My Last One

Lost One Love [One Shoot]

Brukk!!! Tiba – tiba cowok itu jatuh. Jatuh tepat di depanku. Aku yang panik kemudian
menghampirinya. Kulihat wajahnya pucat tak berdaya. Aku benar – benar bingung
dengan ini semua. Sekuat yang aku mampu, aku mencoba berteriak meminta
pertolongan. Hening. Tak ada balasan apapun. Kulihat sekelilingku memang benar –
benar hening seolah tak ada kehidupan. Aku bertambah panik, sempat terpikir di
benakku untuk menyadarkannya dengan memberi nafas buatan. Akh!! Tidak. Aku tak
mengenalnya, lagipula aku tak tahu bagaimana caranya. Di tengah kepanikanku, aku
teringat akan seseorang. Iel! Aku mengambil ponsel di saku celanaku. Segera saja
kuhubungi dia. Tak lama kemudian panggilanku tersambung.
“Hallo. . . ?,” ucap seseorang dari seberang.
“Iel, tolongin aku!!!,” ucapku panik.
“Ify, kamu kenapa? Ada apa?,” tanya Gabriel yang juga ikut panik.
“Ada orang pingsan di depanku, Yel!Aku gak tahu kenapa tiba – tiba dia pingsan!,”
jawabku.
“Kamu di mana sekarang? Kenapa malam – malam gini kamu masih keluyuran?,” tanya
Gabriel.
“ Aku di lapangan basket belakang sekolah kita. Aku gak keluyuran kok!! Aku cuma
cari angin aja!!,” jawabku membela diri.
“Ya udah, aku ke situ sekarang!,” ucapnya.
Sambungan telepon pun terputus. Aku benar – benar bersyukur Gabriel mau
menolongku. Dia memang sahabat terbaikku.
Kupandang lagi cowok yang ada di pangkuanku ini sekarang. Wajahnya seolah – olah
tak asing lagi di benakku. Rasanya aku pernah bertemu dengannya sebelumnya. Dan
sepertinya aku sudah mengenalnya lama. Akh!! Tak mungkin. Jangan berkhayal,
Ify!! ucapku pada diriku sendiri. Tiba – tiba terdengar suara klakson mobil yang
membuyarkan lamunanku. Kulambaikan tanganku kepada mereka. Gabriel  datang
bersama Cakka dan Alvin. Mereka adalah sahabat – sahabatku.
“Kenapa bisa begini?,” tanya Cakka.
“Aku gak tahu. Tiba – tiba aja dia pingsan pas main basket!,” jawabku.
“Kamu kenal?,’ tanya Alvin.
“Enggak!,” jawabku singkat.
“Ya udah, bawa dia masuk mobil,” ucap Gabriel .
Mereka bertiga akhirnya membawanya masuk mobil. Aku mengikuti dari belakang. Gabriel benar – benar mengemudikan mobilnya dengan cepat.
***

Perlahan – lahan matanya yang indah itu terbuka. Pandangannya seolah kaget, heran,
dan bingung saat melihat kami. Matanya seakan bertanya – tanya tentang apa yang
sudah terjadi.
“Kamu tadi pingsan waktu main basket. Aku tadi sempat melihatmu bermain.
Permainan basketmu indah. Tapi, tiba – tiba kamu jatuh. Kukira kamu cuma bercanda,
tapi ternyata kamu malah pingsan,”ucapku.
“Kamu kenapa sih? Kata dokter tadi kamu . . . ,” ucap Gabriel terputus seakan dia
ingin menyembunyikan sesuatu.
“Aku gak pa – pa kok!! Mungkin aku cuma kecapekan latihan. Besok ada pertandingan
basket!,” ucapnya.
“Oo. . .seharusnya kamu gak gitu dong! Kasihan badan kamu! Apalagi besok kamu mau
tanding, kamu itu baiknya istirahat aja, siapin mental, jangan malah bikin badan
tambah rusak. Aku yakin kamu besok menang, permainanmu tadi benar – benar
menakjubkan! Bagus banget!,” ucapku.
“Makasih!,” ucapnya padaku. Pandangannya yang sekarang berbeda dengan yang tadi.
Ada selintas rasa di matanya. Aku benar – benar merasakannya. Tapi aku hanya
tersenyum mengiyakan ucapannya.
“O iya, nama kamu siapa? Rumah kamu mana?,” tanya Cakka.
“Aku Rio. Rumahku gak jauh kok dari sekolah kalian itu!,” jawabnya.
“Aku Cakka. Ini Alvin, itu Gabriel, dan dia . . . .”
“Aku Ify!,” ucapku memotong kata – kata Cakka.
“Makasih ya semua! Udah mau nolongin aku!,” ucap Rio kepada kami.
“Iya, gak pa – pa kok!,” ucapku senang.
“He eh, gak pa – pa!,” ucap Alvin. Sepertinya dia terpaksa ikut ke sini. Aku tahu dia
jam segini pasti sudah tidur. Kasihan dia, gara – gara aku matanya jadi merah gitu.
Sedangkan Cakka dan Gabriel hanya mengangguk mengiyakan.
“Udah malem nih, kalian gak pulang?,” tanya Rio.
“Iya nih! Udah jam 12. Kita pulang yuk!,” ajak Alvin yang sedari tadi bertingkah
laku aneh. Mungkin dia merengek pada Iel. Memang cuma Iel yang mengertikan
keadaan kami. Dia sosok sahabat yang benar – benar the best bagiku. Dia paling
dewasa di antara kami berenam.
“Lah Rio gimana?,” tanyaku cemas.
Semuanya diam. Seolah di kamar rumah sakit ini tak ada tanda – tanda kehidupan lagi.
Mungkin mereka berpikir. Atau malah mengantuk? Aku tak tahu pasti, tetapi kulihat
pandangan mata Gabriel  menatapku dengan aneh. Pandangan yang belum pernah
kulihat sebelumnya. Mungkin dari kecil, aku mempunyai bakat lebih dari orang lain.
Aku bisa membaca tatapan mata seseorang. Mungkin cocoknya aku jadi psikolog ya?
“Rio ikut aja ya sama kita? Kan udah malem. Kata dokter tadi kamu juga udah boleh
pulang kok!,” ucapku menyarankan.
“Gak usah, Fy! Aku tadi udah sms kakakku buat jemput aku. Kalian duluan aja!,”
tolak Rio secara halus.
“Ya udah yuk pulang! Aku dah ngantuk banget nih!,” pinta Alvin dengan muka kusut
dan memelas.
“Ya udah yuk!,” ucap Gabriel. Dia yang sedari tadi hanya terdiam memandangku dan
Rio dengan pandangan aneh, akhirnya bicara juga.
“Ya udah deh! Da – da, Rio! Moga cepet sembuh ya! Good luck juga! Moga besok
menang!,” ucapku memberinya semangat.
“Iya, Ify! Makasih ya buat semua,” ucap Rio lembut.
Aku tersenyum kepadanya. Kami sekarang berpisah. Kulihat tatapan aneh itu lagi di
mata Gabriel. Hal itu semakin membuatku bertanya – tanya apa arti tatapan itu.
***
“Kriiiiiingggg!!!!!”
Jam weker di kamarku berbunyi.
“Astaga! Jam 06.45! Aku telat nih!”, teriakku.
Segera saja aku lompat dari tempat tidurku, cepat – cepat mandi dan berganti
pakaian. Mungkin tak sempat lagi bila aku harus sarapan. Omelan rutin mamaku masih
saja terngiang di otakku, tapi kali ini aku tak mempedulikannya. Setelah berpamitan,
segera saja aku meminta pak Jon untuk mengantarku ke sekolah.
***
Keberuntungan mungkin sedang bersamaku sekarang. Aku sampai di sekolah tepat
sebelum bel masuk berbunyi. Pintu gerbang itu masih terbuka untukku.
“Untung kamu gak telat, Fy!,” ucap Shilla.
“Iya, biasanya mesti telat, terus nyuruh gabriel  buat nyelametin dari pak satpam itu
deh!,” tambah Sivia.
Mereka berdua adalah sahabatku. Kami berenam sudah bersahabat sejak SD. Sepuluh
tahun sudah kami bersama, karena sekarang kami duduk di bangku kelas 2 SMA. Aku,
Gabriel, Cakka, Sivia, Shilla dan Alvin adalah enam sahabat yang tak akan
terpisahkan. Semoga.
“Maybe, this is my lucky day!!,” ucapku girang.
Kami bertiga hanya tertawa mendengar ucapanku tadi.
Pelajaran hari ini seakan membuatku tersenyum sepanjang hari. Waktu seolah – olah
ingin cepat kuputar. Tak sabar lagi aku menunggu waktu saat aku dipertemukan lagi
dengannya.
“Teng . . teng . . teng!!!!”
Akhirnya waktu yang aku tunggu – tunggu tiba. Waktu di mana aku bertemu lagi
dengan dia. Mungkin aku telah menyukainya sejak pertama berjumpa.
“Kita jadi ke caffe kan?,” suara seseorang tiba – tiba membuyarkan lamunanku.
“Jadi dong! Masak ditraktir gak mau sih!,” ucap Cakka dan Shilla serempak. Sepertinya
mereka telah merangkai kata – kata itu sebelumnya.
“Alvin gak ikut?,” tanyanya.
“Enggak, dia tadi kayaknya pergi sama ceweknya kok!,” ucapku.
“Ya udah, ayo berangkat!,” ajaknya.
Aku tersenyum kepadanya. Gabriel tiba – tiba mendekatiku.
“Kamu bareng siapa? Aku apa Rio?,” tanyanya kepadaku.
Belum sempat aku menjawab, Sivia cepat - cepat membonceng di sepeda motor
Gabriel.
“Aku bareng Gabriel aja ya! Aku kan gak kenal sama Rio, jadi kamu yang bareng ma dia
aja ya, Fy!,” ucapnya.
“It’s OK!!,” jawabku dengan tersenyum lembut kepadanya. Hatiku seolah – olah ingin
berteriak bahwa memang ini yang kuharapkan. Aku bisa bersamanya.
Rio tersenyum kepadaku. Dia menyalakan motornya dan aku akhirnya pergi
bersamanya, tapi . . . aku sempat melihat tatapan yang sama seperti tempo hari itu
lagi di mata Gabriel. Dia benar – benar membuatku bertanya – tanya. Namun segera saja
kutepiskan semua anggapanku. Kuingin siang ini menjadi hari yang berkesan untukku.
Siang ini Rio bermaksud mengajak kami berlima makan dan bersenang – senang
sebagai ucapan terima kasihnya. Dan kuharap siang ini benar – benar indah dan
mengesankan.
***
Sejak siang itu, otakku serasa dipenuhi oleh nama seorang cowok. Ya. Rio. Mungkin
aku sangat menyukainya dan ternyata dia pun begitu kepadaku. Kita sekarang
berhubungan dekat, lebih dari teman. Aku dan dia saling menyayangi, hingga kami
benar – benar tak ingin berpisah apalagi kehilangan.
Satu bulan sudah, hubunganku dengannya terjalin. Selama ini hubungan kita baik –
baik saja. Tak ada masalah apapun yang mengganjal. Tetapi tidak untuk siang ini.
Mata dan telingaku mengetahui apa yang sedang terjadi sekarang. Kupandang Rio
dan Gabriel sedang bertengkar di seberang jalan depan sekolahku. Kudengar mereka
beradu argumen yang sebenarnya tidak aku mengerti. Aku cepat – cepat menghampiri
mereka.
“Rio! Iel! Kalian ini kenapa?,”teriakku kepada mereka.
Mereka berdua memandangku dan berhenti berdebat.
“Sayang, ini urusanku dengan Iel,” ucap Rio.
“Iya Fy, aku bener – bener harus nyelesain ini semua!,” ucap Gabriel.
“Kalian ini ngomong apa sih? Aku gak ngerti! Sayang, bisa kan kamu ma Gabriel  tuh
ngomong baik – baik aja!,” ucapku dengan menangis. Air mataku seolah – olah tak
tertahan lagi. Aku gak mau orang – orang yang aku sayang bertengkar seperti ini.
“Dan kalian gak perlu berantem pukul – pukulan kayak tadi kan!!,” tambahku.
“Maafin kita, Fy!,” ucap Gabriel menyesal.
“Iya, maafin aku juga ya, Sayang! Aku gak bermaksud buat kamu sedih dan nangis
kayak gini. Aku gak tega nglihatnya. Udah ya Fy, gak usah nangis lagi,” ucap Rio
mencoba menenangkanku. Dia mengusap air mata di pipiku. Aku memandangnya
penuh harapan agar dia tak seperti ini lagi. Ia mengangguk pelan dan memelukku. Aku
akhirnya berhenti menangis, tapi tiba – tiba mataku memandang tatapan aneh itu lagi
di mata Gabriel. Segera saja aku melepaskan pelukan Rio.
“Janji ya kalian gak berantem lagi!,” pintaku.
“Iya Boss!!,” ucap mereka serempak.
Aku tersenyum lega. Tetapi, tiba – tiba pandanganku terpusat pada wajah Rio yang
benar – benar pucat.
“Sayang, kamu kenapa?,” tanyaku cemas.
“Aku gak apa – apa kok!,” jawabnya lemas.
“Sayang, kamu tuh pucat banget! Kita bawa ke rumah sakit ya. . .,” ucapku mulai
panik.
Gabriel yang seolah tahu apa yang sedang terjadi, segera saja ia menelepon rumah
sakit. Dan yang aku ketahui sekarang, kulihat wajah Rio semakin pucat dan ia pingsan.
***


“Kamu bener – bener sayang sama Rio ya, Fy?,” tanya Gabriel kepadaku.
“Iya, Yel! Aku beneran sayang sama dia, aku gak mau dia pergi secepat ini!,” jawabku
sambil menangis di pelukan Gabriel.
Aku dan Gabriel  sekarang ada di depan ruang ICU. Aku melihat orang yang sangat aku
sayang berbaring lemas tak berdaya di depan sana. Berbaring lemas karena penyakit
yang belum pernah aku ketahui sebelumnya. Rio menderita penyakit gagal ginjal
stadium akhir.
“Maafin aku ya, Fy! Sebenernya dari awal kita kenal ma Rio, aku udah tahu kalau
dia punya penyakit gagal ginjal ini. . .,” ucap Gabriel menyesal.
Aku melepaskan pelukan Gabriel. Kutatap dia dengan pandangan kecewa dan penuh
tanda tanya.
“Iya, Fy! Aku tuh dah tahu dari awal, tapi Rio ngelarang aku buat bilang ini semua
ke kamu. Dia gak mau buat kamu sedih apalagi menangis kayak gini. Dia juga beneran
sayang sama kamu, Fy! Dan asal kamu tahu aja, aku tadi berantem sama dia karena
dia mencoba buat bunuh diri. . . .”
“Hah!!!!! Bunuh diri?????!!!!!,” teriak Shilla, Alvin, Cakka, dan Sivia serempak.
Ternyata mereka telah menyusul kami.
“Iya. Rio tahu kalau umurnya gak lama lagi. Dia gak mau kehilangan orang – orang
yang dia sayang. Dia gak mau orang – orang itu sedih gara – gara dia. Dia gak mau
orang – orang tahu bahwa dia punya penyakit seperti ini. Sulit bagi dia untuk jujur
sama kita, apalagi sama kamu, Fy! Dia gak mau buat kamu sedih kayak gini, Fy!,”
jelas gabriel.
Aku hanya terdiam. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Bibirku pun
seakan sulit mengucap, hanya pandanganku yang semakin kecewa setelah mengetahui
ini semua. Air mataku semakin banyak yang terbuang. Badanku lemas dan hampir
terjatuh jika tak ditolong oleh Shilla dan Sivia. Mereka berdua memelukku dan
mencoba menguatkanku, walaupun sebenarnya mereka juga menangis karena ini.
“Trus sekarang keadaan Rio gimana?,” tanya Cakka.
“Dokter tadi bilang sama tante dan om kalau keadaan Rio itu kritis. Rio butuh
donor ginjal, karena ginjal Rio yang berfungsi hanya satu,” ucap mama Rio
mencoba tenang dan menyembunyikan kesedihannya.
“Trus udah ada ginjal yang pas buat Rio belum, Tante?,” tanya Sivia.
“Pakai ginjal saya aja, Tante!,” pintaku lirih.
“Jangan, Ify! Keadaan kamu lagi gak stabil. Tante tahu kok kalau kamu gak mau
kehilangan Rio. Kita pun juga. Tapi Rio tadi kan bilang gak mau ngelihat orang –
orang yang dia sayang menangis, jadi jangan nangis lagi ya,Fy! Kita berdoa aja
mudah – mudahan apapun yang terjadi, ini memang yang terbaik untuk kita,” ucap
mama Rio mencoba menenangkanku.
“Dokter tadi bilang kalau ginjal aku pas sama ginjal Rio, jadi biar aku aja yang
mendonorkan ginjal ini buat Rio,” ucap Gabriel tiba – tiba.
“Jangan, Yel! Aku gak mau kehilangan kamu juga. . .,” ucapku dengan masih
menangis.
“Ify, apapun yang terjadi nanti, aku yakin ini terbaik buat kita kayak yang dibilang
tante tadi. Aku gak mau nglihat orang yang paling aku sayang sedih dan menangis
karena orang yang dia sayang pergi ninggalin dia. Aku akan berusaha agar operasi ini
lancar. Kalaupun nanti aku atau Rio pergi,atau kami berdua ataupun tidak ada sama
sekali, pasti itu semua udah kehendak-Nya. Kamu gak perlu menangis ataupun
bersedih kayak gini, Fy! Tersenyum ya, Fy, doain kita. Moga operasinya nanti
lancar. Yakinlah bahwa apapun yang terjadi nanti, itu pasti yang terbaik,” ucap
Gabriel menguatkanku. Aku mencoba tersenyum walau hatiku menangis.
“Aku sayang kamu, Fy!,” ucap Gabriel sambil mencium keningku. Inikah jawaban
dari semua tatapan penuh tanda tanya itu? Aku tak mengerti dan tak tahu pasti.
“Aku juga sayang sama kamu, Yel!,” ucapku sambil memeluknya.
“Kita juga!,” ucap teman – temanku yang lain.
Kami berenam akhirnya berpelukan. Kami tak ingin berpisah satu sama lain apalagi
kehilangan. Kami ingin selalu bersama. Tapi ini semua sudah keputusan Gabriel. Aku
yakin ini yang terbaik dan kami hanya bisa berdoa di sini. Berharap operasinya lancar
dan kami bisa berkumpul bersama lagi.
***
Satu jam sudah aku menunggu di sini. Di samping orang yang paling aku sayang.
Operasi tadi masih membuatku cemas karena sampai sekarang mereka berdua belum
sadarkan diri juga. Lama aku menunggu, akhirnya Gabriel terbangun dari tidurnya.
“Gabriel, akhirnya kamu sadar juga!,” ucapku senang..
“Iya Fy, ini semua juga karena doa kamu dan yang lainnya,” ucapnya.
“hehe.. syukurlah kalau begitu..” ucapku menyeringai.
“ehmm,, Rio mana Fy?” Tanya Gabriel.
“Rio…. Emmm Rio….”
“Rio mana Fy? Dia baik-baik aja,kan?” Tanya Gabriel lagi.
“gak tau.. aku belum liat..” lirihku.
“kenapa gak kamu liat? Katanya  kamu sangat mencintai dia?” Tanya Gabriel dengan nada yang di tinggikan.
“aku. Aku khawatir sama kamu.. sama sahabat aku..” ucapku pelan
“Ify. Dia lebih butuhin kamu. Dia butuh kamu untuk ada di sampingnya. Sekarang, pergilah..” ucap Gabriel tenang. Aku menatap Gabriel sebentar lalu mengangguk. Aku pun  keluar menuju ruangan Rio.
“Rio.. mana Rio?” tanyaku seketika saat melihat Mama dan papa Rio, serta Cakka, Alvin, Sivia dan Shilla disana.
“Rio belum sadar, Fy. Dia kritis..” ucap mama Rio yang kini sudah terisak.
“Tante gak bohong, kan?” ucapku tak percaya. Mama Rio menggeleng pelan. Tak lama, seorang dokter yang menangani Rio pun keluar.
“Dok, bagaimana keadaan Rio?” tanyaku langsung. Dokter itu menghela nafas pelan.
“ehm. Kami sudah berusaha sekuat mungkin. Tetapi Tuhan berkehendak lain..” ucap Dokter tersebut tenang.
“mak.. maksud Dokter Rio meninggal?” Tanya Cakka hati-hati. Dokter itu mengangguk pelan.
“nggak.. nggak mungkin..”
“RIOOOOOOOOOOOOOOOOOOO..”
***

kini, kami semua sudah berdiri di depan sebuah gundukan tanah merah dengan nisan yang tertancap nama seseorang yang sangat indah bagiku. Mario Stevano.
“Rio, selama ini kamu udah bilang gak akan  ninggalin aku? Tapi, kamu ninggalin aku kan? Hhh..” desah ku sambil mengusap nisan itu.
“aku.. aku ngerasa gak berguna sebagai pacar kamu. Aku gak tau apa-apa tentang penyakit kamu itu..” tangisku kembali pecah. Shilla dan Sivia mengusap-usap pundakku untuk menenangkanku.
“udah, Fy. Ini udah takdir..” ucap Sivia.
“iya, Fy.. kamu harus ikhlaskan Rio ya? Ikhlasin Rio di alam sana.” Tambah Shilla. Aku mengangguk lalu menyeka air mataku.
“Yo, walaupun kita udah berbeda dunia. Aku akan tetap sayang dan cinta sama kamu. Love you,miss you..” ucapku sambil mengecup nisan Rio dengan lembut.
Tuhan, kuatkan aku! Kini aku dan yang lain hanya bisa diam termenung dan berdoa.
Air mata kami telah habis untuk menangisi kepergian Rio. Tapi kami yakin pasti
ada hikmah dibalik ini semua.
Dan kini yang aku tahu ,“Jika kamu berani menyayangi seseorang, berarti kamu harus
berani untuk kehilangan dia. Karena di setiap pertemuan itu pasti akan ada
perpisahan”.
Rio, semoga kamu tenang dan bahagia di alam sana. Kami yakin malaikat akan
membawamu ke tempat terindah di sisi-Nya. Amin.

Komentar

Postingan Populer