Tak Terucap (cerpen)
Rintik
hujan membasahi bumi perlahan, dengan alurnya yang selalu sama, ia
selalu berhasil membuat setiap sudut kota basah olehnya.
Mungkin
sama seperti dirinya. Dengan caranya yang sama, ia selalu saja bisa,
bisa membuat aku berlinang air mata, bisa membuat aku mengalirkan
rinai-rinai kepedihan yang aku benci. Yang aku benci.
Tangis
tentangnya, bukan tentang cinta yang berhenti ditengah jalan dan lantas
terlupa. Air mata selalu jatuh untuk segala penyesalan, untuk
kebodohan, untuk kesalahanku. Salahku atas dirinya dan diriku. Salahku,
menumpahkan pekat di atas kenangan kita, di lembar cerita kita.
Mataku
masih menatap air yang terus luruh dari langit-langit di atas sana.
Memandanginya dalam diam dari balik jendela kamar, merenunginya, melihat
sosok yang ku sakiti di dalam bulir airnya. Aku mendesah, merutuki
diriku sendiri, mentertawai diriku yang masih merasa bersalah namun tak
pernah meminta maaf padanya.
Minta maaf ?
Aku
bahkan telah lari dari semuanya dan tidak mengerti ada dimana ia
sekarang. Aku pergi begitu saja. Pergi, yang saat itu ku pikir adalah
yang terbaik dan satu-satunya cara untuk membuat segalanya kembali. Tapi
sepertinya aku salah.
Apapun alasannya, orang yang lari dari masalah, tetaplah seorang pengecut kan. Dan itu aku.
***
Entahlah
telah untuk keberapa kalinya aku menghela napas dalam waktu dua puluh
menit ini, yang jelas sejak mobilku keluar dari area parkir mall yang
bahkan halaman gedungnya masih belum juga aku lewati dan langsung
menyatu dengan kepungan berbagai kendaraan lainnya, hela napas putus asa
itu tiada henti ku lakukan. Selalu seperti ini, Jakarta, sesak sekali
dirimu !
Aku
mengetuk-ngetukkan jari jemariku di stir, berusaha menyalurkan rasa
penat yang mulai menguras jiwa. Sesekali aku memperhatikan kanan dan
kiri mobilku, menatap pengemudi lain yang tampaknya sama mengenaskannya
seperti aku, baiklah itu terlalu berlebihan, tapi mengingat kemacetan
tidak berujung ini, rasanya kata itu pantas aku gunakan.
Kedua
bola mataku tertumbu pada sebuah metromini berwarna oranye menyala
dengan cat yang sudah terkelupas disana-sini. Tentu saja tidak ada yang
menarik dari besi tua berisi puluhan tubuh manusia yang berjejalan
dengan paksa di dalamnya, hanya saja, kendaraan itu seperti kereta waktu
yang mengajakku untuk mengingat sebuah masa.
*
Sudah
lebih dari lima menit aku berdiri di pinggir jalan ini, namun metromini
dengan jurusan yang aku tunggu belum juga lewat, untung matahari mulai
tergelincir perlahan kembali ke peraduannya, membuat sore ini tidak
terlalu terik, tapi tetap saja aku benci menunggu.
“Buruan gih..”
“Eh tapi..”
“Udah cepetan, cupu ah lo..”
Aku
menoleh, melihat kasak-kusuk dua orang laki-laki yang juga masih
mengenakan seragam sekolah sama sepertiku, hanya saja mereka berasal
dari sekolah yang berbeda denganku. Aku tidak mengerti apa yang ingin
mereka lakukan, yang jelas, salah satu anak laki-laki itu, yang
menggunakan jaket ala pemain softball mendorong-dorong temannya untuk
mendekat ke arahku.
Jujur
saja, aku risih melihatnya. Apalagi aku merasa yakin, bahwa akulah
objek yang ingin mereka berdua dekati. Mencari aman, ku putuskan untuk
menyingkir beberapa langkah dari mereka berdua.
“Tuh kan anaknya pergi, cepetan makanya !” salak si laki-laki berjaket, mendelik ke arah temannya, masih terus mendorong.
“Balik aja yuk” tolak temannya itu, mencoba untuk melawan.
“Eits, enggak bisa ! kemarin elo udah nyerah, masa sekarang lagi !”
Mereka
berdua masih terus saja beradu argumen, yang sialnya sampai ke
telingaku dan tambah membuatku bingung juga takut. Aku langsung bernapas
lega ketika ku lihat metromini yang ku tunggu sejak tadi akhirnya
terlihat juga, buru-buru ku lambaikan tanganku untuk memberhentikannya,
dan ketika akhirnya benda oranye itu berhenti di hadapanku segera aku
naik dan menyelinap mencari tempat yang kosong.
Jam-jam
segini, memang membutuhkan keberuntungan besar untuk bisa mandapatkan
tempat duduk di dalam metromini, dan sepertinya keberuntungan itu belum
berpihak padaku. Aku memutuskan untuk berdiri di dekat jendela yang
terbuka lebar, setidaknya dengan begini aku bisa bernapas tanpa harus
menghirup bau-bau tidak menyenangkan dari keringat orang lain.
Sekilas
aku jadi memikirkan tentang dua laki-laki yang tidak jelas perangainya
tadi, untung saja aku cepat-cepat naik jadi bisa menghindar dari mereka
berdua.
“Err...sori,
boleh kenalan enggak ?” aku menoleh, dan benar-benar terkejut
dibuatnya. Laki-laki yang tadi terus menerus di dorong temannya itu,
kini sedang berdiri di sebelahku dan menyodorkan tangannya ke arahku.
“Hah ?” tanyaku bodoh, masih kaget akan kehadirannya.
“Hehe..gue
bikin kaget ya ? atau bikin lo enggak nyaman ? maaf ya, maaf banget,
cuma mau kenalan doang kok..” ujarnya santai, penuh senyum dan masih
menyodorkan tangannya. “Oh ya, gue Alvin, lo siapa ?”
“Ehm..gue Alyssa, tapi lo bisa panggil gue Ify” sahutku akhirnya, membalas uluran tangannya.
“Kok bisa ?” tanyanya, pertanyaan yang membuatku bingung.
“Apanya yang kok bisa ?” tanyaku balik.
“Itu, Alyssa kok bisa jadi Ify ?”
“Oh
hehe, enggak tahu juga, panggilan dari kecil” jawabku tidak mau
repot-repot menerangkan. Lagipula kita kan baru saja kenal, dengan cara
yang aneh pula. Aku memperhatikan laki-laki di depanku ini, masih tidak
mengerti kenapa ia bisa mengejarku hingga ke dalam metromini. Reflek aku
melihat sekitarnya, mencari temannya yang tadi.
“Nyari siapa ?” ia ikutan celingukan sepertiku.
“Temen lo yang tadi mana ?”
“Rio ? dia enggak ikut, hehe, gue sendirian..”
Aku
hanya mengangguk-anggukkan kepalaku, tidak mengerti harus menjawab apa.
Untuk beberapa saat, kami saling diam, aku lebih memilih untuk
memandang ke arah luar jendela, entahlah apa yang ia lakukan, aku tidak
peduli.
“Gue udah mau turun, lo turun dimana ?” tanyaku padanya, ketika metromini telah dekat dengan jalan menuju komplek rumahku.
Dia
menggaruk belakang kepalanya, dan menatapku sambil memberikan
cengirannya. “Err..sebenernya, rumah gue enggak ke arah sini, gue ikut
naik ini cuma biar bisa kenalan sama lo doang..”
Lagi-lagi
aku dibuat kaget akan ulahnya. Sehingga aku hanya bisa tersenyum tanpa
arti ke arahnya. Benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirannya.
Dan ternyata, memang tidak akan pernah bisa mengerti.
*
Linglung,
aku menatap taman kota yang ada di hadapanku, bagaimana bisa aku
menyetir hingga kemari ? Rasanya beberapa jam yang lalu, aku masih
terjebak di dalam kemacetan tiada tara yang membuahkan keputusasaan itu.
Apakah
karena sepanjang jalan tadi aku terus-menerus mengingat tentangnya.
Tentang dia, yang tiba-tiba hadir, dengan caranya yang tak biasa. Aku
masih mengingat, sore itu ia ikut aku turun dan kemudian ia kembali naik
metromini dengan nomor jurusan yang sama ke arah yang berlawanan. Ia
benar-benar aneh kan.
Ah, Alvin, ada dimana kamu sekarang ?
Sejak
hari itu, aku, dia, dan juga Rio sahabatnya jadi sering bersama-sama di
tempat les kami. Tempat dimana kuas pertama tentang kisah kita bertiga
di torehkan. Sama halnya dengan taman di depanku ini, disini, pernah ada
tawa, cerita, bahagia bahkan tangis serta darah yang tertumpah.
Aku mematikan mesin mobilku, beranjak turun, dan mendatangi taman itu secara langsung. Pendar lampu yang berwarna kebiruan cukup untuk menerangi taman yang mulai menggelap karena awan yang mulai menghitam.
Tidak
ada yang berubah. Bangku kayu berwarna coklat itu masih ada disana,
tepat di bawah lampu. Pepohonan dengan lingkar batang yang besar dan
tampak gagah menjulang juga masih berjajar di sepanjang taman,
memberikan keteduhan bila siang hari panas matahari menyengat. Dan yang
membuat aku tersenyum lirih, adalah ayunan sederhana dari sebilah papan
yang diikat dengan tali tambang ke ranting pohon mangga di sudut taman.
Ayunan
yang tak bernyawa, namun terbuat oleh padu padan jiwa kami bertiga di
suatu sore cerah di bulan september yang berangin. Aku yang dulu selalu
duduk disana, dan lantas mereka berdua mengayunkannya, terus
mengayunkannya untukku.
“Ify ?” suara bass yang masih ku kenali, yang masih sama, hanya terdengar sedikit lebih dewasa.
Aku
tersenyum sendiri, bahkan sebelum aku berputar badan dan menatapnya,
kebetulan sekali jika tiba-tiba ada yang lain selain aku disini. “Hai
Rio..” sapaku padanya. Dan benar saja, ia tidak begitu berubah banyak,
hanya gaya rambutnya dan tubuhnya yang jadi bertambah tinggi saja.
Ia
juga tersenyum, untuk beberapa detik kami saling bertatapan. Pernah ada
yang tumbuh karena mata ini tidak kunjung beralih, namun sepertinya
keledai pun lebih pintar dari kami. Aku ataupun dia tidak ada yang
memulai untuk berhenti menatap, sebaliknya, kami justru terus menyelami
bayang mata kami masing-masing, bayang masa lalu yang ternyata, masih
sama-sama tergambar jelas.
“Mata tidak pernah berbohong..”
Tiba-tiba
saja sebaris kalimat melayang dalam pikiranku, dan menyentakku untuk
mengakhiri ini, aku langsung saja mengalihkan mataku, menatap tanah,
menatap ujung sepatu yang baru ku sadari tampak kotor.
“Kamu apa kabar Fy ? kok bisa ada disini ?” terdengar sedikit aneh. Rasanya formal sekali ia menggunakan ‘aku’ dan ‘kamu’.
Aku
kembali mengangkat wajahku, kembali tersenyum ke arahnya. “ Aku baik.
Entahlah, aku lagi nyetir, ngelamun, dan pas aku sadar, aku udah ada
disini” jawabku jujur. “Dan kamu ? kenapa kamu ada disini ?”
“Hampir tiap malam, selama dua tahun ini, aku selalu kesini kok, kebetulan aja malam ini ketemu kamu”
Dua
tahun. Jadi dua tahun sudah, masalah itu kutinggalkan tanpa ujung yang
pasti, dan kini entah bagaimana, salah satu pemerannya selain aku sedang
berdiri di depanku, hanya beberapa langkah dari tempatku, dan harus ku
akui kami canggung. Tidak seperti dulu. Tidak seperti dua tahun lalu.
Tidak seperti ketika kami masih bertiga.
Bertiga ?
Masih
ada satu yang tersisa. Dan haruskah kutanyakan kepada sosok di depanku
ini, dimanakah Alvin saat ini ? akankah ia menjawab pertanyaanku ?
sudahkah mereka kembali seperti dulu ?
“Kok diam Fy ? ada yang salah ?”
“Eh, enggak kok..ehm..Yo..aku..”
“Kenapa
?” potongnya ketika aku tak kunjung menyelesaikan kalimatku. “Fy, kamu
enggak capai apa kalau kita ngobrol sambil berdiri gini ? gimana kalau
kita duduk aja..” ajaknya, yang ku terima dengan mengikutinya menuju
bangku kayu itu.
Sudah
lama rasanya aku tidak duduk disini. Tentunya duduk disini, tidak ada
bedanya dengan duduk di bangku lain, hanya saja, kadang kenangan membuat
sesuatu menjadi lebih indah meski juga menyakitkan.
“Udah dua tahun, udah banyak yang berubah ya Fy. Kamu kuliah dimana sekarang ? sekarang bawaannya udah mobil nih..”
Bila
tadi ku bilang, Rio tidak begitu berubah banyak, sepertinya aku harus
meralat kata-kataku. Ia berubah, amat berubah. Sosoknya menjadi terlalu
sopan, terlalu bukan dirinya yang aku kenal, ini bukan Rio yang dulu
mampu membuatku tertawa terpingkal-pingkal, ini bukan Rio yang cuek dan
semaunya. Dan apakah salahku, juga turut andil dalam perubahannya ?
“Aku
kira kamu udah lupa sama tempat ini” ujarnya lagi, masih terus
berbicara sendiri, meski daritadi belum ku respon, atau lebih tepatnya
belum sempat ku respon. “Disini ada banyak kenangan ya Fy, dari yang
manis sampai yang pahit..”
Saat
mengucapkan kata pahit, senyumnya memudar, membuatku kikuk. Jangan
malam ini, jangan sekarang jika ingin membuka semuanya. Aku belum siap.
Lidahku akan kelu dan aku akan menjadi pecundang lagi nantinya.
“Oh ya tadi kamu mau bilang apa ?”
Hasratku
untuk bertanya tentang keberadaan Alvin telah menguap seiring pudar
senyumnya tadi. “Enggak, aku sendiri lupa mau nanya apa..hehehe..” aku
melirik jam tanganku, sepertinya lebih lama ada disini tidak akan
menghasilkan suasana yang lebih baik. “Rio, aku pulang duluan ya, udah
malem juga..”
“Eh iya, kamu enggak masalah kan nyetir malem-malem sendirian ?”
“Santai
yo, aku udah biasa kok, duluan ya” setelah mengangguk sambil tersenyum
ke arahnya, aku segera bergegas untuk kembali ke mobilku.
“Ify !”
Aku berbalik lagi, melihatnya yang baru saja memanggilku. “Kenapa Yo ?”
“Besok ada acara ? bisa kita ketemuan disini, jam sepuluhan ?”
Aku
bepikir sejenak, besok aku merasa tidak mempunyai janji dengan siapapun
dan aku masih dalam masa libur semesteran. “Bisa kok, besok jam sepuluh
disini..” ulangku menegaskan, dan ia hanya mengangguk. Aku sendiri
langsung kembali ke dalam mobil.
Di
mobil, sebelum benar-benar beranjak pergi, masih ku saksikan Rio duduk
sendiri di bangku taman itu, entah apa yang ia lakukan. Tapi mungkin ia
sama denganku. Dalam kisah ini, bukan hanya aku yang jadi antagonis,
tapi juga dirinya. Dan ia tampak benar-benar membuang dirinya yang dua
tahun lalu ku kenal, atau apakah aku juga telah membuang diriku yang dua
tahun lalu dikenalnya ? entahlah.
***
Ini
masih pukul sembilan. Tapi aku sudah ada disini, bukan karena aku tidak
bisa membaca waktu. Namun entahlah, sejak pertemuan semalam, aku jadi
teringat semuanya. Dan rasa salah yang terus menggentayangiku tiap malam
itu menjadi sebuah himpitan menyesakkan yang aku rasa harus segera ku
tuntaskan. Aku yang memang ingin tiba lebih awal, ingin menggali setiap
sudut taman ini, menyeroki setiap kenangan yang ku jatuhkan ke atas
tanahnya.
Aku
duduk di atas ayunan, menggenggam tambangnya dengan tangan kananku dan
tersenyum lirih. Tambang yang terasa kasar di telapak itu, guguran daun
mangga yang berserakan di bawah kakiku, semilir angin pagi yang
menerbangkan beberapa helai rambut, tiba-tiba saja aku merasa hampa.
Sepi.
Di dalam sini, di hati ini. Pernahkah kamu merasa bersalah, merasa kamu
salah, tahu bahwa kamu salah, namun tak pernah mengucap kata maaf.
Dan
rasanya sesak. itu yang aku rasa. Ya, aku harus minta maaf padanya.
Untuk segala yang ku hancurkan, untuk semua rasa percaya yang ku
patahkan berkeping-keping.
*
Sudah
lebih dari satu bulan berlalu, sejak Alvin mengikutiku hingga ke dalam
metromini waktu itu. Dan kini, kami berteman dekat, tanpa alasan khusus,
aku hanya merasa nyaman atas segala perhatiannya dan caranya yang
dewasa memperlakukanku.
Tentu
saja aku tidak sebodoh itu. Aku jelas-jelas tahu, bahwa ia menaruh hati
untukku, lagipula ia sendiri pernah mengakuinya meski hanya sekilas.
Hanya saja, semakin mengenal tentangnya, aku malah semakin mengaguminya,
mengagumi ketegarannya, kedewasaannya, pola pikirnya, aku mengaguminya
layaknya seorang adik ke kakak laki-laki.
Ia
terlihat terlalu sempurna. Terlalu baik untukku, yang pernah
menelponnya tengah malam hanya untuk bercerita panjang lebar sambil
berurai air mata tentang mantanku, yang saat itu masih aku sayang. Ia
juga terlalu sabar, terlalu pintar, terlalu pengertian..yaa dia seperti
malaikat dimataku. Demi apapun, tak dapat ku temukan cela dalam dirinya.
Alvin,
seorang kapten basket, sang juara kelas, dan sosok yang amat sangat
menyenangkan. Ahh, dan satu lagi, ia adalah pribadi yang sangat jujur.
Aku masih ingat, ketika akhirnya kami mulai ngobrol, ia memulainya
dengan sebuah kalimat yang menyentakku namun juga langsung membuatku
kagum terhadapnya.
“Gue
anak broken home Fy, tapi gue bakalan buktiin ke semua orang termasuk
elo kalau anak broken itu enggak selalu buruk, enggak selalu hancur. Lo
enggak perlu khawatir buat temenan sama gue..”
Ya,
aku masih mengingat kalimatnya yang itu, kalimat yang membuatku
mengernyitkan kening. Tapi memang dia membuktikannya. Bersama sahabat
karibnya Rio, ia selalu bisa membuatku nyaman ada di tengah-tengah
mereka berdua.
“Wee..kok
ngelamun Fy..” panjang umur, laki-laki yang baru ku puji habis-habisan
dalam benakku barusan, duduk di sebelahku saat ini. “Nih, haus kan ?”
Ia
menyodorkan sekaleng minuman bersoda dingin yang menggiurkan, yang
segera ku terima dengan cengiran lebar. “Thanks Vin, mana Rio ?”
“Ada kok nanti nyusul”
Aku
hanya menganggukkan kepalaku. Setiap pulang sekolah, kami bertiga
selalu menyempatkan untuk bertemu di taman ini. Aktivitas biasa yang
sedikit aneh mungkin, tapi aku selalu merasa senang bila bertemu mereka
berdua.
Sambil
meminum minuman yang ada ditanganku, gerik mataku memperhatikan sosok
Alvin. dan aku bisa melihat itu, bisa melihat lebam kebiruan di ujung
bibirnya. Reflek, ku angkat tanganku, menyentuh luka itu.
“Kenapa Vin ?”
Dia tersenyum, lantas menyingkirkan tanganku dengan lembut. “Biasalah Fy, bokap gue..”
“Kenapa
sih ? elo bisa lapor ke komnas anak Vin, ini kdrt namanya !” rutukku
sewot. Ini bukan pertama kalinya ia seperti ini. Bahkan pernah ada yang
lebih parah. Dan aku paling tidak bisa mentolerir yang namanya
kekerasan.
“Lapor ? anak durhaka macem apa gue Fy kalau sampai ngelaporin bokap gue sendiri” sahutnya santai.
“Vin,
maaf ya, tapi bokap macem apa yang main tangan sama anaknya sendiri”
balasku tak mau kalah, meski sudah sering kami berargumen tentang
masalah ini.
“Lo
peduli sama gue ? makasih Fy. Gue yakin kok bokap gue sayang sama
gue..” tanpa beban dan seolah memang tak ada masalah. Alvin hanya
tersenyum dan tentu saja akan mementahkan segala cercaanku tentang
papanya, yang memang aku benci itu.
Terbuat
dari apa sih hati manusia di sebelahku ini, gerutuku dalam hati.
Bisa-bisanya dia hanya menerima dengan pasrah hal seperti itu. Kenapa
dia tidak memberontak saja seperti tokoh-tokoh utama novel yang sering
aku baca. Kenapa dia tetap jadi anak baik-baik yang selalu membanggakan
orang tuanya bahkan ketika keberadaannya tidak lagi dihargai layaknya
seorang anak.
“Hei, kok jadi elo yang cemberut gitu sih Fy, gue baik-baik aja kok” ujarnya sambil mengibaskan tangannya di hadapanku.
“Fiuuuhhh..”
aku menghembuskan napasku, menghilangkan segala gondok yang tadi
terlanjur bersarang. “Sini gue kompresin..” aku menempelkan kaleng
minuman dingin itu ke bagian bibirnya yang lebam. Alvin agak meringis
sedikit dan aku hanya tersenyum kecil.
“Memang gue enggak salah ya sayang sama cewek seperhatian elo”
“Gombal” sahutku tanpa basa-basi, membuatnya terkikik.
“Bodo amat deh di anggap gombal juga, yang penting gue jujur, gue sayang sama elo”
“Haha..iya deh..”
“Iya deh apa nih ?”
“Iya
gue tahu elo sayang sama gue, dari awal juga tahu kok” jawabku
biasa-biasa saja. Sebiasa seperti sebelum-sebelum ini, ketika kita juga
membahas obrolan yang sama.
“Huu..iya nih sedih ya jadi gue, ditolak mulu..hahaha..”
“Elo sih enggak pernah tegas” dari belakang kami, Rio menimpali tiba-tiba. Entahlah darimana dirinya.
“Kok
elo baru nongol Yo ? itu ngapain bawa-bawa kayu sama tambang ?” tanyaku
bingung melihat tentengan Rio yang agak tidak biasa.
“Tanya nih sama pangeran lo yang udah nyuruh-nyuruh gue” tukas Rio asal sambil mengendikkan dagunya ke arah Alvin.
“Apaan sih Vin ?”
“Hehe..inget
enggak sih Fy, waktu elo bilang kalau taman ini terlalu kosong, terus
elo ngekhayal seandainya aja ada ayunan disini, jadi ya gue pikir kenapa
enggak kalau kita wujudin khayalan lo”
“Kita mau bikin ayunan ? dimana ?” aku langsung saja bersemangat, seperti anak kecil yang ingin dibelikan mainan.
“Enaknya dimana ya..” Rio menimpali sambil melihat sekeliling taman, mencari tempat yang sesuai.
“Disana
aja gimana ?” usul Alvin sambil menunjuk sebuah pohon mangga yang
rantingnya tidak terlalu rendah dan bisa di capai. Pilihan yang tepat ku
rasa.
“Iya
disana aja, ayoo !” ajakku bergegas mendahului mereka menuju pohon
mangga itu. Dan sore itupun kami habiskan untuk membuat ayunan
sederhana. Meninggalkan jejak kami disana.
*
Lagi-lagi
aku teringat masa-masa yang telah lewat. Dengan perlahan ku ayunkan
ayunan itu sambil menjejakkan kakiku di tanah. Dulu aku tidak perlu
sesusah ini. Dulu Alvin selalu siap membantuku untuk mendorong ayunan
itu. Dulu. Ya, itu dulu.
Tiba-tiba
ayunan itu terdorong lebih kencang ke depan, ketika ku tengokkan
kepalaku, benar saja, Rio sudah berdiri di belakangku sambil tersenyum.
“Udah lama Fy disini ?”
“Enggak juga kok..” kilahku sedikit berbohong. “Jadi, kenapa Yo kamu ngajak aku ketemuan disini ?”
“Kita pindah kesana aja yuk Fy, enggak apa-apa kan main ayunannya udahan dulu ?”
“Haha, enggak apa-apalah, ayo..”
Aku
baru sadar Rio membawa sebuah kotak kaleng persegi panjang berwarna
biru tua di tangannya ketika kami berjalan beriringan menuju bangku kayu
ditengah taman. Dan sesuai dugaanku, kotak itu memang sepertinya
sengaja ia bawa untuk aku, karena begitu kami duduk, ia langsung
menyodorkan kotak itu ke arahku.
Dengan
perlahan aku membukanya, di langit-langit bagian tutupnya, ku temukan
ukiran huruf A dan M, yang aku rasa mewakili Alvin dan Mario. Benda
paling atas yang menyembul adalah sebuah foto dengan warna yang hampir
kecoklatan, terlihat dua bocah cilik ada disana, tertawa memamerkan dua
gigi mereka yang baru tumbuh.
“Ini siapa ?” tanyaku sambil tersenyum ke arah Rio.
“Yang ini aku kalau yang itu Alvin” tunjuk Rio ke arah gambar itu.
“Kalian
berdua lucu banget waktu kecil..” puas memandangi foto itu, aku beralih
pada benda lain yang ada di dalam kotak tersebut. Aku tertarik pada
sebuah kartu bergambar bintang yang ku kenali.
“Ini...”
“Kartu ucapan dari kamu buat Alvin” sahut Rio.
Rio
benar, ini kartu ucapan dariku, aku masih mengingat isinya yang
sederhana. Hanya sebaris kalimat ‘get well soon Alvin..’ yang kutambah
dengan bonus tanda tanganku. Kartu yang ku selipkan di sekeranjang
buah-buahan ketika aku menjenguknya di sebuah sabtu yang mendung.
*
Memasuki
bulan ketiga aku mengenalnya. Dan akhirnya aku mengakui bahwa memang
tidak ada manusia yang sempurna, begitu juga Alvin. Ia seorang pengidap
asma, tapi tetap saja di mataku, penyakit bukanlah halangan untukku
tetap menganggapnya sempurna. Toh, hanya asma kan.
Aku
baru mengetahui tentang penyakit itu, ketika Rio mengirimkan sebuah
pesan singkat padaku bahwa Alvin di rawat di sebuah rumah sakit dan
memintaku untuk datang. Dan disinilah aku saat ini, di lobby rumah sakit
ini dengan sekeranjang buah di tanganku, siap untuk melihat kondisi
Alvin.
“Hai Fy, ayo ke atas” ajak Rio yang memang ku suruh untuk menemuiku di bawah.
“Di kamarnya Alvin ada siapa Yo ?”
“Cuma ada gue sama dia, kalau lo datang pagian bisa deh elo ketemu sama bokapnya”
“Ih, untung gue enggak ketemu, bisa sewot sendiri gue kalau ketemu sama bokapnya Alvin”
“Haha
iyaa, lo bener, gue juga enggak suka, toss..” Rio mengajakku bertoss
ria, tanpa mempedulikan suasana di sekitar kami yang memerlukan
ketenangan. Tapi ya, aku juga menyahuti tangannya. Aku dan Rio memang
sama-sama frontal bila menyangkut soal kekerasan yang suka papanya Alvin
lakukan. Kami selalu berdiri di sisi yang sama, menentang Alvin yang
entah kenapa masih saja membela papanya itu.
“Nah udah sampai kamarnya, masuk gih lo Fy, gue mau makan dulu, laper..” suruh Rio sambil mendorongku ke arah pintu.
“Ish, enggak pakai dorong-dorong juga kali” protesku tidak terima.
“Peace
haha..udahlah sana masuk, temenin Alvin yee..” ujar Rio sambil
tersenyum sumringah ke arahku. “Kali aja habis elo temenin dia langsung
sembuh..haha..” sambungnya lagi, setengah mengejek. Yang hanya ku sahuti
dengan memberinya pandangan mencela. Membuat gema tawanya masih
terdengar meski ia sudah berbelok ke ujung ruang.
Aku
sendiri langsung masuk ke dalam ruangan itu, terlihat Alvin sedang
bersandar di ranjangnya, sambil membaca sebuah buku, padahal alat bantu
pernafasan masih menutupi hampir separuh bagian wajahnya.
“Ckckck,
masih sempet aja lo baca sih Vin..” tegurku sambil menarik kursi dan
duduk di sebelahnya, lantas melirik buku apa yang ia baca. “Ya ampun
Vin, biologi ?! lagi sakit gini dan elo masih belajar biologi ? oh
my...”
Ia
yang sepertinya sedikit kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba, tanpa
ketuk pintu dulu sebelumnya, hanya tertawa menyaksikkan betapa hebohnya
aku melihat ia belajar dalam suasana sakit begini.
Alvin melepas alat bantu nafasnya. “Ada yang salah Fy ? atau elo punya dendam juga sama biologi kaya elo dendam sama kimia ?”
“Bukan
masalah dendam atau apa Vin, tapi elo lagi sakit gitu dan masih
nyempetin belajar, ajaib banget deh ada orang kaya elo gini” sahutku
masih takjub. “By the way, enggak masalah tuh masker oksigennya di lepas
?”
“Enggak apa-apa, asal enggak lama-lama..”
“Ya
udah kalau gitu pakai lagi” aku berdiri dan memakaikan alat itu
kembali. “Gue sita ya buku biologi lo ini, lo butuh istirahat..dan
enggak ada penolakan !” tambahku galak ketika ku lihat matanya tampak
tidak rela buku itu ku ambil paksa dari tangannya.
“Oh ya sampai lupa, itu tadi gue bawain elo buah-buahan, di makan ya biar cepat sembuh”
Alvin
mengacungkan jempolnya ke arahku sambil tersenyum. Dan kemudian entah
untuk apa, ia mengacak-acak rambutku, cenderung membelai sebenarnya. Aku
menikmati itu dan menganggap itu biasa saja, lagipula ini bukan pertama
kalinya ia berlaku seperti ini kepadaku.
Jika kalian ingin tahu apa perasaanku saat itu ?
Saat itu, tak ada getaran ataupun degup jantung yang lebih kencang. Semua biasa saja. Amat sangat biasa.
*
“Aku
enggak nyangka kartu ucapan ini masih di simpan..” celetukku sambil
membolak-balik kartu tersebut ditanganku. “Padahal isinya biasa aja
ya..” tambahku lagi.
“Enggak
ada yang biasa kalau itu datangnya dari kamu Fy” ucap Rio. Ia terlihat
mencari sesuatu di dalam kotak itu. “Kamu ingat ini kan Fy ?” Rio
mengacungkan sebuah jepit dengan hiasan kupu-kupu berwarna merah muda.
Aku
mengambil jepit itu dari tangan Rio, seketika mataku terasa panas. Ya,
butir-butir air sekejap saja berproduksi masal, membuatku harus
menengadahkan wajah, untuk menahannnya. Tentu saja aku mengingat apa
yang ada di tanganku ini. Ini jepit kupu-kupu milikku. Jepit yang
kuberikan sebagai pengikat janjiku pada Alvin.
Di hari keberangkatannya yang tiba-tiba, gerbang segala lara yang akan tercipta di kemudian hari.
*
Aku
nyaris berlari layaknya orang kesetanan dari lantai tiga gedung les-ku
ini ke lantai bawah. Tanpa mempedulikan orang-orang yang
memperhatikanku, tanpa peduli pada nafasku yang mulai terengah-engah,
aku terus berlari.
“RIO
!” panggilku, berteriak. Membuat semua pasang mata di lobby itu melihat
ke arahku yang sedang berdiri sambil mengatur nafas di anak tangga
terakhir dan Rio yang memang sedang menungguku.
“Ayo
Fy, enggak ada banyak waktu !” ia menarik tanganku dan kembali
mengajakku berlari menuju parkiran motor. Masih tanpa memperdulikan
pandangan orang-orang.
Ada yang lebih penting daripada itu semua.
Rio
memacu motornya secepat mungkin. Membuatku memilih untuk memejamkan
mata dan memeluk punggungnya erat. Aku bisa merasakan motor Rio yang
menyelinap di antara kepungan-kepungan mobil dan meliuk dengan nekatnya
seperti seorang pembalap. Tapi untuk kali ini saja, aku tidak ingin
peduli dan memarahinya, sama sepertiku, Rio juga pasti ingin segera tiba
sebelum semuanya terlambat.
Tepat
ketika motor Rio berhenti, aku langsung membuka kedua mataku. “ALVIN !”
teriakku, ketika melihatnya sedang memasukkan beberapa kardus ke dalam
mobil. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. Senyumnya yang tetap terlihat
tenang. Senyumnya yang selalu menggambarkan bahwa ia baik-baik saja.
Buru-buru
aku turun dari motor Rio dan menemui Alvin yang hanya berdiri di
tempatnya. “Elo jahat !” raungku tanpa basa-basi, nyaris menangis.
“Kenapa elo mau pergi tiba-tiba kaya gini ? kenapa ?!”
“Sssttt..jangan
nangis dong Fy” bujuk Alvin sambil memegang kedua pundakku. “Ada yang
mau gue obrolin, kita kesana ya..” Alvin menunjuk teras rumahnya, aku
hanya mengangguk.
“Pa,
aku ngobrol sama temanku bentar ya..” ijin Alvin pada seorang
bapak-bapak yang tampak sibuk dengan handphone ditangannya. Aku yang
sedari tadi hanya fokus terhadap Alvin baru menyadari bahwa beliaulah
papanya Alvin, orang yang sering membuat Alvin babak belur.
Alvin
menggandeng tanganku, menggenggamnya erat dengan tangannya yang hangat.
“Duduk Fy..” ujarnya mempersilahkan. Ia sendiri juga duduk di kursi
lain, tepat di sebelah kursi yang ku duduki.
“Enggak
kerasa udah setengah tahun ya Fy, setengah tahun sejak gue ngikutin elo
naik metromini waktu itu” ujar Alvin sambil menatap lurus ke depan,
bukannya menatapku.
“Dan
sekarang elo mau ngebuang enam bulan itu dengan tiba-tiba pergi dari
sini tanpa bilang apa-apa sama gue sebelumnya” jawabku sinis. Berbeda
dengannya yang tidak melihatku, aku justru sedang memandangi pipi
putihnya.
“Bukan
gitu Fy, gue punya alasan..” Alvin jeda sesaat. “Semuanya memang
tiba-tiba, gue juga enggak nyangka harus ninggalin kota ini, ninggalin
Rio, ninggalin elo..” lagi-lagi ia jeda, dapat ku lihat ketika bibirnya
tersenyum saat mengucapkan dua kata terakhir. “Tapi cuma Bandung Fy,
enggak terlalu jauh kan ? gue janji kita masih bisa ketemu..suatu hari
nanti”
“Bukan
masalah Bandungnya Vin, tapi kenapa harus tiba-tiba, dua hari yang lalu
kita masih sama-sama di taman dan enggak sekalipun elo nyinggung
tentang ini”
“Bokap gue mau nikah lagi Fy, dan dia minta gue untuk tinggal sama nyokap gue aja”
Hatiku
mencelos. Entah kenapa aku merasa kalimat itu menyiratkan kekejaman tak
nampak. “Jadi ini cuma karena ke egoisan bokap lo yang enggak mau
kehidupannya lo ganggu ? Lo kenapa pasrah banget sih Vin jadi orang ?!”
“Enggak-enggak,
bukan gitu..” ia masih saja berusaha untuk membela papanya. “Ada alasan
lain Fy, lagipula..mungkin tinggal dengan nyokap gue akan jauh lebih
baik kan buat gue..” Alvin tersenyum, dan untuk pertama kalinya, sejak
perbincangan kami di mulai beberapa menit lalu, akhirnya ia menoleh ke
arahku. Ia menggeser kursinya agar lebih dekat denganku, dan ia
memelukku.
“Terimakasih
ya Fy, elo udah bikin hidup gue berwarna enam bulan ini. Elo bidadari
buat gue, elo malaikat..gue, gue juga berat ninggalin elo, elo tahukan
gue sayang banget sama lo ?” aku hanya menganggukkan kepala dalam
dekapannya. “Mungkin gue memang enggak bisa jadi apa yang lo mau, dan
gue rela kalau pada akhirnya gue nemuin elo bahagia sama orang lain..”
Aku
melepaskan pelukannya, menatap kedua matanya, aku jadi merasa bersalah
tak pernah mampu membalas rasa sayangnya. Tapi aku memang tak bisa. Tak
bisa memaksakan cinta yang memang tak ada lantas menjadi ada. Aku tidak
ingin dimiliki orang sebaik Alvin hanya karena rasa kasihan. Alvin
pantas dapat yang lebih daripada aku.
“Maaf ya Vin..”
“Buat apa ?”
“Gue enggak pernah bisa, sampai hari ini, buat ngebales semua rasa sayang lo. Gue enggak pernah maksud buat nyakitin elo..”
“Hei,
dengerin gue ya, setiap wanita itu adalah malaikat tanpa sayap, dan
setiap laki-laki adalah sayap yang akan membawa wanita itu terbang
kemanapun yang dia mau. Elo adalah malaikat tanpa sayap buat gue, tapi
gue enggak akan bisa jadi sayap lo meskipun gue mau, gue enggak
bisa...dan elo harus tetap terbang, elo harus tetap menjemput
kebahagiaan yang memang udah jadi hak lo di dunia ini, dan gue akan
sangat bahagia, kalau suatu hari nanti gue lihat elo terbang dengan
siapapun sayap yang lo pilih..”
Meski
mendengarkan dengan seksama, aku merasa tidak paham di beberapa bagian.
Seperti ada yang mengganjal dari kata-katanya itu. Namun aku sendiri
tidak tahu yang mana.
“Gue cuma minta satu aja Fy..”
“Apa Vin ?”
“Jangan pernah lupain gue, karena gue enggak pernah lupain elo, enggak akan pernah..”
Aku
mengangguk mantap. Aku meraba rambutku, dan melepaskan jepit kupu-kupu
yang sedang ku pakai. “Vin, anggep aja ini kenangan dari gue ya,
sekaligus simbol dari janji gue untuk enggak akan pernah lupain lo..”
“Makasih
ya Fy..” Alvin memperhatikan jepit itu sekilas, lantas memasukkannya ke
dalam saku jaket yang sedang ia kenakan. “Maaf gue enggak bisa ngasih
apa-apa”
“Enggak masalah, enam bulan ini, elo udah ngasih gue banyak..”
“Ya udah, gue rasa gue udah mau berangkat, kita balik ke depan ya..”
“Ayo..”
aku mengikutinya berjalan ke arah mobil, sekilas ku lihat papanya dan
tak dapat ku halangi mataku untuk memberikan tatapan sinis serta tajam
ke arah beliau. Alvin tampak berpelukan dengan Rio. Mereka pasti susah
sekali pisah, sudah sejak kecil mereka selalu bersama-sama.
“Fy sini deh..” Alvin memanggilku, dan aku langsung mendekat ke arahnya yang sedang berdiri di sebelah Rio.
“Kenapa Vin ?” tanyaku penasaran.
“Yo,
jagain Ify buat gue ya, elo tahu kan sob betapa sayangnya gue sama
dia..” ujarnya sambil melirik ke arahku. “Gue enggak masalah kalau dia
mau punya pacar, yang jelas jangan sampai ada yang nyakitin dia..”
sambung Alvin lagi, menepuk-nepuk pundak Rio.
“Beres
sob ! itu sih gampang..” sahut Rio. “Yang penting elo disana baik-baik
aja ya, gue bakalan langsung ke Bandung sampai gue tahu elo kenapa-napa”
“Iya-iya..”
“Vin, ayo jalan” titah papanya, yang sudah duduk di dalam mobil.
“Oke
deh, gue berangkat ya, akur lo berdua...gue jalan ya sob” sekali lagi
Alvin memeluk Rio erat, seandainya mereka berdua perempuan dapat ku
pastikan jika mereka berdua akan menangis sesenggukan dengan perpisahan
dadakan ini. “Fy, gue pergi dulu ya, love you..” ia tersenyum sambil
mengacak rambutku pelan, dan kemudian bergegas menaiki mobil.
Kepulan
asap dari mobil Alvin yang langsung menghilang membaur dengan udara,
seolah mewakilkan raganya yang mulai besok tak dapat lagi ku temui di
tempat les ataupun di taman kota.
*
“Aku
enggak pernah benar-benar lupain janji aku Yo, aku enggak mungkin
lupain Alvin, aku enggak akan lupain Alvin..” bisikku pelan, masih
sambil menahan air mata.
“Enggak
akan ada yang lupain dia Fy, aku ataupun kamu. Terutama aku, dia tetap
sahabat terbaik, sahabat aku yang paling baik...yang udah aku kecewain
gitu aja..” Rio mendesah di ujung kalimatnya, kentara sekali rasa
bersalah itu juga masih mengikatnya kuat.
“Bukan
kamu yang ngecewain dia, tapi kita Yo..” ralatku, karena memang itu
yang terjadi. Aku dan Rio, terlalu tak punya hati, hingga kami dengan
sengaja menorehkan luka, membuat perih dan segalanya hancur berantakan.
*
Setelah
Alvin pindah ke Bandung, dua minggu kemudian Rio tidak lagi terdaftar
sebagai siswa di tempat les bahasa Inggris yang mempertemukan kami
tersebut. Menurutnya, Alvinlah yang selama ini memaksa dirinya untuk
mengikuti les tersebut, jadi ketika alasan itu pergi Rio rasa tidak ada
guna lagi baginya untuk tetap disana.
Keputusan
ini tentu saja membuahkan kekecewaan bagiku, karena tanpa Alvin saja
semua sudah terasa sepi, apalagi tanpa Rio. Huh, ia benar-benar
menyebalkan.
“Weeii Fy..”
Aku
celingukan ke kanan dan ke kiri, mencari sumber suara. Dan ku lihat Rio
sedang duduk di atas motornya, melambai-lambaikan tangan ke arahku.
“Ngapain elo kesini ?”
“Eits, jutek banget lo Fy..” protes Rio. “Gue mau ngajak lo jalan, nemenin gue nyari dvd, mau kan ?”
“Kemana ?”
“Itu ke mall situ aja yang deket, nanti gue anterin elo balik deh, yaa ?”
“Ya udah deh ayo..” jawabku, yang langsung ia respon dengan mengulurkan helm kepadaku.
Rasa-rasanya,
jika dapat aku memutar waktu ke beberapa jam yang lalu, aku akan
menolak mentah-mentah ajakan mahluk di sampingku ini yang masih asik
memilih dvd tanpa mempedulikan kehadiranku. Jadi untuk apa sih dia minta
di temani jika ujung-ujungnya ia hanya sibuk dengan aktivitasnya
sendiri ?!
“Yo, belum selesai elo milihnya ?!!” tanyaku sewot sambil melipat kedua tangan di dada.
“Ya
ampun gue lupa kalau ada elo, jadi ke asikan milih..” sahut Rio santai
nyaris tanpa dosa, membuat emosiku tambah naik ke ubun-ubun. “Ya udah,
bentar ya gue bayar dulu”
Aku yang sudah terlanjur kesal, hanya mengangguk tanpa ekspresi. Malas juga kalau harus ribut di tempat umum seperti ini.
“Udah selesai, ayo kita pulang”
Apa ? pulang. Jadi, aku hanya menghabiskan waktu untuk menungguinya layaknya seorang satpam. “Pulang Yo ?”
“Iya, pulang, memang mau kemana lagi ?”
“Elo bener-bener cuma minta gue buat nemenin lo nyari dvd doang ?”
“Iya, kan tadi gue udah bilang, memang elo mau nyari apa ? gue temenin deh”
Aku
menatapnya dengan tatapanku yang paling jutek. “Elo tuh bener-bener ya
Yo, seenggaknya lo beliin gue minum kek, atau apalah yang nunjukkin rasa
terimakasih lo, lo sadar enggak sih tadi lo cuma asik nyari dvd dan lo
ngacangin gue !”
“Tadi kan elo juga liat-liat dvd Fy..”
“Ahh
tahu ahh ! udah ayo balik !” ajakku, yang sudah kesal bukan main
terhadapnya, namun sepertinya Rio tidak juga mengerti. Karena ia tetap
saja berjalan santai di sebelahku.
Aku
terus saja berjalan sambil mendumel dalam hati. Sudah sejak mengenalnya
sih, aku tahu Rio adalah laki-laki yang cuek dan cenderung tidak peka,
tapi kali ini ia benar-benar habis menguji kesabaranku.
“Fy
tunggu bentar deh..” ujarnya setiba kami di parkiran. Ia berjalan ke
arah tukang asongan yang menjual permen, rokok serta minuman, memberi
segelar air mineral, dan lantas kembali ke arahku yang menunggu di
sebelah motornya.
“Nih..” Rio menyodorkan segelas air mineral yang tadi ia beli beserta sedotannya ke depan mukaku.
“Buat gue ?”
“Iyalah, tadi katanya haus kan..”
Bukan
aku ini matrealistis atau apapun yang berhubungan dengan itu. Hanya
saja, aku tidak habis pikir dengan apa yang di dalam otak Rio, apa
memang seperti ini perlakuannya bila ia sedang jalan dengan seorang
perempuan.
“Udah
ini di minum, katanya tadi haus” ulang Rio lagi, kali ini ia sengaja
menusukkan sedotan itu ke plastik atas penutupnya dan kembali
memberikannya kepadaku. Aku menerimanya dan langsung menyedotnya hingga
hampir tandas satu gelas, meski tetap saja, di dalam hati serta
pikiranku aku masih terus menggerutu tentangnya.
“Gue
ini bukan cowok yang romantis, gue lebih suka jadi cowok yang
realistis, kalau cewek gue haus yang gue kasih minum apapun minumannya
selama bukan racun dan minuman keras gue rasa sah-sah aja. Buat gue,
hidup itu simpel, kalau haus ya minum, lapar ya makan, ngantuk ya tidur,
gampang kan ?” seolah bisa membaca apa yang berkecamuk dalam pikiranku,
ia malah menjabarkan tentangnya seolah-olah untuk membela apa yang ia
lakukan tadi.
Aku
menghentikan minumku sesaat, mencerna kata demi kata yang ia ucap.
Tiba-tiba saja, aku jadi merasa sedikit-kagum-terhadapnya, mendengar
seorang Rio berbicara seperti itu membuat diriku agak takjub.
“Err..tadi
gue jutek banget ya Yo sama elo ? maaf ya..” ucapku akhirnya,
menundukkan wajahku. “Tapi jangan salah paham ya Yo, gue cuma kesel aja
sama sikap lo yang enggak peka, gue..”
“Iya-iya,
gue ngerti kok, gue yang salah dari awal” Rio menyentuh daguku, dan
membuatku mengangkat wajahku, memandangnya. “Gue juga yakin elo enggak
matre atau gimana, gue yang harusnya minta maaf karena udah ngacangin
elo”
Aku
mengangguk-anggukkan kepalaku, tersenyum ke arahnya. “Elo tahu enggak,
gue ngerasa sedikit speechless lho denger kata-kata elo tadi, kaya bukan
elo banget”
“Elo
tahu enggak Fy, kalau elo mencintai seseorang karena segala kebaikan
yang dia kasih ke elo, itu bukan cinta tapi rasa terimakasih, dan elo
tahu, ketika elo merasa mencintai seseorang karena kepintaran yang dia
miliki, buat gue sekali lagi itu bukan cinta tapi sebuah kekaguman, atau
parahnya kalau elo mencintai seseorang karena seberapa banyak uang yang
dia miliki, elo jelas matre-matre dan itu sama sekali bukan cinta, sama
halnya kalau lo cinta sama seseorang karena betapa gantengnya dia,
berarti elo cuma sekedar terpesona. Beda kalau elo, sekuat apapun
berusaha untuk mencari alasan kenapa elo bisa mencintai seseorang sampai
sedemikian rupa tapi elo enggak kunjung menemukannya, itu artinya, elo
benar-benar mencintai dia, karena cinta..”
“Enggak
butuh alasan” aku memotong dan melanjutkan kalimat Rio yang berbaris
panjang itu. Ia mengamini apa yang aku ucapkan dengan tersenyum ke
arahku.
“Lo pintar berkata-kata ya Yo”
“Bukan gombal kan tapinya ?”
“Entahlah,
emang ada bedanya ?” tanyaku balik. Meski tempat obrolan kami ini
sangat tidak strategis, yaitu di parkiran motor sebuah mall, dengan
posisi aku bersandar di motor, dan Rio berdiri di hadapanku, namun
tiba-tiba saja, aku menjadi begitu tertarik untuk lebih mengetahui
tentang apa yang ada di dalam otak Rio.
“Beda
dong, pintar berkata-kata itu artinya kemampuan linguistik lo bagus,
dan lo mampu menyampaikan sesuatu dengan jelas dan membuat orang ngerti
dengan apa yang lo sampaiin, sementara gombal cuma sekedar kemampuan
sesaat laki-laki yang kasmaran untuk membuat cewek yang di taksir jatuh
hati”
“Gue beneran enggak nyangkan ternyata elo kaya gini” ujarku polos, membuat Rio tertawa.
“Haha..kenapa ? apa karena selama ini gue selalu terlihat cuek dan slengekan ?”
“Maybe..ya intinya sih, gue beneran enggak nyangka aja kalau elo bisa punya kemampuan kaya gini”
Rio
tampak menghela nafasnya. “Jangan bawa diri lo ke seret dalam stigma
yang ada di masyarakat Fy, Chairil Anwar itu jenius karena dia pintar
berkata-kata bukan karena dia selalu jadi juara satu di kelasnya”
“Maksudnya ?” aku jadi tidak mengerti, mengapa ia jadi menyeret pujangga ternamaan itu ke dalam obrolan kami ini.
“Siapa
sih yang enggak kenal Chairil Anwar ? bahkan gue rasa orang yang enggak
bisa nikmatin puisi sekalipun tahu tentang Aku-nya yang sangat
fenomenal. Dan orang bilang dia jenius kan Fy, karena permainan katanya,
bukan dari seberapa sering dia pernah dapat nilai sempurna sekolah,
iyakan ?” Rio mencoba menjelaskan tentang argumennya, dan aku mulai
paham akan maksudnya.
Dia
benar, di balik hidupnya yang ia jalani sekehendaknya itu, ternyata
seorang Rio menyimpan hal-hal menarik yang mampu membiusku, tanpa
alasan.
Tunggu, apa tadi ku bilang ? aku mengaguminya tanpa alasan ? tanpa alasan.
*
Taman
menjadi hening. Hening karena aku dan Rio tiba-tiba saja diam. diam
bukan karena kami tidak mempunyai kata untuk di sampaikan, tapi karena
sakit itu menusuk dada kami bersamaan, membuat kami tercekik oleh setiap
inci getir rasa bersalah yang kami buat.
Aku
memandangi kotak kaleng yang ada di pangkuanku. Ku lihat benda-benda
lain yang tadi belum ku sentuh. Ada tiket bioskop, ada kartu hukuman
yang ketika ku baca, berisi hukuman untuk Rio dan Alvin, ada gelang
persahabatan yang telah putus dan membuatnya menjadi rentangan saja, dan
ada sebuah kalung nama, kalung yang ku kenali sebagai milik Alvin.
Ku
usap kalung ini, ku usap bagian yang terukir nama Alvin. Aku tersenyum
pedih, terakhir kali aku melihatnya, ia nampak jauh lebih kurus, tapi
bukan itu yang membuatku luka, terakhir kali kami bertemu, busur-busur
panah pengkhianatan mengoyak habis persahabatan itu.
*
Cinta
yang sebenarnya adalah cinta yang tidak butuh alasan. Mencintai yang
sesungguhnya adalah mencintai yang tidak mengerti untuk apa tapi sangat
peduli untuk siapa. Dicintai yang seharusnya adalah dicintai yang
sederhana tapi bukan berarti kekurangan.
Dan
aku berusaha untuk mencari alasan, mengapa aku bisa mengagumi Rio sejak
hari itu. Namun nihil, alih-alih menemukan sebuah alasan, aku malah
semakin terkesima dengan setiap penuturan yang ia sampaikan ketika kami
sedang berdua.
Ya
berdua. Aku dan Rio jadi sering pergi berdua. Setiap hari, tak
sekalipun aku dan dia absen untuk saling berkirim sms. Perlahan, kami
tak dapat menghindar lagi. Cinta itu datang, mengetuk dinding hati kami
masing-masing, dan tak kuasa untuk kami tolak.
Aku
dan dia resmi berpacaran, dan hebatnya, atau tololnya ? kami membohongi
Alvin, yang juga tak pernah alpa untuk memastikan bahwa aku baik-baik
saja.
Sore
itu, seperti sore-sore sebelumnya, aku dan Rio menghabiskan waktu kami
di taman, bermain ayunan berdua, tertawa satu sama lain, bisa ku bilang,
kami amat sangat bahagia.
“Kalian...”
Mendengar
suara yang sangat amat kukenali itu, aku dan Rio sontak menoleh ke asal
suara. Dan benar saja, tidak jauh dari tempat kami, Alvin berdiri, dari
sorot matanya, aku bisa melihat tatapan penuh tanya yang jelas-jelas
diarahkan kepada kami berdua.
“Alvin”
panggilku pelan. Reflek, aku langsung berdiri dari ayunan, dan Rio
langsung melepas tangannya dari kedua pundakku. Kami layaknya maling
yang sedang dipergoki.
“Kalian
pacaran ?” Alvin melanjutkan kata-katanya yang tadi terpotong olehku.
Ia berjalan mendekat, tak ada senyum di bibirnya seperti biasa.
Aku menoleh sekilas ke arah Rio, dan entah mengapa aku menggeleng. “Vin..gue..kita..”
“Kenapa
kalian enggak bilang sama gue ?” Alvin masih mengajukan pertanyaan pada
kami yang hanya membisu, tak mengerti harus menjawab apa. Kepengecutan
kami dimulai sejak detik itu.
“Gue
sama Rio, err..kita...” aku berusaha untuk menjelaskan apapun yang ku
rasa harus dijelaskan, namun sialnya suaraku malah tercekat, aku seperti
kehilangan kemampuan untuk berbicara.
Alvin
mendekat ke arahku, ia meraih tanganku, menggenggamnya erat, dan
wajahnya terus mendekat ke arah wajahku, hingga aku mampu untuk melihat
gurat-gurat merah di pipi putihnya, ia semakin mendekat, terus mendekat,
dan aku entah mengapa, memejamkan mataku.
“BUGH !”
Ku
buka mataku, ku lihat Alvin telah tersungkur jatuh. Ku alihkan mataku
ke arah Rio yang ada di sisiku, dapat kulihat kilat emosi di wajahnya
dan nafasnya yang memburu.
“Mata
tidak pernah berbohong..” ucap Alvin, tersenyum meremehkan ke arah kami
berdua. Ia menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. “Kenapa elo
mau mukul gue Yo ? gue cuma kangen sama Ify dan mau nyium dia..”
“Sialan
lo !” Rio menarik kerah baju Alvin, membuat Alvin kembali berdiri
tegak. “Jangan harap lo bisa lakuin itu sama Ify !!” salak Rio dengan
nada yang meninggi. Aku sendiri hanya bisa menyaksikan, sambil diam-diam
menyadari, kehancuran ada di depan mata.
“Kenapa
? kenapa elo jadian sama Ify ?! kenapa ?!!” Alvin juga mulai
berteriak-teriak. Padahal belum pernah sekalipun ku lihat Alvin
kehilangan atas kontrol dirinya seperti ini.
“Dia
bebas, dia bukan milik siapa-siapa, bukan milik elo ! dan dia mau sama
gue !!” sahut Rio keras, tangannya masih saja mencengkram erat kerah
baju Alvin. Alvin menatap Rio, sahabatnya, dengan tatapan yang tidak aku
mengerti, sudah tak lagi penuh emosi seperti tadi, sebaliknya,
pandangan itu cenderung meredup, seperti ada kesedihan yang begitu
kental disana.
“Lepasin gue Yo..” pinta Alvin tiba-tiba. “Tolong lepasin gue”
Rio
tak kunjung mengabulkan apa yang Alvin minta, sepertinya ia masih
diliputi oleh deru nafsu yang baru saja meledak dalam tubuhnya. Aku
mendekat dan berdiri di sisi Rio, ku sentuh tangannya. “Yo, lepasin
Alvin..”
“Jadi dia sayap yang elo pilih Fy ?” tanya Alvin, kali ini ia tersenyum ke arahku.
Aku
menatapnya takut-takut, masih bingung harus berkata apa. Bukan tak mau
mengakui, aku hanya, tidak mengerti bagaimana cara mengakuinya.
“Kalau
elo masih seenggaknya, menghargai apa yang udah kita laluin hampir
sepanjang umur kita, kalau elo masih ingat gue sebagai sahabat lo,
tolong lepasin tangan lo Yo..” pinta Alvin sekali lagi. Dan sepertinya
kalimat itu berdampak banyak bagi Rio, karena ia langsung melepaskan
tangannya dari Alvin.
“Enggak
masalah, gue enggak masalah, tapi kenapa kalian harus bohong ? kenapa
gue harus tahu dengan cara yang kaya gini ?” Alvin kembali memberondong
kami dengan pertanyaan sederhana yang tetap saja tak mampu kami jawab.
“Yo, berapa tahun lo kenal gue ? lo yakin gue sebejat itu buat nyium Ify di tempat umum kaya gini ? lo merasa gue akan ngelakuin itu ?”
Rio menatap Alvin dengan pandangan rasa bersalah. Ia mengangkat tangannya, ingin menepuk pundak Alvin. “Vin gue...”
Alvin
menghindar, dan ia tersenyum lirih ke arah Rio. “Mungkin memang enggak
ada tempat di dunia ini buat gue, bahkan elo, satu-satunya orang yang
gue rasa akan selalu menerima gue, elo bahkan kayanya udah enggak kenal,
atau mungkin gue yang udah enggak kenal elo..gue memang harus pergi
kayanya, hilang, enggak ada satupun yang mengharapkan hadirnya gue”
“Vin, elo harus dengerin kita dulu” ujar Rio lagi.
“Bukan
gue yang harusnya dengerin, tapi kalian yang harusnya jujur dari awal”
Alvin berbalik, dan ia berlajan menjauh dari kami berdua tanpa sekalipun
menoleh. Ia tampak begitu ringkih, ia tidak setegar dulu ketika kami
berpisah dalam suasana persahabatan yang kental. Aku merasa, merasa
betapa pesonanya memudar, menguap entah kemana.
“Kejar
Alvin Yo, buat aku” desahku, nyaris menangis. Tak kusangka semua akan
seperti ini. “Kejar Yo, kamu nunggu apa lagi..” ulangku ketika Rio tak
kunjung beranjak.
“Kalau aku ngejar Alvin, kamu gimana Fy ?”
“Jangan
bodoh Rio ! jangan pertaruhin persahabatan kamu cuma untuk aku ! cinta
kita enggak lebih dari ujung kuku ketimbang persahabatan kalian berdua,
kejar dia Yo !”
Dan
akhirnya, Rio meninggalkan aku sore itu, mengejar Alvin yang entah
kemana. Sepeninggal Rio, aku menangis, menyadari betapa piciknya aku,
menghancurkan persahabatan mereka. Betapa salahnya aku, betapa teganya
aku berlaku seperti itu.
Sebelum
benar-benar pergi dari taman, aku mengetik sebuah sms untuk Rio,
mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi menundanya juga bukan sesuatu
yang baik. Aku memutuskan Rio, hari itu juga, hanya dengan melalui sms.
Sejak
hari itu, aku menghilang dari Rio. Aku pergi, aku berusaha untuk larut
dalam duniaku. Meninggalkan Rio, Alvin, dalam masalah yang tak pernah ku
tahu, apa ujungnya.
*
“Betapa bodohnya aku hari itu Fy” Rio menelungkupkan wajah ke dalam telapak tangannya.
“Aku
lebih bodoh Yo, aku menghancurkan persahabatan kalian..aku meninggalkan
masalah itu gitu aja, aku yang paling bodoh disini”
Rio
menoleh ke arahku. “Sejak hari itu, selain kehilangan kamu, aku juga
kehilangan persahabatan aku Fy..” ungkapnya pelan, aku bisa merasa,
menggali ini adalah menyiram kembali luka yang sesungguhnya tak pernah
benar-benar mengering.
Aku menarik tangan Rio. “Ada dimana Alvin sekarang Yo ? aku mau minta maaf, aku harus minta maaf..”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Rio malah hanya menepuk-nepuk punggung tanganku yang sedang menggenggam pergelangan tangannya.
“Dimana
Yo ? jawab aku, aku butuh ketemu Alvin, aku harus minta maaf, cukup dua
tahun ini aku terus-menerus merasa bersalah atas semuanya” aku kembali
mendesak Rio.
“Enggak
akan bisa lagi Fy, enggak akan..” Rio menghela napasnya. “Dia udah
pergi, dia udah tenang di tempat yang aku rasa, enggak akan
terus-menerus ngecewain dia”
“M..maksud kamu apa Rio ?”
“Sebenarnya bukan asma, tapi kanker paru-paru, Alvin mengidap kanker paru-paru sejak kelas dua smp..”
Aku
tak kuasa menahan kekagetanku, ku lepas tanganku dari tangan Rio, ku
genggam erat kembali kalung milik Alvin yang tadi telah ku simpan ke
dalam kaleng.
“Kepindahannya
ke Bandung, selain memang karena paksaan papanya, ada alasan lain, dia
harus menjalani pengobatan intensif di salah satu rumah sakit disana,
dan kepulangannya waktu itu, dia..dia...”
mata Rio berkaca-kaca. “Argh ! aku bukan sahabat yang baik buat dia Fy
!!” raungnya tiba-tiba, mengacak-acak rambutnya sendiri.
“Rio..” aku memeluknya, memeluknya erat. “Lanjutin Yo, apa yang terjadi sama Alvin sebenarnya ?”
“Hari itu, yang aku tahu dari mamanya...Alvin mau ngasih tahu aku, kalau pengobatannya gagal, kankernya udah menyebar”
Mendengar
apa yang Rio ucapkan dengan kepedihan begitu dalam itu, juga menorehkan
sakit yang luar biasa dalam hatiku. Aku bisa menebak, kemana ujung
cerita ini, namun seperti ada monster kecil dalam jiwaku yang meraung
untuk menolak kenyataan itu, aku belum meminta maaf padanya, tidak
seharusnya dia pergi. Tidak secepat itu.
“Aku
belum minta maaf sama dia Yo, aku belum minta maaf..” bisikku pelan,
perlahan aku membasahi kaos bagian depan yang sedang Rio pakai. Air
mataku mengalir deras, kehilangan, penyesalan, rasa bersalah, semua
menyatu dan melawanku.
“Aku
bahkan enggak ada di saat detik-detik terakhir dia pergi Fy, dia pasti
akan maafin kamu, aku belum pernah bilang ya ? sepanjang hidupnya dia,
cuma kamu, satu-satunya perempuan yang dia cintai, jadi aku jamin, dia
enggak akan pernah membenci kamu, tapi aku ? aku enggak pantas di sebut
sebagai sahabatnya Fy..”
“Aku
juga yakin Yo, kalau dia akan maafin kamu, dia bukan pendendam,
dia..dia pasti akan maafin kita..” Rio mengelus pundakku, dan aku terus
mengalirkan rinai air mata. Air mata yang menyimbolkan segalanya.
Dan
ia ternyata telah pergi, tanpa aku tahu kapan dan bagaimana. Aku bahkan
tak tahu bahwa ia mengalami penderitaan sebelum hari kepergiannya. Tapi
dapat ku pastikan, derita yang paling berat adalah bukan sakit yang ia
alami dari penyakitnya, melainkan dari apa yang aku dan Rio lakukan
terhadapnya.
Ia
pergi, dan kata maaf itu tak terucap langsung padanya. Seandainya saja
saat itu aku tak sekejap itu menghilang, mungkin rasa sesal ini tidak
akan sesesak ini.
Tapi
aku percaya, meski ia telah pergi, dan meski meski kata maaf itu belum
sempat terucap dari bibirku. Aku yakin, ia akan menjadi malaikat Tuhan
yang paling rupawan, yang telah memaafkan segala salahku terlebih dulu.
Maafkan
aku Alvin, aku tetap akan mengagumi sampai kapanpun, aku mempunyai
lebih dari seribu alasan untuk membuat kamu tetap ada disini sebagai
sahabatku, untuk itulah, aku tidak pernah mampu mencintaimu. Aku tidak
akan lagi berjanji, karena ternyata aku bukan pemegang janji yang baik,
namun akan lebih berusaha untuk melakukan ini di sepanjang di hidupku,
untuk terus mengenangmu, kamu yang akan tetap menyala dalam kobar api
kenangan kita.
Komentar
Posting Komentar