Fearless of Love 2 : Destiny in Love part 8

Dengan malas-malasan, aren membuka pintu depan rumahnya, yang dari tadi rame banget di gedor-gedor. Dia melirik jam dinding di ruang tamunya, masih jam setengah enam pagi dan ini hari minggu. Bertampang bt dan kesal, aren langsung melihat siapa orang yang kerajinan datang ke rumahnya pagi-pagi gini.
"Kak alvin ?!" aren kaget ngelihat alvin yang lagi berdiri di depan rumahnya sambil senyum-senyum lengkap dengan training olahraga.
"Ya ampun ren, kusut banget mukanya, cepetan sana cuci muka kita lari pagi" kata alvin penuh semangat, aren yang masih enggak di terima di bangunin pagi-pagi, masang muka btnya.
"Aren masih ngantuk kak" jawab aren cuek.
"Ayolah ren, temenin aku, lagian kamu kan paling malas tuh olahraga, bagus juga udara pagi gini buat kamu" alvin masih semangat bujukin aren.
"Siapa sih ren ?" rio yang merasa terganggu juga, menghampiri aren dan alvin, masih pake baju tidur dan sama acak-acakkannya sama aren.
"Rio, ikutan yuk lari pagi bareng gue sama aren" alvin malah sekalian ngajakin rio.
"Vin, lo datengin rumah orang jam setengah enam, di gedor-gedor cuma buat ngajakin lari pagi doang ?!" rio sinis banget ngelihatin alvin, aren yang ngerasa di belain, karena dia emang males banget olahraga, langsung mengangguk setuju sama rio.
"Yah yo, gue ajak via deh, gimana ?" alvin yang udah tahu kelemahan rio, langsung ngeluarin hpnya dan nelpon via. Rio yang denger nama via di sebut-sebut, langsung masang muka semanis mungkin.
"Oke, bentar ya vin, gue cuci muka sama ganti baju dulu, ren cepetan sana kamu ganti baju juga" rio langsung merintah aren dan ngibrit masuk ke dalam, aren cuma menatap kakaknya sebal tapi tetap nurut.
"Bentar ya kak alvin" kata aren maksa, alvin cuma senyum-senyum aja. Enggak berapa lama kemudian, rio dan aren udah siap dengan training masing-masing.
"Lho, mama sama papa kamu emang enggak ada ?" alvin bingung ngelihat aren ngunci pintu rumahnya.
"Lagi pergi ke luar kota kak, aku cuma berdua sama kak rio" alvin melirik rio yang semangatnya menggebu-gebu mau ngampirin via.
"Kenapa lo ngelihatin gue ?" tanya rio bingung.
"Lo berdua semalam enggak ngapa-ngapain kan ?" tanya alvin penuh selidik.
"Ya Tuhan alvin, gue ini kakaknya aren, kalo lo berduaan sama aren gitu, baru dah gue boleh khawatir, udah yuk ah keburu lama via nungguin" rio berlari-lari kecil.
"Huu, kak rio, rumah kak via cuma disitu doang aja, semangat banget !" teriak aren. Via udah nunggu di depan rumah, senyum manisnya langsung menyambut rio, alvin dan aren.
"Aduh vi, pagi-pagi gini aja, senyum lo udah indah banget ya, meleleh ni gue" kata rio jayus, alvin sama aren cuma cengengesan aja.
"Udah lo, ngegombal mulu, ayo larinya" kata alvin yang lari sambil ngegandeng aren. Rio yang lari di sampingnya via, mupeng banget pengen juga gandeng tangannya via.
"Lo ngapain yo, ngeliatin alvin sama aren ?" tanya via bingung.
"Enggak apa-apa, heran aja gue sama alvin, lari aja kok tangan adek gue di pegangin" kata rio asal.
"Haha, lo masih jealous sama alvin ? tapi aren hebat lho"
"Enggak lah, gue udah percaya kok sama alvin. Hebat kenapa dah ?"
"Dulu alvin itu cuek banget, dingin, diem enggak kaya sekarang deh, tapi semenjak ada aren, alvin jadi berubah, jadi kaya sekarang gini" jelas via, rio cuma manggut-manggut aja.
"Wah sama dong kaya kakaknya" celetuk rio pd.
"Lo ? emang ngerubah siapa lo ?" tanya via bingung. Rio menghentikan langkahnya, via juga ikutan berhenti.
"Gue enggak tahu cewek ini udah berubah apa belum, yang jelas sekarang dia enggak secuek kaya dulu, gue mulai bisa ngabisin waktu berdua sama dia, enggak tahu deh dianya sadar apa enggak sama perasaan gue" rio menatap via dalam.
"Wah, gue doain cewek itu beneran cepetan sadar ya yo, sama perasaan lo, emang siapa sih, gue kenal ?" Rio bingung ngelihatin via, garuk-garuk kepala sendiri.
"Eh, enggak penting kok vi, udah ayo lari lagi" ajak rio.
'emang sinyal gue kurang jelas ya ?' tanya rio dalam hati.
'gue enggak mau kegeeran yo, tapi kalo yang lo maksud gue, gue enggak bisa' batin via sambil menatap rio.
Obiet mengeluarkan motornya, dia udah janjian mau pergi sama oik. Obiet emang lebih suka naik motor, walaupun ada mobil kakaknya yang lagi di luar negri nganggur. Menurut obiet, naik motor itu lebih efisien. Enggak sampai lima belas menit kemudian, obiet udah sampai di rumahnya oik.
"Masuk dulu biet, oiknya masih siap-siap" kata mamanya oik yang ngebukain pintu ramah.
"Iya tante, makasih" kata obiet sambil mencium tangan mamanya oik.
"Aku udah siap nih biet, berangkat sekarang aja yuk" oik keluar dari kamarnya, imut dan cantik seperti biasa.
"Emang kalian mau kemana sih ?"
"Ih mama, mau tahu aja, udah ah aku berangkat dulu ya ma" jawab oik sambil mencium pipi dan tangan mamanya.
"Tenang aja tante, anak tante aman kok di tangan saya" kata obiet tersenyum sambil berpamitan ke mamanya oik. Obiet dan oik menuju sebuah galeri pameran, mereka berdua emang tergila-gila sama seni. Oik sibuk bertanya ini itu tentang lukisan-lukisan yang mereka lihat, dan dengan penuh kesabaran obiet menjelaskan satu persatu. Setelah berkeliling hampir dua jam, oik dan obiet memutuskan buat makan siang di sebuah kafe.
"Makasih ya biet, kamu tuh emang selalu bisa bikin ngedate kita jadi beda dari yang lain" kata oik tulus, obiet cuma tersenyum tetep kalem. Gaya pacaran mereka emang agak beda sama yang lainnya, obiet selalu ngajakin oik buat pergi ke pameran-pameran, nonton film indie, atau festival-festival musik. Oik sih suka-suka aja.
"Ik, ada yang mau aku bilangin ke kamu" kata obiet sambil mengeluarkan selembar kertas yang udah di lipat-lipat kecil dari dompetnya. Oik membuka lipatan kertas itu menjadi sebuah lembaran, dengan cepat dia langsung membaca, apa yang tertulis disitu.
"I..ini.." oik berkata ragu sekaligus kaget.
"Iya ik, ini program beasiswa full dari Jepang, Japan of arts institut(Ngasal !) kamu tahu kan aku udah cita-cita banget pengen kesana, kemarin Bu Ira manggil aku dan ngasih ini, semalem aku udah ngisi formulirnya lewat internet dan minggu depan aku bakalan ikut tesnya, aku bakalan main biola" obiet cerita menggebu-gebu, sementara oik masih menatap kertas itu, dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Aku tahu sih, hampir seluruh orang yang berjiwa seni pengen banget kuliah disana, tapi aku yakin, aku pasti bisa, kamu juga yakin kan ik sama aku ?" obiet menatap oik, dan dia baru sadar kalo yang ada di muka oik bukan sorot penuh semangat seperti biasanya.
"Kamu enggak suka ya ik ?"
"Hah..eng..enggak kok, aku suka tapi.." oik gelagapan, bingung enggak ngerti sama perasaannya yang jadi campur aduk.
"Tapi apa ?"
"Aku enggak siap pisah sama kamu" kata oik lirih. Dia udah membayangkan, membayangkan kalo obiet sekolah di jepang dan dia di jakarta, long distance bukanlah sesuatu yang mudah dijalani.
"Haha, kamu nih belum-belum kok mikirnya udah kesitu aja sih" oik melirik ke obiet yang malah ketawa, oik kesal.
"Kamu kok malah ketawa sih, aku serius biet, aku enggak pengen kamu pergi, aku pengen kamu tetep disini, di samping aku" obiet yang sadar oik serius, menatap oik.
"Ik, ini impianku, cita-cita aku dari dulu, kamu tahu kan dari dulu aku pengen banget jadi musisi yang hebat, aku butuh dukungan kamu ik" kata obiet sabar.
"Enggak perlu ke jepang kan biet, disini juga banyak universitas yang ada jurusan musiknya, kamu juga bisa jadi musisi yang hebat disini, kamu mau ninggalin aku gitu aja" obiet bingung sama oik, kenapa ceweknya yang tadinya dia pikir bakal jadi orang pertama yang ngedukung dia malah jadi orang pertama yang menentang dia.
"Ayolah ik, tolong jangan bikin keputusanku jadi berat gini, aku butuh dukungan kamu"
"Enggak bisa biet, aku enggak bisa" oik beranjak pergi gitu aja, ninggalin obiet. Obiet yang refleknya cepet, langsung lari ngejar oik ke luar kafe, dia enggak peduli sama tatapan mata orang-orang yang ngelihatin adegan ala film india mereka, kejar-kejaran.
"Oik tunggu !" obiet berhasil meraih tangan oik, tapi posisi oik yang lagi nyebrang, bikin mereka tanpa sadar udah ada di tengah jalan, obiet mau narik oik ke sisi jalan, tapi sial buat dia, karena pada saat dia berbalik sebuah motor melaju kencang, dan menyerempet badan obiet hingga terjatuh. Oik yang ada di samping obiet, langsung nyetop taksi yang lewat menuju rumah sakit.
Oik terisak sendiri di sudut ruangan, dia sudah menghubungi orang tua obiet dan teman-temannya, mereka sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Masih teringat pembicaraan antara dia, obiet dan dokter barusan, dan tatapan dingin dari obiet.
_Flashback_
"Enggak ada luka yang terlalu serius, hanya saja ada sendi di pergelangan tangan kamu yang sedikit robek akibat shock oleh benturan, tapi tidak perlu khawatir, dalam waktu dua minggu, pergelangan tangan kamu akan kembali normal, kamu hanya perlu sedikit terapi" dokter menjelaskan hal itu, seolah itu hanyalah hal sepele saja, tapi bagi obiet dan oik ini adalah hal serius.
"Du..dua minggu dok ?" tanya obiet kaget.
"Iya, selama dua minggu itu, saya harap kamu tidak melakukan aktifitas berarti dengan tangan kamu"
"Tapi saya butuh dok buat main biola" kata obiet lirih, oik sama sekali tidak berani menatap obiet, hatinya di penuhi rasa bersalah.
"Maaf, tapi menurut saya itu termasuk aktifitas yang akan menghambat kesembuhan tangan kamu, ya sudah saya permisi dulu, nanti tolong kamu suruh orang tua kamu untuk bertemu saya bila ada penjelasan yang ingin di ketahui lebih lanjut" kata dokter itu sambil meninggalkan obiet dan oik dalam keheningan yang begitu menyiksa.
"Obiet, maafin aku" kata oik lirih.
"Tolong tinggalin aku ik, aku pengen sendiri" obiet menatap oik tajam, terlalu dingin dan menusuk hati. Oik nurut, dia ninggalin obiet sendiri, dengan air mata yang siap mengalir.
_Flashbackend_
"Oik !" oik menoleh melihat agni memanggilnya dan berjalan menuju ke arahnya, di belakangnya ada cakka, alvin, riko, shila, aren, rio dan via.
"Obiet di dalam, masuk aja" kata oik lirih sambil berusaha menyembunyikan tangisnya.
"Lo enggak masuk ?" tanya cakka bingung.
"Enggak, gue mau pulang aja, salam aja buat obiet" teman-temannya menatap oik bingung.
"Lo kenapa ik ?" tanya via heran, sambil berusaha mencegah oik.
"Enggak apa-apa, gue cape aja, pengen istirahat" oik tersenyum maksa, teman-temannya tahu percuma aja mereka maksa lagi, mereka membiarkan oik pulang.
"Lo mau balik sendiri, perlu di anter enggak ?" tanya riko, tapi oik cuma menggeleng, dan pergi ninggalin mereka. Mereka semua pun masuk ke kamarnya obiet, dan di buat bingung lagi melihat obiet yang terduduk diam sambil melihat tangannya yang di perban.
"Biet, lo enggak apa-apa kan ?" tanya alvin pelan, obiet cuma menggeleng sambil berusaha senang melihat kehadiran mereka.
"Oik udah pulang biet" kata shila.
"Bagus deh kalo gitu" jawab obiet cuek. Jawaban yang membuat semua temannya semakin tidak mengerti dengan keadaan ini.

Komentar

Postingan Populer