Tak Terucap (cerpen)

Rintik hujan membasahi bumi perlahan, dengan alurnya yang selalu sama, ia selalu berhasil membuat setiap sudut kota basah olehnya.
Mungkin sama seperti dirinya. Dengan caranya yang sama, ia selalu saja bisa, bisa membuat aku berlinang air mata, bisa membuat aku mengalirkan rinai-rinai kepedihan yang aku benci. Yang aku benci.
Tangis tentangnya, bukan tentang cinta yang berhenti ditengah jalan dan lantas terlupa. Air mata selalu jatuh untuk segala penyesalan, untuk kebodohan, untuk kesalahanku. Salahku atas dirinya dan diriku. Salahku, menumpahkan pekat di atas kenangan kita, di lembar cerita kita.
Mataku masih menatap air yang terus luruh dari langit-langit di atas sana. Memandanginya dalam diam dari balik jendela kamar, merenunginya, melihat sosok yang ku sakiti di dalam bulir airnya. Aku mendesah, merutuki diriku sendiri, mentertawai diriku yang masih merasa bersalah namun tak pernah meminta maaf padanya.
Minta maaf ?
Aku bahkan telah lari dari semuanya dan tidak mengerti ada dimana ia sekarang. Aku pergi begitu saja. Pergi, yang saat itu ku pikir adalah yang terbaik dan satu-satunya cara untuk membuat segalanya kembali. Tapi sepertinya aku salah.
Apapun alasannya, orang yang lari dari masalah, tetaplah seorang pengecut kan. Dan itu aku.
***
Entahlah telah untuk keberapa kalinya aku menghela napas dalam waktu dua puluh menit ini, yang jelas sejak mobilku keluar dari area parkir mall yang bahkan halaman gedungnya masih belum juga aku lewati dan langsung menyatu dengan kepungan berbagai kendaraan lainnya, hela napas putus asa itu tiada henti ku lakukan. Selalu seperti ini, Jakarta, sesak sekali dirimu !
Aku mengetuk-ngetukkan jari jemariku di stir, berusaha menyalurkan rasa penat yang mulai menguras jiwa. Sesekali aku memperhatikan kanan dan kiri mobilku, menatap pengemudi lain yang tampaknya sama mengenaskannya seperti aku, baiklah itu terlalu berlebihan, tapi mengingat kemacetan tidak berujung ini, rasanya kata itu pantas aku gunakan.
Kedua bola mataku tertumbu pada sebuah metromini berwarna oranye menyala dengan cat yang sudah terkelupas disana-sini. Tentu saja tidak ada yang menarik dari besi tua berisi puluhan tubuh manusia yang berjejalan dengan paksa di dalamnya, hanya saja, kendaraan itu seperti kereta waktu yang mengajakku untuk mengingat sebuah masa.
*
Sudah lebih dari lima menit aku berdiri di pinggir jalan ini, namun metromini dengan jurusan yang aku tunggu belum juga lewat, untung matahari mulai tergelincir perlahan kembali ke peraduannya, membuat sore ini tidak terlalu terik, tapi tetap saja aku benci menunggu.
“Buruan gih..”
“Eh tapi..”
“Udah cepetan, cupu ah lo..”
Aku menoleh, melihat kasak-kusuk dua orang laki-laki yang juga masih mengenakan seragam sekolah sama sepertiku, hanya saja mereka berasal dari sekolah yang berbeda denganku. Aku tidak mengerti apa yang ingin mereka lakukan, yang jelas, salah satu anak laki-laki itu, yang menggunakan jaket ala pemain softball mendorong-dorong temannya untuk mendekat ke arahku.
Jujur saja, aku risih melihatnya. Apalagi aku merasa yakin, bahwa akulah objek yang ingin mereka berdua dekati. Mencari aman, ku putuskan untuk menyingkir beberapa langkah dari mereka berdua.
“Tuh kan anaknya pergi, cepetan makanya !” salak si laki-laki berjaket, mendelik ke arah temannya, masih terus mendorong.
“Balik aja yuk” tolak temannya itu, mencoba untuk melawan.
“Eits, enggak bisa ! kemarin elo udah nyerah, masa sekarang lagi !”
Mereka berdua masih terus saja beradu argumen, yang sialnya sampai ke telingaku dan tambah membuatku bingung juga takut. Aku langsung bernapas lega ketika ku lihat metromini yang ku tunggu sejak tadi akhirnya terlihat juga, buru-buru ku lambaikan tanganku untuk memberhentikannya, dan ketika akhirnya benda oranye itu berhenti di hadapanku segera aku naik dan menyelinap mencari tempat yang kosong.
Jam-jam segini, memang membutuhkan keberuntungan besar untuk bisa mandapatkan tempat duduk di dalam metromini, dan sepertinya keberuntungan itu belum berpihak padaku. Aku memutuskan untuk berdiri di dekat jendela yang terbuka lebar, setidaknya dengan begini aku bisa bernapas tanpa harus menghirup bau-bau tidak menyenangkan dari keringat orang lain.
Sekilas aku jadi memikirkan tentang dua laki-laki yang tidak jelas perangainya tadi, untung saja aku cepat-cepat naik jadi bisa menghindar dari mereka berdua.
“Err...sori, boleh kenalan enggak ?” aku menoleh, dan benar-benar terkejut dibuatnya. Laki-laki yang tadi terus menerus di dorong temannya itu, kini sedang berdiri di sebelahku dan menyodorkan tangannya ke arahku.
“Hah ?” tanyaku bodoh, masih kaget akan kehadirannya.
“Hehe..gue bikin kaget ya ? atau bikin lo enggak nyaman ? maaf ya, maaf banget, cuma mau kenalan doang kok..” ujarnya santai, penuh senyum dan masih menyodorkan tangannya. “Oh ya, gue Alvin, lo siapa ?”
“Ehm..gue Alyssa, tapi lo bisa panggil gue Ify” sahutku akhirnya, membalas uluran tangannya.
“Kok bisa ?” tanyanya, pertanyaan yang membuatku bingung.
“Apanya yang kok bisa ?” tanyaku balik.
“Itu, Alyssa kok bisa jadi Ify ?”
“Oh hehe, enggak tahu juga, panggilan dari kecil” jawabku tidak mau repot-repot menerangkan. Lagipula kita kan baru saja kenal, dengan cara yang aneh pula. Aku memperhatikan laki-laki di depanku ini, masih tidak mengerti kenapa ia bisa mengejarku hingga ke dalam metromini. Reflek aku melihat sekitarnya, mencari temannya yang tadi.
“Nyari siapa ?” ia ikutan celingukan sepertiku.
“Temen lo yang tadi mana ?”
“Rio ? dia enggak ikut, hehe, gue sendirian..”
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku, tidak mengerti harus menjawab apa. Untuk beberapa saat, kami saling diam, aku lebih memilih untuk memandang ke arah luar jendela, entahlah apa yang ia lakukan, aku tidak peduli.
“Gue udah mau turun, lo turun dimana ?” tanyaku padanya, ketika metromini telah dekat dengan jalan menuju komplek rumahku.
Dia menggaruk belakang kepalanya, dan menatapku sambil memberikan cengirannya. “Err..sebenernya, rumah gue enggak ke arah sini, gue ikut naik ini cuma biar bisa kenalan sama lo doang..”
Lagi-lagi aku dibuat kaget akan ulahnya. Sehingga aku hanya bisa tersenyum tanpa arti ke arahnya. Benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirannya.
Dan ternyata, memang tidak akan pernah bisa mengerti.
*
Linglung, aku menatap taman kota yang ada di hadapanku, bagaimana bisa aku menyetir hingga kemari ? Rasanya beberapa jam yang lalu, aku masih terjebak di dalam kemacetan tiada tara yang membuahkan keputusasaan itu.
Apakah karena sepanjang jalan tadi aku terus-menerus mengingat tentangnya. Tentang dia, yang tiba-tiba hadir, dengan caranya yang tak biasa. Aku masih mengingat, sore itu ia ikut aku turun dan kemudian ia kembali naik metromini dengan nomor jurusan yang sama ke arah yang berlawanan. Ia benar-benar aneh kan.
Ah, Alvin, ada dimana kamu sekarang ?
Sejak hari itu, aku, dia, dan juga Rio sahabatnya jadi sering bersama-sama di tempat les kami. Tempat dimana kuas pertama tentang kisah kita bertiga di torehkan. Sama halnya dengan taman di depanku ini, disini, pernah ada tawa, cerita, bahagia bahkan tangis serta darah yang tertumpah.
Aku mematikan mesin mobilku, beranjak turun, dan mendatangi taman itu secara langsung. Pendar lampu  yang berwarna kebiruan cukup untuk menerangi taman yang mulai menggelap karena awan yang mulai menghitam.
Tidak ada yang berubah. Bangku kayu berwarna coklat itu masih ada disana, tepat di bawah lampu. Pepohonan dengan lingkar batang yang besar dan tampak gagah menjulang juga masih berjajar di sepanjang taman, memberikan keteduhan bila siang hari panas matahari menyengat. Dan yang membuat aku tersenyum lirih, adalah ayunan sederhana dari sebilah papan yang diikat dengan tali tambang ke ranting pohon mangga di sudut taman.
Ayunan yang tak bernyawa, namun terbuat oleh padu padan jiwa kami bertiga di suatu sore cerah di bulan september yang berangin. Aku yang dulu selalu duduk disana, dan lantas mereka berdua mengayunkannya, terus mengayunkannya untukku.
“Ify ?” suara bass yang masih ku kenali, yang masih sama, hanya terdengar sedikit lebih dewasa.
Aku tersenyum sendiri, bahkan sebelum aku berputar badan dan menatapnya, kebetulan sekali jika tiba-tiba ada yang lain selain aku disini. “Hai Rio..” sapaku padanya. Dan benar saja, ia tidak begitu berubah banyak, hanya gaya rambutnya dan tubuhnya yang jadi bertambah tinggi saja.
Ia juga tersenyum, untuk beberapa detik kami saling bertatapan. Pernah ada yang tumbuh karena mata ini tidak kunjung beralih, namun sepertinya keledai pun lebih pintar dari kami. Aku ataupun dia tidak ada yang memulai untuk berhenti menatap, sebaliknya, kami justru terus menyelami bayang mata kami masing-masing, bayang masa lalu yang ternyata, masih sama-sama tergambar jelas.
“Mata tidak pernah berbohong..”
Tiba-tiba saja sebaris kalimat melayang dalam pikiranku, dan menyentakku untuk mengakhiri ini, aku langsung saja mengalihkan mataku, menatap tanah, menatap ujung sepatu yang baru ku sadari tampak kotor.
“Kamu apa kabar Fy ? kok bisa ada disini ?” terdengar sedikit aneh. Rasanya formal sekali ia menggunakan ‘aku’ dan ‘kamu’.
Aku kembali mengangkat wajahku, kembali tersenyum ke arahnya. “ Aku baik. Entahlah, aku lagi nyetir, ngelamun, dan pas aku sadar, aku udah ada disini” jawabku jujur. “Dan kamu ? kenapa kamu ada disini ?”
“Hampir tiap malam, selama dua tahun ini, aku selalu kesini kok, kebetulan aja malam ini ketemu kamu”
Dua tahun. Jadi dua tahun sudah, masalah itu kutinggalkan tanpa ujung yang pasti, dan kini entah bagaimana, salah satu pemerannya selain aku sedang berdiri di depanku, hanya beberapa langkah dari tempatku, dan harus ku akui kami canggung. Tidak seperti dulu. Tidak seperti dua tahun lalu. Tidak seperti ketika kami masih bertiga.
Bertiga ?
Masih ada satu yang tersisa. Dan haruskah kutanyakan kepada sosok di depanku ini, dimanakah Alvin saat ini ? akankah ia menjawab pertanyaanku ? sudahkah mereka kembali seperti dulu ?
“Kok diam Fy ? ada yang salah ?”
“Eh, enggak kok..ehm..Yo..aku..”
“Kenapa ?” potongnya ketika aku tak kunjung menyelesaikan kalimatku. “Fy, kamu enggak capai apa kalau kita ngobrol sambil berdiri gini ? gimana kalau kita duduk aja..” ajaknya, yang ku terima dengan mengikutinya menuju bangku kayu itu.
Sudah lama rasanya aku tidak duduk disini. Tentunya duduk disini, tidak ada bedanya dengan duduk di bangku lain, hanya saja, kadang kenangan membuat sesuatu menjadi lebih indah meski juga menyakitkan.
“Udah dua tahun, udah banyak yang berubah ya Fy. Kamu kuliah dimana sekarang ? sekarang bawaannya udah mobil nih..”
Bila tadi ku bilang, Rio tidak begitu berubah banyak, sepertinya aku harus meralat kata-kataku. Ia berubah, amat berubah. Sosoknya menjadi terlalu sopan, terlalu bukan dirinya yang aku kenal, ini bukan Rio yang dulu mampu membuatku tertawa terpingkal-pingkal, ini bukan Rio yang cuek dan semaunya. Dan apakah salahku, juga turut andil dalam perubahannya ?
“Aku kira kamu udah lupa sama tempat ini” ujarnya lagi, masih terus berbicara sendiri, meski daritadi belum ku respon, atau lebih tepatnya belum sempat ku respon. “Disini ada banyak kenangan ya Fy, dari yang manis sampai yang pahit..”
Saat mengucapkan kata pahit, senyumnya memudar, membuatku kikuk. Jangan malam ini, jangan sekarang jika ingin membuka semuanya. Aku belum siap. Lidahku akan kelu dan aku akan menjadi pecundang lagi nantinya.
“Oh ya tadi kamu mau bilang apa ?”
Hasratku untuk bertanya tentang keberadaan Alvin telah menguap seiring pudar senyumnya tadi. “Enggak, aku sendiri lupa mau nanya apa..hehehe..” aku melirik jam tanganku, sepertinya lebih lama ada disini tidak akan menghasilkan suasana yang lebih baik. “Rio, aku pulang duluan ya, udah malem juga..”
“Eh iya, kamu enggak masalah kan nyetir malem-malem sendirian ?”
“Santai yo, aku udah biasa kok, duluan ya” setelah mengangguk sambil tersenyum ke arahnya, aku segera bergegas untuk kembali ke mobilku.
“Ify !”
Aku berbalik lagi, melihatnya yang baru saja memanggilku. “Kenapa Yo ?”
“Besok ada acara ? bisa kita ketemuan disini, jam sepuluhan ?”
Aku bepikir sejenak, besok aku merasa tidak mempunyai janji dengan siapapun dan aku masih dalam masa libur semesteran. “Bisa kok, besok jam sepuluh disini..” ulangku menegaskan, dan ia hanya mengangguk. Aku sendiri langsung kembali  ke dalam mobil.
Di mobil, sebelum benar-benar beranjak pergi, masih ku saksikan Rio duduk sendiri di bangku taman itu, entah apa yang ia lakukan. Tapi mungkin ia sama denganku. Dalam kisah ini, bukan hanya aku yang jadi antagonis, tapi juga dirinya. Dan ia tampak benar-benar membuang dirinya yang dua tahun lalu ku kenal, atau apakah aku juga telah membuang diriku yang dua tahun lalu dikenalnya ? entahlah.
***
Ini masih pukul sembilan. Tapi aku sudah ada disini, bukan karena aku tidak bisa membaca waktu. Namun entahlah, sejak pertemuan semalam, aku jadi teringat semuanya. Dan rasa salah yang terus menggentayangiku tiap malam itu menjadi sebuah himpitan menyesakkan yang aku rasa harus segera ku tuntaskan. Aku yang memang ingin tiba lebih awal, ingin menggali setiap sudut taman ini, menyeroki setiap kenangan yang ku jatuhkan ke atas tanahnya.
Aku duduk di atas ayunan, menggenggam tambangnya dengan tangan kananku dan tersenyum lirih. Tambang yang terasa kasar di telapak itu, guguran daun mangga yang berserakan di bawah kakiku, semilir angin pagi yang menerbangkan beberapa helai rambut, tiba-tiba saja aku merasa hampa.
Sepi. Di dalam sini, di hati ini. Pernahkah kamu merasa bersalah, merasa kamu salah, tahu bahwa kamu salah, namun tak pernah mengucap kata maaf.
Dan rasanya sesak. itu yang aku rasa. Ya, aku harus minta maaf padanya. Untuk segala yang ku hancurkan, untuk semua rasa percaya yang ku patahkan berkeping-keping.
*
Sudah lebih dari satu bulan berlalu, sejak Alvin mengikutiku hingga ke dalam metromini waktu itu. Dan kini, kami berteman dekat, tanpa alasan khusus, aku hanya merasa nyaman atas segala perhatiannya dan caranya yang dewasa memperlakukanku.
Tentu saja aku tidak sebodoh itu. Aku jelas-jelas tahu, bahwa ia menaruh hati untukku, lagipula ia sendiri pernah mengakuinya meski hanya sekilas. Hanya saja, semakin mengenal tentangnya, aku malah semakin mengaguminya, mengagumi ketegarannya, kedewasaannya, pola pikirnya, aku mengaguminya layaknya seorang adik ke kakak laki-laki.
Ia terlihat terlalu sempurna. Terlalu baik untukku, yang pernah menelponnya tengah malam hanya untuk bercerita panjang lebar sambil berurai air mata tentang mantanku, yang saat itu masih aku sayang. Ia juga terlalu sabar, terlalu pintar, terlalu pengertian..yaa dia seperti malaikat dimataku. Demi apapun, tak dapat ku temukan cela dalam dirinya.
Alvin, seorang kapten basket, sang juara kelas, dan sosok yang amat sangat menyenangkan. Ahh, dan satu lagi, ia adalah pribadi yang sangat jujur. Aku masih ingat, ketika akhirnya kami mulai ngobrol, ia memulainya dengan sebuah kalimat yang menyentakku namun juga langsung membuatku kagum terhadapnya.
“Gue anak broken home Fy, tapi gue bakalan buktiin ke semua orang termasuk elo kalau anak broken itu enggak selalu buruk, enggak selalu hancur. Lo enggak perlu khawatir buat temenan sama gue..”
Ya, aku masih mengingat kalimatnya yang itu, kalimat yang membuatku mengernyitkan kening. Tapi memang dia membuktikannya. Bersama sahabat karibnya Rio, ia selalu bisa membuatku nyaman ada di tengah-tengah mereka berdua.
“Wee..kok ngelamun Fy..” panjang umur, laki-laki yang baru ku puji habis-habisan dalam benakku barusan, duduk di sebelahku saat ini. “Nih, haus kan ?”
Ia menyodorkan sekaleng minuman bersoda dingin yang menggiurkan, yang segera ku terima dengan cengiran lebar. “Thanks Vin, mana Rio ?”
“Ada kok nanti nyusul”
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Setiap pulang sekolah, kami bertiga selalu menyempatkan untuk bertemu di taman ini. Aktivitas biasa yang sedikit aneh mungkin, tapi aku selalu merasa senang bila bertemu mereka berdua.
Sambil meminum minuman yang ada ditanganku, gerik mataku memperhatikan sosok Alvin. dan aku bisa melihat itu, bisa melihat lebam kebiruan di ujung bibirnya. Reflek, ku angkat tanganku, menyentuh luka itu.
“Kenapa Vin ?”
Dia tersenyum, lantas menyingkirkan tanganku dengan lembut. “Biasalah Fy, bokap gue..”
“Kenapa sih ? elo bisa lapor ke komnas anak Vin, ini kdrt namanya !” rutukku sewot. Ini bukan pertama kalinya ia seperti ini. Bahkan pernah ada yang lebih parah. Dan aku paling tidak bisa mentolerir yang namanya kekerasan.
“Lapor ? anak durhaka macem apa gue Fy kalau sampai ngelaporin bokap gue sendiri” sahutnya santai.
“Vin, maaf ya, tapi bokap macem apa yang main tangan sama anaknya sendiri” balasku tak mau kalah, meski sudah sering kami berargumen tentang masalah ini.
“Lo peduli sama gue ? makasih Fy. Gue yakin kok bokap gue sayang sama gue..” tanpa beban dan seolah memang tak ada masalah. Alvin hanya tersenyum dan tentu saja akan mementahkan segala cercaanku tentang papanya, yang memang aku benci itu.
Terbuat dari apa sih hati manusia di sebelahku ini, gerutuku dalam hati. Bisa-bisanya dia hanya menerima dengan pasrah hal seperti itu. Kenapa dia tidak memberontak saja seperti tokoh-tokoh utama novel yang sering aku baca. Kenapa dia tetap jadi anak baik-baik yang selalu membanggakan orang tuanya bahkan ketika keberadaannya tidak lagi dihargai layaknya seorang anak.
“Hei, kok jadi elo yang cemberut gitu sih Fy, gue baik-baik aja kok” ujarnya sambil mengibaskan tangannya di hadapanku.
“Fiuuuhhh..” aku menghembuskan napasku, menghilangkan segala gondok yang tadi terlanjur bersarang. “Sini gue kompresin..” aku menempelkan kaleng minuman dingin itu ke bagian bibirnya yang lebam. Alvin agak meringis sedikit dan aku hanya tersenyum kecil.
“Memang gue enggak salah ya sayang sama cewek seperhatian elo”
“Gombal” sahutku tanpa basa-basi, membuatnya terkikik.
“Bodo amat deh di anggap gombal juga, yang penting gue jujur, gue sayang sama elo”
“Haha..iya deh..”
“Iya deh apa nih ?”
“Iya gue tahu elo sayang sama gue, dari awal juga tahu kok” jawabku biasa-biasa saja. Sebiasa seperti sebelum-sebelum ini, ketika kita juga membahas obrolan yang sama.
“Huu..iya nih sedih ya jadi gue, ditolak mulu..hahaha..”
“Elo sih enggak pernah tegas” dari belakang kami, Rio menimpali tiba-tiba. Entahlah darimana dirinya.
“Kok elo baru nongol Yo ? itu ngapain bawa-bawa kayu sama tambang ?” tanyaku bingung melihat tentengan Rio yang agak tidak biasa.
“Tanya nih sama pangeran lo yang udah nyuruh-nyuruh gue” tukas Rio asal sambil mengendikkan dagunya ke arah Alvin.
“Apaan sih Vin ?”
“Hehe..inget enggak sih Fy, waktu elo bilang kalau taman ini terlalu kosong, terus elo ngekhayal seandainya aja ada ayunan disini, jadi ya gue pikir kenapa enggak kalau kita wujudin khayalan lo”
“Kita mau bikin ayunan ? dimana ?” aku langsung saja bersemangat, seperti anak kecil yang ingin dibelikan mainan.
“Enaknya dimana ya..” Rio menimpali sambil melihat sekeliling taman, mencari tempat yang sesuai.
“Disana aja gimana ?” usul Alvin sambil menunjuk sebuah pohon mangga yang rantingnya tidak terlalu rendah dan bisa di capai. Pilihan yang tepat ku rasa.
“Iya disana aja, ayoo !” ajakku bergegas mendahului mereka menuju pohon mangga itu. Dan sore itupun kami habiskan untuk membuat ayunan sederhana. Meninggalkan jejak kami disana.
*
Lagi-lagi aku teringat masa-masa yang telah lewat. Dengan perlahan ku ayunkan ayunan itu sambil menjejakkan kakiku di tanah. Dulu aku tidak perlu sesusah ini. Dulu Alvin selalu siap membantuku untuk mendorong ayunan itu. Dulu. Ya, itu dulu.
Tiba-tiba ayunan itu terdorong lebih kencang ke depan, ketika ku tengokkan kepalaku, benar saja, Rio sudah berdiri di belakangku sambil tersenyum. “Udah lama Fy disini ?”
“Enggak juga kok..” kilahku sedikit berbohong. “Jadi, kenapa Yo kamu  ngajak aku ketemuan disini ?”
“Kita pindah kesana aja yuk Fy, enggak apa-apa kan main ayunannya udahan dulu ?”
“Haha, enggak apa-apalah, ayo..”
Aku baru sadar Rio membawa sebuah kotak kaleng persegi panjang berwarna biru tua di tangannya ketika kami berjalan beriringan menuju bangku kayu ditengah taman. Dan sesuai dugaanku, kotak itu memang sepertinya sengaja ia bawa untuk aku, karena begitu kami duduk, ia langsung menyodorkan kotak itu ke arahku.
Dengan perlahan aku membukanya, di langit-langit bagian tutupnya, ku temukan ukiran huruf A dan M, yang aku rasa mewakili Alvin dan Mario. Benda paling atas yang menyembul adalah sebuah foto dengan warna yang hampir kecoklatan, terlihat dua bocah cilik ada disana, tertawa memamerkan dua gigi mereka yang baru tumbuh.
“Ini siapa ?” tanyaku sambil tersenyum ke arah Rio.
“Yang ini aku kalau yang itu Alvin” tunjuk Rio ke arah gambar itu.
“Kalian berdua lucu banget waktu kecil..” puas memandangi foto itu, aku beralih pada benda lain yang ada di dalam kotak tersebut. Aku tertarik pada sebuah kartu bergambar bintang yang ku kenali.
“Ini...”
“Kartu ucapan dari kamu buat Alvin” sahut Rio.
Rio benar, ini kartu ucapan dariku, aku masih mengingat isinya yang sederhana. Hanya sebaris kalimat ‘get well soon Alvin..’ yang kutambah dengan bonus tanda tanganku. Kartu yang ku selipkan di sekeranjang buah-buahan ketika aku menjenguknya di sebuah sabtu yang mendung.
*
Memasuki bulan ketiga aku mengenalnya. Dan akhirnya aku mengakui bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna, begitu juga Alvin. Ia seorang pengidap asma, tapi tetap saja di mataku, penyakit bukanlah halangan untukku tetap menganggapnya sempurna. Toh, hanya asma kan.
Aku baru mengetahui tentang penyakit itu, ketika Rio mengirimkan sebuah pesan singkat padaku bahwa Alvin di rawat di sebuah rumah sakit dan memintaku untuk datang. Dan disinilah aku saat ini, di lobby rumah sakit ini dengan sekeranjang buah di tanganku, siap untuk melihat kondisi Alvin.
“Hai Fy, ayo ke atas” ajak Rio yang memang ku suruh untuk menemuiku di bawah.
“Di kamarnya Alvin ada siapa Yo ?”
“Cuma ada gue sama dia, kalau lo datang pagian bisa deh elo ketemu sama bokapnya”
“Ih, untung gue enggak ketemu, bisa sewot sendiri gue kalau ketemu sama bokapnya Alvin”
“Haha iyaa, lo bener, gue juga enggak suka, toss..” Rio mengajakku bertoss ria, tanpa mempedulikan suasana di sekitar kami yang memerlukan ketenangan. Tapi ya, aku juga menyahuti tangannya. Aku dan Rio memang sama-sama frontal bila menyangkut soal kekerasan yang suka papanya Alvin lakukan. Kami selalu berdiri di sisi yang sama, menentang Alvin yang entah kenapa masih saja membela papanya itu.
“Nah udah sampai kamarnya, masuk gih lo Fy, gue mau  makan dulu, laper..” suruh Rio sambil mendorongku ke arah pintu.
“Ish, enggak pakai dorong-dorong juga kali” protesku tidak terima.
“Peace haha..udahlah sana masuk, temenin Alvin yee..” ujar Rio sambil tersenyum sumringah ke arahku. “Kali aja habis elo temenin dia langsung sembuh..haha..” sambungnya lagi, setengah mengejek. Yang hanya ku sahuti dengan memberinya pandangan mencela. Membuat gema tawanya masih terdengar meski ia sudah berbelok ke ujung ruang.
Aku sendiri langsung masuk ke dalam ruangan itu, terlihat Alvin sedang bersandar di ranjangnya, sambil membaca sebuah buku, padahal alat bantu pernafasan masih menutupi hampir separuh bagian wajahnya.
“Ckckck, masih sempet aja lo baca sih Vin..” tegurku sambil menarik kursi dan duduk di sebelahnya, lantas melirik buku apa yang ia baca. “Ya ampun Vin, biologi ?! lagi sakit gini dan elo masih belajar biologi ? oh my...”
Ia yang sepertinya sedikit kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba, tanpa ketuk pintu dulu sebelumnya, hanya tertawa menyaksikkan betapa hebohnya aku melihat ia belajar dalam suasana sakit begini.
Alvin melepas  alat bantu nafasnya. “Ada yang salah Fy ? atau elo punya dendam juga sama biologi kaya elo dendam sama kimia ?”
“Bukan masalah dendam atau apa Vin, tapi elo lagi sakit gitu dan masih nyempetin belajar, ajaib banget deh ada orang kaya elo gini” sahutku masih takjub. “By the way, enggak masalah tuh masker oksigennya di lepas ?”
“Enggak apa-apa, asal enggak lama-lama..”
“Ya udah kalau gitu pakai lagi” aku berdiri dan memakaikan alat itu kembali. “Gue sita ya buku biologi lo ini, lo butuh istirahat..dan enggak ada penolakan !” tambahku galak ketika ku lihat matanya tampak tidak rela buku itu ku ambil paksa dari tangannya.
“Oh ya sampai lupa, itu tadi gue bawain elo buah-buahan, di makan ya biar cepat sembuh”
Alvin mengacungkan jempolnya ke arahku sambil tersenyum. Dan kemudian entah untuk apa, ia mengacak-acak rambutku, cenderung membelai sebenarnya. Aku menikmati itu dan menganggap itu biasa saja, lagipula ini bukan pertama kalinya ia berlaku seperti ini kepadaku.
Jika kalian ingin tahu apa perasaanku saat itu ?
Saat itu, tak ada getaran ataupun degup jantung yang lebih kencang. Semua biasa saja. Amat sangat biasa.
*
“Aku enggak nyangka kartu ucapan ini masih di simpan..” celetukku sambil membolak-balik kartu tersebut ditanganku. “Padahal isinya biasa aja ya..” tambahku lagi.
“Enggak ada yang biasa kalau itu datangnya dari kamu Fy” ucap Rio. Ia terlihat mencari sesuatu di dalam kotak itu. “Kamu ingat ini kan Fy ?” Rio mengacungkan sebuah jepit dengan hiasan kupu-kupu berwarna merah muda.
Aku mengambil jepit itu dari tangan Rio, seketika mataku terasa panas. Ya, butir-butir air sekejap saja berproduksi masal, membuatku harus menengadahkan wajah, untuk menahannnya. Tentu saja aku mengingat apa yang ada di tanganku ini. Ini jepit kupu-kupu milikku. Jepit yang kuberikan sebagai pengikat janjiku pada Alvin.
Di hari keberangkatannya yang tiba-tiba, gerbang segala lara yang akan tercipta di kemudian hari.
*
Aku nyaris berlari layaknya orang kesetanan dari lantai tiga gedung les-ku ini ke lantai bawah. Tanpa mempedulikan orang-orang yang memperhatikanku, tanpa peduli pada nafasku yang mulai terengah-engah, aku terus berlari.
“RIO !” panggilku, berteriak. Membuat semua pasang mata di lobby itu melihat ke arahku yang sedang berdiri sambil mengatur nafas di anak tangga terakhir dan Rio yang memang sedang menungguku.
“Ayo Fy, enggak ada banyak waktu !” ia menarik tanganku dan kembali mengajakku berlari menuju parkiran motor. Masih tanpa memperdulikan pandangan orang-orang.
Ada yang lebih penting daripada itu semua.
Rio memacu motornya secepat mungkin. Membuatku memilih untuk memejamkan mata dan memeluk punggungnya erat. Aku bisa merasakan motor Rio yang menyelinap di antara kepungan-kepungan mobil dan meliuk dengan nekatnya seperti seorang pembalap. Tapi untuk kali ini saja, aku tidak ingin peduli dan memarahinya, sama sepertiku, Rio juga pasti ingin segera tiba sebelum semuanya terlambat.
Tepat ketika motor Rio berhenti, aku langsung membuka kedua mataku. “ALVIN !” teriakku, ketika melihatnya sedang memasukkan beberapa kardus ke dalam mobil. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. Senyumnya yang tetap terlihat tenang. Senyumnya yang selalu menggambarkan bahwa ia baik-baik saja.
Buru-buru aku turun dari motor Rio dan menemui Alvin yang hanya berdiri di tempatnya. “Elo jahat !” raungku tanpa basa-basi, nyaris menangis. “Kenapa elo mau pergi tiba-tiba kaya gini ? kenapa ?!”
“Sssttt..jangan nangis dong Fy” bujuk Alvin sambil memegang kedua pundakku. “Ada yang mau gue obrolin, kita kesana ya..” Alvin menunjuk teras rumahnya, aku hanya mengangguk.
“Pa, aku ngobrol sama temanku bentar ya..” ijin Alvin pada seorang bapak-bapak yang tampak sibuk dengan handphone ditangannya. Aku yang sedari tadi hanya fokus terhadap Alvin baru menyadari bahwa beliaulah papanya Alvin, orang yang sering membuat Alvin babak belur.
Alvin menggandeng tanganku, menggenggamnya erat dengan tangannya yang hangat. “Duduk Fy..” ujarnya mempersilahkan. Ia sendiri juga duduk di kursi lain, tepat di sebelah kursi yang ku duduki.
“Enggak kerasa udah setengah tahun ya Fy, setengah tahun sejak gue ngikutin elo naik metromini waktu itu” ujar Alvin sambil menatap lurus ke depan, bukannya menatapku.
“Dan sekarang elo mau ngebuang enam bulan itu dengan tiba-tiba pergi dari sini tanpa bilang apa-apa sama gue sebelumnya” jawabku sinis. Berbeda dengannya yang tidak melihatku, aku justru sedang memandangi pipi putihnya.
“Bukan gitu Fy, gue punya alasan..” Alvin jeda sesaat. “Semuanya memang tiba-tiba, gue juga enggak nyangka harus ninggalin kota ini, ninggalin Rio, ninggalin elo..” lagi-lagi ia jeda, dapat ku lihat ketika bibirnya tersenyum saat mengucapkan dua kata terakhir. “Tapi cuma Bandung Fy, enggak terlalu jauh kan ? gue janji kita masih bisa ketemu..suatu hari nanti”
“Bukan masalah Bandungnya Vin, tapi kenapa harus tiba-tiba, dua hari yang lalu kita masih sama-sama di taman dan enggak sekalipun elo nyinggung tentang ini”
“Bokap gue mau nikah lagi Fy, dan dia minta gue untuk tinggal sama nyokap gue aja”
Hatiku mencelos. Entah kenapa aku merasa kalimat itu menyiratkan kekejaman tak nampak. “Jadi ini cuma karena ke egoisan bokap lo yang enggak mau kehidupannya lo ganggu ? Lo kenapa pasrah banget sih Vin jadi orang ?!”
“Enggak-enggak, bukan gitu..” ia masih saja berusaha untuk membela papanya. “Ada alasan lain Fy, lagipula..mungkin tinggal dengan nyokap gue akan jauh lebih baik kan buat gue..” Alvin tersenyum, dan untuk pertama kalinya, sejak perbincangan kami di mulai beberapa menit lalu, akhirnya ia menoleh ke arahku. Ia menggeser kursinya agar lebih dekat denganku, dan ia memelukku.
“Terimakasih ya Fy, elo udah bikin hidup gue berwarna enam bulan ini. Elo bidadari buat gue, elo malaikat..gue, gue juga berat ninggalin elo, elo tahukan gue sayang banget sama lo ?” aku hanya menganggukkan kepala dalam dekapannya. “Mungkin gue memang enggak bisa jadi apa yang lo mau, dan gue rela kalau pada akhirnya gue nemuin elo bahagia sama orang lain..”
Aku melepaskan pelukannya, menatap kedua matanya, aku jadi merasa bersalah tak pernah mampu membalas rasa sayangnya. Tapi aku memang tak bisa. Tak bisa memaksakan cinta yang memang tak ada lantas menjadi ada. Aku tidak ingin dimiliki orang sebaik Alvin hanya karena rasa kasihan. Alvin pantas dapat yang lebih daripada aku.
“Maaf ya Vin..”
“Buat apa ?”
“Gue enggak pernah bisa, sampai hari ini, buat ngebales semua rasa sayang lo. Gue enggak pernah maksud buat nyakitin elo..”
“Hei, dengerin gue ya, setiap wanita itu adalah malaikat tanpa sayap, dan setiap laki-laki adalah sayap yang akan membawa wanita itu terbang kemanapun yang dia mau. Elo adalah malaikat tanpa sayap buat gue, tapi gue enggak akan bisa jadi sayap lo meskipun gue mau, gue enggak bisa...dan elo harus tetap terbang, elo harus tetap menjemput kebahagiaan yang memang udah jadi hak lo di dunia ini, dan gue akan sangat bahagia, kalau suatu hari nanti gue lihat elo terbang dengan siapapun sayap yang lo pilih..”
Meski mendengarkan dengan seksama, aku merasa tidak paham di beberapa bagian. Seperti ada yang mengganjal dari kata-katanya itu. Namun aku sendiri tidak tahu yang mana.
“Gue cuma minta satu aja Fy..”
“Apa Vin ?”
“Jangan pernah lupain gue, karena gue enggak pernah lupain elo, enggak akan pernah..”
Aku mengangguk mantap. Aku meraba rambutku, dan melepaskan jepit kupu-kupu yang sedang ku pakai. “Vin, anggep aja ini kenangan dari gue ya, sekaligus simbol dari janji gue untuk enggak akan pernah lupain lo..”
“Makasih ya Fy..” Alvin memperhatikan jepit itu sekilas, lantas memasukkannya ke dalam saku jaket yang sedang ia kenakan. “Maaf gue enggak bisa ngasih apa-apa”
“Enggak masalah, enam bulan ini, elo udah ngasih gue banyak..”
“Ya udah, gue rasa gue udah mau berangkat, kita balik ke depan ya..”
“Ayo..” aku mengikutinya berjalan ke arah mobil, sekilas ku lihat papanya dan tak dapat ku halangi mataku untuk memberikan tatapan sinis serta tajam ke arah beliau. Alvin tampak berpelukan dengan Rio. Mereka pasti susah sekali pisah, sudah sejak kecil mereka selalu bersama-sama.
“Fy sini deh..” Alvin memanggilku, dan aku langsung mendekat ke arahnya yang sedang berdiri di sebelah Rio.
“Kenapa Vin ?” tanyaku penasaran.
“Yo, jagain Ify buat gue ya, elo tahu kan sob betapa sayangnya gue sama dia..” ujarnya sambil melirik ke arahku. “Gue enggak masalah kalau dia mau punya pacar, yang jelas jangan sampai ada yang nyakitin dia..” sambung Alvin lagi, menepuk-nepuk pundak Rio.
“Beres sob ! itu sih gampang..” sahut Rio. “Yang penting elo disana baik-baik aja ya, gue bakalan langsung ke Bandung sampai gue tahu elo kenapa-napa”
“Iya-iya..”
“Vin, ayo jalan” titah papanya, yang sudah duduk di dalam mobil.
“Oke deh, gue berangkat ya, akur lo berdua...gue jalan ya sob” sekali lagi Alvin memeluk Rio erat, seandainya mereka berdua perempuan dapat ku pastikan jika mereka berdua akan menangis sesenggukan dengan perpisahan dadakan ini. “Fy, gue pergi dulu ya, love you..” ia tersenyum sambil mengacak rambutku pelan, dan kemudian bergegas menaiki mobil.
Kepulan asap dari mobil Alvin yang langsung menghilang membaur dengan udara, seolah mewakilkan raganya yang mulai besok tak dapat lagi ku temui di tempat les ataupun di taman kota.
*
“Aku enggak pernah benar-benar lupain janji aku Yo, aku enggak mungkin lupain Alvin, aku enggak akan lupain Alvin..” bisikku pelan, masih sambil menahan air mata.
“Enggak akan ada yang lupain dia Fy, aku ataupun kamu. Terutama aku, dia tetap sahabat terbaik, sahabat aku yang paling baik...yang udah aku kecewain gitu aja..” Rio mendesah di ujung kalimatnya, kentara sekali rasa bersalah itu juga masih mengikatnya kuat.
“Bukan kamu yang ngecewain dia, tapi kita Yo..” ralatku, karena memang itu yang terjadi. Aku dan Rio, terlalu tak punya hati, hingga kami dengan sengaja menorehkan luka, membuat perih dan segalanya hancur berantakan.
*
Setelah Alvin pindah ke Bandung, dua minggu kemudian Rio tidak lagi terdaftar sebagai siswa di tempat les bahasa Inggris yang mempertemukan kami tersebut. Menurutnya, Alvinlah yang selama ini memaksa dirinya untuk mengikuti les tersebut, jadi ketika alasan itu pergi Rio rasa tidak ada guna lagi baginya untuk tetap disana.
Keputusan ini tentu saja membuahkan kekecewaan bagiku, karena tanpa Alvin saja semua sudah terasa sepi, apalagi tanpa Rio. Huh, ia benar-benar menyebalkan.
“Weeii Fy..”
Aku celingukan ke kanan dan ke kiri, mencari sumber suara. Dan ku lihat Rio sedang duduk di atas motornya, melambai-lambaikan tangan ke arahku.
“Ngapain elo kesini ?”
“Eits, jutek banget lo Fy..” protes Rio. “Gue mau ngajak lo jalan, nemenin gue nyari dvd, mau kan ?”
“Kemana ?”
“Itu ke mall situ aja yang deket, nanti gue anterin elo balik deh, yaa ?”
“Ya udah deh ayo..” jawabku, yang langsung ia respon dengan mengulurkan helm kepadaku.
Rasa-rasanya, jika dapat aku memutar waktu ke beberapa jam yang lalu, aku akan menolak mentah-mentah ajakan mahluk di sampingku ini yang masih asik memilih dvd tanpa mempedulikan kehadiranku. Jadi untuk apa sih dia minta di temani jika ujung-ujungnya ia hanya sibuk dengan aktivitasnya sendiri ?!
“Yo, belum selesai elo milihnya ?!!” tanyaku sewot sambil melipat kedua tangan di dada.
“Ya ampun gue lupa kalau ada elo, jadi ke asikan milih..” sahut Rio santai nyaris tanpa dosa, membuat emosiku tambah naik ke ubun-ubun. “Ya udah, bentar ya gue bayar dulu”
Aku yang sudah terlanjur kesal, hanya mengangguk tanpa ekspresi. Malas juga kalau harus ribut di tempat umum seperti ini.
“Udah selesai, ayo kita pulang”
Apa ? pulang. Jadi, aku hanya menghabiskan waktu untuk menungguinya layaknya seorang satpam. “Pulang Yo ?”
“Iya, pulang, memang mau kemana lagi ?”
“Elo bener-bener cuma minta gue buat nemenin lo nyari dvd doang ?”
“Iya, kan tadi gue udah bilang, memang elo mau nyari apa ? gue temenin deh”
Aku menatapnya dengan tatapanku yang paling jutek. “Elo tuh bener-bener ya Yo, seenggaknya lo beliin gue minum kek, atau apalah yang nunjukkin rasa terimakasih lo, lo sadar enggak sih tadi lo cuma asik nyari dvd dan lo ngacangin gue !”
“Tadi kan elo juga liat-liat dvd Fy..”
“Ahh tahu ahh ! udah ayo balik !” ajakku, yang sudah kesal bukan main terhadapnya, namun sepertinya Rio tidak juga mengerti. Karena ia tetap saja berjalan santai di sebelahku.   
Aku terus saja berjalan sambil mendumel dalam hati. Sudah sejak mengenalnya sih, aku tahu Rio adalah laki-laki yang cuek dan cenderung tidak peka, tapi kali ini ia benar-benar habis menguji kesabaranku.
“Fy tunggu bentar deh..” ujarnya setiba kami di parkiran. Ia berjalan ke arah tukang asongan yang menjual permen, rokok serta minuman, memberi segelar air mineral, dan lantas kembali ke arahku yang menunggu di sebelah motornya.
“Nih..” Rio menyodorkan segelas air mineral yang tadi ia beli beserta sedotannya ke depan mukaku.
“Buat gue ?”
“Iyalah, tadi katanya haus kan..”
Bukan aku ini matrealistis atau apapun yang berhubungan dengan itu. Hanya saja, aku tidak habis pikir dengan apa yang di dalam otak Rio, apa memang seperti ini perlakuannya bila ia sedang jalan dengan seorang perempuan.
“Udah ini di minum, katanya tadi haus” ulang Rio lagi, kali ini ia sengaja menusukkan sedotan itu ke plastik atas penutupnya dan kembali memberikannya kepadaku. Aku menerimanya dan langsung menyedotnya hingga hampir tandas satu gelas, meski tetap saja, di dalam hati serta pikiranku aku masih terus menggerutu tentangnya.
“Gue ini bukan cowok yang romantis, gue lebih suka jadi cowok yang realistis, kalau cewek gue haus yang gue kasih minum apapun minumannya selama bukan racun dan minuman keras gue rasa sah-sah aja. Buat gue, hidup itu simpel, kalau haus ya minum, lapar ya makan, ngantuk ya tidur, gampang kan ?” seolah bisa membaca apa yang berkecamuk dalam pikiranku, ia malah menjabarkan tentangnya seolah-olah untuk membela apa yang ia lakukan tadi.
Aku menghentikan minumku sesaat, mencerna kata demi kata yang ia ucap. Tiba-tiba saja, aku jadi merasa sedikit-kagum-terhadapnya, mendengar seorang Rio berbicara seperti itu membuat diriku agak takjub.
“Err..tadi gue jutek banget ya Yo sama elo ? maaf ya..” ucapku akhirnya, menundukkan wajahku. “Tapi jangan salah paham ya Yo, gue cuma kesel aja sama sikap lo yang enggak peka, gue..”
“Iya-iya, gue ngerti kok, gue yang salah dari awal” Rio menyentuh daguku, dan membuatku mengangkat wajahku, memandangnya. “Gue juga yakin elo enggak matre atau gimana, gue yang harusnya minta maaf karena udah ngacangin elo”
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku, tersenyum ke arahnya. “Elo tahu enggak, gue ngerasa sedikit speechless lho denger kata-kata elo tadi, kaya bukan elo banget”
“Elo tahu enggak Fy, kalau elo mencintai seseorang karena segala kebaikan yang dia kasih ke elo, itu bukan cinta tapi rasa terimakasih, dan elo tahu, ketika elo merasa mencintai seseorang karena kepintaran yang dia miliki, buat gue sekali lagi itu bukan cinta tapi sebuah kekaguman, atau parahnya kalau elo mencintai seseorang karena seberapa banyak uang yang dia miliki, elo jelas matre-matre dan itu sama sekali bukan cinta, sama halnya kalau lo cinta sama seseorang karena betapa gantengnya dia, berarti elo cuma sekedar terpesona. Beda kalau elo, sekuat apapun berusaha untuk mencari alasan kenapa elo bisa mencintai seseorang sampai sedemikian rupa tapi elo enggak kunjung menemukannya, itu artinya, elo benar-benar mencintai dia, karena cinta..”
“Enggak butuh alasan” aku memotong dan melanjutkan kalimat Rio yang berbaris panjang itu. Ia mengamini apa yang aku ucapkan dengan tersenyum ke arahku.
“Lo pintar berkata-kata ya Yo”
“Bukan gombal kan tapinya ?”
“Entahlah, emang ada bedanya ?” tanyaku balik. Meski tempat obrolan kami ini sangat tidak strategis, yaitu di parkiran motor sebuah mall, dengan posisi aku bersandar di motor, dan Rio berdiri di hadapanku, namun tiba-tiba saja, aku menjadi begitu tertarik untuk lebih mengetahui tentang apa yang ada di dalam otak Rio.
“Beda dong, pintar berkata-kata itu artinya kemampuan linguistik lo bagus, dan lo mampu menyampaikan sesuatu dengan jelas dan membuat orang ngerti dengan apa yang lo sampaiin, sementara gombal cuma sekedar kemampuan sesaat laki-laki yang kasmaran untuk membuat cewek yang di taksir jatuh hati”
“Gue beneran enggak nyangkan ternyata elo kaya gini” ujarku polos, membuat Rio tertawa.
“Haha..kenapa ? apa karena selama ini gue selalu terlihat cuek dan slengekan ?”
“Maybe..ya intinya sih, gue beneran enggak nyangka aja kalau elo bisa punya kemampuan kaya gini”
Rio tampak menghela nafasnya. “Jangan bawa diri lo ke seret dalam stigma yang ada di masyarakat Fy, Chairil Anwar itu jenius karena dia pintar berkata-kata bukan karena dia selalu jadi juara satu di kelasnya”
“Maksudnya ?” aku jadi tidak mengerti, mengapa ia jadi menyeret pujangga ternamaan itu ke dalam obrolan kami ini.
“Siapa sih yang enggak kenal Chairil Anwar ? bahkan gue rasa orang yang enggak bisa nikmatin puisi sekalipun tahu tentang Aku-nya yang sangat fenomenal. Dan orang bilang dia jenius kan Fy, karena permainan katanya, bukan dari seberapa sering dia pernah dapat nilai sempurna sekolah, iyakan ?” Rio mencoba menjelaskan tentang argumennya, dan aku mulai paham akan maksudnya.
Dia benar, di balik hidupnya yang ia jalani sekehendaknya itu, ternyata seorang Rio menyimpan hal-hal menarik yang mampu membiusku, tanpa alasan.
Tunggu, apa tadi ku bilang ? aku mengaguminya tanpa alasan ? tanpa alasan.
*
Taman menjadi hening. Hening karena aku dan Rio tiba-tiba saja diam. diam bukan karena kami tidak mempunyai kata untuk di sampaikan, tapi karena sakit itu menusuk dada kami bersamaan, membuat kami tercekik oleh setiap inci getir rasa bersalah yang kami buat.
Aku memandangi kotak kaleng yang ada di pangkuanku. Ku lihat benda-benda lain yang tadi belum ku sentuh. Ada tiket bioskop, ada kartu hukuman yang ketika ku baca, berisi hukuman untuk Rio dan Alvin, ada gelang persahabatan yang telah putus dan membuatnya menjadi rentangan saja, dan ada sebuah kalung nama, kalung yang ku kenali sebagai milik Alvin.
Ku usap kalung ini, ku usap bagian yang terukir nama Alvin. Aku tersenyum pedih, terakhir kali aku melihatnya, ia nampak jauh lebih kurus, tapi bukan itu yang membuatku luka, terakhir kali kami bertemu, busur-busur panah pengkhianatan mengoyak habis persahabatan itu.
*
Cinta yang sebenarnya adalah cinta yang tidak butuh alasan. Mencintai yang sesungguhnya adalah mencintai yang tidak mengerti untuk apa tapi sangat peduli untuk siapa. Dicintai yang seharusnya adalah dicintai yang sederhana tapi bukan berarti kekurangan.
Dan aku berusaha untuk mencari alasan, mengapa aku bisa mengagumi Rio sejak hari itu. Namun nihil, alih-alih menemukan sebuah alasan, aku malah semakin terkesima dengan setiap penuturan yang ia sampaikan ketika kami sedang berdua.
Ya berdua. Aku dan Rio jadi sering pergi berdua. Setiap hari, tak sekalipun aku dan dia absen untuk saling berkirim sms. Perlahan, kami tak dapat menghindar lagi. Cinta itu datang, mengetuk dinding hati kami masing-masing, dan tak kuasa untuk kami tolak.
Aku dan dia resmi berpacaran, dan hebatnya, atau tololnya ? kami membohongi Alvin, yang juga tak pernah alpa untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, aku dan Rio menghabiskan waktu kami di taman, bermain ayunan berdua, tertawa satu sama lain, bisa ku bilang, kami amat sangat bahagia.
“Kalian...”
Mendengar suara yang sangat amat kukenali itu, aku dan Rio sontak menoleh ke asal suara. Dan benar saja, tidak jauh dari tempat kami, Alvin berdiri, dari sorot matanya, aku bisa melihat tatapan penuh tanya yang jelas-jelas diarahkan kepada kami berdua.
 “Alvin” panggilku pelan. Reflek, aku langsung berdiri dari ayunan, dan Rio langsung melepas tangannya dari kedua pundakku. Kami layaknya maling yang sedang dipergoki.
“Kalian pacaran ?” Alvin melanjutkan kata-katanya yang tadi terpotong olehku. Ia berjalan mendekat, tak ada senyum di bibirnya seperti biasa.
Aku menoleh sekilas ke arah Rio, dan entah mengapa aku menggeleng. “Vin..gue..kita..”
“Kenapa kalian enggak bilang sama gue ?” Alvin masih mengajukan pertanyaan pada kami yang hanya membisu, tak mengerti harus menjawab apa. Kepengecutan kami dimulai sejak detik itu.
“Gue sama Rio, err..kita...” aku berusaha untuk menjelaskan apapun yang ku rasa harus dijelaskan, namun sialnya suaraku malah tercekat, aku seperti kehilangan kemampuan untuk berbicara.
Alvin mendekat ke arahku, ia meraih tanganku, menggenggamnya erat, dan wajahnya terus mendekat ke arah wajahku, hingga aku mampu untuk melihat gurat-gurat merah di pipi putihnya, ia semakin mendekat, terus mendekat, dan aku entah mengapa, memejamkan mataku.
“BUGH !”
Ku buka mataku, ku lihat Alvin telah tersungkur jatuh. Ku alihkan mataku ke arah Rio yang ada di sisiku, dapat kulihat kilat emosi di wajahnya dan nafasnya yang memburu.
“Mata tidak pernah berbohong..” ucap Alvin, tersenyum meremehkan ke arah kami berdua. Ia menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. “Kenapa elo mau mukul gue Yo ? gue cuma kangen sama Ify dan mau nyium dia..”
“Sialan lo !” Rio menarik kerah baju Alvin, membuat Alvin kembali berdiri tegak. “Jangan harap lo bisa lakuin itu sama Ify !!” salak Rio dengan nada yang meninggi. Aku sendiri hanya bisa menyaksikan, sambil diam-diam menyadari, kehancuran ada di depan mata.
“Kenapa ? kenapa elo jadian sama Ify ?! kenapa ?!!” Alvin juga mulai berteriak-teriak. Padahal belum pernah sekalipun ku lihat Alvin kehilangan atas kontrol dirinya seperti ini.
“Dia bebas, dia bukan milik siapa-siapa, bukan milik elo ! dan dia mau sama gue !!” sahut Rio keras, tangannya masih saja mencengkram erat kerah baju Alvin. Alvin menatap Rio, sahabatnya, dengan tatapan yang tidak aku mengerti, sudah tak lagi penuh emosi seperti tadi, sebaliknya, pandangan itu cenderung meredup, seperti ada kesedihan yang begitu kental disana.
“Lepasin gue Yo..” pinta Alvin tiba-tiba. “Tolong lepasin gue”
Rio tak kunjung mengabulkan apa yang Alvin minta, sepertinya ia masih diliputi oleh deru nafsu yang baru saja meledak dalam tubuhnya. Aku mendekat dan berdiri di sisi Rio, ku sentuh tangannya. “Yo, lepasin Alvin..”
“Jadi dia sayap yang elo pilih Fy ?” tanya Alvin, kali ini ia tersenyum ke arahku.
Aku menatapnya takut-takut, masih bingung harus berkata apa. Bukan tak mau mengakui, aku hanya, tidak mengerti bagaimana cara mengakuinya.
“Kalau elo masih seenggaknya, menghargai apa yang udah kita laluin hampir sepanjang umur kita, kalau elo masih ingat gue sebagai sahabat lo, tolong lepasin tangan lo Yo..” pinta Alvin sekali lagi. Dan sepertinya kalimat itu berdampak banyak bagi Rio, karena ia langsung melepaskan tangannya dari Alvin.
“Enggak masalah, gue enggak masalah, tapi kenapa kalian harus bohong ? kenapa gue harus tahu dengan cara yang kaya gini ?” Alvin kembali memberondong kami dengan pertanyaan sederhana yang tetap saja tak mampu kami jawab. “Yo, berapa tahun lo kenal gue ? lo  yakin gue sebejat itu buat nyium Ify di tempat umum kaya gini ? lo merasa gue akan ngelakuin itu ?”
Rio menatap Alvin dengan pandangan rasa bersalah. Ia mengangkat tangannya, ingin menepuk pundak Alvin. “Vin gue...”
Alvin menghindar, dan ia tersenyum lirih ke arah Rio. “Mungkin memang enggak ada tempat di dunia ini buat gue, bahkan elo, satu-satunya orang yang gue rasa akan selalu menerima gue, elo bahkan kayanya udah enggak kenal, atau mungkin gue yang udah enggak kenal elo..gue memang harus pergi kayanya, hilang, enggak ada satupun yang mengharapkan hadirnya gue”
“Vin, elo harus dengerin kita dulu” ujar Rio lagi.
“Bukan gue yang harusnya dengerin, tapi kalian yang harusnya jujur dari awal” Alvin berbalik, dan ia berlajan menjauh dari kami berdua tanpa sekalipun menoleh. Ia tampak begitu ringkih, ia tidak setegar dulu ketika kami berpisah dalam suasana persahabatan yang kental. Aku merasa, merasa betapa pesonanya memudar, menguap entah kemana.
“Kejar Alvin Yo, buat aku” desahku, nyaris menangis. Tak kusangka semua akan seperti ini. “Kejar Yo, kamu nunggu apa lagi..” ulangku ketika Rio tak kunjung beranjak.
“Kalau aku ngejar Alvin, kamu gimana Fy ?”
“Jangan bodoh Rio ! jangan pertaruhin persahabatan kamu cuma untuk aku ! cinta kita enggak lebih dari ujung kuku ketimbang persahabatan kalian berdua, kejar dia Yo !”
Dan akhirnya, Rio meninggalkan aku sore itu, mengejar Alvin yang entah kemana. Sepeninggal Rio, aku menangis, menyadari betapa piciknya aku, menghancurkan persahabatan mereka. Betapa salahnya aku, betapa teganya aku berlaku seperti itu.
Sebelum benar-benar pergi dari taman, aku mengetik sebuah sms untuk Rio, mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi menundanya juga bukan sesuatu yang baik. Aku memutuskan Rio, hari itu juga, hanya dengan melalui sms.
Sejak hari itu, aku menghilang dari Rio. Aku pergi, aku berusaha untuk larut dalam duniaku. Meninggalkan Rio, Alvin, dalam masalah yang tak pernah ku tahu, apa ujungnya.
*  
“Betapa bodohnya aku hari itu Fy” Rio menelungkupkan wajah ke dalam telapak tangannya.
“Aku lebih bodoh Yo, aku menghancurkan persahabatan kalian..aku meninggalkan masalah itu gitu aja, aku yang paling bodoh disini”
Rio menoleh ke arahku. “Sejak hari itu, selain kehilangan kamu, aku juga kehilangan persahabatan aku Fy..” ungkapnya pelan, aku bisa merasa, menggali ini adalah menyiram kembali luka yang sesungguhnya tak pernah benar-benar mengering.
Aku menarik tangan Rio. “Ada dimana Alvin sekarang Yo ? aku mau minta maaf, aku harus minta maaf..”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Rio malah hanya menepuk-nepuk punggung tanganku yang sedang menggenggam pergelangan tangannya.
“Dimana Yo ? jawab aku, aku butuh ketemu Alvin, aku harus minta maaf, cukup dua tahun ini aku terus-menerus merasa bersalah atas semuanya” aku kembali mendesak Rio.
“Enggak akan bisa lagi Fy, enggak akan..” Rio menghela napasnya. “Dia udah pergi, dia udah tenang di tempat yang aku rasa, enggak akan terus-menerus ngecewain dia”
“M..maksud kamu apa Rio ?”
“Sebenarnya bukan asma, tapi kanker paru-paru, Alvin mengidap kanker paru-paru sejak kelas dua smp..”
Aku tak kuasa menahan kekagetanku, ku lepas tanganku dari tangan Rio, ku genggam erat kembali kalung milik Alvin yang tadi telah ku simpan ke dalam kaleng.
“Kepindahannya ke Bandung, selain memang karena paksaan papanya, ada alasan lain, dia harus menjalani pengobatan intensif di salah satu rumah sakit disana, dan kepulangannya waktu itu,  dia..dia...” mata Rio berkaca-kaca. “Argh ! aku bukan sahabat yang baik buat dia Fy !!” raungnya tiba-tiba, mengacak-acak rambutnya sendiri.
“Rio..” aku memeluknya, memeluknya erat. “Lanjutin Yo, apa yang terjadi sama Alvin sebenarnya ?”
“Hari itu, yang aku tahu dari mamanya...Alvin mau ngasih tahu aku, kalau pengobatannya gagal, kankernya udah menyebar”
Mendengar apa yang Rio ucapkan dengan kepedihan begitu dalam itu, juga menorehkan sakit yang luar biasa dalam hatiku. Aku bisa menebak, kemana ujung cerita ini, namun seperti ada monster kecil dalam jiwaku yang meraung untuk menolak kenyataan itu, aku belum meminta maaf padanya, tidak seharusnya dia pergi. Tidak secepat itu.
“Aku belum minta maaf sama dia Yo, aku belum minta maaf..” bisikku pelan, perlahan aku membasahi kaos bagian depan yang sedang Rio pakai. Air mataku mengalir deras, kehilangan, penyesalan, rasa bersalah, semua menyatu dan melawanku.
“Aku bahkan enggak ada di saat detik-detik terakhir dia pergi Fy, dia pasti akan maafin kamu, aku belum pernah bilang ya ? sepanjang hidupnya dia, cuma kamu, satu-satunya perempuan yang dia cintai, jadi aku jamin, dia enggak akan pernah membenci kamu, tapi aku ? aku enggak pantas di sebut sebagai sahabatnya Fy..”
“Aku juga yakin Yo, kalau dia akan maafin kamu, dia bukan pendendam, dia..dia pasti akan maafin kita..” Rio mengelus pundakku, dan aku terus mengalirkan rinai air mata. Air mata yang menyimbolkan segalanya.
Dan ia ternyata telah pergi, tanpa aku tahu kapan dan bagaimana. Aku bahkan tak tahu bahwa ia mengalami penderitaan sebelum hari kepergiannya. Tapi dapat ku pastikan, derita yang paling berat adalah bukan sakit yang ia alami dari penyakitnya, melainkan dari apa yang aku dan Rio lakukan terhadapnya.
Ia pergi, dan kata maaf itu tak terucap langsung padanya. Seandainya saja saat itu aku tak sekejap itu menghilang, mungkin rasa sesal ini tidak akan sesesak ini.
Tapi aku percaya, meski ia telah pergi, dan meski meski kata maaf itu belum sempat terucap dari bibirku. Aku yakin, ia akan menjadi malaikat Tuhan yang paling rupawan, yang telah memaafkan segala salahku terlebih dulu.
Maafkan aku Alvin, aku tetap akan mengagumi sampai kapanpun, aku mempunyai lebih dari seribu alasan untuk membuat kamu tetap ada disini sebagai sahabatku, untuk itulah, aku tidak pernah mampu mencintaimu. Aku tidak akan lagi berjanji, karena ternyata aku bukan pemegang janji yang baik, namun akan lebih berusaha untuk melakukan ini di sepanjang di hidupku, untuk terus mengenangmu, kamu yang akan tetap menyala dalam kobar api kenangan kita.

Komentar

Postingan Populer