Another Way to Love Part 5
Enggak
pernah ada yang lebih indah daripada pemandangan langit sore, saat
dimana langit berwarna oranye keemasan, dengan lembayungnya yang
menggantung, burung-burung yang berarak pulang, dan semilir angin yang berhembus merdu. Saat-saat seperti ini adalah sat yang paling via sukai.
“Maaf
ya vi, harusnya kemarin kan jadi malam minggu pertama kita, tapi aku
malah harus dateng ke acara lain” ujar rio tulus. Via hanya tersenyum
melihatnya. Sore ini, rio sengaja mengajak via ke danau, untuk sekedar
bertemu dan meminta maaf.
“Kamu enggak masalah kan semalam malah jalan sama alvin, bukannya aku ?”
“Santai aja kali yo, kita kan udah sahabatan dari dulu, aku udah terbiasa banget sama hal-hal kaya gini”
“Beruntung
banget aku punya cewek yang pengertian kaya kamu gini” rio
mengacak-acak lembut rambut via sambil tersenyum, sementara via malah
merasa tidak nyaman dengan pujian rio barusan.
“Gimana kemarin acaranya yo ?” tanya via sekedar mengalihkan pembicaraan.
“Gitulah vi, ngebosenin banget deh. Kamu sendiri gimana jalannya sama alvin ? pasti seru banget kan”
“Biasa aja kok, cuma nonton sama makan doang”
“Gara-gara enggak ada aku ya ? jadinya biasa aja..hehe..”
“Mungkin”
“Atau
emang kamu lebih suka jalan sama alvin ?” via diam mendengar pertanyaan
rio, kenapa rio malah nanya kaya gitu, sadarkah rio pertanyaan itu
terasa telak di hatinya via.
“Aku suka jalan sama sahabat aku” jawab via diplomatis.
“Haha..enggak usah tegang gitu kali vi, aku percaya kok sama kamu. Eh iya ngomongin alvin, gimana kalo kita cariin dia cewek ?”
“Cewek ?”
“Iya..abis, seumur-umur aku sama dia, enggak pernah sekalipun dia bahas cewek sama aku”
“Mungkin
dia emang belum nemu cewek yang tepat kali yo, lagian harus cewek yang
siap mental buat ngadepin dia yang susah diatur kaya gitu” entah mengapa
via merasa apa yang ia katakan adalah penolakan yang jujur dari dalam
hatinya.
“Iya,
cewek yang model-model kaya kamu gini, yang siap di bentak-bentak sama
dia, yang siap dia jutekkin, disinisin, di diemin, tapi tetep aja enggak
mau nyerah”
“Haha..kaya aku ?”
“Cewek
mana coba yang berani deket sama dia, kecuali kamu ? tapi kamu kan udah
punya aku..hehe..” sekali lagi rio mengacak-acak rambut via, dan
diam-diam via berusaha berdamai dengan kenyataan yang telah ia pilih
sendiri itu.
Tepat
ketika matahari mulai turun perlahan, via menyandarkan kepalanya di
pundak rio. Dan tidak ada getaran itu, yang via rasakan, hanyalah sebuah
ketenangan, ketenangan karena ia sedang bersandar di pundak sahabatnya,
dan bukan pacarnya. Via menghela napasnya perlahan, seiring perasaan
bersalah yang mulai menyelimutinya.
Gabriel
menyetir mobilnya tanpa tujuan, rencana awalnya adalah main ke rumah
rio, tapi gara-gara rio bilang sore ini dia ada janji sama via, iel pun
mengurungkan niatnya. Jadilah sekarang dia cuma di dalem mobilnya sambil
nyanyi teriak-teriak enggak jelas. Telunjuknya ia ketuk-ketukkan di
stir mobil, kepalanya bergoyang-goyang kekanan-kiri, dan jalan yang
lenggang membuatnya menyetir dengan kecepatan diatas rata-rata.
“Ckiitt..”
iel ngerem mendadak, waktu di sebuah belokan tiba-tiba ada seseorang
yang menyebrang jalan. Dia berusaha mengatur napasnya sendiri, meredakan
rasa kekagetannya. Setelah itu, sebagai seorang laki-laki gentleman,
dia pun keluar mobil.
Ternyata
yang ia tabrak adalah seorang perempuan. Perempuan itu jatuh terduduk
tepat di depan mobil iel, ia sedang berusaha meniup-niup lututnya yang
mengeluarkan darah. Iel pun berjongkok di depan cewek itu sambil
memasang muka penuh rasa bersalah.
“Sori..sori..gue beneran enggak sengaja, lo enggak apa-apa kan ?”
“Enggak
kok, guenya yang enggak hati-hati” ujar cewek itu sambil masih sibuk
dengan luka dilututnya, tanpa menoleh ke arah iel sedikitpun. Iel
berdiri berjalan ke arah mobilnya, dia mengambil kotak p3k yang selalu
tersedia di mobilnya dan blazer almamater sekolahnya, yang ia gantungkan
di jok belakang kursinya.
“Pake
ya, udah malem, sini gue obatin” iel memakaikan blazer itu dan mulai
mengobati luka cewek tersebut. Cewek itu melirik ke arah iel dan blazer
yang sekarang ia kenakan.
‘vendas ? kenapa dunia sempit banget sih’ gumam cewek itu dalam hati.
“Udah,
gue udah enggak apa-apa kok. Makasih ya..” untuk pertama kalinya cewek
itu menatap iel, iel yang awalnya hanya ingin membalas tatapan itu,
malah terpaku melihat senyuman gadis itu, sorot matanya, serta garis
wajah cantiknya.
“Hei..” cewek itu melambai-lambaikan tangannya di depan muka iel.
“Hah ? eh..ehm..mau gue anter ?” tanya iel gelagapan.
“Enggak usah, makasih, gue lagi nunggu di jemput”
“Ya udah gue tunggu sampe jemputan lo dateng” kata iel maksa.
“Jangan
dong, mending lo pulang aja, gue..ehm..di jemput..cowok gue” hati iel
hancur seketika mendengar pengakuan tersebut, dia cuma tersenyum sambil
membereskan kotak p3knya.
“Ya
udah gue duluan ya, eh iya nama lo siapa ? gue gabriel” ujar iel sambil
menjulurkan tangannya. Cewek itu baru mau membalasnya, ketika
“Teet..teet..teet..”
“Sori,
gabriel. Gue udah di jemput, ini blazer lo” setelah menyerahkan blazer
itu, cewek tersebut langsung masuk ke dalam mobil itu. Iel hanya
menunduk, memandangi tangannya yang bahkan belum sempat berjabat dengan
tangan cewek tersebut, dengan langkah gontai, dia kembali ke mobilnya.
***
Sambil
bersiul-siul kecil, alvin masuk ke dalam kelasnya yang telah di mulai
dari satu jam yang lalu, tapi seperti biasa ia tidak pernah peduli
dengan hal seperti ini. Dia langsung melangkah ke arah bangku paling
belakang, meletakkan rangselnya, lalu mengeluarkan sketch booknya.
Perlahan
namun pasti, alvin mulai menggoreskan pensilnya di atas sketch booknya
itu. Imajinasinya melayang jelas di depan matanya. Dia terus tenggelam
dalam dunianya sendiri, dunianya yang paling privat dan tertutup. Hingga
tiba-tiba selembar kertas di sodorkan ke arahnya. Dengan gerakan
singkat, alvin menampik kertas itu.
“Hari
ini kita quiz alvin, dan kamu belum ikut satu quiz pun di pelajaran
saya semester ini” tanpa melihat lawan bicaranya, alvin menutup sketch
booknya dengan keras, dan memukul meja.
“Ganggu tahu enggak lo !!”
“Saya
guru kamu alvin !” alvin melirik sekilas ke arah gurunya yang telah
menghadap ke arahnya sambil berkacak pinggang. Seisi kelas juga sekarang
sedang memperhatikannya, menghentikan aktivitas mereka masing-masing.
Alvin mengambil tasnya, kemudian ia beranjak pergi.
“Mau kemana kamu ?!”
“Detention
room” jawab alvin singkat sambil terus berjalan ke luar kelasnya.
Ternyata hanya ada dirinya di detention room hari ini, ya memang alvin
udah kaya siswa tetap sih di detention room. Lagian guru di detention
room, juga udah keabisan akal mau ngasih hukuman apa buat alvin. Alvin
mungkin salah satu pencetak sejarah di vendas, murid yang telah
melanggar lebih dari selusin peraturan-peraturan yang ada.
“Gue harus ngapain ?” tanya alvin cuek.
“Kamu lagi kamu lagi, setiap hari, selalu kamu yang masuk detention room”
“Ada hukuman enggak buat gue ?!”
“Kamu
ke world history room dan bersihkan alat peraga disana” perintah
gurunya. Tanpa jawaban apapun dari mulut alvin, alvin segera pergi
meninggalkan detention room. Bandel-bandel gini, alvin selalu
menjalankan hukuman yang ia terima, buat dia itu termasuk resiko
perbuatannya.
Dalam
diam, alvin mulai merapikan buku-buku yang acak-acakan dan alat peraga
lainnya. Sesekali ia membaca tulisan-tulisan yang menarik minatnya.
“Kreek..” alvin menatap ke arah pintu yang terbuka, dia hanya tersenyum tipis melihat siapa yang masuk.
“Kok disini vin ? bukannya lo sekarang harusnya di economy class ?”
“Detention vi. Lo sendiri ngapain kesini ?”
“Gue emang lagi history class sekarang, guru gue nyuruh ngambil film dokumenter yang ada disini”
“Oh...”
ujar alvin cuek. Via hanya bisa sabar melihat kelakuan alvin, dia
berjalan ke arah rak film dokumenter, ternyata film yang gurunya maksud
ada di rak paling atas, dan itu cukup membuat via kesulitan
mengambilnya. Dia berusaha melompat-lompat untuk bisa meraih film
tersebut, tangannya menggapai-gapai, tapi matanya melihat ke arah alvin,
berharap alvin membantunya.
“Gubraakk”
“Lo ngapain vi ?!”
Via
meringis menatap alvin, entahlah apa yang telah ia lakukan tapi semua
film dokumenter yang telah tersusun secara rapi di rak sekarang
berhamburan jatuh di lantai, via sendiri juga ikut terjatuh. Alvin
menghampiri via dan berlutut di depannya.
“Ma..maaf vin..gue bantuin ya..” entah mengapa, tapi sebutir air mata meluncur dari matanya.
“Kok lo nangis ? ada yang sakit ? lo luka ?” tanya alvin panik, dia menarik via pelan, dari timbunan film-film itu.
“Gu..gue..takut..elo marah” ujar via pelan.
“Hahaha..aneh dasar” via menatap alvin yang malah tertawa terbahak-bahak.
“Jadi lo enggak marah ?”
“Ngapain
gue mesti marah coba ? makanya kalo enggak bisa tuh minta tolong. Lo
tuh ya, udah segede ini aja masih tetep cengeng” alvn menghapuskan air
mata via dengan telunjuknya.
“Ngapain lo berdua disini ?”
Alvin
dan via berdiri mematung di tempatnya, mereka ngerasa kaya maling yang
di tangkep hidup-hidup sekarang. Pintu yang tadi via biarkan terbuka,
membuat mereka tidak sadar akan kehadiran orang lain di ruangan itu, dan
apesnya, orang itu adalah rio.
“Ya ampun itu rak kenapa acak-acakan ?” tanya rio lagi, sambil nunjuk ke arah film yang dijatuhin via.
“Yo..ehm..ini,
aku lagi mau ngambil film dokumenter, dan enggak tahu gimana, aku malah
jatuhin semua filmnya, dan terus alvin nolongin aku” jelas via sambil
ngeremet-remet tangannya sendiri, berusaha menghilangkan rasa gugupnya.
“Lha, lo ngapain disini vin ?”
“Detention yo. Sori, yang lo lihat tadi enggak kaya yang lo pikir, gue cuma nolongin via dan..”
“Iya-iya
gue tahu, thanks ya vin, udah nolongin cewek gue..hehe..emang gue lebih
tenang kalo via sama lo” rio nepuk-nepuk bahu alvin, alvin berusaha
tersenyum ke arah rio.
“Kamu sendiri ngapain yo ?” tanya via.
“Tadi
aku abis dari ruang guru, terus denger suara ribut dari sini, ya udah
aku masuk aja. Eh vin, gue bantuin ya beresinnya, itung-itung kan lo
udah bantuin cewek gue”
“Via
juga sahabat gue kali yo, bakal gue tolongin juga kalopun dia bukan
cewek lo” alvin mengatakan itu sambil melihat ke arah via.
“Udahlah
pokoknya gue mau bantuin lo, udah sana vi kamu balik ke kelas, pasti
dari tadi guru kamu nungguin film dokumenternya kok enggak
dateng-dateng” via tidak dapat membantah kata-kata rio, dia mengambil
film yang ia inginkan dan meninggalkan rio dan alvin di ruangan itu.
“Lo enggak curiga sama gue yo ?”
“Curiga buat apa ?”
“Gue sama via”
“Haha, enggaklah. Gue jelas-jelas tahu kalo lo berdua sahabatan”
“Gimana kalo gue ngerebut via dari lo ?” rio berhenti menata film-film itu, alvin juga berhenti.
“Eh itu cuma misalnya yo, gue cuma iseng nanya doang” jelas alvin kelabakan, dia kebawa suasana nanyain pertanyaan konyol itu.
“Gue rasa lo enggak cukup tega ah vin buat ngerebut via dari gue...hehe..iya enggak ?” tanya rio balik.
“I..iyalah. Enggak akan gue ngerebut via dari lo yo, tenang aja”
“Iya gue tahu kok” ujar rio. Lalu mereka berdua melanjutkan kembali merapikan film-film tersebut.
***
Tangannya
memetik senar gitarnya tanpa nada, meski melodi yang mengalun tetap
saja indah untuk di dengar. Rio menatap bintang-bintang dari beranda
kamarnya. Sesekali ia mengubah posisi duduknya, tapi matanya terus
menatap bintang dan tangannya terus memetik senar gitarnya.
Biasanya kalo dia udah kaya gini, dia terbiasa mencurahkan perasaannya sama via ataupun alvin.
Hanya saja malam ini, via bilang dia harus belajar karena mau ada tes
dan alvin entah telah menghilang kemana sejak pulang sekolah tadi.
Diam-diam,
tanpa siapapun pernah mengetahuinya, rio kadang sering iri, akan diri
alvin. Yang dia anggap bebas menentukan apapun pilihannya, bebas
melakukan apa saja tanpa memikirkan perasaan orang lain, dan bebas untuk
mengatur hidupnya sendiri. Berbeda dengannya, yang selalu terlanjur
dituntut untuk selalu jadi nomer satu tanpa cela sedikitpun, yang selalu
harus berlaku sempurna, meski kadang hal itu tidak sesuai dengan hati
nuraninya.
Tidak
ada yang salah, dengan menjadi anak kebanggaan bagi orang tuanya dan
contoh bagi teman-temannya di sekolah. Tapi rio tetaplah seorang
manusia, yang memiliki titik jenuh akan hidupnya, yang terlalu monoton.
“Ngelamun melulu”
“Ngapain cha ? ngagetin aja..” rio melirik ke arah acha yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya.
“Mama
pergi nemenin papa, katanya ada acara pembukaan apa gitu, jadi daripada
sepi, mending acha ke kamar kakak” jelas acha sambil duduk di samping
rio.
“Oh, untung gue enggak diajak”
“Haha, nasib lo kak” goda acha.
“Cha, lo pernah ngerasa iri sama seseorang enggak ?”
“Iri ? buat apa, acha sih terima-terima aja sama yang acha punya, paling iri sama nilai-nilai kak rio yang selalu sempurna itu”
“Itu sih tetep aja namanya lo pernah ngerasa iri, sama gue lagi irinya”
“Haha,
siapa sih yang enggak iri sama kakak. Kakak itu pinter, ketua osis,
jago di segala bidang, kapten basket, pinter main musik, suara bagus,
tampang oke”
“Gimana kalo gue capek jadi sempurna cha ?”
“Kakak kenapa sih ? acha bingung deh”
“Lo lihat deh alvin, hidupnya dia tuh bebas banget, apa yang dia mau ya itu yang dia lakuin, enggak peduli apa kata orang”
“Dimata
acha, kakak sama kak alvin, sama-sama kakak yang hebat. Kalian berdua
punya keahlian di bidang masing-masing kan, dan yang perlu kakak tahu,
acha bangga punya kakak kaya kak rio dan kak alvin”
“Makasih ya cha, enggak nyangka gue, lo bisa bijak juga”
“Yee..” cibir acha, yang bikin rio tersenyum. Setidaknya kata-kata acha tadi cukup menghiburnya untuk saat ini.
Dalam
sekali teguk, alvin langsung menghabiskan sisa minum dari gelasnya.
Hanya tinggal dia satu-satunya pengunjung di kafe ini, alvin baru aja
nongkrong sama temen-temennya dan sekarang mereka udah pulang duluan.
“Maaf
mas, kafenya udah mau tutup” ujar seorang karyawan memberitahu alvin.
Alvin melirik jam tangannya, memang sudah pukul sebelas malam.
“Iya,
ini juga gue udah mau pergi, mana bill gue” setelah membayar semua
pesanannya, alvin bergegas meninggalkan kafe tersebut. Dia memakai
helmnya dan bersiap untuk menyalakan motornya. Ketika matanya menangkap
seoranng perempuan sedang terduduk di pinggir trotoar dan wajahnya ia
sembunyikan di balik kedua tangannya. Didasari rasa ketidaktegaannya,
alvin pun menghampiri cewek tersebut.
“Lo
kenapa ?” cewek tersebut menengadahkan wajahnya, terlihat jelas bahwa
ia abis menangis, karena sisa-sisa air yang melekat di wajahnya.
“Apa peduli lo ? kita bahkan enggak kenal”
“Ya
udah. Gue cuma mau bilang, ini udah jam sebelas malem, dan bakal susah
kalo lo mau cari transport buat pulang” ujar alvin sambil berlalu
meninggalkan cewek tersebut.
“Emang
lo mau nganterin gue balik ?” tanya cewek itu sambil berteriak ke arah
alvin yang semakin menjauh, alvin tidak menggubrisnya, dia terus
berjalan ke arah motornya. Tapi tidak berapa lama kemudian, alvin
kemabali lagi kehadapan cewek itu bersama motornya.
“Ayo cepetan naik” perintah alvin.
“Hah ?”
“Penawaran
terakhir nih, mau balik enggak lo” cewek itu celingukan ke arah kanan
dan kirinya, sepi. Lalu dia berpikir sejenak ‘enggak ada tampang jahat
kok nih orang’ batinnya. Dia pun berdiri dan naik ke motor alvin.
“Dimana rumah lo ?” tanya alvin.
“Komplek kencana indah” jawab cewek tersebut, dan motor alvin pun langsung melesat cepat.
“Makasih ya, maaf ngerepotin. Oh ya kenalin gue zevana, tapi lo bisa panggil gue zeva”
“Gue alvin”
“Kenapa lo mau nganterin gue ?” tanya zeva masih bingung.
“Karena nyokap gue cewek, gue punya adek cewek dan gue juga punya sahabat cewek”
“Oh..ya udah, makasih ya, makasih banget, gue enggak kenal sama lo, tapi lo mau bantuin gue”
“Hmm, gue duluan ya” sebelum zeva membalas kata-kata alvin, motor alvin telah melesat kembali di gelapnya malam.
Komentar
Posting Komentar