Sejuta Rinai Hujan (cerpen)
Aku
suka melihat pelangi. Bias ketujuh warnanya yang indah, serta kilaunya
yang menakjubkan, mampu membuat aku betah duduk berlama-lama hanya untuk
memandanginya. Seperti halnya saat ini. Di tempat faforitku, bukit
kecil di belakang komplek. Aku duduk sendiri, menikmati pelangi, di
temani bau rumput yang khas selepas hujan siang tadi.
Baru
beberapa menit berlalu, rasa dingin dari angin sore yang berhembus,
mengganggu ketenanganku bersama pelangi. Dan sialnya, karena
terburu-buru pergi kemari, aku lupa untuk membawa jaket. Aku terus
mengusap-ngusap kedua tanganku, berharap sedikit saja ada rasa hangat
yang dapat tercipta darinya.
“Kedinginan ya ? bawa jaket makanya” aku mengangkat wajahku. Sebuah jaket telah di pakaikan di badanku.
“Kakak..” aku tersenyum, lalu membetulkan letak jaketku. “Kok kesini ?”.
“Kan
mau nemenin kamu vi, enggak boleh nih..” orang yang ku panggil kakak
itu mengacak-ngacak lembut poniku sambil tersenyum. Aku pun ikut
tersenyum bersamanya.
“Bukan gitu. Emang kakak udah sehat ?”
“Selalu sehat kalau buat nemenin kamu”
“Huuu..” cibirku sambil bercanda. Ia hanya terkekeh.
“Kan
kamu obat yang paling manjur buat aku” tambahnya lagi. Terbiasa
mendengar kata-kata seperti itu, bukannya tersipu aku malah hanya
tersenyum kecil menanggapinya. Lalu kami terdiam berdua, sibuk menikmati
pelangi yang pelan-pelan mulai memudar.
Tiba-tiba ia bersuara, memecah kesunyian ini. “Aku minta maaf ya, kemarin lusa kita enggak jadi ja...”
Aku
langsung menoleh ke arahnya, dan meletakkan jari telunjukku di
bibirnya. “Enggak masalah kak, yang penting sekarang kakak ada disini
buat nemenin aku lihat pelangi”
Lagi-lagi ia tersenyum dan mengacak poniku. “Via..via..cinta banget ya kamu sama pelangi..”
***
Dengan
langkah tergesa-gesa, aku menyusuri koridor sekolah. Tangan kananku
menggenggam handphone erat-erat. Meski ini bukan untuk pertama kalinya,
tetap saja kepanikan itu datang memenuhi otakku.
“Brakk..”
aku menyeruak masuk ke dalam uks, membuat beberapa pasang mata disana
langsung menoleh padaku, tapi aku tidak peduli. “Kak Alvin..”
Aku menghampirinya. Kak rio yang berdiri di samping ranjangnya, langsung menyingkir, memberi jalan untukku.
“Kakak, enggak apa-apa kan ?” tanyaku langsung.
“Aku
enggak apa-apa. Cuma sedikit kecapaian aja” ujarnya parau, sambil
tersenyum, aku tahu, seperti biasa ia sedang mencoba menenangkan
perasaanku.
Aku
menarik kursi dan duduk disampingnya. “Maaf kak, tadi aku ada susulan
sejarah, makanya enggak bisa istirahat, enggak bisa nemenin kakak main
futsal, enggak bisa jagain kakak”
Kak
Alvin mengangkat tangannya, menyingkirkan beberapa helai rambut yang
ada di wajahku, dan menyelipkannya di belakang telinga. Ia tersenyum.
“Aku yang lupa jaga diri, bukan salah kamu”
“Padahal gue udah ngingetin dia lho vi, dianya aja yang ngeyel” timpal kak rio yang sedari tadi memilih diam.
“Udahlah,
guenya juga baik-baik aja kan, cuma sedikit mimisan doang. Enggak ada
yang perlu di khawatirin” aku langsung melirik ke dalam tempat sampah
yang ada tepat di samping kursiku, ada banyak tisu penuh darah disana.
Aku kembali menatap kak alvin, memberikan tatapan cemasku untukknya, dan
dia sepertinya mengerti itu.
“Aku
enggak apa-apa vi, percaya deh sama aku” kalau sudah begini aku hanya
bisa mengangguk. Bukan tidak mau menambah masalah, atau mendebatnya
lebih panjang lagi. Keadaan seperti ini yang telah terjadi
berulang-ulang, membuat aku telah tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.
“Ya
udahlah gue balik ke kelas duluan ya sob, entar gue anterin deh elo
balik” ujar kak rio. Aku dan kak alvin hanya tersenyum sambil
mengangguk, lalu menyaksikannya keluar pintu uks, menyisakan kami berdua
saja.
Aku
menatap wajah kak alvin lekat-lekat, masih ada sisa darah di bawah
hidungnya. Dengan mengunakkan tisu, aku mulai membersihkan itu. Dan
selama aku melakukan itu, yang aku dan kak alvin lakukan hanya diam.
Tiba-tiba tangan kak alvin menghentikan tanganku. “Besok kamu nemenin aku kemo kan ?”
“Iya dong..” jawabku sambil tersenyum dan kembali melanjutkan aktivitasku yang tadi dihentikan olehnya.
***
Dari
balik kaca, aku hanya bisa meremas ujung kaosku keras-keras, sambil
sesekali memejamkan mata. Disaat seperti ini, rasanya sungguh susah bila
harus menahan air mata. Terlalu susah malah. Tapi aku tahu, kak alvin
tidak akan suka jika menemukan aku sedang menangis untuknya.
“Argh..sakit
dok..” aku menggigit bagian bawah bibirku, hatiku langsung terasa miris
mendengar erangan kak alvin dari dalam. Namun sekuat hati aku
menegarkan hatiku. Bisa saja aku menunggu di ruang tunggu, dan baru
menemui kak alvin ketika proses kemo telah selesai. Tapi aku tidak mau
membiarkan kak alvin merasakan sakit itu sendiri. Aku ingin selalu
menjadi orang pertama yang duduk disampingnya, untuk mentransfer
kekuatanku untuknya.
Setelah
kurang lebih satu jam yang menyiksa. Akhirnya aku kembali diijinkan
untuk melihat senyum kak alvin yang lembut lagi. Aku bersukur, senyum
itu masih aku temukan menyapa mataku, meski lemah. Aku juga tersenyum ke
arahnya, duduk disampingnya, dan menggantikan suster menyeka
bulir-bulir keringat di pelipisnya.
“Hari ini kakak hebat..” pujiku, dan ia hanya terkekeh pelan. Aku tahu rasa sakit itu masih tertinggal di dalam tubuhnya.
Wajah
kak alvin masih terlihat merah, tapi ia masih tetap tampan dimataku.
Itu tidak akan pernah berubah. Ia akan tetap selalu menjadi yang paling
juara untukku, kemarin, hari ini, esok dan seterusnya. Bahkan mungkin
meski nanti raganya tidak dapat aku sentuh seperti ini, ia tetap tidak
akan terkalahkan.
“Erghh..”
kak alvin menutup mulutnya, aku tahu, ia mual. Dengan segera aku
sodorkan baskom kecil ke arahnya. Dan ia langsung memuntahkan cairan
bening dari mulutnya, dengan sabar, aku memijat-mijat tengkuknya. Aku
tidak akan pernah jijik melakukan ini, aku justru bangga, bangga karena
bisa membantunya meski sedikit.
“Makasih ya..” desahnya pelan.
“Basa-basi
banget kak, kaya baru pertama kali aja. Aku kan seneng ngelakuin ini
buat kakak” ujarku jujur. Karena memang seperti itulah adanya. Ini
janjiku, janji yang aku ikrarkan dalam hati ketika pertama kali aku tahu
kondisinya. Dan untuk alasan apapun, aku tidak akan pernah mengingkari
itu. Aku tidak akan menjadi munafik.
Butuh
satu hingga dua jam, untuk mengembalikan energi kak alvin seperti
sebelum kemo. Dan selama itu, aku hanya memandanginya yang baru saja
terlelap tidur. Dengan ujung telunjukku, aku menyentuh pipinya pelan.
Membuat kelopak matanya yang terpejam sedikit bergerak. Setidaknya aku
tahu, masih ada jiwa ditubuhnya.
Sejujurnya,
aku selalu takut melihatnya tertidur. Takut ia tidak akan pernah
bangun, dan tersenyum lagi padaku. Takut waktunya akan berhenti tanpa
mengucapkan salam perpisahan padaku. Takut masanya akan berakhir dan aku
tidak bisa menemuinya lagi.
Aku
mengenalnya hampir melebihi setengah usiaku. Ia menjadi tetangga baru
saat aku berusia tujuh tahun dan dia delapan tahun. Dan sejak saling
berkenalan, kami mulai suka bermain bersama. Ia tidak pernah keberatan
menemaniku bermain boneka atau masak-masakan, dan aku selalu suka jika
ia memintaku menemaninya bermain bola.
Pertemanan
itu tidak pernah berakhir. Kak alvin selalu menjadi kakak kelasku di
sekolah yang sama. Akulah orang pertama yang ia peluk saat pengumuman
kelulusan. Akulah orang pertama yang selalu dapat potongan kue ulang
tahun pertama selama 10 tahun berturut-turut. Akulah
orang pertama yang ia ajak saat ia mendapat motor barunya di kelas tiga
smp. Akulah orang pertama yang mendapat tanda tangannya saat ia
menjabat sebagai ketua osis waktu mos tahun kemarin. Dan dia, dialah
orang pertama yang aku cari saat rasa takut menyerangku. Dialah orang
pertama yang aku temui saat aku tidak bisa menjawab soal matematika yang
membuatku kepalaku ingin meledak. Dialah orang pertama yang mengajariku
mengendarai sepeda. Dialah orang pertama yang membuat aku ingin menjadi
lebih baik untuk seseorang, dan itu dia.
Dan
hingga saat inipun, hubungan kami tetap teman, tetap sahabat. Itu tidak
pernah berubah. Meski saat ini usiaku sudah enam belas dan dia tujuh
belas. Meski saat ini aku sudah tidak lagi bermain masak-masakan atau
boneka. Kami tetap teman, meski di belakang kata teman itu, telah ada
kata spesial yang mengikutinya.
Aku
masih ingat dengan jelas. Saat aku menangis berjam-jam, ketika kak
alvin memberitahuku bahwa ia mengidap kanker otak dengan stadium yang
sudah parah. Saat jari-jarinya merengkuhku dalam pelukannya, dan
menenangkan tangisku yang tidak kunjung berhenti. Seolah vonis mati muda
itu jatuh padaku dan bukan padanya. Saat aku akhirnya tertidur karena
terlalu lelah menangis, dan ia hanya menemaniku dalam diam.
Dan
untuk semua alasan itulah. Aku ingin selalu menemaninya sekarang.
Selama yang aku bisa. Selama desah nafasnya yang masih tersisa. Entah
sudah berapa kali aku dan kak alvin membahas tentang kepergiannya.
Bagaimana ia berusaha meyakinkan aku bahwa tidak perlu ada air mata yang
tumpah selama bermalam-malam untuknya. Bagaimana ia berusaha menekankan
padaku bahwa mungkin kematian itu akan jadi jalan terbaik untuknya. Dan
bagaimana ia berusaha mengajariku bahwa mencintai tidak perlu harus
membuat aku akan tersiksa karena kepergiannya dan ia berat karena harus
meninggalkanku.
Satu
tahun berlalu, dan pikiran-pikiran positif itu mulai merasuk dalam
otakku. Tidak pernah ada waktu saat kami menangis berdua atau terpuruk
berdua bila mengingat tentang penyakitnya. Layaknya film sedih yang
sering aku tonton. Kami selalu menari di bawah lagu-lagu yang riang,
bukannya di iringin musik-musik mellow yang menyayat hati. Dan kami
selalu tertawa berdua melewati semuanya, sesedih apapun itu, karena kami
sama-sama percaya Tuhan punya rencana yang indah dibalik ini semua.
Meski
begitu, aku tidak bisa berbohong bahwa aku tetaplah seorang perempuan
dengan segudang perasaan yang kadang menimbulkan pikiran yang terlalu
paranoid. Ada titik dimana aku menjadi labil dan merasa takut akan apa
yang terjadi di depan kami. Dan saat itu, kak alvin akan membiarkan aku
menangis. Tapi ia sambil menunjukkan padaku, bahwa ia sendiri, belum
menyerah untuk mengubah takdirnya, untuk ingin lebih lama menikmati
dunia. Ia memang orang yang penuh semangat yang selalu aku kagumi.
“Vi..” aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. “Udah bangun kak ?” tanyaku.
“Maaf ya, biarin kamu bengong sendirian gini” senyumnya telah terlihat lebih cerah sekarang.
“Santai kak. Kakak mau makan ?”
Kak
alvin menggeleng. “Aku mau jalan-jalan, temenin aku mau kan ?”
lanjutnya lagi. Aku hanya mengangguk, menyiapkan kursi roda lalu
membantunya untuk duduk dan turun dari kasurnya.
Hatiku sedikit miris melihat rambutnya yang tebal, rontok menempel di bantal. Tanpa sadar aku terus-terusan melihat itu.
“Kayanya lusa aku mau botakkin rambut aja deh vi, biar enggak ngotor-ngotorin bantal gini” ujarnya menyadarkanku.
“Hah, kakak yakin ?”
“Kenapa ? kamu enggak malu kan kalau aku botak ?”
“Enggaklah
kak, malu kenapa coba ? mau rambut kak alvin kaya apa aja, aku bakal
tetep suka kok” sahutku, sambil diam-diam membayangkan kak alvin dengan
rambut botaknya. Mungkin bakal terlihat aneh, tapi aku tidak akan peduli
dengan itu. Atau malah mungkin dengan begitu, beberapa fans kak alvin
yang kadang suka membuatku cemburu akan menyingkir dengan sendirinya.
“Beneran nih ?” tanyanya lagi setengah menggodaku. Aku langsung mengangguk mantap ke arahnya.
“Iya
deh aku percaya. Lagian kan ada ini..” kak alvin mengeluarkan sebuah
topi rajutan berwarna putih dengan ornamen namanya yang berwarna merah,
hasil buatanku sendiri beberapa minggu yang lalu. “Kan aku jadi bisa
pakai ini. Ganteng kan ?” ia menaik turunkan alisnya, sambil memakai
topi itu, menutupi rambutnya yang menipis.
“Selalu
ganteng, apalagi pakai topi itu, yang bikin aja cantik..” jawabku
bangga, dan ia hanya tertawa sambil mengacak sedikit rambutku.
Pelan-pelan,
aku mulai mendorong kursi rodanya. Aku dan kak alvin sama-sama menebar
senyum kepada setiap dokter dan suster yang kami temui sepanjang koridor
rumah sakit. Satu tahun dengan intensitas dua kali seminggu kemari,
membuat kami layaknya telah menjadi bagian keluarga besar rumah sakit
ini. Aku terus mendorong kursi rodanya, meski tidak saling memberi tahu
satu sama lain, kami berdua sama-sama tahu, kemana tujuan kami.
Di
depan taman kecil, tepat di samping cafetaria rumah sakit, aku berhenti
dan duduk di bangku taman. “Setiap kita kesini, pasti ada bunga yang
layu dan yang mekar..” ujar kak alvin.
Aku
memperhatikan bunga-bunga yang kak alvin maksud, dan benar saja.
Rasanya baru beberapa hari yang lalu, aku melihat bunga kecil berwarna
ungu di sudut taman mekar dengan indahnya, dan kini ia layu, digantikan
dengan bunga berwarna kuning di sudut lain yang beberapa hari lalu masih
berbentuk kuncup.
“Aku enggak pernah merhatiin itu sebelumnya, baru sadar pas kakak bilang”
“Itu
sama aja, kaya waktu manusia. Di rumah sakit ini, hampir tiap jamnya,
ada yang meninggal dan ada yang dilahirin. Berarti Tuhan adil kan..” aku
mulai tahu kemana ia akan membawa obrolan ini.
“Kalau
seorang anak lahir, pasti banyak orang berucap sukur ke Tuhan, tapi
ketika seseorang pergi pasti ada aja orang yang sedikit ‘menggugat’
Tuhan” sahutku sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengah di kedua
tanganku dan menekuknya berbarengan, mengekspresikan tanda kutip.
“Kamu
bener vi, dan aku enggak suka kaya gitu. Aku enggak mau, kamu atau
siapapun nanti, akan menyalahkan Tuhan kalau aku enggak ada. Walaupun
aku enggak suka sama takdir yang Tuhan kasih buat aku, seenggaknya Tuhan
udah membalas itu dengan mengirimkan orang-orang yang terbaik di hidup
aku sekarang..” itu yang aku suka dan selalu aku idolai dari kak alvin.
cara dia menerima dan menjalankan hidupnya, tanpa kata menyerah, selalu
optimis, tapi ia tetap tahu sejauh apa ia menggantungkan harapannya.
“Aku tahu kak..”
“Aku bangga sama kamu vi. Belum tentu cewek lain bisa mikir kaya kamu, kamu hebat..” aku tersenyum mendengar pujiannya.
“Ini
juga gara-gara kakak, aku enggak akan punya pikiran positif kaya gini,
kalau bukan karena kakak yang ngasih aku pandangan-pandangan itu”
“Apa kamu bahagia jadi pacar aku ?”
Aku
tersenyum ke arahnya. Menatap matanya, hingga aku bisa melihat pantulan
mataku di kedua bola matanya. “Selalu bahagia. Aku bahagia, karena
kisah ini enggak kaya kisah orang kebanyakan, aku bahagia, karena kakak
udah bikin kisah ini, cuma jadi kisah kita..”
“Maksud kamu ?”
“Banyak
cerita tentang hubungan yang salah satu pasangannya, sama kaya kakak,
dan mereka banyak ngelaluin itu dengan air mata. Dengan hal-hal aneh,
kaya pasangan yang mau meninggal, nitipin pacarnya ke orang lain, atau
malah kadang dengan sengaja mereka nyakitin pacarnya dengan alasan
enggak mau pacarnya sedih ngelihat dia tersiksa, dan baru deh di
detik-detik terakhir hidupnya mereka balik lagi cuma buat bilang sayang”
jelasku panjang lebar.
Kak alvin tersenyum kecil. “Kamu kebanyakan nonton sinetron sama baca novel nih..”
“Hehe, abis emang gitu sih. Padahal dengan saling melengkapi kaya kita gini, beban bakal terasa jauh lebih mudah kan kak ?”
“Aku emang enggak salah pilih, kamu memang yang terbaik buat aku..”
***
Dari
bangku cadangan, aku melihat kak alvin yang tampak semangat bermain
futsal. Tidak seperti penonton lainnya, aku memang memiliki hak khusus
untuk duduk di bangku cadangan. Sama halnya seperti kak alvin, meski
futsal jelas-jelas sangat membahayakan kesehatannya, tapi ia memiliki
hak bermain selama lima belas menit setiap pertandingan.
Pak
aris, pelatih futsal di sekolah kami, memperhatikan stop watchnya, dan
beberapa detik kemudian langsung memerintahkan pergantian pemain. Hatiku
bergetar, ketika para penonton memberikan standing applause saat kak
alvin meninggalkan lapangan diikuti juga oleh pemain lain dan tentu saja
aku. Padahal di pertandingan ini, kak alvin hanya memberikan assist
untuk sebuah gol indah yang berhasil di cetak oleh kak rio. Kak alvin
berdiri sejenak, memandangi seluruh stadion, dan bertepuk tangan untuk
mengucapkan rasa terimakasihnya, aku tahu, bagaimana perasaan kak alvin
sekarang, ini adalah pertandingan terakhirnya.
Aku
langsung menyodorkan handuk dan sebotol minuman kepadanya. Tidak lupa
aku memeriksa suhu tubuhnya, dan mengangsurkan obat penghilang rasa
sakitnya.
“Kakak
pasti sedih ya ?” tanyaku pelan. Ia menghela nafasnya sejenak, lalu
sambil terus memperhatikan pertandingan, ia mulai menjawab pertanyaanku.
“Tadinya
aku pengen bisa nyetak gol di pertandingan ini vi. Kamu tahu kan, aku
udah main bola dari kecil, dan hari ini mau enggak mau, aku harus mulai
melepas ini. Berat banget, tapi bukan berarti aku enggak bisa kan ? ini
semua demi kebaikanku, dan walaupun aku enggak bisa nyetak gol di
pertandingan ini, seenggaknya aku tadi masih bisa buktiin, kalau seorang
yang kena kanker otak stadium akhir bisa juga berguna di sebuah tim”
aku meraih tangannya, mendekapkan jariku di jarinya.
“Buat
aku, kakak selalu hebat. Enggak peduli kakak nyetak gol atau enggak,
permainan kakak tadi udah keren banget buat aku. Aku bangga”
“Makasih..” aku membalasnya dengan senyum, dan kemudian ikut larut menikmati pertandingan bola ini bersamanya.
***
Rasanya
aku ingin menangis saat ini. Ketakutan yang telah mengintaiku sejak
lama itu, akhirnya datang juga, perlahan mengendap dibelakangku dan
mengagetkanku dengan tiba-tiba. Kak alvin pingsan sejak kemarin sore dan
hingga hari ini ia belum juga sadarkan diri. Meski aku berusaha
mengingat segala macam perbincangan kami, tentang bila ini terjadi,
ternyata tidak semudah itu melaluinya. Ternyata air mataku tetap saja
berproduksi sendiri dan memaksa ingin mengalir.
Aku
menggenggam tangannya. Kata dokter, kondisinya terus melemah. Orang tua
kak alvin juga sudah pasrah dengan semua kemungkinan, dan akupun
begitu. Hanya saja aku sedikit tidak rela, bila ia pergi tanpa memberiku
kesempatan untuk menatap matanya sejenak. Entah itu hanya sedetik, tapi
aku ingin.
Hujan
yang turun sejak tadi pagi, perlahan mulai mereda. Meninggalkan
rintiknya yang tinggal satu-satu. Dan sebentar lagi pasti ada pelangi.
Tidak tahu ini muluk atau tidak, tapi aku ingin melihat pelangi ini,
bersama kak alvin, seperti biasa, meski kali ini, mungkin untuk yang
terakhir kalinya.
Tiba-tiba tangannya yang aku genggam bergerak-gerak, aku langsung mendekatkan wajahku ke arahnya. “Kak..kak alvin..” panggilku.
Matanya
terbuka, senyum tipis terpoles di bibirnya yang kali ini berwarna
putih, tidak merah seperti biasanya. Aku menekan bel beberapa kali, dan
dokter langsung datang untuk memeriksa keadaannya. Aku menunggu sendiri
diluar ruangan. Kedua orang tua kak alvin masih dalam perjalanan kemari
setelah semalam juga menginap disini. Sesekali aku mengintip dari celah
kaca pintu, ingin tahu bagaimana keadaannya, bagaimana keadaaan
pangeranku.
Aku masih berdiri di depan pintu ketika dokter keluar. “Gimana dok keadaan kak alvin ?”
“Keadaannya
membaik, kondisinya tiba-tiba menjadi stabil, dan semoga tidak kembali
turun. Dia bilang, dia meminta kamu untuk menemaninya jalan-jalan”
“Apa boleh dok ?”
“Sebentar
saja ya via, paksa dia untuk kembali ke kamar bila sudah setengah jam”
aku mengangguk dengan senyum sumringah. Dan langsung menghambur masuk ke
dalam untuk menemui kak alvin.
Seperti biasa, aku mulai mendorong kursi rodanya. “Mau jalan kemana kak ?” tanyaku, tidak seperti biasanya.
“Mau
nemenin kamu lihat pelangi, tadi habis hujan kan ?” aku sedikit
terkejut. Pertama, darimana kak alvin tahu tadi hujan ? dan kedua, ia
masih saja memikirkan kesenanganku di saat-saat seperti ini.
Di
taman yang memang selalu kami datangi, aku memberhentikan kursi
rodanya. Dan duduk disampingnya, masih seperti biasa. Hanya saja, untuk
kali ini, mengingat keadaannya, aku tidak berhenti tepat di
tengah-tengah taman, aku memilih untuk duduk di teras rumah sakit. Toh
dari sini nanti pelangi itu akan tetap terlihat.
“Via, boleh aku minta sesuatu sama kamu ?”
“Apa kak ?”
“Aku
juga mau duduk disitu, tepat disamping kamu, bukan dikursi berbeda kaya
gini” aku mengerutkan keningku, tumben ia mempermasalahkan hal sepele
ini. Tapi aku tetap menurutinya, dengan hati-hati, aku membantunya untuk
berdiri dan duduk di kursi dimana aku duduk tadi. Setelah itu, dengan
tangannya, ia membuat aku bersandar di tubuhnya.
Dengan
posisi seperti ini, aku bisa merasakan tubuhnya yang mulai menyusut dan
meninggalkan tulang-tulang yang menonjol juga cekung matanya yang
terlihat dalam. Penyakit ini memang telah membunuhnya pelan-pelan.
Untung tidak membunuh semangatnya juga.
“Pelanginya udah muncul..” tunjuknya, meski tanpa begitupun aku bisa melihatnya sendiri.
“Selalu bagus kaya biasanya” timpalku.
“Kenapa kamu suka pelangi ?”
“Bukannya kakak udah pernah nanya itu ?” tanyaku balik.
“Setelah
aku pikir-pikir, pelangi itu memang indah kaya yang apa kamu bilang,
tapi keindahannya cuma sesaat kan, enggak abadi, enggak sejati”
“Bener sih apa yang kakak bilang, tapi aku bakal tetap suka sama pelangi..”
“Tapi aku enggak mau jadi pelangi buat kamu”
“Kenapa ?”
“Aku enggak mau cuma jadi yang sesaat yang buat kamu. Aku lebih suka menjadi sejuta rinai hujan untuk kamu”
“Sejuta rinai hujan ?”
“Iya,
sejuta air hujan yang turun ke bumi. Karena tanpanya, pelangi enggak
akan muncul. Aku enggak akan maksa kamu untuk lebih menyukai hujan
ketimbang pelangi. Aku hujan dan kamu pelangi. Saat kamu menginginkan
keindahan itu, mau enggak mau, kamu harus menginginkan aku, dan itu
artinya, akulah orang yang akan selalu mengantarkan kebahagiaan pelangi
untuk kamu, dimanapun aku berada..”
Aku
tertegun sejenak. Ada yang mengganjal dalam hatiku, meski takut, tapi
aku merasa ini layaknya sebuah kalimat perpisahan. Aku tidak membalas
kata-katanya, kak alvin juga terdiam. Aku lebih memilih untuk terus
menyenderkan kepalaku di badannya.
Kesunyian
ini meliputi kami. Untuk kali ini, aku mengacuhkan pelangi. Aku lebih
menikmati saat –saat degup jantung kak alvin masih terasa jelas
ditelingaku. Entahlah, tapi ada suara, yang menggema dengan sendirinya,
layaknya mengantarkan sebuah rahasia kecil, bahwa saat yang paling
menyakitkan itu mungkin akan segera datang, dan aku harus memperkokoh
ketegaranku sekarang.
“Aku punya satu impian kecil vi..” ujarnya pelan.
“Apa ?”
“Meninggalkan
kamu saat seperti ini. Saat kamu bersandar ke aku, saat aku melihat
senyum kamu karena pelangi, saat aku yakin kamu telah benar-benar paham,
bahwa air mata tidak diciptakan untuk perpisahan yang begitu damai”
lagi-lagi aku tidak menjawab.
Aku
terus memilih untuk menikmati detik ini. Menikmati menghirup aroma
tubuhnya yang khas, menikmati ada di dekapannya yang terasa aman,
menikmati pancaran sayangnya tanpa perlu ada kata sayang yang terlontar.
Sekilas
aku melirik ke arah pelangi. Dan aku baru sadar, ia sudah hilang. Entah
kapan, tapi pelangi telah lenyap. Dan rintik hujan, kembali turun
perlahan.
“Kak, kita ke kamr ya ?” tanyaku.
“Sebentar
lagi vi, aku mau menikmati bau rumput sehabis hujan” aku menurutinya.
Aku kembali menyandarkan kepalaku di dadanya. Dan saat itu datang. Tidak
dengan tiba-tiba, tapi cukup teratur. Degup jantung kak alvin mulai
terasa satu-satu, begitupun dengan nafasnya. Tapi entahlah, seolah
permintaan kak alvin tadi, bagai permintaan terakhirnya yang harus aku
turuti.
Dua
puluh detik kemudian, semua terasa berhenti. Aku tahu, ia telah pergi.
Dan aku tidak bisa menariknya lagi. Tidak bisa lagi menemukannya di
lapangan bola, tidak bisa lagi menemukannya di samping rumahku, tidak
bisa lagi menemukannya di sekolah. Ia telah benar-benar pergi.
Dan
hujan mulai menderas. Tapi tidak air mataku. Aku malah hanya memeluknya
erat, karena aku tahu, ini yang terakhir, meski tubuhnya sudah lagi tak
berjiwa. Ia telah berubah menjadi hujan, sama seperti apa yang ia
bilang tadi, ia adalah sejuta rinai hujan, dan itu artinya ia sedang
mengawasiku saat ini, dengan begitu aku tidak boleh menangis, aku tidak
mau membuatnya kecewa.
Sebentar
lagi, bahkan raganya pun tak dapat aku sentuh seperti ini. jadi tolong
ijinkan aku menikmati ini sejenak lagi. Tidak, aku tidak akan menjadi
egois, aku telah belajar ikhlas dari jauh-jauh hari. Aku telah
melepasnya dengan senyum, dan sekali lagi, aku bangga.
Ternyata
hujan kali ini tidak begitu lama. Mungkin ia belum terbiasa jadi hujan,
tenang saja, aku maklum. Aku juga mengerti, bila kali ini ia belum bisa
membawakan pelangi. Tapi aku akan tunggu itu, di waktu hujan yang lain.
“Kak, bau rumputnya udah kecium kan ? sekarang kita kembali ke kamar ya” bisikku tepat di telinganya.
Komentar
Posting Komentar