Another Way to Love Part 6
Rio
menghentikan langkahnya ketika suara alunan melodi dan nada indah itu
berpadu merdu di telinganya. Dalam diam dia memejamkan kedua matanya,
menikmatinya dengan hati.
“Pa, udahlah, ini waktunya makan malam” ujar mamanya.
indah terasa indah
bila kita terbuai dalam alunan cinta
sedapat mungkin terciptakan rasa
keinginan saling memiliki
bila kita terbuai dalam alunan cinta
sedapat mungkin terciptakan rasa
keinginan saling memiliki
dan bila itu semua
dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita
dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
tak semudah seperti yang pernah terbayang
menyatukan perasaan kita
tetaplah menjadi bintang di langit
agar cinta kita akan abadi
biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
agar menjadi saksi cinta kita berdua, berdua
agar cinta kita akan abadi
biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
agar menjadi saksi cinta kita berdua, berdua
sudah, terlambat sudah
ini semua harus berakhir
mungkin inilah jalan yang terbaik
dan kita mesti relakan kenyataan ini
ini semua harus berakhir
mungkin inilah jalan yang terbaik
dan kita mesti relakan kenyataan ini
“Prok..prok..prok..”
rio memberikan aplause dan keluar dari tempat persembunyiannya. Via
menatapnya dengan pandangan kaget, dia tidak menyangka rio mendengarkan
permainan piano dan nyanyiannya dari tadi.
“Rio ? sejak kapan kamu ada disini ?”
“Sejak
awal kamu nyanyiin lagu itu, bagus banget vi, kamu nyanyinya penuh
penghayatan banget deh” puji rio tulus, via hanya tersenyum. Rio benar,
via menyanyikan lagu itu dengan menggunakan hatinya yang terdalam, tapi
sayangnya lagu itu bukan untuk rio.
“Makasih ya yo, kamu mau ngapain ke rumah aku ?”
“Mau main aja, kangen sama kamu, abis tadi seharian di sekolah sibuk banget sih, sampe enggak sempet ketemu kamu”
“Oh ya udah, kita duduk aja yuk di beranda kamar aku, kaya biasanya ngeliatin langit sore” ajak via.
“Enggak apa-apa nih masuk kamar kamu ?”
“Enggaklah,
emang kamu mau ngapain ? hehe..dulu waktu kecil juga kamu sama alvin
sering ke kamar aku. Udah sana kamu masuk, aku ambilin minum dulu..” rio
cuma tersenyum sambil menuruti perintah via. Ia memasuki kamar yang di
dominasi oleh warna putih dan ungu muda tersebut. Rio mengamati
koleksi-koleksi novel dan pajangan-pajangan via.
“Kotak
apaan nih ?” tanya rio pada dirinya sendiri, saat ia menemukan sebuah
kotak kecil dari kayu, yang entah kenapa di sembunyikan via di antara
pajangan-pajangannya. Diliputi rasa penasaran, rio pun membuka kotak
tersebut, seuntai kalung dengan bandul serpihan kayu yang tidak rata di
ujung-ujungnya ia temukan di dalam kotak tersebut.
“Ini
kalung apaan ya ? kok gue ngerasa familiar, gue ngerasa pernah ngelihat
serpihan kayu kaya gini juga deh” gumam rio sambil mengamati kalung
tersebut. Dia berusaha mengorek ingatannya, dia merasa yakin pernah
melihat benda yang mirip seperti ini sebelumnya.
“Yo,
bukain pintu dong, aku bawa baki nih” panggi via dari balik pintu. Rio
langsung meletakkan kalung itu kembali ke dalam kotaknya dan meletakkan
kotak tersebut di tempatnya semula, kemudian segera membukakan pintu
untuk via.
“Lama banget, abis lihat apa ayo kamu ?” tanya via dengan wajah penasaran.
“Lihat
apa aja yang bisa aku lihat..hehe..” kilah rio. Mereka berdua duduk di
beranda kamar via, menikmati pemandangan langit sore sekali lagi.
“Yo, kok kamu bisa sayang sama aku ?” tanya via tiba-tiba.
“Ya
karena aku nyaman saat aku sama kamu, karena aku ngerasa, kamulah orang
yang selalu bisa bikin detak jantung aku enggak normal saat kita lagi
sama-sama, senyuman kamu yang selalu bisa bangkitin semangat aku,
banyaklah, kalo aku sebutin satu-satu, setahun juga enggak akan kelar
vi”
“Gombal...” timpal via.
“Kalo gombalan aku bisa bikin kamu terus ada di samping aku, aku rela ngegombal setiap waktu buat kamu”
“Apaan sih kamu..” lagi-lagi via merasa perasaan bersalah itu datang lagi menghampirinya.
“Kamu
sendiri, kenapa nerima aku ?” via terdiam mendengar pertanyaan rio.
Mengapa ia harus berpikir dulu, bukankah itu pertanyaan gampang,
bukankah via tinggal bilang, karena ia juga menyayangi rio, tapi mengapa
lidahnya terlalu sulit mengucapkan kata-kata itu.
“Hmm..karena
aku..karena kita cocok” jawab via sambil tersenyum ke arah rio, hanya
itu kata yang berhasil via ucapkan dari sekian banyak alasan yang
bersarang di kepalanya.
“Aku
enggak akan pernah ngecewain dan nyia-nyiain kamu vi” ujar rio sambil
merain tangan via dan menggenggamnya erat. Mereka berdua terus ngobrol
tentang segala hal, tentang kesibukan rio yang seabrek hingga obrolan
ringan yang tidak penting. Setelah gelap menjemput, rio pun pulang ke
rumahnya, yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumah via.
Via
merenung di pinggir tempat tidurnya, ia memikirkan kata-kata rio,
pujian-pujian tulus yang terlontar dari bibir rio hanya untuknya
seorang, kepercayaan rio yang tiada terbatas, dan tentunya rasa sayang
rio yang terlalu besar untuknya. Pandangannya beralih ke arah lain, ia
berjalan menghampiri rak pajangan di kamarnya, tangannya meraih kotak,
yang tanpa ia ketahui telah di buka oleh rio.
“Perasaan gue doang, atau emang kotaknya agak geser ya” gumam via curiga.
“Semoga
tadi rio enggak lihat ini” dengan perlahan via membuka kotak tersebut,
memandangi benda di dalamnya, di sentuhnya pelan, bandul serpihan kayu
tersebut.
“Maaf
yo, hati gue terlanjur terikat sama ini” ucap via pelan, nyaris
berbisik. Di genggamnya kalung itu, via terduduk lemas di kasurnya
kembali, berharap waktu berhenti sejenak untuk meredakan segala
penatnya.
***
Rio
tersenyum puas melihat bola basket yang ia shoot masuk ke dalam ring
dengan sempurna. Kemudian tanpa lelah ia kembali mendribel bola
basketnya tersebut.
“Main sendiri aja lo, oper ke gue dong”
“Emang lo bisa main basket shil ?”
“Lihat
aja..” dengan gerakan gesit, shilla merebut bola basket yang sedang rio
drible. Shilla mendrible beberapa kali, dan kemudian dia langsung
menembaknya dan masuk, cukup membuat rio tercengang.
“Wow, hebat lo ya. Enggak nyangka gue..”
“Haha..kenapa enggak nyangka ?”
“Ternyata lo itu miss.serba bisa ya ? kagum gue sama lo” puji rio, yang bikin shilla sedikit melambung.
“Iya
deh mr.serba bisa juga..” mereka asik bermain bersama, oper-operan bola
sambil sesekaloi menembakkan bola ke ring. Setelah hampir setengah jam
berlalu, mereka pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.
“Minum yo..” shilla menyodorkan sebotol aqua dingin untuk rio. Rio menerimanya dan langsung meneguk minuman itu habis.
“Thanks ya shil”
“Hmm. Via enggak nungguin lo ?”
“Enggak, kasian dia kalo harus nungguin gue. Tadi dia udah pulang sama alvin”
“Percaya banget ya lo sama mereka”
“Iyalah. Eh lo sendiri kok belum pulang ?”
“Lha, kan kita mau ngurusin osis dulu yo”
“Sekarang
aja yuk, entar keburu sore lagi” ajak rio, shilla hanya mengangguk
terus ngekorin rio. Sepanjang jalan mereka ngobrol, shilla selalu merasa
nyaman saat dia sedang bersama rio seperti ini. Meski ia tahu,
laki-laki yang sedang berjalan disampingnya dan begitu ia kagumi ini
adalah orang yang hatinya telah terikat dengan perempuan lain.
Alvin
tidak menghiraukan tatapan ramah penuh senyum dari cewek-cewek yang
sedang melihat ke arahnya. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku
celana jinsnya, dia berjalan cuek dengan musik dari ipod yang mengalun
di telinganya.
“Enggak
jalan sama kakak enggak jalan sama kak rio, pasti cewek-cewek pada
tebar pesona deh” ujar acha yang dari tadi ngerasa aneh sendiri jalan
disamping alvin.
“Bangga dong lo cha, punya kakak ganteng kaya gue sama rio”
“Beuh ! kak gue mau ke toko buku nih, lo mau ikut enggak ?”
“Iyalah, entar lo ilang lagi. Eh tumben lo enggak jalan sama aren ?”
“Tadinya sih janjian sama aren, tapi tiba-tiba dia bilang dia harus nemenin kakaknya”
“Riko ?”
“Mungkin”
acha masuk ke toko buku, diikuti oleh alvin di belakangnya. Sementara
acha sibuk mencari buku pelajaran, alvin memilih melihat-lihat komik.
Setelah selesai, acha dan alvin memutuskan untuk makan dulu di sebuah
restaurant.
“Kakak, enggak jealous sama kak via ?”
Alvin diam mendengar kata-kata acha ‘kenapa orang pada nanya kaya gini sih ?’ batin alvin dalam diamnya.
“Kok bengong kak ?”
“Hah..enggak apa-apa. Eh si cakka kemarin nanyain lo tuh” ujar alvin mengalihan pembicaraan.
“Kak cakka ?”
“Iya. Emang ada cakka yang lain ?”
“Nanya apa ?” tanya acha berharap.
“Banyak, kayanya dia suka sama lo”
“Uhuk..uhuk..uhuk..” acha keselek minumnya.
“Haha, kenapa lo ? cie..suka juga lo sama cakka ?”
“Ih apaan sih kakak..”
“Hmm..baguslah
kalo lo enggak suka. Masih kecil lo, belum pantes pacaran” kata-kata
yang terlontar dari mulut alvin secara spontan itu, entah kenapa malah
membuat acha merengut sebal.
“Acha
?” acha menoleh melihat siapa yang memanggil namanya. Ternyata itu
adalah aren, sahabatnya. Aren menghampirinya dengan seorang perempuan
berambut panjang yang tampak tersenyum.
“Alvin
! enggak nyangka kita ketemu lagi” teriak cewek tersebut heboh. Acha
sama aren cuma lihat-lihatan doang, sementara alvin tetap memasang muka
acuh tak acuhnya.
“Kak zeva kenal sama kak alvin ?” tanya aren.
“Iya..hehe..eh iya, kenalin gue zeva” zeva menyodorkan tangannya ke acha, acha membalas sodoran tangan itu.
“Acha. Gue kira lo jalan sama kak riko ren”
“Kak zeva ini pacarnya kak riko cha..” acha hanya meng-o-kan mulutnya, sementara alvin untuk pertama kalinya memandang zeva.
“Eh bentar deh, ini ya ren, alvin yang sering berantem sama riko ?” tanya zeva setelah melihat tatapan sinis dari alvin.
“Iya kak..ehm cha, temenin gue ke toko buku yuk, gue belum dapet buku yang kita cari itu”
“Yah ren, gue baru aja balik dari toko buku” tolak acha.
“Ayolah cha, tega banget lo sama gue ?” rayu aren.
“Hmm,
ya udahlah. Kak alvin sama kak zeva tunggu disini aja ya..” setelah
ditinggalkan aren dan acha. Alvin dan zeva hanya diam-diaman aja, alvin
masih terus mendengarkan ipodnya, sementara zeva memilih untuk memainkan
handphonenya, meskipun beberapa kali ia melirik ke arah alvin.
“Ehm..vin..apa lo nyesel udah nolongin gue ?” tanya zeva pelan-pelan.
“....”
“Apa
kalo lo tahu, gue pacarnya riko dan gue anak vailant, lo enggak akan
nolongin gue ? lo bakal biarin gue sendirian disana ?” alvin masih terus
diam tidak menggubris zeva sama sekali.
“Malam
itu gue berantem sama riko, karena gue berusaha untuk ngelarang dia
tawuran lagi sama vendas. Yang ada dia malah nurunin gue di tengah jalan
kaya gitu, itu bukan untuk pertama kalinya dia ngelakuin hal semacam
itu, tapi entah kenapa, gue selalu aja maafin dia...” entah sadar atau
tidak, zeva malah curhat sama alvin.
“Apa urusannya sama gue ?” tanya alvin pada akhirnya.
“Hah ? urusan apa ? emang gue ngomong apa barusan ?” tanya zeva bingung. Alvin juga ikutan bingung, dia cuma mandangin zeva.
“Lo enggak sadar kalo lo abis cerita gue, masalah lo sama riko”
“Emang iya ? kok gue bisa enggak sadar ya ? haha..sori vin sori..” alvin tambah aneh aja ngelihat cewek di depannya ini.
“Enggak nyangka gue ceweknya riko aneh kaya lo gini” ucap alvin enggak pake basa-basi.
“Hehe..emang lo pikir ceweknya riko kaya apa ?”
“Enggak kaya lo yang jelas”
“Lama-lama
bisa gila gue ngobrol sama orang kaya lo..hehe..eh pinjem hp lo ya”
zeva langsung aja ngambil hpnya alvin yang alvin letakkan di atas meja,
alvin cuma bisa pasrah natap itu.
“Nih,
save no gue ya. Lo kan tadi udah dengerin gue curhat, entar kapan-kapan
lo mau curhat sama gue, hubungin gue aja. Gue mau nyusul aren sama acha
ke toko buku aja lah..” zeva meninggalkan alvin yang masih
terbengong-bengong menatap layar hpnya.
Acha
dan alvin pulang tepat jam makan malam. Papa, mama dan rio udah duduk
siap menunggu mereka berdua. Saat-saat berkumpul seperti ini, adalah
saat yang sebenernya paling alvin ingin hindari, itu sebabnya tidak
seperti acha yang langsung ikut bergabung di ruang makan, alvin memilih
untuk langsung masuk ke kamarnya.
“Dasar
anak enggak sopan ! di tunggu makan malam, malah ngeloyor pergi gitu
aja !” kata-kata papanya, menahan langkah alvin. Dia berbalik, kemudian
ikut duduk di ruang makan.
“Darimana aja cha ?” tanya mamanya, berusaha menetralisir keadaan.
“Dari toko buku ma, tadi kak alvin nemenin acha”
“Ngapain ngajak dia ke toko buku ? enggak ada gunanya cha” ujar papanya, yang membuat atmosfer ruangan kembali memanas.
“Pa, udahlah, ini waktunya makan malam” ujar mamanya.
“Papa
tuh cuma mau bilang ke acha, kalo ada urusan sekolah, jangan sampe dia
dapet pengaruh dari orang yang salah” alvin meletakkan sendok dan
garpunya, dia memberanikan diri menatap mata papanya.
“Ya
udah cha, lain kali kalo kamu mau pergi sama rio aja, jangan sama gue”
alvin berbicara ke acha tapi matanya tetap menatap mata papanya.
“Tapi
mungkin tuan besar ini lupa, kalo dia udah bikin rio, kehilangan
waktu-waktunya untuk sekedar menikmati masa remajanya. Dia lupa, kalo
dia adalah seorang ditaktor di keluarga ini” lanjut alvin lagi. Rio yang
duduk di samping alvin enggak bisa berbuat banyak.
“Kurang ajar kamu !”
“Apa
?! mungkin anda bisa mengatur kehidupan rio, tapi maaf, anda tidak bisa
mengatur kehidupan saya !” alvin berdiri dari tempat duduknya, dia
memandang papanya tajam. Acha dan rio menahan alvin, sementara mamanya
menahan papanya.
“Saya ini papa kamu !”
“Papa ? saya udah lupa rasanya punya papa ! setahu saya, seorang papa tidak akan meninggalkan anaknya begitu saja”
“Kamu !” papanya bersiap menghampiri alvin, tapi tangan mamanya terus berusaha menahan itu.
“Tamparan
anda sudah tidak berfungsi lagi untuk saya !” dengan emosi yang telah
memuncak, alvin langsung pergi, mengambil kunci motornya, dan memilih
untuk menghilangkan segala kepenatannya dengan ngebut.
Semua
kenangan berputar di otaknya, ia berusaha mencari kenangan terbaik yang
ia ingat bersama papanya. Tapi yang muncul, hanyalah teriakan-teriakan
kasar, tamparan serta kesinisan dari papanya. Alvin menepikan motornya,
ke satu-satunya tempat yang ia tahu akan menenangkannya. Tapi langkahnya
terhenti, ketika ia sadar bahwa telah ada yang mendahului dirinya di
tempat itu.
“Alvin..” sapa orang itu, ketika menyadari kehadiran alvin.
“Kok lo ada disini vi ?” alvin menghampiri via yang sedang duduk di pinggir danau.
“Lagi suntuk aja. Lo abis berantem sama bokap lo ya ?”
“Darimana lo tahu ?”
“Gue
udah jadi sahabat lo dari kecil alvin, gue tahu semua tentang lo, gue
tahu...” alvin menatap mata bening itu, hanya dengan menatap matanya,
alvin bisa merasakan ketenangan yang sangat mendalam. Tersadar, ia
mengalihkan pandangannya dari mata itu, dia tahu, dia tidak berhak ada
disana.
“Vin, masih inget bintang kita ?” tanya via sambil menatap langit yang dipenuhi oleh taburan bintang.
“Masih..” jawab alvin pendek, dia tidak ingin mengenang bagian ini.
“Kapan-kapan,
mau enggak kita balik kesana ?” gantian via menatap mata alvin penuh
harap, sorot yang selalu tidak bisa alvin tampik.
Alvin
hanya menganggukkan kepalanya, dan entah kenapa via tiba-tiba
menyenderkan kepalanya di dada alvin. Mereka sama-sama menatap bintang,
berusaha mencuri waktu, berusaha tidak peduli akan kenyataan. Tanpa
mereka sadari, sepasang mata melihat mereka dengan gelisah.
Komentar
Posting Komentar