Another Way to Love Part 9
Dengan
sedikit keragu-raguan di hatinya, cakka tetap menghampiri alvin yang
sedang senderan di atas motornya. Penampilannya sedikit berantakan,
cakka bisa menebak bahwa alvin habis ribut, tapi entahlah dengan siapa.
“Kenapa vin ?” tanya cakka basa-basi.
“Kok
hp lo enggak aktif ? anak vailant baru aja nyerbu vendas” cakka
membelalakan matanya. Dia memang sengaja tidak mengaktifkan hpnya, tapi
ia tidak menyangka, bahwa ia baru saja melewatkan sebuah pertarungan
seru.
“Sori vin. Terus gimana ? lo ada rencana buat nyerbu balik ke vailant ?”
“Enggak” jawaban singkat alvin itu malah membuat cakka bingung.
“Bukan
itu yang mau gue bahas. Gue udah nyari tahu, ternyata anak vailant
nyerbu ke sekolah, karena aren adeknya riko jalan sama iel, dan saat
itu, lo juga lagi jalan sama acha kan ?” satu pertanyaan yang membuat
cakka terdiam, pertanyaan yang telah di takutkan cakka dari tadi.
“Dan
hari ini, lo juga jemput acha di sekolahnya kan ?” lanjut alvin lagi.
Cakka menatap mata itu, mata yang sedang menatapnya tajam, dia tahu,
bukan saatnya ia untuk mengelak sekarang ini.
“Iya, semua yang lo tanyain itu bener vin”
“Gue enggak suka lo deket-deket acha, dia masih kecil cak, belum saatnya di ngenal cowok”
“Tapi
gue sayang sama dia vin, gue tahu lo kakaknya tapi lo enggak berhak
ngatur kehidupan dia kaya gini. Gue sama dia udah sama-sama setuju buat
temenan aja, enggak lebih”
“Lo
temen gue cak, sahabat gue. Tolong jauhin acha, itu aja, makasih” tanpa
sempat membiarkan cakka membalas kata-kata alvin, alvin langsung
meninggalkan perkarangan rumah cakka dengan motornya. Cakka hanya bisa
menatap kepergian alvin, dia sendiri tidak tahu dimana kesalahannya,
menurutnya ia tidak pernah berbuat salah selama ini.
***
Shilla
menyodorkan kotak bekalnya ke arah rio. Rio menengadahkan kepalanya
menatap shilla, dengan tatapan bingung, ia menerima kotak bekal
tersebut, lalu membukanya. Tercium aroma wangi yang menggoda selera dari
nasi goreng yang ada di dalam kotak tersebut.
“Buat gue shil ?”
“Iyalah. Sori ya cuma nasi goreng, gue enggak jago masak yang aneh-aneh, cuma bisa yang standart kaya gitu”
“Gue coba ya..” rio mulai menyendokkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya.
“Gimana yo ?”
“Enak kok, serius deh..” rio mengacungkan jempolnya, shilla hanya tersenyum.
“Bagus deh kalo lo suka”
“Dalam rangka apa tiba-tiba masakin gue ?”
“Ini hadiah dari gue, buat ketua osis atventhas mario stevano aditya haling yang berani”
“Haha..orang gue kalah, kok di bilang berani”
“Justru karena itu, lo udah tahu lo enggak bisa berantem, tapi lo tetep aja masang badan dan berantem sama mereka”
“Haha..itu namanya gue enggak tahu kemampuan gue sendiri ya shil..”
“Untung kemarin ada alvin”
“Ya,
dia emang selalu jadi pahlawan buat gue. Gue nyesel kemarin udah sempet
curiga sama dia shil, gue tahu gue goblok banget punya prasangka kaya
gitu sama dia, sama orang yang jelas-jelas bakal selalu ada buat
nolongin gue”
“Menurut gue curiga lo wajar kok yo, tapi yang penting sekarang kan lo udah enggak curiga lagi sama dia”
“Thanks
ya shil, lo udah mau dengerin curhatan gue kemarin. Lo emang baik
banget sama orang, kapan-kapan lo curhat juga dong ke gue” shilla hanya
tersenyum menanggapi itu, rio bukan orang pertama yang membujuknya untuk
curhat, tapi shilla memang tidak bisa untuk mengungkapkan apa yang dia
rasa dengan mudah.
“Ngapain
lo senyum-senyum, nih mau enggak ?” rio tiba-tiba menyorongkan sesuap
nasi goreng ke arah shilla, meski kaget, shilla memakan nasi goreng
suapan rio itu, pipinya sedikit bersemu.
“Thanks..” ujar shilla pelan.
“Sip.
Eh gue suka nih sama nasi goreng lo, kapan-kapan gue minta via belajar
sama lo ya, biar dia bisa masakin ini juga buat gue..”
“Iya,
entar gue ajarin via” kata shilla masih tetap sambil tersenyum, meski
hatinya perih, perih karena ia sadar, apapun yang ia lakukan, rio hanya
akan menempatkannya sebagai seorang teman atau mungkin tong sampah,
seperti orang kebanyakan. Tapi shilla terus berusaha tersenyum, senyum
untuk rio yang terus lahap memakan nasi goreng buatannya.
Malam
terus berlanjut dengan larutnya, tidak ada bintang malam ini, bulan pun
tak nampak tertutupi pekatnya awan. Via masih duduk di beranda
kamarnya, wajahnya tidak secerah biasanya. Dia mencoba mengingat
waktu-waktunya bersama rio, waktu-waktu dimana mereka hanya berdua
sebagai sepasang kekasih.
Harusnya
via merasa senang karena bisa di bilang ia adalah gadis yang beruntung.
Selain karena dirinya sendiri, yang memang cantik dan menarik, tapi
karena ia juga adalah seorang perempuan yang dipilih Tuhan untuk
menemani laki-laki yang di gemari banyak kaum hawa di sekitarnya.
Susah
mencari kekurangan rio. Seorang siswa yang selalu mendapat nilai
tertinggi di semua mata pelajaran, selalu meraih rangking pertama dan
selalu mempersembahkan kemenangan dalam bidang basket. Seorang idola,
yang mempunyai wajah ganteng dan tubuh yang proposional. Seorang ketua
osis, yang sangat di hormati dan di hargai, karena ide-idenya yang
cemerlang dan selalu menimbulkan decak kagum dari orang sekitarnya.
Seorang anak, yang sangat membanggakan bagi kedua orang tuanya, dan
mengharumkan nama keluarganya. Seorang teman, yang dapat diterima dimana
saja, karena keramahannya. Seorang sahabat, yang selalu memberi
senyuman manis dan perhatian ekstra untuk sahabatnya. Dan seorang pacar,
yang selalu siap memberi apapun untuk kebahagiaan kekasihnya.
Lantas
apa, yang membuat via menjadi semakin ragu saat ia ada di dekat rio.
Memang waktu rio terbatas untuknya karena tugasnya yang seabrek, tapi
via rasa, itu bukan alasan yang tepat untuk segala kegundahannya. Via
memejamkan matanya, berusaha mencari jawaban itu di dalam hati kecilnya,
perlahan namun pasti, nama itu terngiang telinganya, wajah itu
tergambar jelas di pikirannya, alvin.
Via
masuk ke dalam kamarnya, dia duduk di depan cermin, menatap wajahnya
sendiri. Apa ini salahnya ? apa ia yang telah salah memilih ? apa ini
jalan yang benar untuknya ? via bahkan tidak bisa menjawab berbagai
pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia lelah bila harus menangis lagi,
tidak ada yang ia dapatkan selain rasa pusing setelah ia menangis.
Tidak akan ada jalan keluar yang pasti hanya dengan bermodalkan air
mata.
“Gue
enggak boleh nyakitin siapa-siapa ! ini pilihan lo vi, lo udah pilih
rio, lo harus mencintai dia apa adanya ! harus ! alvin cuma sahabat lo !
enggak boleh lebih dari itu ! lo bisa, lo pasti bisa vi, lo bisa !” via
berkata pada bayangannya di cermin, berusaha meyakinkan dirinya,
membuat hatinya percaya akan langkahnya.
Rintik
demi rintik, hujan mulai turun dan membasahi setiap sudut bumi.
Begitupun dengan air mata shilla, yang terus mengalir perlahan. Ia
terduduk di pojok kamarnya, tangannya mendekap kedua lututnya erat,
badannya bergetar. Tatapan matanya kosong, tidak ada shilla yang penuh
semangat seperti biasanya.
Pemandangan
di hadapannya, tidak jauh berbeda dengan kondisinya. Kamar yang
biasanya rapi itu, malam ini begitu acak-acakan. Ada bekas pecahan
botol-botol parfum di lantai, serpihan-serpihan yang berserakan,
baju-baju yang berhamburan.
“Kak
! kak, lo di dalam kan ?!” terdengar teriakan deva dari luar kamarnya,
deva berusaha membuka pintu kamar shilla yang telah ia kunci rapat.
“Kak, buka pintunya !”
“BRAAK
!” dengan kasar, deva berhasil mendobrak pintu kamar shilla. Dia
langsung berlari ke arah kakaknya, deva bersimpuh di depan shilla. Dia
usap air mata yang menggenang di wajah kakaknya itu, dia gendong shilla
menuju kamarnya dengan hati-hati. Dengan hati-hati pula, ia letakkan
shilla di atas kasurnya, lalu menyelimutinya. Sementara shilla masih
tetap diam tanpa ekspresi, tidak ada respon sedikitpun darinya.
“Gimana dok, keadaan kakak saya ?” tanya deva, ke dokter yang sengaja ia hubungi untuk memeriksa keadaan shilla.
“Kakak
anda sepertinya sedang tertekan dan banyak pikiran, saya khawatir, bila
hal ini terjadi terus menerus, kakak anda akan mengalami depresi fatal”
hati deva mencelos mendengar penjelasan dokter tersebut.
“Lalu apa yang bisa saya lakukan ?”
“Temani
ia, jangan buat dia menanggung sendiri terlalu banyak masalah. Karena
kondis psikisnya yang cukup labil dan cenderung lemah. Saya memberi dia
obat penenang, tolong awasi kakak anda..”
“Iya dok, makasih atas bantuannya”
“Sama-sama”
setelah mengantarkan dokter itu ke pintu depan, deva tidak segera
kembali ke kamarnya, tapi ia ke kamar shilla yang masih berantakkan. Ia
menuju ke tempat dimana shilla ia temukan tadi. Deva melihat beberapa
kertas yang telah tersobek menjadi beberapa bagian, ia mencoba membaca
kertas itu dengan susah payah. Sedikit-sedikit, deva dapat menebak apa
yang baru terjadi pada shilla.
Setelah
merapikan kamar shilla, ia kembali ke kamarnya. Memandangi shilla yang
tampak tertidur pulas. Deva tidak pernah benar-benar mengerti tentang
jalan pikiran kakaknya, yang selalu berlaku baik-baik saja di hadapan
semua orang, bahkan di hadapan dirinya.
“Lo terlalu tegar shil, sangking tegarnya, sampe lo lupa, kalo dalem lo itu lemah banget” ujar deva di hadapan kakaknya.
Deva
mengerjap-ngerjapkan matanya, sambil masih menguap ia mendudukan
dirinya di sofa tempat ia tidur semalam. Tapi kantuknya langsung hilang,
ketika ia mendengar suara dari arah dapur.
“Kok lo udah bangun sih ? udah siap pake seragam lagi, mending lo istirahat dulu deh kak”
“Aduh
dev, lo bangun-bangun kok langsung nyeramahin gue sih ? udah sekarang
lo gosok gigi, gue tunggu di meja makan” perintah shilla sambil
mendorong-dorong adeknya itu keluar dari dapur. Deva menatap shilla
sekilas, senyum itu telah kembali, tatapan matanya tidak lagi kosong,
tapi deva juga tahu, berarti shilla mulai memakai topengnya lagi.
“Semalam gue nemuin ini kak..” deva menunjukkan kertas-kertas yang ia temukan semalam, membuat shilla menghentikan sarapannya.
“Ini
bukan apa-apa kok dev, mau gue buang” shilla mencoba merebut itu dari
deva, tapi dengan gesit, deva menjauhkan kertas itu dari shilla.
“Tolong ceritain ke gue, baru kertas ini gue kasih ke elo kak”
“Itu...”
_Flashback_
Shilla
memacu mobilnya setelah mendapatkan sms dari mamanya untuk segera
menemui mama dan papanya di rumah. Agak sedikit kesal karena ia harus
meninggalkan rio yang sedang menikmati nasi goreng buatannya.
“Hai ma, pa...” sapa shilla ramah, mamanya hanya tersneyum tipis.
“Duduk shil” perintah papanya.
“Ada apa ?”
“Ini
apa ?!” papanya melemparkan sebuah amplop coklat ke arahnya. Shilla
memungut amplop yang jatuh di kakinya itu, dia langsung membuka dan
membacanya. Mata shilla berbinar-binar mendapati isi amplop tersebut.
“Jadi benar itu punya kamu ?” tanya mamanya.
“Iya
ma, shilla kirim ini, hampir setengah tahun lalu yang lalu, shilla
enggak nyangka, sekarang dapat balasan kaya gini” ujar shilla penuh
semangat. Tapi sedetik kemudian, semangat shilla langsung padam, saat ia
melihat ekspresi kedua orang tuanya yang begitu dingin.
“Buat
apa kamu bercita-cita jadi penulis shilla ?! tidak ada penulis yang
kaya ! kamu harusnya mengerti itu ! apa yang kolega papa akan bilang
kalo mereka tahu, anak seorang pengusaha sebesar papa, hanyalah seorang
penulis kacangan !” shilla hanya menunduk mendengar kata-kata papanya.
“Lalu
kamu pikir untuk apa selama ini, kami membuat kamu mengerti bisnis !
kamu itu penerus kami ! jadi jangan sekali-kali kamu bercita-cita untuk
menjadi apapun selain pebisnis !” tambah mamanya, membuat shilla semakin
tidak berkutik.
“Sini
!” dengan kasar, papanya menarik kertas yang shilla pegang
“Sret..sret..” tanpa ampun, papanya mulai menyobek-nyobek kertas yang
berisi tentang kontrak dari sebuah penerbit yang ingin menerbitkan hasil
tulisan shilla.
“Mama
udah telpon penerbitnya, dan mama sudah menyuruh mereka untuk
membatalkan penawaran tersebut !” shilla hanya diam, dia memunguti
kertas-kertas itu, tanpa permisi, ia meninggalkan rumah orang tuanya,
dan menyetir dengan keadaan kacau ke apartemennya. Dia langsung masuk ke
dalam kamarnya, melampiaskan segala kekesalannya dengan menghancurkan
semua barang yang ada di kamarnya.
_Flashbackend_
“Gitu
dev, gue tahu itu salah gue, harusnya gue enggak nulis alamat rumah,
jadi surat itu enggak bakal nyampe ke mama atau papa” deva menatap
kakaknya dengan pandangan prihatin.
“Tapi lo bakal tetep nerbitin karya lo kan ?”
“Enggaklah, kan udah gue bilang kertas itu udah mau gue buang”
“Tapi..”
“Udah lah dev, makan sarapan lo, gue mau ke sekolah dulu” potong shilla.
“Iya-iya.
Kak, gue harap lo bisa terus cerita dan terbuka sama gue, jujur gue
takut banget semalam, saat gue pulang, ngedapetin apartemen ini masih
dalam keadaan gelap, dan enggak ada suara apapun dari kamar lo”
“Iya
bawel, udah ya gue ke sekolah, sms gue kalo lo mau pergi” pamit shilla
ke deva, deva hanya tersenyum. Dia kagum kepada shilla, tapi di hatinya
kecilnya yang terdalam, dia lebih merasa kasihan ke kakaknya itu.
Alvin
duduk menyenderkan badannya ke sebuah pohon. Tangannya terus
menari-narikan pensil diatas sketch booknya, wajahnya dingin tanpa
senyum. Terik matahari tidak menghalanginya. Dia mengeluarkan sebuah
gelang dari sakunya. Dia mengamati gelang tersebut, semenit...dua
menit...lima menit...sepuluh menit...lima belas menit...setengah jam.
Selama setengah jam, alvin terus mengamati gelang ditangannya tersebut.
Ia mengacuhkan gambarnya, yang baru setengah jadi. Lalu ia berdiri
menatap danau.
“Blup..” alvin melempar gelang tadi ke dalam danau.
“ini punya kita, punya lo sama gue, enggak boleh hilang”
Sebuah
kenangan suara terngiang jelas di telinganya, membuatnya tersadar akan
perbuatan konyolnya barusan. Tanpa melepas sepatunya, alvin langsung
masuk ke dalam danau yang untungnya tidak begitu dalam, mencari benda
kecil yang telah ia lempar barusan. Alvin telah menyelam selama hampir
satu jam, tapi gelang itu belum juga ia temukan. Ia sudah hampir
menyerah, mungkin ini memang takdir untuknya, ketika ujung jarinya
merasa menyentuh sesuatu yang familiar, alvin menghirup napas
dalam-dalam untuk melihat benda itu, dia tersenyum lalu mengambil gelang
tersebut.
Alvin
tidak mempedulikan seragamnya yang basah kuyup dan penampilannya yang
acak-acakan. Yang jelas gelang itu sudah ada di genggaman tangannya lagi
sekarang, pelan-pelan, ia simpan gelang itu di dalam saku bajunya, dan
berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi hal itu lagi.
Komentar
Posting Komentar