Ketika Kemarin Memudar (cerpen)
Aku
mendesah perlahan, ketika nama itu, lagi dan lagi serasa berputar di
kepalaku, memenuhi pikiranku hingga sesak, mengajak aku melayang menuju
hari-hari yang telah terlewati. Sampai kapan ini akan berhenti, dan
membiarkan aku sendiri. Rasa kangen yang selalu menelusup di balik
kulitku dan memelukku erat, sesungguhnya sangat-sangat menyiksa dan
membuatku tidak nyaman.
Ini
tentangnya dan masih tentangnya, seperti biasa. Ia yang selalu
membuatku rapuh dan lemah. Ketika mengingat senyumnya, ketika merasakan
sentuhannya, ketika ia datang dalam mimpi-mimpi malam, maka saat itu
juga, air mataku dapat tumpah, tanpa terbendung sedikitpun.
Satu..dua..tiga..iya
ini tahun ketiga. Tahun ketiga dimana kamu meninggalkan aku dengan
tiba-tiba, tanpa pamit, tanpa pesan, tanpa pernah aku mengerti kamu
dimana dan kenapa. Tapi rasa ini tidak pernah selesai. Selalu saja
mengenang bahkan berharap, masa itu akan kembali, setidaknya, kamu akan
datang, ke tempat dimana kita pernah bersama-sama, dan menghabiskan
waktu.
Dan
tempat ini. Tempat yang aku pijaki sekarang. Kelas kosong, berhias dua
papan tulis yang menggantung diam di sana, dan deretan bangku serta meja
yang menatapku, seolah bertanya, apa yang sedang aku lakukan disini ?
Aku
mendekat. Meja nomor tiga dari depan, di barisan sebelah kiri.
Seandainya kamu ada disini, ingatkah kamu, ini meja kita. Dengan
ujung-ujung jariku, aku merabanya, meski yang kurasakan hanya sentuhan
debu-debu kotor. Tapi tetap saja, ia saksi bisu kita, saksi bisu ketika
semua cerita tertoreh dan kemudian luruh dalam hidupku.
***
Tiga tahun lalu.
Suasana
begitu hening, amat sangat hening. Tangan-tangan saling bertaut satu
sama lain, mencoba menenangkan dan saling mentransfer energi positif
satu sama lain. Tinggal beberapa menit lagi, dan segala perjuangan tiga
tahun ini akan segera mencapai garis akhir. Dan tentu saja semua yang
ada di ruangan ini berharap, akhir yang bahagia.
“Selamat pagi siswa-siswi yang bapak cintai dan banggakan..”
Sapaan
Pak Wisnu, kepala sekolah kami, sama sekali tidak kami hiraukan. Hanya
sedikit yang menjawab, sementara sisanya memilih diam, melantunkan
doa-doa penenang dalam hati. Begitu juga denganku.
“Baiklah, karena bapak sudah melihat wajah-wajah tegang di sini, akan bapak umumkan langsung saja..”
Suara degup jantung kencang nyaris tak beraturan, secara ajaib, terdengar dengan jelas memenuhi sudut-sudut aula.
“Dengan bangga bapak sampaikan, angkatan dua puluh delapan, baik yang di penjurusan ipa ataupun ips, lulus seratus persen !”
“Alhamdullilah !!”
“WOII..GUE LULUS !!”
“Njir, gue anak kuliah sekarang !!”
“AHHH LULUS..KITA LULUS !!!”
Segala
macam teriakan, ungkapan kebahagiaan langsung bergema dimana-mana.
Ekspresi-ekspresi yang tidak mampu di lukiskan hanya dengan kata-kata
biasa. Setelah tiga tahun berjibaku dalam putih abu-abu yang memang
abu-abu, setelah hampir satu tahun belakangan ini kami semua larut dalam
beribu-ribu soal, pelajaran tambahan, try out, hingga bimbingan
belajar. Maka hari ini, dengan bangga aku katakan, aku baru saja menutup
satu lagi bukuku, untuk kutapaki cerita yang baru, tidak lagi hanya
sebagai siswa biasa, tapi telah menjadi maha.
“Fy..lulus Fy, kita lulus Fy..” Shilla berbicara dengan mata yang berkaca-kaca. Bagian dari tangisan haru.
“Iya
Shil, lulus, kita anak kuliahan sekarang !” sambungku bangga, dan
langsung memeluknya. Kami berdua berpelukkan erat, sangat erat. Karena
di balik kebahagiaan ini, kami juga mengerti, perpisahan tampak nyata
menatap langkah di depan kami.
“Ehem..”
Aku
dan Shilla saling melepaskan pelukan satu sama lain, kami kenal betul,
suara siapa yang mengganggu euforia kami berdua. Tepat di hadapan kami,
berdiri Alvin dan Rio, yang juga sedang menyunggingkan senyum
kebahagiaan ciri khas mereka masing-masing. Dan tanpa aba-aba dari
siapapun, aku dan Shilla, langsung kompak memeluk laki-laki di hadapan
kami itu. Aku memeluk Alvin, sementara Shilla memeluk Rio.
Bukan.
Alvin bukan pacarku. Dan jangan tanya kenapa, kenapa saat itu aku
memilih untuk memeluknya. Itu sungguh-sungguh tanpa alasan. Bukan juga
karena ia teman sebangkuku.
Karena bila diingat, sepertinya tubuhku sendirilah yang ingin mendekap tubuhnya. Entah untuk alasan apa.
*
Kesenangan
pengumuman kelulusan itu, tidak berlangsung lama. Aku dan teman-teman
seangkatanku mulai sibuk lagi larut dalam persiapan kami semua untuk
menghadapi snmptn. Gerbang keputusan yang akan menentukan nasib kami
selanjutnya.
Dan
aku begitu semangat mengerjar impianku. Menjadi seorang yang bisa
berguna di masyarakat adalah hal yang menjadi prinsipku. Oleh sebab itu,
aku membulatkan tekadku untuk bisa masuk dalam jurusan psikologi. Aku
harus bisa !
Satu-satunya
penghibur yang terselip dalam sederet kegiatan detik-detik menjelang
snmptn, adalah prom night. Aku akan datang bersama Alvin. Dia mengajakku
kemarin, dan tanpa pikir panjang aku tentu saja langsung mengiyakannya.
Dan kalau ada yang bertanya lagi apa alasanku, aku masih belum
benar-benar mengerti.
Suara deru mesin mobil terdengar dari depan rumahku, buru-buru aku membuka pintu, untuk melihat siapa yang datang.
“Alvin
? naik mobil ?” tanyaku bingung, belum pernah tiga tahun ini aku
berteman dengannya, melihat Alvin menyetir mobil, biasanya ia selalu
setia dengan motor bebek hitamnya.
“Hehe..minjem
bokap, abis masa gue mau jemput cewek cantik naik motor, kasian di
elonya lah..mana lo pakai dress gitu lagi..” ujarnya sambil menunjukku.
“Ohh
hehe..ya udah, ayo masuk, gue ambil tas dulu di kamar..” ajakku sambil
menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumahku. Setelah berpamitan
dengan kedua orang tuaku, akhirnya aku dan dia bergegas untuk pergi ke
prom night di sekolahku.
Tanpa
janjian, aku dan Alvin tampak begitu serasi. Aku menggunakan tube dress
berwarna hitam dengan cutting asymetris di bagian bawahnya, dan Alvin
tampak santai di balik kemeja putih dan blazer hitamnya yang ia gulung
hingga ke siku.
“Lo udah jago kan Vin nyetirnya ?” tanyaku polos, tepat ketika Alvin mulai menghidupkan mobil dan menggeser persenelingnya.
Ia
terkekeh, dan menatapku. “Kalau gue enggak bisa nyetir, enggak akan deh
gue bawa anak orang naik mobil malam-malam kaya gini..”
“Ya kan, gue masih mau hidup panjang Vin..hehe..masih mau ikutan snmptn nih gue..”
“Snmptn daftar apa aja ?”
“UI sama UGM..hehe..”
“Hmm..tahu
deh yang pinter, semoga jebol salah satunya yaa..” ujarnya sambil
mengelus rambutku pelan. Dan aku sangat menikmati belaiannya ini.
“Amin !! doain gue ya Vin..”
“Selalulah Fy..”
“Makasih..”
“Seandainya lo masuknya ke UGM, berarti lo bakal pergi dong dari Jakarta ?”
“Ya
iyalah Vin, masa iya gue mau kuliah jarak jauh, mana bisa..” tukasku,
entah polos atau bodoh. Yang jelas, Alvin kembali terkekeh.
“Haha iya-iya..maksud gue, err....berarti lo bakal ninggalin gue, ninggalin Shilla, Rio..”
“Rio kan mau ke ITB, elo juga mau ke UNPAD kan ? kita semua pergi kali dari Jakarta kecuali Shilla..”
“Lo percaya sama long distance nggak Fy ?”
Aku mengerutkan keningku mendengar pertanyaan Alvin. “Kok elo enggak nyambung sih Vin ?”
“Hahaha..iyaya ? lupain aja deh..” kilahnya, kemudian terdiam, dan menatap jalan di depannya. Dan akupun begitu.
Anggaplah saat itu
aku tidak peka, tapi percayalah, aku benar-benar tidak mengerti maksud
pertanyaannya saat itu. Dan di tahun-tahun ke depan, itu seperti sebuah
kerikil kecil yang menyeret penyesalan dalam hidupku.
Tidak
begitu banyak hal penting yang terjadi malam itu, yang aku ingat
hanyalah, sepanjang prom night aku dan Alvin terus berdansa berdua.
Tanpa ikatan, di balik persahabatan kami, tanpa kata-kata, aku dan dia
menikmati semuanya.
Sekeping kenangan yang ternyata tertoreh dalam di kemudian hari.
*
Aku
nyaris tak berkedip menatap layar laptopku. Dan sejurus kemudian,
sebuah senyum kelegaan, bercampur kebahagiaan dan kebanggaan tak terkira
terpeta di bibirku.
Psikologi, UGM. Ya, aku lolos !
“Mama..aku
ke UGM ma !!” teriakku masih enggan bangkit dari depan laptopku, masih
ingin menatap pengumuman itu. Meski hanya sebaris kalimat. Namun kalimat
yang membuncahkan sejuta kebahagiaan dalam hati.
“Drrtt..drrrttt...”
“Halo, gimana Fy ?” suara Alvin langsung menyapaku. Bisa ku tebak, ia juga sedang mendapatkan berita terbaiknya.
“UGM Vin, gue ke jogja..kampus biru hahaha..”
“Congrats yaa..”
“Makasih Alvin...lo sendiri gimana ?”
“Menurut lo gimana ?”
“Pasti lolos, iyakan ?”
“Hehehe..temen lo jadi calon dokter gigi nih Fy”
“Ahh Alvin, selamat ya selamat !! asik deh, entar gue bisa periksa gigi gratis..haha..”
“Woo..eh, ntar malem ada acara enggak ?”
“Enggak, kenapa ?”
“Entar gue ke rumah lo ya ?”
“Oke, gue tunggu, jam berapa ?”
“Jam tujuh mungkin, ya udah deh, sekali lagi selamat ya, awas jangan ikutan stres sama pasien lo entar..hahaha..”
“Si...”
Klik.
Belum sempat aku membalas kata-katanya, Alvin telah terlanjur menutup
telponnya. Hah, rasanya kebahagianku menjadi tambah berlipat ganda. Dan
sekarang, aku malah menjadi mengira-ngira, untuk apa ya Alvin datang ke
rumahku nanti malam. Adakah hal yang ingin ia sampaikan ?
Ahh, aku jadi penasaran.
*
Dan
ia berdiri di hadapanku sekarang, terlambat dari waktu yang ia bilang.
Ini sudah jam sembilan malam, sudah sejak dua jam lalu aku menunggunya,
ia datang dengan wajahnya yang babak belur. Tanpa perlu bertanya, aku
juga mengerti, apa yang terjadi dengannya.
Tiga tahun bersahabat. Dan satu tahun duduk bersama, membuat aku sangat mengerti dengan apa yang sering Alvin alami.
“Ada apa Vin ?”
Dia
tersenyum lirih ke arahku. Hanya tersenyum di tempatnya, tanpa
melanjutkan langkahnya. Dia berhenti, dan akhirnya aku yang maju.
Menujunya yang berdiri di halaman rumahku.
“Vin, ada yang bisa aku bantu ?”
Ia
langsung memelukku. Untuk alasan yang aku mengerti tapi tidak ku
ketahui sepenuhnya. Aku melingkarkan tanganku di punggungnya,
menepuk-nepuknya, mencoba menghibur speerti layaknya seorang sahabat.
Untuk
beberapa saat, kami menelan waktu dalam pelukan ini. Tidak peduli pada
ketukan detik yang terpacu cepat. Tangan Alvin semakin memelukku erat.
Aku sama sekali tidak memberontak atau risih karenanya. Aku ingin
menjadi orang yang menenangkannya, dan itu aku sekarang.
Nada-nada
alam dari ketukan air yang menyentuh tanah dalam hujan yang tiba-tiba,
mengguyur kami, yang tetap saja, saling berpelukan satu sama lain.
Tubuhku
mulai basah, rasa dingin mulai merasukiku. Tapi aku benar-benar tidak
ada niatan untuk meminta Alvin melepaskan pelukannya. Ada yang bergetar
dalam hati ini, sesuatu yang tidak aku kenal, sesuatu yang baru namun
terasa begitu nyata. Teduh dan hangat, bahkan meski gemericik hujan
semakin deras tertumpah dari langit nan membentang.
Apa yang terjadi padaku ?
“Fy..” untuk pertama kalinya, sejak kedatangannya, akhirnya bibir itu terbuka.
“Ya ?”
“Gue sayang sama lo..”
*
Hiruk
pikuk yang terjadi di stasiun ini, sama sekali tidak menyurutkan air
mataku untuk mengalir sederas-derasnya. Tinggal dua puluh menit lagi,
sebelum kereta dengan gerbong abu-abunya itu akan membawa tubuhku ke
Jogja, kota dimana aku akan menapaki langkah baruku.
“Fy..” Shilla terisak di hadapanku, membuat aku juga terus menangis.
“Ahh Shilla..jangan bikin gue berat dong..” aku kembali memeluk sahabatku itu. Ternyata berpisah tak semudah kelihatannya.
Sahabat adalah kepingan jiwa, terasa seperti mati rasa ketika harus meninggalkannya.
“Fy,
take care ya..” ujar Rio tersenyum ke arahku, dan menepuk kepalaku
pelan. Aku hanya bisa mengangguk. Ada yang lebih menyakitkan dari
perpisahan sementara ini. Ketidak hadirannya.
Alvin, entahlah ada dimana ia saat ini.
“Alvin
marah ya Yo sama gue, karena gue nolak dia ?” tanyaku pelan, tidak
melihat Rio, melainkan melihat ke arah pintu masuk stasiun, berharap
dapat menemukan sosoknya sedang berjalan ke arahku.
“Gue juga enggak tahu, gue juga enggak bisa ngehubungin dia dari tadi pagi, tapi gue rasa Alvin enggak akan marah sama lo..”
“Tapi dia enggak datang sekarang..” desahku, yang entah mengapa harus kecewa.
“Fy,
ayo naik, sebentar lagi keretanya berangkat..” mama mengingatkanku. Aku
menghela nafas, ingin menahan waktu, dan menunggu Alvin untuk datang,
meski itu tidak mungkin bisa.
Masih
dengan air mata berurai, aku memeluk Shilla lagi, hanya saja lebih
singkat kali ini, memeluk Rio, dan kemudian berbalik mengikuti mama yang
berjalan di depanku. Sebelum naik, lagi-lagi aku menyempatkan diri
untuk menoleh ke titik itu, tempat yang aku pandang dengan bias harap
bercampur nanar. Ia tetap tidak hadir, sama sekali tidak.
“Nanti
kan kalau liburan kamu juga bakalan pulang Fy, udah ah nangisnya..”
tegur mama, setengah menasihati. Aku hanya tersenyum.
Kereta
mulai berjalan. Perlahan, meninggalkan kota ini, meninggalkan
gedung-gedung beton pencakar langit yang sering ku lihat setiap hari.
Meninggalkan semuanya.
Dan ia tetap tak nampak. Menghilang. Benar-benar menghilang.
***
Reflek,
aku langsung menghapus setitik air mata yang jatuh tanpa kendaliku.
Mengingat tentangnya selalu membuatku seperti ini. Aku berdiri dari
bangku, yang dulu merupakan bangkuku, untuk sekejap, aku menoleh menatap
kursi kosong yang ada tepat di samping kananku. Tempatnya dulu duduk.
Alvin, ada dimana kamu ?
Ya,
tiga tahun berlalu, dan aku tetap tidak mengetahuinya. Dan sepertinya
memang tidak ada yang mengetahuinya. Rumahnya pindah. Nomornya tidak
lagi aktif, sehari setelah keberangkatanku ke Jogja waktu itu. Ia lenyap, tak bersisa.
Dan aku ?
Yang terlalu bodoh ini. Baru menyadari satu hal. Aku mencintainya. Sangat mencintainya.
Tidak
ingin terlalu lama ada disini, aku buru-buru beranjak pergi. Lagipula,
aku telah membuat janji dengan Rio dan Shilla untuk makan siang bersama.
Di
sebuah kafe, di bilangan tebet. Aku menunggu kehadiran mereka berdua.
Sesaat ku amati sekelilingku, semua telah berubah. Kota ini berubah
terlalu banyak. Dan sayangnya aku tidak di ajak serta dalam perubahan
itu. Aku terbenam dalam cerita masa lalu yang aku sesali.
Hidup itu pilihan, termasuk juga sebuah penyesalan.
“IFY !!..ahhh gue kangen !” Shilla langsung menghambur, memelukku, sementara Rio berjalan di belakangnya.
“Gue juga !! haha..liburan semester kemarin gue juga balik ya..”
“Hei Yo, lo tambah item aja ..haha..” sambungku, sambil menjabat erat tangan Rio.
“Iya nih, gue abis pkl Fy..”
“Kemana ?”
“Chevron di Minas..”
“Sumpah
lo bisa pkl disana ? ahh keren banget ! ehem..sahabat gue mau jadi
tukang minyak, entar kalau udah tajir jangan lupa sama gue, oke..”
Rio
dan Shilla hanya terkekeh menyaksikkan tingkahku. Dua sahabatku ini,
bisa dibilang adalah contoh pasangan yang wajib ditiru, berpacaran sejak
kelas dua sma, berlanjut hingga kuliah sekarang meski tol cipularang
memisahkan mereka, namun keduanya tetap saja bisa menjaga kekompakkan
untuk menjaga hubungan mereka.
Dan
layaknya sebuah persahabatan, kami bertiga mulai asik menceritakan
setiap detail pengalaman yang telah kami lalui, apapun itu. Meski terasa
ada yang kurang, karena ia tidak ada disini.
Alvin, bisakah kamu kembali ?
“Yo..elo
beneran enggak tahu, Alvin ada dimana ?” tanyaku pelan. Setiap bertemu,
aku selalu menanyakan ini. Dan bisa saja kan, Rio mulai jengah dengan
sikapku ini.
“Fy..gue
sama Rio selalu berusaha buat nyari keberadaannya Alvin, kita juga mau
ketemu sama dia, tapi ya kaya yang lo lihat, dia enggak meninggalkan
jejak sedikitpun buat kita lacak..” Shillalah yang menjawab
pertanyaanku. Dan aku hanya bisa tersenyum simpul mendengar jawabannya.
Ia seperti menyatu dengan udara, yang menghilang tanpa jejak, tapi ke alpaannya begitu hebat terasa.
***
Seminggu
terakhir, sebelum aku kembali ke Jogja. Rio sudah kembali ke Bandung
dan Shilla sedang ada acara di kampusnya. Tidak ada kerjaan di rumah,
aku memutuskan untuk berjalan-jalan, sekedar menyegarkan mata.
Aku
memasuki sebuah mall di jantung ibu kota, gedungnya yang unik, seperti
balok-balok kotak yang miring serta warna dindingnya yang begitu ceria
dan berwarna-warni. Berjalan sendirian tanpa tujuan, membuatku hanya
mengelilingi tempat ini tanpa jeda.
Hingga langkahku terhenti, dan tubuhku bergetar hebat.
Aku melihatnya. Dan aku yakin itu dia.
Alvin.
Tanpa
mengulur waktu, aku mengejarnya, membiarkan wedgesku menghentak lantai
dengan brutal. Tak menghiraukan orang-orang lain yang menatapku bingung.
“Alvin..” dan tanpa malu-malu, aku mencekal pergelangan orang itu. Membuatnya menoleh ke arahku.
“Ya..”
“Vin, ini aku, Ify..”
Dia tersenyum, sesuatu yang membuatku tambah yakin bahwa ini dirinya. “Maaf, tapi gue enggak kenal sama lo..”
Aku
membeku. Ku lepaskan tanganku dari tangannya, aku berjalan mundur,
tubuhku serasa limbung. Hingga akhirnya tanpa aku sadar, aku menabrak
orang lain di belakangku. Dan aku terpaku, menatapnya. Suara keramaian
yang tadi sangat nyata, kini malah seperti dengungan memekakkan telinga.
Aku merasa sendiri, dan sama sekali tidak mengerti.
***
Entah
sudah untuk keberapa kalinya. Aku kembali mengamati wajah laki-laki di
depanku ini lekat-lekat. Berjuta-juta persen, aku yakin ia Alvin, dan ia
memang Alvin, ia mengaku itu. Tapi bukan Alvinku, ia tidak mengenaliku.
Dan aku tidak mengerti kenapa.
“Kamu beneran enggak kenal sama aku ?” tanyaku lagi. Lebih dari yang kesepuluh kalinya.
“Harus gue jawab berapa kali sih, gue sama sekali enggak kenal sama elo, maaf..”
Aku
tersenyum lirih. Entah untuk alasan bodoh macam apa, tapi aku
memintanya untuk duduk bersamaku di sebuah restaurant. Aku masih tidak
percaya, sama sekali tidak percaya. Aku rasa hanya ada satu Alvin, dan
itu Alvinku.
“Tapi lo perlu tahu satu, gue ini seorang penderita amnesia..”
“Vin..”
“Dan gue enggak ada niatan sama sekali, untuk minta ingatan gue kembali lagi”
Seperti
ada Zeus yang sedang menghunuskan petirnya ke dadaku, aku tidak bisa
berkata-kata untuk apapun. Mati rasa. Tidak mengerti, mengapa orang yang
sekian tahun ini ingin aku temui, terasa begitu berbeda dan tidak aku
kenali, bahkan tidak mengenaliku.
“Ke..kenapa..?” tanyaku terbata.
“Kata
beberapa orang, masa lalu gue enggak begitu bahagia, gue seorang anak
broken home yang sering di hajar sama bokap gue sendiri. Tapi sekarang,
gue udah tinggal sama nyokap, gue lebih bahagia di kehidupan kedua gue
ini..itu sebabnya gue enggak mau tahu tentang yang dulu..”
“Tapi
aku sahabat kamu di masa lalu, aku sayang sama kamu” ujarku lirih,
sambil menunduk, tidak berani menatapnya, tidak ingin menangis di depan
orang asing yang benar-benar tidak aku kenali sama sekali.
“Maaf
kalau gue ngecewain lo, tapi ini pilihan gue. Dan kalau apa yang lo
bilang tadi benar, kalau kita memang sahabat, ada baiknya, elo nerima
keputusan gue..”
Aku
mengangkat wajahku, menghapus air mata yang terlanjur menetes, dan
menatapnya. “Hai Alvin, boleh kita kenalan ? aku Ify..” sambil
tersenyum, aku mengulurkan tanganku.
“Boleh..gue Alvin..” balasnya sambil tersenyum juga, dan menerima uluran tanganku.
Dan kehangatan tangannya masih sama seperti dulu.
Seperti dulu.
***
Ia
benar-benar berubah. Namanya saja yang tetap Alvin. Tapi keseluruhannya
berubah, aku rasa, ia bukan saja amnesia tapi telah mengganti nyawanya
dengan roh orang lain.
Ilmu
psikologiku sama sekali tidak mempan padanya. Ia begitu patuh untuk
menjalani prinsipnya yang memetakan perih tak terhingga di jiwaku. Ia
telah membungkus rapat cerita lalunya, dan membuangnya ke tempat sampah
tanpa niatan untuk sekedar menengoknya sedikit.
Dan
aku ? aku mencoba mengikutinya. Berharap dapat menembus barikade
pertahanan supernya. Meski itu kini jelas telah terlihat sebagai sebuah
kesia-siaan semata. Ini hari terakhir aku disini, dan ia sama sekali
tidak pernah bertanya bagaimana kisah kita dulu.
Seolah
telah menjadi rutinitasku, hari ini aku kembali menunggunya di tempat
yang sama, tempat pertama kali akhirnya aku bertemu dengan ia yang baru.
Sudah
hampir setengah jam, dan ia belum juga datang. Padahal tiga jam lagi,
aku harus ke stasiun. Aku mengetuk-ngetukkan jariku di meja, sembari
menunggu kehadirannya.
“Maaf gue terlambat..”
“Enggak masalah, aku cukup seneng, seminggu ini kamu enggak keberatan buat nemenin aku disini..”
“Senang punya teman baru kaya lo..”
Teman baru ? hei..kita sudah kenal sejak lima tahun yang lalu. Dan kamu menganggap, kita baru kenal satu minggu ini.
“Aku mau pulang ke Jogja..”
“Oh ya ?”
“Dulu,
waktu aku mau berangkat kesana untuk pertama kalinya, kamu enggak
datang, padahal aku sangat berharap sama kehadiran kamu, yang baru
kemarin juga tahu, kalau pada saat itu kamu kecelakaan..”
“Fy, tolong jangan bahas yang udah lewat..”
“Waktu
itu, aku mau bilang ke kamu, kalau aku juga sayang sama kamu, aku
nyesel nolak kamu malam itu, aku nyesel enggak sadar sama perasaan aku
sendiri saat itu..bener-bener nyesel..” tanpa menggubris interupsinya,
aku meneruskan kalimatku.
“Dan
sekarang ternyata semua kaya gini, kamu bahagia dengan apa yang kamu
punya sekarang, memang kesempatan enggak akan datang dua kali..pelajaran
paling berharga yang aku ambil dari semua ini..maaf kalau seminggu ini
aku ngerecokkin kamu terus, aku pikir, tadinya pasti ada sebuah sisi di
dalam diri kamu yang, meski kecil tapi ingin tahu tentang siapa kamu di
masa lalu. Tapi aku salah, kamu memang udah punya kehidupan baru, dan
aku enggak berhak untuk narik kamu mundur lagi..meski harus dari
awal...tapi biarin aku untuk memulai semuanya...pertemanan dan mungkin
persahabatan kita..”
Alvin tersenyum, ia meletakkan sebuah kertas yang ia ambil dari saku jaketnya, dan kemudian mendorongnya ke arahku.
“Apa ini ?”
“Baca aja..” ujarnya, sambil mengendikkan dagunya.
Sebuah puisi. Itu yang aku tangkap, ketika menemukan bait-bait yang tertata rapi dalam tulisannya, yang ternyata masih sama.
Pagi pasti berubah malam
Tapi tidak untuknya
Cuaca pasti berubah
Tapi tidak untuknya
Tapi tidak untuknya
Cuaca pasti berubah
Tapi tidak untuknya
Aku menapaki waktu, berjalan maju
Aku mematahkan waktu, berlari mundur
Dia berdiri dan waktu mendorongnya maju
Tetapi waktu tak bisa mengalahkan tegar dirinya
Aku mematahkan waktu, berlari mundur
Dia berdiri dan waktu mendorongnya maju
Tetapi waktu tak bisa mengalahkan tegar dirinya
Pagiku paginya
Siangku paginya
Malamku tetap paginya
Siangku paginya
Malamku tetap paginya
Seperti terbawa mesin waktu
Yang membuatku tertawa kecil
Kehidupan masa lalu
Kehidupan masa sekarang
Yang membuatku tertawa kecil
Kehidupan masa lalu
Kehidupan masa sekarang
Aku membisu
Aku membatu
Diam, takjub, heran
Aku takut, takut kalau aku bukan aku
Aku membatu
Diam, takjub, heran
Aku takut, takut kalau aku bukan aku
Rangkaian kalimat menjadi sebuah cerita
Rangkaian cerita menjadi sebuah kalimat
Aku paham sekarang
Rangkaian cerita menjadi sebuah kalimat
Aku paham sekarang
Bahasa terindahpun tak bisa mengalahkannya
seperti terbangun dari tidur panjang
Memori..memori..memori
seperti terbangun dari tidur panjang
Memori..memori..memori
Mungkin aku bukan aku
Tapi dia tetap dia
Aku sadar akan hal itu
Tapi dia tetap dia
Aku sadar akan hal itu
Aku yang bukan aku
Mungkin akan merubah dia yang tetap dia
Akan merubah pagi jadi malam atau malam jadi pagi
Itu ketakutanku
Mungkin akan merubah dia yang tetap dia
Akan merubah pagi jadi malam atau malam jadi pagi
Itu ketakutanku
Ketakutanku akan waktu
Maaf.
“Maksudnya apa Vin ?”
“Semenjak
lo datang, dengan segala ketegaran lo untuk mencoba mengajak gue balik
dalam cerita yang pernah kita laluin sama-sama, gue sadar, mungkin
keputusan gue ini cukup sepihak, gue hidup tujuh belas tahun dalam masa
lalu gue, dan baru tiga tahun dalam hidup gue yang baru..pastinya lebih
banyak yang berarti dalam tujuh belas tahun itu. Tapi sekali lagi, ini
apa yang memang pengen gue jalanin..dan gue cukup berterimakasih atas
pengertian lo, dan maaf yang sebesar-besarnya, kalau gue nyakitin elo..”
Ingin rasanya aku berkata-kata, tapi yang terjadi hanyalah, sebuah senyum kecil yang aku persembahkan untuknya.
Masa
lalu kami memang terhapus, tak bersisa. Dan aku menyesalinya, tak ku
pungkiri itu. Terlalu banyak pengandaian yang tersebar dalam otakku dan
ingin tersampaikan untuknya. Untuk mengulang semuanya.
Tapi setidaknya sekarang aku tahu satu, aku tidak akan menyiakan apa yang memang harusnya menjadi milikku. Semua benar..
Kesempatan emas hanya datang satu kali. Sekali kita menolaknya, maka perlu dimulai dari awal lagi untuk mendapatkannya kembali.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar