sia saja bila ia terus
berjalan tanpa arah yang pasti, maka ia pun memutuskan untuk berteduh
dulu di gubuk tersebut, apalagi ia juga merasa badan via yang mulai
menggigil karena dingin.
“Masih sakit enggak vi ?”
“Enggak kok, udah enggak sesakit tadi”
“Bagus deh. Kok hujannya deres banget ya vi ? pasti rio sama anak-anak yang lain khawatir sama lo deh”
“Mereka juga khawatir sama lo kali vin” koreksi via.
“Haha,
kalo rio sih gue masih percaya, kalo yang lain, enggak bakalan lah” via
memandang alvin lirih. Laki-laki dengan tampang kusut dan baju basah
kuyup itu, tertawa di atas kata-kata yang harusnya ia ucapkan dengan
mimik sedih. Ketegaran alvin, adalah hal yang via kagumi sekaligus ia
benci dari alvin.
“Vin ini jaket lo, lo pake ya, baju lo basah banget gitu, entar lo demam lagi” bujuk via yang merasa iba.
“Enggak
vi, gue lebih tenang kalo lo yang pake itu. Lo capek ya ? mending lo
tiduran deh, kayanya ujan kaya gini berhentinya bakal lama, entar kalo
udah reda gue pasti bangunin lo”
“Yang ada juga lo kali vin yang capek udah gendong gue, udah jalan sejauh ini, ujan-ujanan lagi. Lo enggak mau tidur ?”
“Kalo gue tidur, siapa yang jagain lo ? udah, gue tahu kok lo ngantuk kan ? cepet tidur..”
“Boleh
senderan di bahu lo ?” alvin sedikit terkejut dengan pertanyaan via,
tapi ia hanya tersenyum, dan via mengartikan itu sebagai tanda
persetujuan. Dia menyenderkan kepalanya di bahu alvin, memejamkan
matanya, berharap, ini bukan hanya akan terjadi dalam hitungan jam saja.
“Ma..alvin kangen..”
Via tersentak kaget, ketika ia merasa badan alvin yang menjadi penyangga kepalanya oleng ke kanan.
“Alv...”
via yang tadinya berniat pura-pura marah ke alvin karena merasa tidur
nyenyaknya terganggu, malah diam menatap alvin. Wajah alvin tanpak
pucat, bahkan bibir merahnya tampak putih, kedua tangannya ia dekapkan
di atas dadanya dan seperti menggigil. Via meletakkan telapak tangannya
di atas dahi alvin.
“Panas banget..” gumam via pelan.
“Ma..alvin
kangen...” lagi-lagi alvin mengigau. Via meletakkan kepala alvin di
pangkuannya, dia lepaskan jaket alvin dan menjadikannya selimut. Hujan
masih tetap saja turun dengan derasnya, seolah tidak peduli akan
kesusahan dua anak manusia ini. Via merasa takut, dia tidak tahu harus
berbuat apa sekarang.
“Sakit..sakit pa..ampun..sakit pa..” via tambah merasa miris saja mendengar kata-kata alvin.
“Vin, gue harus apa ?”
“Pa...alvin
sayang papa..” setetes air terjatuh dari mata alvin yang sedang
terpejam. Via mengusap itu dengan telunjuknya, air matanya ikut
mengalir. Kalimat itu terdengar begitu lemah dan menyayat hati, nada
yang berbeda dari yang selama ini alvin ucapkan. Anehnya, kata-kata itu
terdengar nyata, terdengar tulus dari hati yang paling dalam.
Panas
tubuh alvin belum turun juga, dia masih tetap mengigau, memanggil
mamanya atau papanya. Via hanya bisa mengusap-usap rambut alvin, jagoan
itu benar-benar tampak tak berkutik saat ini. Tertiup angin, via berniat
untuk membetulkan letak jaketnya, agar terus menutupi tubuh alvin, tapi
entah bagaimana caranya, tangan alvin malah menggenggam tangannya.
“Tolong..jangan pergi..” via tersenyum tipis. Dia membiarkan tangannya tetap dalam genggaman tangan alvin.
Alvin mengucek matanya dengan tangan kirinya, kepalanya terasa sedikit pusing. Dia terhenyak
saat mendapati dirinya ada di bawah selimut jaketnya sendiri, kemudian
ia mendongak ke atas, dan nampak via yang sedang tidur. Alvin melirik
tangan kanannya yang tergenggam erat dengan tangan via, dan sebuah
senyum manis merekah di bibirnya. Dengan hati-hati, tanpa melepaskan
tangan via, alvin berusaha untuk duduk, tapi ternyata gerakannya tetap
saja membangunkan via.
“Alvin, lo udah baikan ?” tanya via langsung saat melihat alvin yang sedang tersenyum ke arahnya.
“Gue udah enggak apa-apa, makasih ya” ujar alvin tulus.
“Beneran ?” nampak tidak percaya, via memeriksa kening alvin lagi.
“Suer via ! enggak percaya amat..”
“Abis
lo kan enggak pernah mau bilang kalo kenapa-napa. Beberapa jam yang
lalu, lo baru aja bikin gue takut karena kondisi lo yang tiba-tiba
ngedrop gitu”
“Thanks ya udah perhatian sama gue” alvin mengacak-acak rambut via.
“Aduh
vin, gue udah enggak sisiran dari tadi, rambut gue udah basah dan
lepek, eh sekarang lo malah tambah ngeberantakin rambut gue” komen via
sambil berusaha merapikan rambutnya kembali. Alvin cuma nyengir doang
denger gerutuan via.
“Karena
gue suka elo apa adanya, sivia azizah” via terdiam dengan tangan yang
masih berusaha merapikan rambutnya, dia spechless dengan kata-kata alvin
barusan. Begitupun dengan alvin, wajah rio langsung terbayang di
matanya sesaat setelah kata-kata itu terlontar olehnya, meski hatinya
menjadi lega bukan main.
“Vin..”
“Ya ?”
“Masih
inget ini ?” via memperlihatkan sesuatu yang tidak disadari oleh alvin
dari tadi, sesuatu yang melekat di leher via. Alvin tercekat menatap apa
yang via tunjukkan itu, tangannya mencoba merogoh sesuatu di dalam
kantong celana jinsnya. Dia mengangkat benda itu di depan mata via, via
melepas kalungnya, dan merekatkannya ke gelang alvin.
“Ini punya kita, punya lo sama gue, enggak boleh hilang” ucap mereka berdua bersamaan.
_Flashback_
Anak
laki-laki itu terus berlari, dia tidak suka menangis, atau lebih
tepatnya dia tidak ingin menangis. Dia berlutut menatap hutan belantara
di depannya. Nafasnya tersengal-sengal, dan hatinya begitu perih.
“Alvin..” seorang anak perempuan berdiri di belakangnya.
“Mau ngapain kesini ?” tanya alvin ketus.
“Mau nemenin lo”
“Gue mau sendiri”
“Gue
enggak mau tahu, gue cuma mau nemenin lo” via memberanikan diri untuk
berdiri di samping alvin. Harusnya hari ini jadi hari yang spesial untuk
alvin, karena di umurnya yang baru 11 tahun, ia telah berhasil
menjuarai sebuah lomba sepak bola tingkat nasional. Alvin mengira,
dengan ini papanya akan berlaku sama ke alvin seperti yang papanya
lakukan ke rio. Tapi ternyata perkiraan alvin salah, tanpa alasan yang
pasti, papanya malah membentak-bentak ia dengan kasar, dan sama sekali
tidak peduli akan kemenangannya.
Dulu
saat kakeknya masih hidup, alvin pernah di ajak ke hutan ini. Hutan
yang letaknya tidak jauh dari komplek perumahannya dan Atventhas school.
Kata-kata kakeknya yang masih ia ingatlah yang menuntunnya untuk kesini
‘kamu tahu alvin, kenapa kakek bikin hutan ini ? kakek bikin hutan ini,
selain karena kakek suka sama alam, alam yang indah dan terjaga juga
akan selalu ngasih kita ketenangan yang luar biasa’.
“Tahu darimana gue disini ?”
“Tadi
gue lihat elo lari-lari ke arah sini dari dalem mobil, ya udah gue ijin
sama mama, gue bilang mau nemenin lo” jelas via, yang tidak mendapat
respon dari alvin.
“Kok
lo terus-terusan lihatin hutan sih ? ada apa di dalam sana ?” tanya via
yang enggak menemukan sesuatu yang istimewa selain daun-daunan rimbun
dalam hutan tersebut.
“Gue pengen masuk kesana, kata kakek dulu, alam selalu ngasih kita ketenangan”
“Ya udah ayo masuk, gue temenin”
“Beneran ?”
“Iya,
ayo..” via menarik tangan alvin. Mereka berdua melangkahkan kaki mereka
ke dalam hutan tersebut, belum terlalu lama berjalan, alvin
menghentikan langkahnya.
“Kenapa ?” tanya via heran.
“Jangan ah, gue enggak tahu jalannya, entar kalo kita nyasar gimana ?”
“Ya, enggak seru nih”
“Udah ah, ayo balik..”
“Vin
kita tulis nama kita di kulit pohon yuk, biar ada kenang-kenangan” via
memungut sebuah batu, untuk memahat namanya dan nama alvin.
“Jangan..” cegah alvin sambil membuang batu yang via pegang.
“Kenapa ?”
“Kalo
di coret-coret, jadi enggak indah lagi, kalo udah enggak indah, enggak
bakal kasih kita ketenangan” jelas alvin yang bikin via
ngangguk-ngangguk.
“Tapi
gue mau punya kenangan” rengek via, alvin tampak berpikir, lalu matanya
menangkap sebuah potongan kayu, dia segera memungut itu.
“Trek..” alvin mematahkan itu menjadi dua bagian, lalu ia meraih tangan via dan meletakkan sebuah bagian ke dalam tangan via.
“Yang
itu buat lo, yang ini buat gue, lihat deh, kalo pas bagian yang gue
patahin itu kita satuin, jadi utuh kan” via tersenyum senang, meski
benda itu jauh dari kata bagus.
“Kalo gue anggep ini hati lo, dan yang lo pegang hati gue gimana vin ?”
“Apaan sih lo vi ? kebanyakan nonton sinetron deh” cibir alvin.
“Gue
serius, gue pengen selamanya sama lo terus, lo enggak boleh pergi
kemana-mana, karena kalo lo pergi, nanti ini enggak bisa utuh lagi”
“Iya gue janji enggak akan kemana-mana”
“Bener ya ?” via menyodorkan jari kelingkingnya, dan alvin mengaitkan jari kelingkingnya ke kelingking via.
“Ini
punya kita, punya lo sama gue, enggak boleh hilang” ujar mereka berdua
bersamaan tanpa di rencanakan, mereka berdua lalu tertawa bersama.
_Flashbackend_
“Gue kira lo udah lupa sama ini vin”
“Gue langsung jadiin ini gelang setelah kita pulang dari hutan”
“Gue
juga langsung jadiin ini kalung setelah itu vin” mereka berdua
bertatap-tatapan, lalu sama-sama mengalihkan pandangan mereka.
“Apa janji itu masih berlaku vin ?”
“Gue masih disini vi ? enggak kemana-mana” ujar alvin sambil tersenyum
“Gue ngerahasiain ini dari rio, dia enggak tahu apa-apa tentang ini”
“Dia
enggak perlu tahu tentang ini vi, jangan..”ada nada memohon di kalimat
alvin, via hanya tersenyum getir, dia sendiri enggak punya cukup
keberanian untuk mengungkapkannya ke rio. Alvin memandangi via, mengapa
semua ini baru terbuka sekarang ? mengapa semua baru di perjelas
sekarang ? di saat alvin sedang berusaha tersenyum untuk via, untuk
kebahagiaan rio dan via.
“Vi..gue....”
“Ya
ampun kalian disini ! kamu enggak apa-apa kan vi ?” kata-kata alvin
terpotong, oleh rio yang masuk tiba-tiba bersama beberapa orang guru dan
tim sar. Rio langsung memeluk via, mau tidak mau via membalas pelukan
itu, tapi matanya menoleh ke alvin.
“Dia baik-baik aja yo, tenang aja..” ucap alvin sambil berusaha tersenyum.
“Makasih
ya vin, satu-satunya yang bikin gue sedikit tenang, adalah, karena gue
tahu, via hilangnya sama lo, dan gue percaya banget, lo bisa gue andelin
buat ngejagain via” rio menepuk-nepuk pundak alvin. Tanpa rio sadari,
ada dua orang yang sedang berusaha tersenyum disitu. Berusaha menutupi
perasaan bersalah mereka masing-masing, berusaha menyembunyikan sebuah
fakta akan isi hati yang baru saja terkuak perlahan dengan caranya yang
tidak dapat di tebak.
Komentar
Posting Komentar