Bertahan (cerpen)
Gadis
kecil itu menggelembungkan pipinya, membuatnya terlihat bulat, sambil
mengamit boneka beruang kecil di dekapan tangan kirinya, ia berdiri di
ambang pintu.
“Mama
mana pa ?” tanya gadis itu ketus, dan kembali menggelembungkan pipinya.
Papanya yang sejak tadi membaca koran, baru sadar akan kehadiran anak
perempuannya itu.
“Mama pergi, kamu kenapa via ? sini deket papa..”
Dengan
berlari kecil, via mendekati papanya dan duduk di sampingnya. “Via
sebel sama iel, via enggak mau temenan lagi sama iel..” ujarnya polos,
khas anak-anak.
“Kok gitu ? via sama iel kan sahabatan, jadi enggak boleh saling benci..”
“Tapi iel jahat sama via”
“Iel nakalin via ?” via itu menggeleng.
“Iel bikin via nangis ?” lagi-lagi via menggeleng.
“Terus iel bikin salah apa sama via ?”
“Tadikan
di sekolah, acara tukeran bekal, terus via udah bawain roti buat iel,
tapi iel malah ngasih bekalnya ke zahra, terus seharian mereka ngobrol
berdua, via enggak boleh ikutan”
“Via suka ya sama iel ?” goda papanya.
“Ihh, papa, apaan sih, kata bu guru, anak kecil enggak boleh suka-sukaan, via cuma enggak suka aja, zahra ngerebut ielnya via”
Papanya
tersenyum penuh arti, menggendong via lalu meletakkan di pangkuannya.
“Itu via tahu, lagian via enggak boleh egois, semua itu teman, via, iel,
zahra, kalau main ya harus sama-sama..”
“Tapi via enggak suka lihat iel berdua sama zahra”
“Kok gitu sih ? anak papa enggak boleh ah, jadi egois gitu..”
“Kan
via itu putri, iel pangerannya, kalau pangerannya direbut, nanti via
sama siapa ?” papanya terkekeh pelan, ia mengusap rambut via yang
tergerai.
“Tuh kan, berarti via suka sama iel..”
“Enggak
papa, via enggak suka. Tapi via sama iel itu, putri sama pangeran,
enggak bisa dipisahin” sahut via masih keukeuh dengan jawabannya.
“Via tahu enggak, kadang apa yang manusia rencanain, belum tentu sesuai sama apa yang Tuhan rencanain”
“Beneran
? kan kata papa, kalau kita rajin berdoa dan jadi anak baik, Tuhan akan
sayang sama kita dan ngabulin semua doa kita, iyakan ?”
Papanya
menatap mata via yang bening, putri tunggalnya itu, memang cerdas. Mata
yang sama seperti mata ibunya, sifat ingin tahu yang sama seperti
ibunya pula, dan ego yang dimilikinya itu, rasa-rasanya juga mirip
dengan ibunya.
“Via, mau dengerin cerita papa enggak ?”
“Cerita apa ? tentang putri yang cantik sama pangeran berkuda putih ya ?”
“Haha..mau enggak nih ?”
“Mau..”
“Ini cerita tentang...”
***
Suara
riuh penonton, menjadi pengiring penuh semangat. Teriakan serta yel-yel
yang terus berkumandang tanpa henti, bagai genderang yang berisi energi
tak terbatas. Pertandingan basket antar sma sejabodetabek, memang
selalu begini.
“Gimana
fy, udah berapa-berapa ?” seorang laki-laki dengan mata sipit, dan
masih berbalut seragam bola, duduk di samping seorang gadis manis, yang
dari tadi termasuk yang paling kencang, dalam soal teriak-meneriaki.
“Eh elo vin, udah 77-68, buat sekolah kita..” sahut ify menoleh sekilas, lalu kembali memperhatikan pertandingan.
“Bagus deh, rio udah masukin berapa kali ?”
“20an lebihlah, hampir 30 malah kayanya”
“Sadis tuh bocah, abis ini kita ditraktir nih fy..”
“Yoaa..”
ujar ify sambil mengacungkan jempolnya, dan baru-baru benar menoleh ke
arah alvin. “Lho, vin kok elo pakai...? ya ampun !! gue lupa lo juga
tanding, gimana-gimana ?!!” sambung ify heboh sendiri.
Alvin menutup kedua telingannya, mendengar teriakan ify. “Santai fy..”
“Hehe...jadi gimana pertandingan lo ?”
“Lumayanlah, 3-0”
“Menang ?”
“Iya dong”
“Siapa yang ngegolin ?”
“Gue..”
“Tiga-tiganya ?”
“Iya”
Ify
menatap alvin tidak percaya, bukan soal gol yang alvin buat, tapi cara
alvin menyampaikan berita itu, yang datar-datar saja. “Itu sih bukan
lumayan vin, itu namanya hebat..aaaa..selamat yaaa..”
“Haha..oke-oke. Entar pas final, lo sama rio wajib nonton ya, enggak mau tahu gue”
“Sip. Asik, gue ditraktir dobel nih..”
“Dih, siapa juga yang mau nraktir lo..”
“Ya elo sama riolah hahaha..”
-----
Dua
orang laki-laki itu sama-sama diam, meski mata mereka mengisyaratkan
bahwa mereka berdua tidak suka ada di tempat ini, bosan lebih tepatnya.
Penampilan mereka sama-sama berantakan, rambut yang acak-acakkan, luka
lebam di wajah mereka, serta noda darah di kemeja putih mereka yang
keluar dan tidak terkancing rapi.
“Kalian itu mau jadi apa sih ?!! kerjaannya berantem terus ! bangga kalau bisa ikut tawuran ?! bangga !”
“Jawab
saya !!” seorang laki-laki tua di hadapan mereka, yang mempunyai kumis
melingkar menyaingi kumis pak raden, dan selalu dihadiahi predikat
sebagai guru tergalak dan tersangar oleh setiap angkatan.
“Mereka
yang ngejek sekolah kita duluan pak, saya enggak bisa tinggal diam dong
kalau sekolah saya di injak-injak” sahut seorang anak yang duduk di
sisi kanan.
“Tapi
bukan dengan cara tawuran seperti ini mario !! mereka itu hanya
anak-anak dari sekolah negeri pinggiran, bukan sekolah unggulan seperti
kita ! gunakan dong akal sehat kamu !!”
“Akal sehat saya bilang, saya harus ngelawan mereka pak !” timpal seorang yang satunya lagi.
“Saya belum kasih kamu kesempatan buat ngomong alvin !”
“Tapi saya mau ngomong pak !”
“Udahlah
pak, udah hampir satu jam kita duduk disini, dengerin bapak ngoceh
kesana-kemari, bapak mau ngasih kita hukuman apa ? skorsing ?” sela rio,
ia benar-benar sudah muak terus-terusan ada disini.
“Jangan kurang ajar ya kamu !”
“Kalau
bapak tidak ingat, sama prestasi kalian berdua di bidang basket dan
bola, rasanya bapak ingin sekali mengeluarkan kalian dari sekolah ini..”
“Kalau mau ngeluarin saya ya keluarin aja” potong alvin.
“Diam kamu alvin !”
“Baiklah,
keputusan bapak untuk kelakuan kalian kali ini, bapak akan menskors
kalian selama tiga hari ke depan, dan besok panggil orang tua kalian
kemari. Sekarang kalian boleh keluar dari ruangan saya..”
Tanpa
mengucapkan sepatah kata apapun, dua orang sahabat itu keluar begitu
saja. Terlihat ify yang sepertinya sudah menunggu sejak tadi seperti
biasa, langsung menghampiri mereka.
“Kalian tuh ya, kapan sih mau sadarnya ? ini udah ke 54 kalinya kalian masuk ke ruang BP, dan yang ke 14kalinya selama kalian kelas tiga ini”
”Dan
sampai kapan sih fy elo mau ngitungin berapa kali kita udah masuk BP ?”
tanya rio tidak mengerti dengan sahabatnya yang satu ini.
“Ya gue pengen tahu aja, sejauh apa sih, sepak terjang lo berdua di kelas tiga ini, enggak lulus aja lo berdua, tahu rasa deh”
“Kalau gitu, terus hitung ya fy, masih bakal panjang kayanya tuh daftar lo” celetuk alvin dengan cengirannya yang khas.
“Gila
ah lo berdua, gue enggak abis pikir deh. Apa sih motif kalian masih
tawuran dan nyari gara-gara kaya gini ? empat bulan lagi kita UN ! ujian
nasional !” ujar ify sambil mengacungkan empat jarinya, semangat.
“Untung
kalian siswa berprestasi, jadi selalu dimaafin. Tapi jangan ngelunjak
gini juga dong. Lo enggak inget apa yo, ultimatum beberapa guru tentang
nilai lo yang kurang di pelajaran mereka, itu bahaya banget tahu
enggak..” ify masih saja melanjutkan orasinya, dan kali ini, seperti
biasa, ia menjadikan rio sebagai objek pembahasannya.
“Kenapa selalu gue sih fy ? kenapa lo selalu ribet mikirin tentang gue ?!”
“Ya
karena elo itu males, dan harus di ingetin dulu !” alvin hanya bisa
terkikik menahan tawa, melihat dua sahabatnya ini mulai beradu argumen
sepanjang koridor. Ia sendiri lebih memilih menebar senyumnya untuk
setiap siswi yang ia temui.
“....kalau elo pintar gue juga enggak akan capai-capai peduliin nilai-nilai lo yang ada di bawah standar itu !”
“Jadi lo mau bilang gue bego fy ?!”
“Kan
udah gue bilang tadi, lo itu malas. Nyatanya pas kelas satu, lo pernah
kan ngalahin nilai matematik gue, walaupun cuma sekali sih, tapi tambah
kesini, lo tuh malah tambah ancur, mau jadi apa sih lo ?!”
“Urusan gue dong mau jadi apa, kok elo yang ribet ? emak bapak gue aja santai..”
“Lo
itu laki-laki, laki-laki itu bakal jadi tulang punggung keluarga, tapi
kalau laki-lakinya kaya lo sih, susah banget deh di harepinnya”
“Udah
ah, enggak akan selesai kita debat ! bibir gue berdarah, nyut-nyutan,
dan malah lo ajakin kaya gini ! sekali-kali sama alvin kek..” gerutu rio
kesal.
“Alvin kan udah punya cewe-cewenya yang banyak itu, buat ngurusin dia, beda sama lo..”
“Apa...”
“Eits,
apa tuh tadi nama gue disebut-sebut ?” alvin memotong kata-kata rio,
menyelinap di antara dua orang itu, menghentikan perdebatan mereka.
“Tau ah, gue mau balik ke kelas aja..”
“Ya
elah fy, udah tinggal 20menit lagi bel, nanggung. Enggak ikut pelajaran
sekali, enggak akan bikin ranking satu lo yang abadi itu lepas kok..”
tahan alvin.
“Sekali apanya ? setiap kalian masuk BP, gue pasti cabut !”
“Emang
kita yang nyuruh..” cibir rio, cari perkara. Untung alvin buru-buru,
merangkul ify, dan memberi jarak yang cukup diantara ify dan rio.
“Udah-udah,
temenin kita aja ke uks ya ? kalau bukan lo, siapa dong yang bakal
ngobatin kita..” bujuk alvin, setengah memaksa, karena ia langsung saja
menyeret ify agar berjalan bersamanya, dan memberi kode ke arah rio agar
mengikuti mereka.
Panas.
Itulah yang rio rasakan, ketika dengan matanya sendiri, ia melihat ify
mengoleskan betadine di pelipis alvin yang terluka. Tapi gengsinya yang
besar, dan mengingat baru beberapa menit yang lalu mereka adu mulut, rio
pun hanya bisa menelan kekesalan itu mentah-mentah, menendang-nendangi
tempat sampah, yang sesungguhnya tidak mempunyai salah apapun
terhadapnya.
“Buset
dah yo, itu tempat sampah abis ngelakuin apa sih sama lo ?” goda alvin,
yang dengan tampang inoccentnya, membuat ia tampak sangat menikmati
perhatian ify.
“Itu
tadi ada kecoa disitu, jadi mau gue bunuh aja rasanya” jawab rio asal.
Alvin terkekeh. Dua sahabatnya ini, memang sama saja.
Pintu uks terbuka, seorang siswi yang berparas cantik, muncul di baliknya. “Kak alvin, enggak apa-apa kan ?”
“Nah fy, berhubung cewek gue udah dateng, jadi sekarang lo mending urusin aja tuh sih rio, thanks ya..”
Ify
menoleh ke arah rio, dalam hatinya ia tidak tega melihat rio seperti
itu, tapi egonya yang keras, seolah menghalangi ia untuk menghampiri rio
dengan segera. Ia kembali menatap alvin, dan menggeleng.
“Udah
sana ah, jangan ganggu gue sama shilla..” ujar alvin santai, dan tanpa
aba-aba langsung mendorong ify mendekat ke arah rio. “ Yo, si ify mau
ngobatin lo tuh..” teriaknya asal.
“Kalau
enggak mau, enggak usah aja” celetuk rio, tetap berlindung dibalik
kegengsiannya. Ify tidak menggubris itu, ia mulai mengobati rio, tanpa
suara.
“Awww..pelan bisa kali fy..” erang rio, ketika ify entah sengaja atau tidak, menekan titik yang mengeluarkan darah.
“Berani
tawuran masa takut sama betadine” ejek ify. Rio mendengus pelan. Gadis
di depannya ini, terlalu tangguh untuk di luluhkan begitu saja. Meski
setiap kali bertemu mereka jarang akur, tapi tidak sedetikpun rio bisa
berhenti untuk mengagumi ify.
“Jangan
berantem lagi, lo udah kelas tiga yo, jangan sampai prestasi basket lo
ketutup sama prestasi tawuran dan kenakalan lo ini, sama sekali enggak
bisa dibanggain..” ify memulai lagi ceramahnya. Tapi kali ini rio
memilih diam. Karena saat seperti inilah, ify terlihat berbeda
dimatanya. Tampak bercahaya dan memancarkan sinar-sinar yang tidak kuasa
ia tolak.
“Kasian juga sama nyokap lo, masa sampai famous gitu disekolahan gara-gara udah keseringan di panggil..”
“Fy..”
“Apa
?” ify menatap rio, yang ternyata sedang menatapnya. Untuk sesaat,
mereka berhenti di tempat masing-masing, memandang ke satu titik, dimana
pantulan bola mata mereka saling berbaur, dan seolah menjadi satu.
Membiaskan roman-roman merah jambu yang merekah ruah, berbuncah di dalam
hati mereka.
Sorot
mata yang tegas dan cerdas, yang selalu menampilkan sosok ify yang
nyata dan apa adanya. Yang cerewet namun berbobot. Dan sorot mata yang
teduh dan menentramkan, yang selalu menggambarkan sosok rio yang bisa di
andalkan. Yang bandel namun berprestasi.
“Thanks ya..” bisik rio lembut.
“Sama-sama..”
balas ify manis. Untuk beberapa detik, keadaan jadi sedikit kikuk.
Tanpa saling mengetahui, dua-duanya sama-sama terbayang, pancaran mata
masing-masing tadi. Agar tidak terlihat gugup, ify membereskan alat-alat
yang tadi ia gunakan dan memasukkannya kembali ke dalam kotak obat.
Rio
memperhatikan punggung ify, rambutnya yang bergerak pelan, tertiup
angin. Hal kecil yang entah kenapa terlihat begitu indah. “Ify..”
“Iya, kenapa yo ?”
“Eh..itu..”
rio menggaruk tengkuknya, bibirnya tadi bergerak sendiri memanggil nama
ify, dan sekarang ia tidak mengerti harus apa.
“Apa yo ? masih ada yang belum gue obatin ?”
“Enggak..enggak..itu..ehm..alvin..” sahut rio reflek, saat melihat ke arah alvin.
“Alvin kenapa ?”
“Kita gangguin alvin yuk, biar si playboy glodok itu kena batunya..” usul rio sambil tersenyum jahil, ify mengangguk setuju.
“Ohh, jadi ini vin ? terus yang kemarin anak basket itu, si agni lo kemanain ?” tanya rio setengah berteriak ke arah alvin.
“Lha, bukannya zeva ya vin ? kayanya pas di toko buku, lo perginya sama dia deh” timpal ify masang wajah tanpa dosa.
“Ya
udahlah, kita berdua balik deh ya, enggak mau ganggu. Tapi nanti di
kelas, kalau ditanyain angel gimana ? bilang aja lo disini sama anak
kelas dua ?” sambung rio lagi. Alvin menatap mereka berdua geram, seolah
siap menerkam tanpa ampun. Rio dan ify langsung saja menghambur keluar
uks.
“Satu..” hitung rio sepelan mungkin. Mereka berdua masih duduk di depan uks.
“..dua..” lanjut ify.
“...tiga..” ujar keduanya kompak.
“PLAK ! KITA PUTUS KAK !”
Dan tawa rio serta ifypun, membahana, memenuhi lorong-lorong di sekitar uks.
-----
Alvin
menatap rio tidak mengerti, tidak mengerti apa yang ada di pikiran
sahabatnya itu. Rio sendiri memberikan tatapan yang tidak kalah tajamnya
untuk alvin. Rahang-rahangnya mengeras, tangan kanannya mengepal,
menyimpan sejuta emosinya.
“Apa ?! lo mau pukul gue ? pukul !” tantang alvin, sambil mendorong rio ke dinding.
“Jangan samain ify sama cewek-cewek lain yang bersedia jadi cewek lo !!” hardik rio kencang.
“Ify sahabat gue juga yo !! gue enggak sejahat itu !”
“Gue lihat sendiri vin ! gue lihat ify nangis di pelukan lo ! apa maksudnya ?!!”
“Bug
!” sebuah hantaman kencang mendarat mulus di pipi rio. “Dengerin gue,
ify mau ke jepang, beasiswa, dan dia nangis karena dia enggak ngerti
gimana cara nyampaiinya ke elo, dia enggak mau pisah sama lo”
Rio
mencoba mencerna kata-kata alvin, perlahan semakin ia mencoba
mengendurkan emosinya, ia mulai bisa berpikir dingin. Tubuhnya merosot
di dinding. “Je..jepang ?”
“Gue
rasa dia belum jauh, kejar dia, jangan jadi pengecut, bilang kalau lo
sayang sama dia” sahut alvin tegas, menyandang tasnya yang tadi ia
jatuhkan di lantai, dan membiarkan rio seorang diri.
Butuh
beberapa detik bagi rio untuk berpikir. Dan di detik yang ke sepuluh,
tanpa pikir panjang lagi, dengan kecepatan ekstra ia langsung berlari,
ia harus mengejar ify, harus.
“Doain
gue ya vin..” ujar rio saat mendahului alvin di gerbang sekolah, alvin
hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ia telah mengetahui itu
sejak lama, terlalu mudah melihat cinta yang sama di mata rio ataupun
ify, hanya mereka berdua yang terlalu bodoh saja hingga tidak menyadari
itu.
Berlari
dan terus berlari, itu yang rio bisa lakukan saat ini. Ia tidak bisa
menemukan ify di halte depan sekolah tempat ify biasa menunggu
metromini, jadi rio memutuskan untuk terus saja berlari, sepanjang jalur
yang ia tahu, ify lalui.
Tidak
peduli akan tatapan orang-orang di jalan, dan peluh yang mulai
membasahi seragamnya. Rio harus meminta maaf pada ify saat ini juga.
Harus saat ini, tidak bisa ditawar lagi. Di tikungan setelah lampu
merah, rio melihat ify yang turun dari metromini dan berganti ke
metromini yang lain, tanpa rasa lelah sedikitpun, rio terus berlari,
bahkan mencoba menambah kecepatannya.
“IFY !!” panggilnya kencang, berharap ify akan mendengar, dan berhenti untuknya.
“Fy..Ify !!”
Metromini
yang rio yakini, ify naiki tetap saja melaju. Namun rio tidak menyerah.
Awan mendung mulai nampak, rintik-rintik air mulai menyapa bumi. Dan
kaki rio tetap saja terus bergerak, meski entah telah berapa kilometer
ia lalui tanpa beristirahat sedetikpun.
“IFY !!”
Dan
akhirnya di depan komplek rumah ify, metromini itu berhenti, menurunkan
ify, yang tidak sama sekali memandang ke arah rio. Padahal rio yakin
dengan sangat, ify mengetahui keberadaannya. Gadis itu memang
benar-benar berbeda, atau terlalu berego tinggi ?
“Tunggu
fy..hosh..hosh..” tangan rio berhasil mencekal pergelangan tangan ify.
Dan ify tetap saja, tidak mau memandang rio sedikitpun.
“Hufttt..”
rio menstabilkan nafasnya dulu, merilekskan organ-organ tubuhnya yang
baru saja ia ajak bergulat dengan waktu. “Gue..hhh..minta maaf..”
“Ohh,
ya udah, lepasin tangan gue” sahut ify datar. Membiarkan rio terpaku
shock dengan reaksi yang ia dapat. Ify berjalan menjauh dari rio,
berlari-lari kecil sambil menutupi kepalanya agar tidak terkena hujan.
Tidak
mau kehilangan dan dipaksa berlari lagi, rio langsung menyongsong ify,
memeluknya dari belakang. “Gue enggak mau lo ke jepang..” bisiknya,
lirih, dan membuat ify terdiam.
“Gue enggak bisa..gue..enggak mau jauh dari lo..” sambung rio lagi.
Ify tidak merespon apapun, ia masih saja diam. Kata-kata rio itu, serasa beban yang memaksanya untuk tetap tinggal.
“I..love..you..”
Tiga
kata keramat penuh makna itu terlontar juga dari bibir rio. Di ucapkan
dalam hujan yang mulai menderas. Dengan sedikit terbata, namun dalam
satu tarikan nafas yang mantap dan tidak main-main. Delapan huruf yang
mewakilkan lebih dari sejuta perasaan yang ada di dalam hati.
“Love
you too..” balas ify, pelan, hanya bisa di dengar oleh rio dan hujan.
Rio tersenyum sumringah, ia langsung saja menggendong ify dengan kedua
tangannya. Berputar bersama, tertawa, seolah sedang menunjukkan pada
dunia, gadis itu miliknya sekarang, saat ini, dan semoga seterusnya.
Setelah
puas bermain hujan berdua, ify dan rio akhirnya memilih untuk berteduh.
Rio meremas kedua tangan ify yang terasa dingin, mencoba
menghangatkannya. “Mau pulang sekarang ? kayanya udah reda tuh, lagian
bibir kamu juga udah putih gitu ?”
“Boleh..”
“Ya udah yo, eh tunggu..” rio berjongkok memunggungi ify.
“Mau ngapain yo ?”
“Gendong kamu sampai ke rumah..”
“Serius ?”
“Iya,
cepetan naik makanya” ify menganggukan kepalanya, dan langsung naik ke
punggung rio. Dan dua sejoli itu, berjalan berdua, menyusuri jalanan
komplek yang basah, membiarkan udara menyelinap di antara mereka,
menunjukkan pada semua bahwa mereka bisa bersatu.
“Kamu enggak capai apa, tadi udah lari dari sekolah sampai sini buat aku ?”
“Kan buat kamu, masa capai sih..”
“Huu..belum apa-apa aja udah gombal”
“Kan aku temennya alvin, sedikit banyak ketularanlah”
“Ihh, aku enggak mau ya, punya pacar playboy gitu”
“Haha, aku sih cuma buat kamu doanglah”
“Yakin ?”
“Banget”
“Sampai kapan ?”
“Sampai kapanpun. Sampai kita nikah, dan punya anak, sampai kita nikahin anak-anak kita, sampai kita jadi tua, selama itu..”
“Jauh amat kamu ngebayanginnya yo”
“Biarin. Aku janji sama kamu, aku bakal belajar yang benar, jadi orang sukses dan bahagiaan kamu selamanya”
“Amin..”
-----
Hari
yang dibenci rio itu tiba, keberangkatan ify ke jepang. Kalau tidak
ingat ini beasiswa dan kesempatan sekali seumur hidup, rasanya rio ingin
membawa ify kabur ke suatu tempat, dan membiarkan pesawat itu terbang
tanpa kekasihnya.
“Kamu beneran harus berangkat ?”
“Yo,
tolong deh ya, gue aja udah muak denger pertanyaan itu, gimana ify”
oceh alvin, yang bertindak sebagai supir mereka kali ini.
“Enggak usah nyamber deh vin” sahut rio kesal.
“Abisan elo yo, enggak bosen-bosen pertanyaannya itu terus”
“Coba aja kalau cewek lo mau pergi ke luar negeri, baru balik empat tahun kemudian, pasti lo bawel juga kaya gue”
“Enggak ah, motto gue kan, hilang satu dateng yang lain” jawab alvin enteng.
“Udah
ah lo berdua..empat tahun lagi lo berubah dong vin, kalau gue balik
kesini, udah ada satu yang lo kenalin ke gue, dan emang satu-satunya”
ujar ify, membuat alvin terkekeh.
“Enggak janji ya fy..”
“Dasar ah lo..”
“Haha..udah
gih, lo berdua turun disini, gue cari parkiran” perintah alvin,
memposisikan mobilnya di pinggir selasar bandara. Rio langsung bergegas
menurunkan koper-koper yang ify bawa dan meletakkannya di trolley. Lalu
mendorongnya untuk ify.
Ify
menghampiri agen beasiswa yang telah menunggunya, rio hanya
memperhatikan itu, tidak lama lagi, mereka akan berpisah, dan baru bisa
bertemu bertahun-tahun kemudian. Sesuatu yang baru rio bayangkan saja,
sudah membuatnya merasa ingin menyerah.
“Aku kayanya harus masuk sekarang deh, ada yang masih harus diurus lagi di dalam”
“Enggak bisa nanti ? nunggu alvin gitu dulu kek..” sahut rio mencari alasan untuk terus bisa menahan ify.
“Aku harus masuk yo..”
“Please, sebentar lagi..” pinta rio sedikit memelas.
“Kita kan udah obrolin ini sebelumnya, jangan bikin aku berat kaya gini dong, aku kan juga belajar disana”
Rio
menyerah, ify tetaplah ify. Ia memegang kedua pipi ify, lalu mengecup
kening ify lembut, cukup lama, cukup membuat orang-orang yang ada
disekitar mereka berhenti sejenak untuk mengamati itu.
“Aku
sayang sama kamu, sayang banget, aku berangkat ya..” tidak ingin air
matanya menetes dan membuat suasana ini menjadi mengharu biru, ify
segera beranjak untuk menjemput mimpinya.
“Aku
bakal jemput kamu disini fy, empat tahun lagi, aku bakal menunggu kamu
fy, menunggu kamu..” ujar rio lantang, mengiringi langkah kaki ify yang
menjauh.
Sepeninggal ify, rio duduk di bangku panjang, tangannya merogoh sebuah kotak berwarna biru yang baru saja ia keluarkan dari kantong celananya.
“Lho, ify mana yo ?” tanya alvin yang baru muncul.
“Udah berangkat..”
“Kok enggak nungguin gue..” gerutu alvin, ikut duduk disampinng rio. “Lho, itu, enggak jadi lo kasih ?”
“Enggak..” rio menggeleng. “Gue rasa sekarang bukan waktu yang tepat, empat tahun lagi, gue akan menanti empat tahun lagi vin”
“Sip bro, apapun, gue dukung elo” sahut alvin sambil menepuk-nepuk pundak rio.
-----
Tidak
ada yang berubah, itulah yang ify lihat. Semua tetap sama, malah
bertambah tidak karuan. Empat tahun menetap di negeri modern penuh
teknologi, membuat ify jadi agak lebih kritis melihat pembangunan
negaranya sendiri.
Ia
menoleh kesana-kemari, mencoba melihat, kali-kali saja menemukan sosok
rio yang empat tahun ini membuatnya rindu hampir setiap saat. Tapi
diantara puluhan orang yang berdiri, tidak satupun yang terasa familiar
dimatanya.
“Fy..”
ify memutar badannya. Senyumnya melebar, dan dengan segera ia langsung
memeluk orang yang menyapanya itu, tidak banyak berubah, apalagi mata
sipitnya.
“ALVIN ! aaaa..gue kangen banget sama lo..”
“Gue juga..”
“Rio mana ?”
“Ayo ikut gue..” ajak alvin, sambil mengambil alih trolley ify.
“Kemana ? rio janji nunggu gue disini, jemput gue disini”
“Udah ayo ikut aja”
“Huu..dasar tuh orang, ingkar janji..” celetuk ify kesal. Alvin hanya tersenyum kecil, atau tersenyum hampa ?
Mobil
alvin melaju menembus jalanan yang sudah lama tidak ify lewati. Tidak
bosan-bosannya ify bertanya ke alvin, tentang hampir semua gedung baru
yang bermunculan di kota ini.
“Orang tua lo, kapan datang dari bandung fy ?”
“Harusnya sore ini mereka udah sampai sini vin”
“Ohh..”
alvin yang selama ini pintar berkata-kata bila dihadapan seorang
wanita, kali ini terasa mati kutu dihadapan ify, bukan karena penampilan
ify, yang berubah layaknya seorang model. Namun karena ia tidak
mengerti, bagaimana cara menjelaskan semuanya pada ify. Ini terlalu
rumit.
“Vin, kok kita kesini ?” tanya ify bingung, alvin hanya tersenyum lirih.
“Ayo
fy..” tanpa menjawab pertanyaan ify, alvin turun dari mobilnya, dan
segera menggandeng ify, membimbingnya sambil berharap dalam hati, akan
ada bantuan yang membimbingnya untuk menyampaikan semua ini.
“Kita ngapain vin ?” ify menghentikan langkahnya. “Ini..”
“Ssstt..” alvin meletakkan telunjuknya di bibir ify. “Sebentar lagi..”
Dan
mereka berdua berhenti di satu posisi. Bayang-bayang air langsung
tercipta di mata ify, ia berkali-kali memandang alvin dan sebuah nisan
putih dihadapannya.
“Vin..”
“Rio
udah enggak ada, sejak setahun lalu” ujar alvin pelan, dan pedih. Ify
langsung jatuh, berlutut di makam rio. Dengan gemetar, tangannya berniat
untuk menyentuh nisan berukirkan nama orang yang selama empat tahun
ini, tidak sedetikpun absen ia nantikan kehadirannya dalam setiap
mimpinya.
“Ini bercanda kan vin ? kalian pasti mau ngerjain gue ? iyakan ?”
“Fy..”
“Rio udah janji mau nungguin gue vin, rio mau jemput gue !!” ify mulai kehilangan kendalinya.
“Dia
jadi aktivis kampus, dan dia tetap rio yang emosinya mudah terpancing.
Kampusnya terlibat tawuran sama kampus lain, dan dia jadi salah satu
korbannya..”
“Stop vin ! cukup !!” teriak ify menutup kedua telinganya.
“Kita
semua sengaja enggak mau ngasih tahu lo, sengaja nunggu kepulangan lo
fy, maaf..” alvin ikut berlutut di samping ify, memeluk sahabatnya itu.
“I..ini..konyol vin..dia..dia masih tetap ngirim email ke gue..dia..”
“Itu gue fy, gue..”
“Enggak ! itu rio ! rio..” alvin mengeratkan pelukannya, mencoba meredam ify yang terus meronta dan berteriak-teriak.
“Ada
satu permintaannya dia, dan izinkan gue untuk memenuhi janji gue ke
sahabat gue fy..” bisik alvin. Ify tidak menggubrisnya sama sekali.
Matanya hanya tertuju pada segunduk tanah di hadapannya.
Petikan
dawai kesedihan, menyeruak pelan, memenuhi sudut-sudut hati. Menyisakan
linangan tangis air mata, serta berton-ton kesedihan yang seolah tidak
akan berujung. Semua terasa begitu hambar, seakan-akan mati rasa.
***
“...dan sahabat laki-laki itu..” papanya menoleh, dan terlihat malaikat kecilnya itu telah terlelap, menuju dunia mimpinya.
“Alvin..”
“Kamu udah pulang fy ? via ketiduran disini, biar aku gendong ke kamarnya dulu”
Ify
tersenyum tipis, ia mengecup pipi putih via. Lalu duduk di hadapan meja
riasnya, membersihkan sisa make up yang melekat di wajahnya. Tidak
sampai sepuluh menit, alvin telah kembali lagi ke kamar mereka, duduk di
ranjang.
“Hebat kamu vin, bisa bikin via tidur sampai sepulas itu”
“Aku baru nyeritain dia sebuah cerita”
“Dongeng putri-putri kesukaannya ?”
“Cerita
tentang putri ify dan pangeran rio” ujar alvin pelan. Namun cukup untuk
membuat ify menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah alvin.
“Vin..”
“Ada
saatnya, via akan tahu, kemana kamu setiap tanggal 10, dan biarkan aku
menceritakan itu dari awal fy” ify menatap alvin yang tersenyum ke
arahnya, tapi menimbulkan rasa bersalah di hatinya.
“Jadi gimana makam rio ? tetap bersih kan ?” tanya alvin santai.
“Maafin aku vin”
“Buat apa fy ?”
“Untuk semuanya, tujuh tahun, kamu terlalu baik”
“Aku
menjalankan amanat sahabatku fy..” lagi-lagi alvin tersenyum. Ia
berdiri dan mendekat ke arah ify, menumpukan kedua tangannya di bahu
ify. “Mungkin ini unik, mungkin kamu akan selalu mengunjungi makam rio
setiap tanggal 10 untuk memperingati hari jadian kalian, mungkin kamu
akan selalu mengingat rio sebagai yang pertama, via, baru aku, mungkin
kamu akan lebih mengingat makanan kesukaan rio ketimbang aku..tapi aku
tidak peduli..anggap saja ini persahabatan yang abadi, dan seorang
sahabat tidak akan pernah berhenti di tengah jalan untuk meninggalkan
sahabatnya..”
“Kamu..”
“Aku
mau bikin kopi, kamu mau ?” ify hanya bisa menggeleng. Alvin mengangguk
kecil dan segera keluar dari kamar. Menuju dapur dan menyeduh kopi
hitamnya, rasa pahit, tempat pelariannya.
Di
halaman belakang rumah, alvin duduk sambil meniup-niup kopinya. Ia
sukses sebagai seorang pengacara muda sekarang, mempunyai rumah yang
besar, mobil yang bisa dibilang mewah, anak yang lucu dan pintar, dan
istri yang cantik. Meski bagian terakhirnya, alvin harus rela berbagi
dengan sebuah kenangan yang sampai kapanpun ia berusaha, tidak akan
mati.
“Gue
udah menjaga ify semampu gue yo, gue udah menyematkan cincin itu
seperti yang lo minta, dan sekarang, gue harap lo bisa bahagia disana
yo..”
Alvin
menyesap kopinya, membiarkan rasa pahit itu memenuhi rongga-rongga
mulutnya. Dalam kesendiriannya itu, ia tersenyum lirih. Ini bukan
terlalu baik seperti yang ify bilang. Ini hanya sebuah janji. Dan alvin
percaya, meski hingga ujung nanti, keadaan akan tetap begini. Setidaknya
ia telah berusaha. Lagipula ada via, alasan paling kuat, bagi alvin
untuk terus bertahan.
..bertahan,
berdiri di satu titik, terus menunggu, dan kadang menyelipkan harapan
di dalamnya, menempuh ribuan kilometer, menerjang batas-batas tak
terjamah, menyembunyikan segala rasa sakit di dalam hati..bertahan,
tidak memerlukan keahlian apapun, hanya kesetiaan, dan sedikit
pengorbanan, menunggu meski mungkin yang ditunggu tak akan pernah
hadir..bertahan, manusiawi, kadang terlihat bodoh, dan
menggelikan..bertahan, tidak peduli seperti apa hari esok, selama kaki
masih mampu berdiri tegak..bertahan, untuk yang indah pada waktunya..
Komentar
Posting Komentar