Jangan Salahkan Hujan (FF) copas


‘Jangan salahkan hujan yang selalu menghalangimu’
“Ck! Kenapa harus hujan coba?!” dumel Shilla. Gadis itu berdiri di koridor sekolah yang becek dan kotor. Masih menunggu hujan reda yang sudah hampir setengah jam mengguyur tanah. Shilla mendengus, gagal sudah semuanya
Shilla menatap jarum jam di tangannya. Telat! Hanya karena hujan? Gadis itu mengeram kesal pada hujan. Ia membenci hujan, becek,lembap,basah, sama sekali bukan hal yang sangat di sukai oleh gadis itu.
Gadis itu hanya diam, meratapi nasibnya dihadang oleh guyuran hujan. Shilla ngedumel dalam hati, andai saja hari ini atahari tidak sembunyi, pasti ia tidak akan telat. Shilla menghela napas, sabar Shilla sabar. Batin gadis itu.
Langkah sepatu terdengar di ujung koridor sekolah, Shilla menoleh menatap sesosok pria tampan dengan wajah yang mempesona. Shilla mengenal pemuda tampan itu. Ia anak kelas sebelah yang sudah sangat terkenal. Rio,namanya.
“Lo belum pulang?” Tanya suara baritone itu.
“Lo ga liat?Hujan!” Jawab Shilla,ketus.
“Jangan salahin hujan dong, hujan gatau apa-apa”
Sahut Rio dengan senyum misteriusnya. Jujur,jantung Shilla berdetak berbeda dari biasanya. Shilla menatap pemuda yang sedang tersenyum misterius itu. Tampan,dan berwibawa, pantas saja banyak sekali yang menginginkan dia.
Shilla hanya diam menatap Rio, tampaknya pemuda itu sangat mencintai hujan. Berbeda sekali dengan dia yang membenci hujan,namun mencintai pelangi setalah hujan reda. Miris sekali, gadis itu berdecak aneh.
“lo mau pulang sama gue? Gue bawa mobil sih, mau?kasian lonya juga” Kata pemuda itu.
“lo emang bawa mobil?” Tanya Shilla.
Rio mengangguk, lalu menarik pergelangan tangan gadis itu. Rio menutupi tubuh mereka dengan jaket yang ia kenakan. Shilla terpesona, namun tetap saja ia menampik seluruh perasaan yang ada di relung hatinya.
Di dalam mobil yang hangat mereka berkenalan. Mengenal satu sama lain lewatcerita yang terlontar dari mulut mereka masing-masing. Rio mengenal Silla yang awalnya ketus namun baik hati. Dan Shilla mengenal Rio yang baik hati namun misterius.
Shilla membuka pintu sedan hitam Rio. Gadis itu menyisipkan rambut di belakang telinganya. Tersenyum pada Rio dan mengucapkan terima kasih pada pemuda itu dan beranjak pergi meninggalkan pemuda tampan itu dengan senyum yang merekah.
*
‘Jangan salahkan hujan,karena ia tak tahu apa yang hatimu rasakan’
Tetes hujan kembali membasahi bumi. Setara dengan hujan yang menetes di pelupuk mata gadis itu –Shilla- Shilla, enteskan ir hujan untukk yang kesekian kalinya. Seolah tak percaya dengan semua yang baru saja terjadi.
Shilla membuka jendela kamarnya, tak peduli dengan angin yang masuk melalui jendela kamarnya. Gadis itu hanya menatap hujan yang berkejaran. Matanya sembap,setelah sekian lama menteskan hujan yang berjatuhan.
Shilla kembali membaca pesan singkat itu. Singkat,namun menyakitkan, merobek hatinya. Shilla mengigit bibir bagian bawahnya tak peduli darah mengalir dari bibirnya. Toh,sebanyak apapun darah yang mengalir takkan pernah bisa mengobati hatinya.
Semua gara-gara hujan, batin gadis itu geram. Andai saja tadi tidak hujan,pasti Gabriel tidak akan pernah memutuskan cinta mereka. Gadis itu kembali menangis, petir bahkan tidak bisa mengusik dan mendiamkan tangisnya.
Hujan pun reda, tapi tak bisa pula meredakan kesedihan Shilla.Tubuhnya menggigil, ia tak peduli. Semua tak ada yang mengerti rasa sakitnya. Semua, tak ada yang mengerti kepedihannya. Shilla hanya menangis dalam diam. Laalau tiba-tiba handphonenya berbunyi, Shilla tersentak.
Lo gausah salahin Hujan. Hujan gak pernah tau isi hati lo’
Sender: Rio.
Gadis itu menghela napas panjang. Pemuda itu lagi, pemuda yang misterius dengan senyum yang misterius. Shilla bangun dari duduknya, menatap langit yang perlahan menampilkan bintang-bintang. Shilla terenyuh, haruskah ia menyalahkan hujan?
*
‘Sisa lamunanku diguyur Hujan’
Rio menatap langit yang sedikit demi sedikit menampilkan bintang-bintang. Pemuda itu mengangkat bibirnya sekian senti.pemuda itu memikir siluet cantik yang terus terbayang diotaknya. Gadis yang aneh, gadis yang membenci hujan,dan gadis yang baik namun arogan.
Sisa lamunan pemuda itu, kini diguyur hujan,hilang,tak bersisa. Pemuda itu hanya tersenyum tipis, tak mau menyalahkan hujan. Tak mau peduli dengan hujan yang terus membuat bumi,becek dan lembap.Ia tidak akan menyalahkan hjan, karena ia mencintai hujan.
Lembap,becek,tapi membuat nyaman. Bag Rio, hujan adalah berkah dari Tuhan yang tak pernah ternilai harganya. Jika tak ada hujan, para petani takkan bisa mengairi sawahnya,Jika tanpa Hujan, tumbuhan di dunia ini mungkin tidak akan  adaa.
Rio tak pernah menyalahkan hujan yang sering menghalanginya. Baginya,hujan itu indah bila dirasakan dengan hatiyang ikhlas menerima datangnya hujan itu. Rio melukis senyum di wajah tampannya. Bersyukur sekali lagi terhadap Tuhan. Karena hujan, ia merasakan cinta itu datang kembali.
Pemuda tampan itu kembali menelan senyumnya. Tidak bisa, ia tidak bisa meraih itu. Hanya menghitung hari dan waktu. Ia akan meninggalkan cinta itu, cinta yang datang dari hujan yang mengguyur bumi.Rio mengerti, takkan pernah ia raih cinta itu. Takkan pernah.
Rio mengerti mungkin memang ini takdirnya. Cinta itu memang indah,dan gadis itu memang indah. Sama seperti hujan yang indah disaat pertama mereka bertemu. Beberapa waktu yang lalu, gadis itu memang pandai sekali memikat hatinya.
“Rio?” sapa suara manis di belakang pemuda itu.
“Ya, kenapa?”
“Ini hot chocolate buat kamu”
Rio mengangguk membiarkan gadis berwajah tirus itu pergi meninggalkan ia sendiri. Rio kembali memikiran gadis arogan itu. Cantik, namun tak menyukai hujan. Tapi tiba-tiba wajah tampan itu kembali resah, waktu it uterus berjalan, lalu membuat ia takut, takut juka hari itu benar-benar datang.
*
‘Jangan salahkan hujan,jika nanti aku tak kembali’
Hujan,kembali turun membasahi bumi, dengan cepat tak tak terhitung dengan menit. Gadis itu melongok dari jendela perpustakaan. Ia menghela napas panjang, kembali tak mengerti mengapa matahari sekarang sering bersembunyi.
Gadis itu kembali menulis di sebuah kertas polio. Tak peduli pada hujan yang mengusiknya. Gadis itu mencoba belajar mencintai hujan yang selalu turun membasahi bumi. Karena pemuda tampan itu, pemuda misterius itu.
Hentakan kaki bergema diruang sepi itu. Gadis itu sontak menoleh, menatap pemuda yang sudah basah karena kehujanan setelah tadi bermain basket. Gadis itu kembali sibuk menggoreskan tinta diatas kertas, tak peduli pada due ekor mata yang mengawasinya.
“Lo lagi buat apa Shill?”
“Ini? Artikel  buat lomba hardiknas yo”
Rio hanya mengangguk tanda mengerti. Lalu ia menarik satu bangku, dan menelungkupkan kepalanya. Shilla menoleh kearah Rio, memperhatikan tubuh basah itu.Gadis itu berdecak, tapi tak urung hatinya terenyuh juga.
“Yo,ganti baju gih.. Nanti masuk angin lho” Kata Shilla
Rio mengangkat wajahnya, lalu tersenyum misterius pada Shilla. Pemuda itu menghela napas,lalu pergi meninggalkan Shilla dengan diam. Lalu, belum beberapa lama pemuda itu datang kembali, kini dengan seragam dan blazer sekolah.
Shilla tak peduli terhadap pemuda yang kali ini sibuk sendiri membaca Novel yang ia bawa.Shilla hanya sibuk menggoreskan tinta diatas kertas. Rio menaruh novelnya diatas meja. Memperhatikan wajah cantik yang sedang serius itu.
Mereka hanya bertemu disaat hujan. Pertemuan singkat nan sederhana, namun memukau hati. Hujan yang lama berkepanjangan, menimbulkan rasa yang berkepanjangan pula. Seiring berjalannya waktu, semua rasa itu pasti akan menguap.
Hujan tak pernah mengerti,tak mau mengerti bahkan. Tentang apa yang sekitarnya rasakan, ia hanya memnuhi perintah. Mendatangkan nikmat dan berkah.Tak mau mengerti tentang apa yang orang lain rasakan. Hujan, menyenangkan,namun misterius.
*
‘Jangan salahkan hujan,jika perasaan itu datang kepadamu’
Shilla meresapi hot chocolate yang mengaliri tenggorokannya.Gadis itu menatap jauh kedepan, tiba-tiba bayangan misterius itu hadir. Wajah tampan itu hadir, Shilla melukis senyum tipis di wajahnya. Menormalkan detak jantungnya, tidak mungkin perasaan itu hadir.
Mereka bertemu setiap hujan, bahkan,pemuda itu hadir di setiap hujan pula. Pangeran hujan,mungkin pantas untuk pemuda tampan itu.Shilla mengulum bibirnya, sejuta rasa jatuh di hatinya. Diam, namun menggetarkan. Ah,cinta!
Shilla mengeluarkan pulpen gel nya. Menulis tentang indahnya perasaan itu. Ah, kali ini gadis itu tak akan menyalahkan hujan. Ternyata hujan yang mendatangkan indahnya perasaan itu. Perasaan yang diam,namun menggetarkan tapi sering kali bergejolak
Gadis itu tak berhenti melukiskan senyum. Hujan pun kembali turun, kembali tak peduli dengan keadaan sekitarnya. Shilla membuka jendela kamarnya, tak peduli dingin yang menusuk sampai tulang. Ia ingin hujan tahu, dan hujan mengerti semua itu. Hujan selalu mengantarkan banyak kisah.
Shilla menatapi hujan merintik dalam gerak lambat. Mereka dan merasakan setiap tetes hujan yang jatuh.Seakan tak ingin hujan itu berhanti berjatuhan. Namun, Shilla menyadari sesuatu. Hujan tak selalu menghantarkan rindu, dan terkadang ia mengirimkan tetesan yang memukul dinding masa lalu.
Memukul dinding masa lalu, antara ia dan pemuda itu. Awal mereka bertemu karena hujan,awal mereka saling melemparkan senyum, juga karena hujan.Kini,hujan memukul dinding masa lalu itu. Memukul dan menghantam dengan keras. Terasa,namun lembut menyejukkan hati.
Bagiku, romantic bukan ketika menatap hujan yang merintik dalam gerak lambat.
Tapi merekam setiap senyum yang pernah kamu buat.
Kini, senyum itu kembali terbayang dalam ingatan Shilla. Gadis itu merasakan, hatinya berdenyut tiap senyum itu melintas di dalam ingatannya.Pipi gadis itu merona,senyum itu mampu membuat ia malu. Bahkan hanya di dalam ingatannya.
‘kamu membenci hujan.Becek,lembab,basah dan membuatmu merana.Namun kita sama-sama mencintai pelangi setalh hujan reda’
Sender: Rio.
Lagi,pipi gadis itu merona.Pemuda yang hebat, mampu meluluhkan hatinya. Sebuah nada berdentum keras di hati gadis itu. Indah,dan membuatnya nyaman, mampu menyamarkan suara air hujan.Musik yang berdentum itu mampu membuat hujan kali ini indah.
Aku pernah bertanya: bisakah hujan melarutkan rasa gundah?
Sayang hujan terlalu malas untuk berbalas sapa.
*
‘Jangan salahkan Hujan, jika kita tak bisa bertemu’
Hari ini, hujan kembali menyapa bumi,dan membasahi alam di sekitarnya. Shilla menanti sosok itu di perpustakaan. Berharap ada kata misterius lagi memasuki otaknya. Shilla duduk di bangku, memperhatikan koridor yang ramai.
Sosok itu belum hadir, belum hadir menyapa bersama rintik hujan yang membasahi bumi.Gadis itu memicingkan matanya. Mencari sosok itu, sosok yang selalu hadir saat hujan tiba. Tapi, sosok itu tak kunjung hadir mengisi pelupuk matanya.
Hujan semakin deras, belum ada sosok itu. Sosok itu kemana? Hati gadis itu kian resah. Sudah hampir 1 jam ia menanti, tapi tak ada Rio. Shilla beranjak bangun, mencari Rio di ujung koridor. Tapi pemuda itu tak ada. Tak ada sama sekali.
Shilla menghela napas, mencoba bersabar sekali lagi. Mungkin ia saja yang tak melihat. Atau mungkin juga Rio sudah ke perpustakaan sebelum ia datang. Shilla kembali menunggu di tengah hujan yang menghantarkan rasa diamm dan sunyi.
Aku mengerahkan rasa yang ku punya pada ujung jemari.
Membuatnya manri bersama hujan yang menyapa bumi.
Belum tampak juga siluet tampan itu.Shilla menanti dan terus menanti, kemana Rio? Kemana sosok itu? Bibir Shilla bergetar, lalu Kristal berharga terjatuh di pelupuk matanya. Ia sudah tak sanggup,dan menyerah terhadap kenyataan.
Rasa itu semakin menggebu,memukul dinding hatinya. Tak peduli,dengan semuanya. Rasa itu terus menggebu, rasa tak sabar yang menyakitkan dan perih . Shilla menghela napas. Cukup sudah penantiannya hari ini. Nyatanya, Rio memang tak datang dan hanya menyisakan perih.
*
‘Jangan salah kan Hujan, yang membuatku harus meninggalkanmu’
Sudah seminggu sosok itu tak menampakkan batang hidungnya. Shilla mencari, sosok itu, tapi nihil tak pernah ada.Shilla sudah bertanya, tapi tak pernah ada yang tahu.Sosok itu hilang di tengah hujan yang menyapa bumi.
Hari ini, hujan tak datang menyapa bumi. Hanya saja, langit itu biru tak ada awan putih yang menggantung disana. Shilla mencari kembali sosok itu. Sekali saja, hari ini lo dateng yo,baatin Shilla lemah.
Shilla terus menunggu, hingga akhrinya hujan kembali menyapa bumi. Gadis itu berlari menuju kelasnya yang riuh rendah. Ia duduk disamping Ify dalam diam tak peduli dengan keadaan kelasnya. Ia hanya ingin bertemu sosok itu.
‘Shill’ Ujar Ify
“Ya?”
“Rio, dirawat dirumah sakit. Dia kena kanker Shill” Jawab Ify pasrah, karena tak tega melihat sahabatnya menanti seperti itu.
Shilla menahan napas, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Rio?pangeran hujannya? Kini, air mata itu tak mampu di bending oleh kedua mata teduhnya. Seiring dengan hujan dan petir, tangis itu semakin menjadi.
*
Shilla berjalan di koridor rumah sakit. Lunglai tak mampu menahan tubuhnya sendiri. Ia ingin cepat bertemu dengan sosok itu. Namun langkahnya memperlambat itu. Shilla memutar kenop pintu, disana Rio sedang tidur dengan wajah yang pucat tapi tetap tampan seperti selalu.
“Yo”
Shilla berlari kearah Rio. Air mata itu kini mulai terurai kembali. Shilla tak kuat untuk menahan tangisnya. Gadis itu mencium punggung tangan Rio yang hangat. Terbayar sudah rindu yang menggebu itu.
Kini, sosok itu hanya diam, dingin,pucat, hanya ada hembusan nafas hangat disana, dan sebuah alat yang menyatakan bahwa nyawa masih ada di raga itu. Sosok itu tak mampu mengerjapkan mata, hanya diam tanpa suara.
Shilla meneteskan bola Kristal berharga itu lagi. Hujan yang selalu hadir di matanya, hujan yang selalu membasahi pipi mulusnya. Kini, ia hanya berharap bahwa sang waktu berbaik hati membuat sosok itu membuka mata,dan bersuara seperti biasa.
Shilla mencium punggung tangan Rio. Berdoa dalam hati agar sosok itu bangun, dan mengisi hidupnya lagi.
“Shill?’ Lirih suara itu berucap.
“Yo?So-sorry gue gatau”
“Gue suka sama lo”
Shilla mengangguk pelan,membiarkan jutaan air hangat itu jatuh kembali. Rio hanya tersenyum, tak mampu berkata apapun. Sedangkan semua yang ada disana,tak mampu lagi berkata apapun tentang apa yang mereka saksikan.
Hal yang ditakutkan Rio kini sudah menanti. Waktu itu, waktu yang akan mengambilnya dan membuat ia tak kembali lagi. Membuat ia harus meninggalkan sejuta keindahan dunia yang amat ia senangi. Tapi sayang, hal itu kini menanti di depan matanya.
Kini waktu menjawab semua itu, menjawab sebuah hal yang amat di takutkan olehnya. Waktu yang tak mampu berkata apapun lagi terhadapan perintah yang ia terima. Dua orang itu (Rio &Shilla) berharap waktu aka terhenti dan menangkap semua keabadian hari ini dalam diam yang tak terasa.
Tapi harapan hanya tinggal harapan. Waktu tak mampu mengubah semua itu,waktu tak mampu membuat napas itu selalu ada. Andai waktu bisa terhenti. Pasti tidak aka nada arti mata saat ini. Tidak aka nada hujan yang terjatuh di pelupuk mata orang lain.
Rio mentap Shilla dengan tatapan kosong tanpa mampu berkata apapun. Pemuda itu tak mampu lagi mengerjapkan matanya, lalu napas itu kini telah berhembus tanda berakhirnya waktu yang membuat ia takut.
“RIOOOO!!...”
Teriak Shilla mengguncang tubuh yang kini telah melepaskan nyawa. Tak ada lagi nafas hangat itu, tak ada lagi wajah dan senyum misterius itu.Shilla hanya bisa meneteskan hujan itu dalam isaknya yang tak pernah terhenti. Tidak, hujan tidak pernah salah dalam kisah ini. Hanya ia yang tak pernah bisa mengerti. Hujan tidak sepenuhnya salah, karena hujan mampu membuat seluruh makhluk di dunia ini menjadi lebih indah. Percayalah.
_END_
*
Aku mengerahkan rasa yang kupunya pada ujung jemari. Membuatnya menari bersama hujan yang menyapa Bumi.
Kamu membenci hujan. Becek, lembab, basah dan membuatmu merana. Namun kita sama-sama mencintai pelangi setelah hujan reda.
Hujan, tak selalu menghantarkan rindu. Terkadang dia mengirimkan tetesan yang memukul dinding masa lalu. 
Aku pernah bertanya: bisakah hujan melarutkan rasa gundah? Sayang, hujan terlalu malas untuk berbalas sapa.
Aku pernah mencintai hujan yang membantuku menyamarkan air mata. Aku membenci kepalsuan tapi harus tersenyum walau duka meraja.
Bagiku, romantis bukan ketika menatap hujan yang merintik dalam gerak lambat. Tapi merekam setiap senyum yang pernah kamu buat.
Aku pernah merasakan hangatmu memeluk sela jemari. Memandang keluar jendela, menghitung sisa tetes hujan tadi. 
Kamu, jarang merangkai aksara indah. Tapi kamu selalu berhasil mengusir airmata dan menghadirkan tawa. 
Namun, semua yang kini aku genggam hanyalah satu kata: pernah. Bisa kah kamu kembali menjadi kamu? Akankah kamu dan aku melebur menjadi kita? 
…….. karena aku tak pernah suka pada kata pernah. 
………………………………………………………tak pernah. 

Komentar

Postingan Populer