The End (cerpen)
Mencintai seseorang itu mudah, bagian paling sulitnya, hanya ketika ia yang kamu cinta tidak tercipta untukmu.
-----
Ada
yang tak biasa sore ini, entah apa, namun aku merasakan itu. Seperti
ada yang mengganjal dalam hati ini, menyesak dengan paksa, memeluk
jiwaku erat. Aku menghirup nafas dalam-dalam berusaha membuang segala
kegalauan itu, dan rasanya aku sangat menikmati nafas yang aku hembuskan
setelahnya. Padahal setiap detiknya aku selalu bernafas kan ?
Aku
kembali menyusuri selasar kampusku yang sudah terlihat senggang. Agak
aneh juga sebenarnya, biasanya anak-anak tingkat atas masih suka
berkumpul disini, hingga malam malah, namun tidak kali ini. Suasana saat
ini benar-benar sepi, hanya terlihat satu dua orang, itupun mereka yang
juga berniat untuk pulang. Hah..untuk
apa juga aku pedulikan itu, aku telah membuat janji dengan shilla
sahabatku, di toko musik depan kampus kami, pasti ia telah menungguku
disana. Tidak ingin mendengar celotehannya yang selalu panjang, aku
memutuskan untuk mempercepat langkahku.
Dan
lagi-lagi aku merasakan sebuah keanehan ketika aku memasuki toko musik
ini, dan sebuah lagu mengalun tepat dengan kehadiranku.
Akankah kau melihatku
Saat ku jauh
Akankah kau merasakan
Kehilanganku
Saat ku jauh
Akankah kau merasakan
Kehilanganku
Reflek
aku langsung meraba tengkukku yang tiba-tiba saja merinding. Seperti
ada elemen magis dalam lagu ini yang menyerang tepat ke aliran pembuluh
darahku, membuatnya menyebar menyeluruh ke seluruh tubuhku.
Jiwaku yang telah mati
Bukan cintaku
Janjiku s’lalu abadi
Hanya milikmu
Bukan cintaku
Janjiku s’lalu abadi
Hanya milikmu
“Gue kenapa sih..” ujarku untuk diriku sendiri. Masih tidak mengerti dengan keanehan ini.
“Lama banget sih lo, mampir kemana dulu ?” shilla sudah berdiri di sampingku sambil membawa dua buah cd di tangannya.
“Shil, kok gue ngerasa ada yang aneh ya sama lagu ini”
Aku pergi dan takkan kembali
Akhir dari cinta yang abadi
Akhir dari cinta yang abadi
“Apanya yang aneh ? lo enggak pernah denger lagu ini ? kuper amat ! ini lagunya nidji”
Aku
menggeleng. “Bukan itu, gue juga tahu ini lagunya nidji. Tapi ada yang
aneh aja..tiba-tiba gue merinding dan ngerasa..umm..takut..”
“Takut
apa ?” tanya shilla bingung, memperhatikan wajahku lekat-lekat. Aku
diam, mencoba mencari jawaban. Dan aku sendiri tetap tidak mengerti.
Kata-kata takut tadi meluncur begitu saja dari bibirku.
Akankah kau melihatku
Di akhir nanti
Jiwaku yang telah mati
Bukan cintaku
Janjiku s’lalu abadi
Hanya untukmu
Di akhir nanti
Jiwaku yang telah mati
Bukan cintaku
Janjiku s’lalu abadi
Hanya untukmu
“Heiii..” shilla menyenggol bahuku, karena aku yang tidak kunjung memberinya jawaban.
“Hah ? apa ?”
“Yee..ini mah elonya yang aneh deh. Gue tanya tadi, apa yang bikin lo takut”
“Gue juga enggak tahu shil..tapi emang gue ngerasain ada yang beda sama lagu ini” ujarku keukeuh.
Aku pergi dan takkan kembali
Air mata untuk yang abadi
Aku pergi ke alam yang suci
Akhir dari abadi cintaku
Air mata untuk yang abadi
Aku pergi ke alam yang suci
Akhir dari abadi cintaku
“Ahh udahlah, perasaan lo doang kali. Lo mau beli enggak ?”
“Enggak ah, lo udah belum ? kalau udah cepet deh, terus kita keluar dari sini”
“Ya
udah gue bayar dulu, lo tunggu aja disana” sahut shilla sambil menunjuk
pintu depan dan berjalan ke kasir. Dan tanpa shilla suruh pun, aku
memang ingin bergegas pergi ke pintu dan keluar dari toko ini.
Aku pergi ke alam yang abadi
Akhir dari cinta yang abadi
Akhir dari cinta yang abadi
Tubuhku
seperti membeku tiba-tiba, dengan posisi tangan memegang handle pintu.
Lirik lagu itu, dua bait yang barusan menyapa telingaku itu, terasa
seperti di bisikkan langsung padaku. Atau malah terasa seperti sesuatu
yang keluar dari dalam hatiku.
“Kok lo malah diem disini sih ?” tanya shilla heran mendapatiku tidak bergerak di pintu.
Aku
nyengir ke arahnya, meski aku yakin cengiranku barusan pasti terlihat
aneh. “Hehe..enggak apa-apa..udah ayo keluar..” ajakku sambil membuka
pintu.
Hembusan
angin langsung menyambut kami berdua. Membuat rambutku dan shilla
berkibar kesana kemari layaknya iklan shampo, sialnya hanya rambut kami
tidak kembali lurus seketika hanya dengan jari. Aku langsung mengubek
isi tasku mencari sisir.
“Shil, ada sisir enggak ? sisir gue kayanya enggak kebawa nih”
“Bentar-bentar gue cari, nih lo pegangin ini dulu” shilla menyodorkan plastik berisi cdnya dan sebuah map padaku.
Selama
shilla mencari, aku hanya sibuk memperhatikan jalanan yang ada di
hadapanku. Lebih sepi dari biasanya, cenderung kosong malah. Mataku
beralih ke tukang gorengan di sudut halaman parkir toko ini. Tidak ada
yang menarik memang, lagipula aku juga terbiasa membeli gorengan itu.
Namun itu semua berubah, ketika aku melihat seseorang menyeberang dan
sepertinya berniat untuk membeli gorengan.
Postur
tubuhnya, caranya berjalan, gaya rambutnya, bahkan meski ia masih ada
di separuh perjalanan, aku bisa mengetahui siapa ia. Dan bila aku
menghitungnya, ini sudah berpuluh-puluh kalinya kebetulan ini terjadi,
mataku selalu melihat ke tempat dimana ia akan hadir dengan senyumnya.
“Shil..”
“Bentar, sisirnya ada di bawah ketindihan barang-barang gue yang lain”
“Ada
Riko..” ujarku pelan, terlalu pelan malah. Shilla langsung menghentikan
pencariannya dan ikut mengarahkan matanya sesuai dengan pandanganku.
“RIKO !” panggil shilla kencang.
“Kok elo panggil sih ?!” tanyaku sewot.
“Haha..biarin..gue suka lihat lo gugup kalau ketemu dia” jawab shilla enteng. Membuat aku sebal setengah mati dengannya.
Shilla
berjalan ke arah riko, dan terpaksa mau tidak mau, aku pun mengikuti
shilla. Meski dalam hati, aku merutuki ulah sahabatku ini, dan berjanji
akan membalasnya suatu hari nanti.
“Apa kabar lo ?” tanya shilla langsung.
“Baik-baik..” riko menjabat tangan shilla, ia juga mengulurkan tangannya padaku, yang aku terima dengan kikuk.
“Sendirian aja ko..” sapa shilla.
“Eh iya nih, gue tadi abis ketemu temen di kampus lo, terus mau balik lihat tukang gorengan, mampir dulu deh”
“Mobil lo, lo parkir di seberang ?”
“Iya..eh mau enggak nih gorengannya ?”
Disaat
dua orang itu asik mengobrol. Aku hanya bisa diam. Menundukkan
kepalaku, melihat butiran-butiran kerikil yang aku mainkan dengan ujung
sepatuku. Aku ingin melihat senyumnya, namun tidak dengan cara seperti
ini.
“Enggak
deh, thanks..ehh kok sahabat gue ini diem aja ya..” shilla merangkul
pundakku, sambil tersenyum jahil. Huh, ingin rasanya aku menginjak
kakinya keras.
“Apaan sih lo shil !”
“Weits..santai
aja kali..rikonya aja biasa” aku langsung menoleh ke arah shilla dan
memelotinya, ia malah membalasku dengan cengiran dan kedipan mata.
Benar-benar membuatku kesal.
“Haha..lo berdua kenapa sih ? eh, gue duluan ya shil...ehm...”
“Iya-iya..hati-hati
ya ko..” potongku cepat. Sambil tersenyum kilat kearahnya. Riko hanya
tersenyum tipis, dan berbalik ingin menyeberang. Shilla yang melihat
tingkahku, berusaha menahan tawanya, sampai-sampai membuat badannya
bergetar.
“Puas lho shil, bikin gue kaya gini ?!”
“Puas
banget ! haha..unyu banget sih lo..” shilla menoel daguku. Aku hanya
mengerucutkan bibirku, masih dongkol atas sikapnya kali ini. Tapi mataku
tetap melihat ke arah riko, ke arah punggungnya yang tegap. Jalanan
yang sepi, membuat laju kendaraan menjadi seenak jidat mereka sendiri.
Dan membuat riko harus ekstra hati-hati serta sabar untuk menyeberang.
“Udah
ah, gue tahu lo enggak akan lama-lama ngambek sama gue. Ayo balik..”
shilla berbalik menuju mobilnya. Namun tidak denganku. Lagi-lagi kakiku
terasa kaku, aku tetap saja berdiri, memperhatikannya. Hingga aku sadar,
riko dalam bahaya, sebuah mobil sedan sedang melaju ke arahnya.
Seperti
ada yang berbisik, terngiang jelas di telingaku. Tiba-tiba saja, aku
berlari, menerobos jalan, tidak mempedulikan kendaraan lain. Tujuanku
hanya satu, riko.
“RIKO
AWAS !!” teriakku. Jari-jemariku mengenai punggungnya, memaksanya untuk
menjauh, mendorongnya sekuat mungkin. Menerjang tubuhnya.
“BRAKK !”
“CKIITT”
Dentuman. Decitan rem. Teriakan orang-orang. Suara shilla. Suara Riko. Bising. Pudar. Gelap. Dan semua terasa berhenti.
-----
Seperti debu. Cinta tidak akan menghilang sekuat apapun kita memaksanya. Dan mungkin, itulah aku..kepadanya..
-----
Semua terasa ringan. Melayang menyatu dengan udara. Hei, ada apa dengan tubuhku ?
Aku
melihat sekelilingku. Ruangan apa ini ? penuh dengan alat-alat yang
memiliki banyak panel. Rasanya aku tidak pernah mempunyai kamar seperti
ini.
Dan
keterkejutan itu, menyeruak langsung, ketika aku melihat diriku
sendiri. Dengan mata terpejam, dengan selang-selang serta kabel-kabel
warna-warni di tubuhku, dengan perban di kepalaku, dan garis yang cukup
lemah di monitor samping tempat tidurku.
Mengapa aku bisa melihat tubuhku sendiri ? apa bentukku saat ini ? apa aku telah mati ? apa yang terjadi padaku ?
Aku
terduduk di ranjang. Tepat di samping tubuhku sendiri. Memandangi
wajahku yang terhiasi oleh luka parut di pipi dan bibirku yang memucat.
Aku menyentuh tanganku. Berharap bisa masuk ke dalamnya, seperti di
film-film yang pernah aku tonton, menyatukan jiwaku kembali. Namun
ternyata tidak semudah itu. Tidak ada yang berubah. Aku tetap tidak bisa
menjadi satu dengan tubuhku sendiri.
Riko.
Tiba-tiba satu nama itu menghampiriku. Bagaimana dengan keadaannya ?
apakah ia baik-baik saja. Apakah ia selamat ? aku merasa telah
mendorongnya tadi. Tapi dimana ia sekarang ?
Aku
menghadap pintu. Menjulurkan tanganku melewatinya, dan tembus. Ya
Tuhan, jadi sekarang aku ini bisa menembus apapun juga ? hantukah aku
ini ?
“KALAU SAMPAI TERJADI APA-APA, GUE ENGGAK AKAN PERNAH MAAFIN ELO RIKO !!”
Teriakan
itu. Aku tahu itu suara shilla. Dan aku menghampirinya. Ruangan itu
terlihat serba putih, hanya sebuah lukisan dengan aliran abstrak
berwarna merah layaknya darah menggantung diam di dindingnya.
Shilla
berdiri menatap riko tajam, badannya bergetar hebat, bukan karena
menahan tawa seperti terakhir aku melihatnya, tapi karena tangisan.
Alvin, pacar shilla, berdiri sambil mengamit pundak shilla dengan kedua
tangannya. Riko sendiri terlihat sedikit berantakan, tidak ada
tanda-tanda ia terluka sedikitpun. Dan sorot matanya, tampak pasrah
dengan segala macam raungan shilla.
“Udah shil, ini rumah sakit, kamu enggak bisa kaya gini”
“Sahabat aku di dalam sana ! kritis ! dan itu semua gara-gara dia ! GARA-GARA ELO RIKO !” teriak shilla lagi.
“Enggak
shil, dia enggak salah, riko enggak salah..gue yang emang berniat jadi
pahlawan buat dia.. ini bukan kemauan dia sama sekali..” ujarku meski aku tahu tak ada seorangpun yang mengerti bahwa aku ada disini saat ini.
“Shilla
!” aku menengok ke belakang, dan tubuh-tubuh itu langsung masuk begitu
saja, menembus badanku yang memang tidak akan terlihat oleh mereka. Sahabat-sahabatku.
Mereka datang, irva teman sebangkuku saat sma, via sahabat karibku yang
lain sejak smp, dan zeva teman seperjuanganku, serta ify temanku di
kampus yang dekat denganku sejak kami sama-sama di ospek.
Mereka
berempat memeluk shilla. Alvin nampak menyingkir memberikan ruang. Dan
jujur saja, ini membuatku sedih. Aku membuat mereka menangis, membuat
mereka mengkhawatirkanku. Aku mendekat ke arah mereka, ikut meletakkan
tanganku di atas tangan mereka yang sedang saling berpelukan.
“Gue ada disini..disini..” bisikku lirih.
Keadaan
ini berlangsung cukup lama. Dan aku benar-benar merasa terharu
sekaligus sedih melihat ini. Sahabat memang orang-orang terhebat yang
mengisi hidup kita.
“Gue minta maaf..” semuanya menoleh, termasuk aku. Riko yang berbicara. Ia menatap mata sahabat-sahabatku dengan sendu.
“Elo ?” tanya irva kaget.
“Iya va..dia riko..” ujar shilla pelan.
“Lebih
baik kalian duduk dulu deh, gue beliin minum..” bujuk alvin. Shilla
menurut, lagipula sepertinya ia sudah kehabisan banyak energinya untuk
menangis dan berteriak-teriak. Irva, via, zeva dan ify juga ikut duduk
di samping shilla.
Via yang duduk di sebelah kiri shilla menengok ke arah shilla. “Kenapa semuanya bisa kaya gini shil ? apa yang terjadi sama...”
“Dia..dia
nyelametin riko..” potong shilla. Sepertinya shilla masih cukup shock
untuk sekedar mendengar atau mengucapkan namaku. Dan semua tampak
maklum.
Ify menoleh ke riko yang tetap saja berdiri. “Jadi elo yang namanya riko ?”
“Lo kenal gue ?”
“Semua orang tahu elo ko..riko yang spesial, riko yang perhatian, riko yang pengertian..”
“Riko
yang dewasa, riko yang selalu tahu, riko yang senyumnya manis, riko
yang jayus, riko yang selalu bisa bikin ketawa” zeva menimpali kata-kata
irva. Membuat riko menatap lima orang itu dengan bingung.
“Dia selalu ngebanggain elo di depan kita, selalu” sahut shilla.
“Enggak pernah berubah..sejak dulu, selalu cuma ada elo” tambah via menerawang.
“Gue enggak ngerti” ujar riko jujur.
“Lo pernah enggak sekali aja, sadar sedikit, kalau cintanya dia ke elo, enggak pernah mati..sejauh ini..”
Aku
tersenyum tipis mendengar penuturan shilla barusan. Shilla tahu pasti
apa yang ada di dalam hatiku tentang riko, begitu juga dengan semua
sahabatku tentunya. Bisa di bilang, aku ini penganut rikocentris. Aku
selalu dan selalu memuji segala tentangnya. Seolah ia tidak memiliki
cela sedikitpun.
Meski
shilla selalu bilang, bahwa ia tidak bisa melihat dimana letak
keunggulan riko. Atau irva yang selalu menyemangatiku untuk move on. Via
yang di setiap harapannya selalu menyelipkan satu doa agar aku bisa
melupakan riko. Dan ify yang sempat beberapa kali mengenalkanku dengan
laki-laki lain supaya aku tahu, tidak hanya ada riko di dunia ini.
Tapi
aku tetap saja berdiri untuk riko. Seseorang yang pernah menjadi
pemeran utama dalam kisah masa laluku. Mimpi yang entah mengapa tidak
pernah bisa padam. Asa yang selalu saja menyala hebat dalam tubuhku. Ya,
aku masih mencintainya, bahkan meski aku tahu, buku cerita kami telah
ia tutup sejak lama.
“Lima tahun. Kalian udah pisah selama lima tahun kan ko ?” tanya ify pelan.
“Mungkin..ya kira-kira segitulah”
“Bukan
mungkin atau kira-kira ko, tapi emang iya. Di balik kebodohannya untuk
terus mengharapkan elo, dia selalu membanggakan tahun-tahun yang
terlewati buat terus menanti lo” lanjut via.
“Gue masih enggak ngerti apa yang kalian berlima omongin”
“Lo
percaya enggak, kalau ada seseorang yang akan terus bertahan buat lo,
menunggu masa lalunya buat kembali, selama lima tahun” ify melirik ke
arah riko.
“Ada yang kaya gitu ?”
“Itu yang sahabat gue lakuin ke elo. Dan sekarang, dia bahkan relain nyawanya, buat elo..” sahut irva.
Riko
menatap irva, lalu menatap yang lainnya juga. Ia tampak sedikit
terguncang. Mungkin juga tidak menyangka. Ia mundur beberapa langkah,
dan menyandarkan tubuhnya di dinding.
“Selama ini ?” tanya riko untuk siapapun yang mau menjawab pertanyaannya.
“Tanpa sekalipun berhenti” zevalah yang menjawab pertannyaanya.
Dan
aku ? aku berdiri di tengah-tengah ruangan ini. tidak menyangka,
akhirnya akan tiba hari ini, saat ia mengetahui semuanya. Tentangku,
perasaanku, serta penantianku. Ia tahu semuanya.
“Kenapa
?” tanya riko lagi. Namun kali ini ruangan itu tetap hening, tidak ada
satu orangpun yang mau menjawabnya. Aku memutuskan untuk mendekat ke
arah riko, dan berbisik padanya.
“Karena kamu selalu bisa membuat aku merasa jadi satu-satunya dengan cara kamu yang sederhana”
-----
Ini seperti akhir dari sebuah film sedih, penuh tangis, dan rasa sesak. Mungkin itu, yang orang bilang, patah hati.
-----
Aku
kembali menatap tubuhku sendiri. Tidak ada yang berubah. Detak
jantungku masih lemah. Pendarahan hebat terjadi dikepalaku karena
benturan yang terlalu keras. Tulang rusukku juga patah. Keadaanku memang
hancur lebur saat ini.
“Kondisinya
tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi bu, pak. Terlalu lemah dan
berbahaya, kami tidak mau mengambil resiko untuk itu. Seandainya ia bisa
sadar saja, bisa kami katakan itu sebuah keajaiban..tapi kami-kami ini
hanya dokter, yang punya kuasa tetaplah Tuhan..hanya saja kami telah
berusaha, namun keadaannya memang sangat kritis”
Penjelasan
dokter yang kucuri dengar itu cukup membuatku terpuruk. Hal itu
bertambah, saat aku melihat mama menangis. Mengapa aku tidak mati saja
sekalian ? langsung saat itu juga. Bukan malah rohku bisa berkeliaran
seperti ini. Melihat orang-orang yang menyayangiku meneteskan air mata
untukku ternyata tidak semudah kelihatannya.
Bila
mampu, rasanya aku ingin berteriak dan memberitahu mereka semua bahwa
aku ada disini. Masih disini. Di dekat mereka. Argh, lagipula kenapa sih
aku bisa melihat mereka tapi mereka tidak bisa melihatku.
Klek. Aku menoleh, terlihat riko berdiri di depan pintu menatap lurus ke arahku. “Maafin gue ya..maaf..”
Hanya
itu, lantas ia bergegas pergi. Dan aku mengikutinya. Berjalan di
sampingnya tanpa ia sadar. Bahkan aku meraih tangannya seolah
menggandengnya tanpa ia mengerti. Di mobil, aku duduk di sampingnya,
menemani ia yang menyetir. Dan aku masih tetap saja ada di sisinya
hingga ia masuk ke dalam kamarnya.
Bingung.
Ketika ia tiba-tiba saja, membuka lemari pakaiannya dan mengeluarkan
beberapa kotak dari dalam sana. Tanpa melepas jaketnya, yang baru aku
sadari ada bekas darahnya, dan itu pasti darahku. Ia duduk bersila di
lantai kamarnya mengobrak-abrik kotak-kotak itu, entah mencari apa.
“Ketemu..”
desahnya pelan. Dan aku bagai kehilangan kata-kata saat melihat apa
yang ada di genggaman tangannya. Sebuah sapu tangan, dan itu dari aku.
Tapi bagian terpentingnya adalah, ia masih menyimpannya.
“Itu sapu tangan dari aku kan ko ?”
“Gue pikir sapu tangan ini udah raib. Gue harus bawa besok sapu tangan ini, gue harus tunjukkin ke dia..”
“Nunjukkin apa ko ?”
Tentu
saja riko yang tidak bisa mendengar pertanyaanku tidak menjawab
pertanyaan itu. Ia menjejalkan kembali barang-barang lainnya secara
asal, dan meletakkan sapu tangan itu di atas meja belajarnya. Lalu ia
keluar, mau ke kamar mandi mungkin.
Aku
memilih untuk tinggal disini. Memperhatikan kamarnya. Dulu, saat kami
masih bersama, aku memang pernah masuk kesini sekali, dan itupun hanya
sebentar. Tapi aku tahu, sudah banyak yang berubah.
Mataku
menyusuri barang-barang yang terpajang di meja belajarnya. Ada beberapa
komik, kertas-kertas tugas, dan pernak-pernik lain yang tergeletak
secara asal di atasnya. Mataku berhenti di depan sebuah foto. Fotonya,
dan ia tidak sendiri. Fotonya bersama seorang gadis, yang sangat cantik.
Dan saat itu aku tahu, aku harus keluar dari sini, ada disini terus
menerus, tidak akan membuat aku jadi lebih baik. Apapun yang terjadi
beberapa jam lalu, tidak akan merubah kami, kami tetaplah hanya sebuah
masa lalu.
-----
Setiap
hidup mempunyai kepingan yang menyusunnya. Dan aku bangga, kepinganku
di susun oleh orang-orang yang mengagumkan. Mereka yang selalu bisa
menerima kekuranganku.
-----
Keadaanku
bertambah buruk. Itulah yang aku tahu dari perbincangan para suster
yang sedang mengganti selang infusku dan memeriksa alat-alat yang
menempel di tubuhku. Miris bukan. Aku berdiri disini, dapat mendengar
orang-orang itu memvonis tentang hidupku yang katanya tidak dapat
terselamatkan lagi.
Sepeninggal
suster-suster itu, aku hanya termenung, masih memandangi tubuhku
sendiri. Yang bahkan tidak bergerak meski hanya kedipan mata. Rasanya
sesak. Aku seperti ingin menangis. Aku takut, aku masih ingin hidup
lebih lama lagi. Aku masih mau melanjutkan kuliahku, masih mau menjadi
sarjana dan memakai toga. Aku masih mau bekerja dan membahagiakan kedua
orang tuaku. Aku masih ingin ada di tengah-tengah sahabatku. Aku masih
mau semua itu. Bukan akhir yang seperti ini.
Ingatanku
jadi berputar, saat sebelum kejadian ini. Saat sebelum mobil itu
menabrak tubuhku dengan kencang dan membuatku terpental. Aku jadi
mengerti, mengapa hari itu aku merasa begitu berbeda. Mengapa semua
terasa janggal untukku. Mungkin itu yang di sebut firasat.
“Lagu nidji waktu itu..emang gue banget sekarang” batinku lirih.
Tiba-tiba,
setitik air menetes dari sudut mataku. Tanganku mencoba menyentuh
pipiku, berharap dapat menghapus air mataku sendiri meski yang terjadi
adalah, tanganku malah seperti menembus kepalaku sendiri. Ternyata aku
masih saja mempunyai ikatan yang kuat dengan tubuh itu, saat aku merasa
putus asa seperti ini, mata itu masih bisa menangis. Tapi kenapa jiwa
ini tidak bisa kembali untuk berkerja sama ?
Klek.
Terlihat shilla dan alvin menghampiri tubuhku. Ingin rasanya aku
memeluk shilla. Sahabatku yang cantik itu, masih saja terlihat
terguncang. Mungkin akupun akan seperti shilla, jika keadaan ini berbalik, dan aku harus melihat tubuhnya di terjang mobil di depan mataku sendiri.
“Maafin gue..” ujar shilla lirih.
“Untuk apa ?” tanyaku heran.
Alvin
menggenggam tangan shilla erat, aku tahu, ia sedang menguatkan shilla.
“Elo enggak marah kan sama gue ? terakhir kita sama-sama, gue malah
bikin lo jengkel sama gue. Kalau tahu kejadiannya bakal kaya gini, gue
enggak akan manggil riko, ataupun godain lo sama dia...maaf..”
Shilla menangis lagi. Alvin langsung memeluknya.
“Gue
enggak marah sama lo shil, enggak akan. Gue emang jengkel banget waktu
itu sama elo, tapi gue enggak bener-bener dendam sama lo kok, lo kenal
gue kan shil ? jangan nangis dong cantik..” aku menyentuh pipinya, tidak ingin air matanya terus mengalir.
“Udah shil, kamu harus bisa ikhlasin semua ini..”
Aku
mengangguk, setuju dengan perkataan alvin. Entah apa, tapi aku merasa,
aku tetap bisa seperti ini, karena mereka tidak melepaskan aku. Rasa
sayang mereka yang begitu kuat, menahanku disini. Tapi itu tidak
membuatku jadi lebih baik. Aku mulai bisa menerima, duniaku telah
berakhir, dan mungkin tidak akan pernah kembali lagi.
“Gue
pamit ya..take care..i love you..we love you..makasih udah menjadi
sahabat yang hebat buat gue selama ini..” shilla mengecup keningku. “Gue
ikhlas..apapun yang terbaik buat elo..”
“Gue akan jagain shilla, lo tenang aja..” alvin menepuk-nepuk punggung tanganku pelan.
Dan aku tersenyum. Aku tahu, alvin yang terbaik untuk shilla saat ini. “Gue percaya sama lo vin, tapi awas aja lo sakitin shilla, gue gentayangin lo..hehe..”
Sekali
lagi shilla mengecup keningku, mengusap pipiku dengan ujung-ujung
jarinya, menyibakkan poniku, dan ia tersenyum. Senyum yang selalu aku
kagumi darinya. Senyum yang sejak pertama aku mengenalnya, selalu bisa
membuat siapapun jatuh cinta dan nyaman olehnya. Bersamanya aku
menghabiskan banyak waktu dengan banyak kegilaan serta canda tawa. Dan
aku senang, senang karena saat ini, ia tersenyum lagi untukku. Tidak
lagi menangis.
Mereka
berdua berjalan menjauh dari ranjangku. Sesekali shilla menoleh ke
arahku, namun genggaman tangan alvin yang erat, sepertinya telah sedikit
menguatkan ia. Baru saja pintu tertutup, pintu itu terbuka kembali, dan
terlihat irva masuk mendekati tubuhku.
“Terakhir
kita ketemu, sebulan yang lalu, waktu elo tiba-tiba aja nelpon gue dan
minta gue nemenin lo buat jalan. Gue enggak nyangka, itu pertemuan
terakhir kita, itu terakhir kalinya, gue melihat elo yang selalu tenang
dan mengagumkan. Elo yang selalu tahu apapun, dan elo yang selalu bisa
bikin gue mengerti banyak..” irva diam sebentar, tangannya memegang
tanganku.
“Masih
inget waktu kita sma. Elo yang selalu aja penuh semangat, dan nularin
semangat itu ke gue. Cita-cita lo, segala macam harapan lo, gue masih
inget semuanya, termasuk riko..”
“Gue kira, kuliah dan jadi mahasiswa, juga merubah perasaan lo ke dia. Gue pikir, lo udah berhenti mengharapkan riko”
“Enggak
bisa va, lo tahu sendirikan ? gue enggak bisa. Gue tahu, dia enggak
mungkin balik lagi buat gue..tapi gue tetap enggak bisa..”
Irva
meraba pipiku pelan. “Berapa kali sih gue harus bilang ke lo, lo itu
cantik, pintar, dan lo berhak untuk move on, lo bisa. Lo cuma kurang
percaya diri..dan lihat kondisi lo sekarang ? gue belum mau kehilangan
lo..”
“Gue juga enggak mau ninggalin lo va..enggak mau ninggalin kalian..”
“Nyokap
lo bilang, dokter udah lepas tangan sama keadaan lo. Gue yakin lo bisa,
tapi gue enggak mau maksa elo..gue mau lo bahagia..dimanapun..karena
gue akan selalu berdoa untuk kebaikan lo..” seperti shilla tadi, irva
juga mengecupku. Ia tersenyum tipis ke arahku, dan seandainya ia bisa
melihat, aku juga sedang tersenyum ke arahnya.
Belum
sempat pintu tertutup, via telah masuk. Ia langsung memeluk tubuhku,
mendekapkan tubuhnya. Matanya masih merah. “Kenapa harus kaya gini sih
?” tanyanya di telingaku.
“Takdir vi..gue juga enggak mau kaya gini..”
Via melepaskan pelukannya, lalu duduk di samping tubuhku, mengangkat tanganku dan mengusapkannya ke pipi putihnya.
“Inget
kan, berapa lama kita udah temenan ? sejak smp. Sejak kita masih pakai
putih biru..dan sekarang tiba-tiba gue harus nemuin lo dalam keadaan
kaya gini ? rasanya sesak banget..”
Bisa
di bilang, dialah sahabatku yang terlama. Kami berteman sejak
bersekolah di smp yang sama. Meski pisah sma, tapi kami tetap menjalin
hubungan itu. Dan walaupun sekarang kami juga ada di kampus yang
berbeda. Aku dan dia tetap bersahabat. Ialah orang yang mengerti
saat-saat manisku masih bersama riko. Ia juga saksi, betapa terpuruknya
aku, saat hubunganku dan riko berakhir.
“Banyak
yang mau gue sampaiin..tapi enggak semudah itu. Ngelihat lo kaya gini,
cuma bikin gue terus-terusan mau nangis..bukannya kita pernah janji,
kalau kita bakal terus sahabatan sampai nanti kita sama-sama jadi
sarjana, jadi ibu rumah tangga, jadi nenek-nenek dan seterusnya..kenapa
lo harus pergi duluan di tengah jalan kaya gini ?!” air mata via tidak
berhenti mengalir.
“Berhenti menangis via, kita akan tetap bersahabat..gue akan selalu ada disini..di dalam hati lo..”
“Gue
sayang sama lo..enggak bisa ngebayangin rasanya hidup tanpa elo. Tapi
gue enggak mau egois..tunggu gue di surga ya” via memelukku sekali lagi,
cukup lama dan erat. Aku sendiri ingin juga memeluknya. Seandainya aku
mampu.
Dan
rasanya aku baru paham, bahwa sepertinya mereka semua memang bergiliran
untuk masuk. Karena kali ini, aku telah mendapati zeva, duduk di tempat
yang sama dengan via tadi. Ia lebih memilih menunduk ketimbang
memandangku.
“Ini kaya mimpi..” desahnya pelan.
“Tapi ini nyata ze” sahutku meski separuh hatiku juga setuju dengan kata-katanya.
“Masih
inget, waktu sebelum-sebelum ujian, kita les berdua, hujan-hujanan,
panas-panasan, enggak peduli puasa, macet berjam-jam..ikut try out
sana-sini..dan sekarang saat kita ada di tangga awal impian kita, kenapa
elo malah kaya gini ?”
Aku
tersenyum kecil. Aku dan zeva dekat karena kami mengikuti les yang
sama. Masih aku ingat, beberapa bulan sebelum ujian, aku dan dia selalu
saja pulang hingga larut, menghabiskan waktu kami untuk membahas
soal-soal. Atau saat kita nekat pergi mengikuti try out di tempat yang
tidak pernah kami datangi sebelumnya. Ya, bersamanya, aku mengasah
kemampuanku dan saling mendukung satu sama lain.
“Gue
benci kehilangan..tapi gue juga enggak punya kuasa buat nahan lo
disini” zeva mengangkat wajahnya, akhirnya ia menatap tubuhku juga.
Terlihat jelas, gurat kesedihan di matanya. Padahal aku tahu betul, ia
bukanlah pribadi yang cengeng.
“Terimakasih
pernah nemenin gue nyusun semua mimpi ini, gue janji, gue akan meraih
itu untuk gue dan untuk elo” zeva menatapku lama, lalu ia berbalik dan
aku tahu ia menangis.
“Giliran gue ze..” ujar ify yang entah sejak kapan telah muncul di depan pintu. Zeva hanya mengangguk dan beranjak pergi.
Ify meletakkan selembar karton di atas badanku. “Lihat ini..ini tanda tangan anak-anak di kampus dan doa mereka buat elo..”
Terlihat
banyak goresan di karton itu dengan berbagai warna tinta. Ada
ucapan-ucapan doa juga. Tentu saja itu membuat aku terharu. Aku memang
tidak salah, bila menganggap orang-orang yang hadir di hidupku adalah
orang-orang hebat.
“Gue
tahu keadaan lo. Bukan pesimis, tapi tadi waktu gue tanya ke rio, dia
bilang nyawa lo emang udah di ambang hidup dan mati. Dan berhubung dia
calon dokter, gue enggak mungkin ngebantah apa katanya dia kan ?”
Aku
mengenal ify baru beberapa tahun belakangan ini. tapi kami langsung
cocok, mengambil jurusan dan mata kuliah yang sama, aku dan dia berubah
menjadi orang yang seperti sudah lama saling kenal. Aku suka
mengganggunya, saat ia sedang berdua dengan pacarnya, rio, senior kami
di kampus. Dan sekarang saat-saat itu hanya akan berubah menjadi
kenangan saja.
“Ada
dimanapun dan apapun keadaan lo sekarang, gue yakin lo bisa denger
gue..kita semua udah sepakat untuk melepas elo. Kita enggak mau lo
terus-terusan tersiksa dengan semua alat-alat ini..kita mau lo jemput
hidup lo yang baru, dan janji sama gue, jangan pernah lagi lo ingat
tentang riko..” di balik air matanya, ify tersenyum kecil.
“Riko
lumayan, tapi lo lihatkan ? dia bukan yang terbaik buat lo. Udah cukup
lo mencintai riko sejauh ini..sampai lo lupa untuk mencintai diri lo
sendiri..dan ini saatnya, buat lo untuk bahagia” ify juga mengecupku,
bukan di kening tapi, melainkan di kedua pipiku.
Dan
bila aku tidak salah mengira, berarti ini saatnya riko. Benar saja,
tubuhnya yang jangkung terlihat memasuki kamarku, ia membawa sapu tangan
yang semalam ia cari. Ia duduk dan mengikatkan sapu tangan itu di
pergelangan tanganku.
“Masih ingat ini ? ini sapu tangan dari lo. Waktu itu, lo pakai sapu tangan ini buat ngebungkus coklat..”
“Kamu masih ingat ko ? kamu masih ingat semuanya ?”
“Pertama,
elo yang perempuan pertama yang jadi pacar gue. Itu enggak akan pernah
berubah..gue kaget banget waktu gue tahu, lo masih sayang sama gue,
setelah sejauh ini..lima tahun, dan elo enggak nyerah sedikitpun”
“Itu terlalu..umm..imposibble gue pikir..”
“Dan itu gue lakuin ko”
“Tapi ternyata itu beneran terjadi. Jadi selama lima tahun gue membiarkan elo buat nunggu dan berharap..maaf yaa..”
“Bukan salah lo ko, i know, i’m a stupid girl”
“Dan sekarang lo nyelametin gue, relain nyawa lo buat gue. Sebesar itukah rasa sayang lo ke gue ?”
“Kenapa
ko ? ini terlihat terlalu sinetron ya ? gue sendiri juga enggak tahu,
kekuatan darimana sampai kemarin gue bisa nyelametin elo”
“Hidup
itu berjalan, gue berubah, dan banyak perubahan yang terjadi dalam
hidup gue. Buat gue, lo cuma kenangan, dan sahabat. Seandainya gue tahu
dari awal, gue akan bantuin lo buat bisa lupain gue..biar kejadiannya
enggak kaya gini”
“Enggak apa-apa ko..semua udah terjadi, ini emang takdir gue”
“Dan
sekarang gue cuma bisa bilang maaf dan bawa sapu tangan ini. lihat, gue
masih nyimpen kenangan kita kan ? kekuatan kenangan itu enggak akan
pernah mati, lo akan selalu hidup buat gue, mantan gue yang lucu, mantan
gue yang pertama. Kalau ada kehidupan lain, dan kita masih bisa
sama-sama, janji sama gue, jangan pernah lakuin hal bodoh ini lagi”
Riko
mengeratkan jari kelingkingku di kelingkingnya. Sambil tersenyum tipis,
tapi tetap saja membuat aku meleleh. Ia mengelus pipiku pelan, lalu
beranjak meninggalkanku. Aku melihatnya menjauh, semakin menjauh, ia
mendekati pintu dan akhirnya menghilang di baliknya.
Aku
termanggu, menatap sapu tangan yang ia ikatkan di tanganku. Inikah
akhirnya ? hidupku, ceritaku, kisahku. Inikah ujungnya ? cintaku,
sayangku, kasihku. Jadi semuanya berakhir seperti ini. jadi aku harus
meninggalkan mereka dengan cara seperti ini. Tidak adakah cara yang
lebih menyenangkan. Tidak bisakah semenit saja aku tersadar dulu hanya
untuk melihat mereka dengan ragaku, bukan seperti ini.
“Kak..” aku menoleh lagi, terlihat deva, adek laki-lakiku satu-satunya.
“Maaf
selama ini udah bikin lo suka marah-marah sama gue, tapi lo perlu tahu
satu, lo itu kakak terbaik yang pernah gue miliki, dan lo hebat”
Aku
mendekat ke deva dan memeluknya. Belum pernah selama ini, 19 tahun aku
hidup bersamanya, ku dengar sekalipun ia memuji diriku, dan barusan,
sedetik yang lalu, ia baru saja melakukan itu. Khusus untukku.
“Jangan bandel lagi..banggain mama sama papa, tumpuan mereka sekarang cuma ada di elo”
“Gue
janji kak, gue enggak akan bandel lagi, gue akan bikin mama sama papa
bangga. Gue janji..” deva menangis. Setelah dua hari ini aku koma,
setelah kemarin aku hanya melihat ia diam, hari ini ia menangis untukku.
Ahh, kamu harus kuat deva, kamu laki-laki.
“Jangan
kaya gini dev, kita udah sepakat kan, melepas kakak kamu dengan
senyuman” tiba-tiba saja papa sudah berdiri di belakang deva. Deva
buru-buru menghapus air matanya, sedangkan aku menatap wajah papa
lekat-lekat. Mungkin ini terakhirnya aku bisa melihat wajah mereka.
“Kakak
kamu bakal lebih baik kalau kita berusaha untuk menahan semua kesedihan
ini dev” mama juga ada disana. Bajunya belum ganti sejak kemarin. Mama
terlihat begitu acak-acakan. Beliau menghampiri tubuhku.
“Mama
bangga, bangga punya kakak, anak mama yang hebat, anak mama yang
pintar, anak mama yang enggak manja..mama ikhlas ngelepas kakak..mama
bisa ngelepas kakak..” air mata mama jatuh ke pipiku. Dan aku sendiri
hanya bisa terpaku melihatnya. Sepertinya aku benar-benar akan pergi
setelah ini.
“Gimana bu, pak ?” dokter yang sejak kemarin memang merawatku, berdiri di ambang pintu.
“Silahkan
dok, kami sudah siap” jawab papa sambil melihat ke arahku. Ia meraba
kakiku, memijat-mijatnya, lalu papa tersenyum, meski aku tahu, semalam
ia juga menangis.
Dokter
itu berjalan menuju alat-alat yang terpasang di tubuhku. Ia melihat
kedua orang tuaku sekilas, dan deva yang sedang menggenggam tanganku.
Lalu, dengan satu gerakan ia mematikan semuanya. Mematikan alat-alat
yang dua hari ini menopang hidupku.
Cahaya
itu datang, mendekat ke arahku, dan seolah memanggilku untuk masuk
kedalamnya. Dan aku tahu, ini saatku. Aku tidak akan meronta atau
memohon untuk tetap tinggal. Aku juga tidak mau terus-terusan dalam
kondisi seperti ini. Aku memperhatikan mama, papa dan deva. Mengamati
sapu tangan yang tadi riko ikatkan. Dan aku mulai melangkah masuk ke
dalam cahaya itu, berpusar di dalamnya, meninggalkan semuanya.
Aku pergi ke alam yang abadi
Akhir dari cinta yang abadi
Akhir dari cinta yang abadi
TAMAT.
Komentar
Posting Komentar