Jangan Pergi (Cerpen Icil)
Jangan pergi! Aku hanya ingin memandangmu
Hening.
Dalam kesunyian yang
memeluk erat ruangan putih itu, ada luka yang menusuk relung kalbu. Dalam sepi
yang merengkuh malam itu, ada sesak yang membelit rongga dada.
Dan mereka tetap diam.
Membiarkan kebisuan itu tetap tinggal. Membiarkan sakit dan sesak itu merambati
kamar hati mereka. Membiarkan virus-virus kepiluan menghancurkan sel-sel jiwa
mereka.
Diam. Lama sekali.
“Maafkan aku!”
Akhirnya ada suara yang
memecahkan kerak-kerak keheningan itu. Gadis berwajah cantik itu mencium lembut
kening pemuda di hadapannya.
“Jangan pergi, Ag!” pinta
pemuda itu—Cakka—dengan lirih. Ia menatap sendu gadis yang tak lain, Agni.
Pancaran matanya menyorot harap yang ektra besar.
Agni mendesah berat.
Membalas tatapan Cakka. Sungguh ia berat meninggalkan kekasihnya itu. Terlebih
mengingat keadaan Cakka semakin memburuk saja, membuat kakinya terasa ditindih
ribuan beban yang berat. Ia tak sanggup melangkah. Tapi ia harus tetap pergi.
Sudah lebih dari puluhan
kali Agni memohon kepada Ayahnya untuk
tetap tinggal di Semarang dan usah pindah ke Bandung. Namun, tuntutan tugas
panjang sang Ayah, membuat Agni berada dalam posisi yang tak terelakan lagi.
Terpaksa ia harus meninggalkan Cakka.
“Aku sayang kamu, Kka. Aku
janji akan sering-sering ke sini untuk memastikan kau baik-baik saja.” Agni
menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Cakka. Menangis pilu.
Cakka diam saja. dadanya
sakit. Tak terbayangkan olehnya jika esok dan seterusnya penyemangat hidupnya
harus beranjak dari sisinya. Tak terbayangkan bagaimana ia melewati
hari-hatinya dengan sakit, karena penyakit yang dideritanya, tanpa Agni.
“Kamu benar-benar akan
pergi, Ag?” Tanya Cakka untuk kesekian kalinya.
Agni melepaskan pelukannya
dan mengangguk pasti. “Kamu jaga diri baik-baik, ya? Tetap semangat! Percaya
kalau aku selalu ada di sini!” Ia menunjuk dada Cakka. Cakka diam saja.
Dan keheningan kembali
bertugas. Menebarkan bau kehilangan yang nyaris mengikis habis rasa bahagia
yang selama ini tercipta. Tak ada yang rela ditinggal, dan tak ada yang tega
meninggalkan. Semuanya menumbuhkan benih-benih luka dalam hati. Bercabang dan
mengakar kuat hingga esok dan seterusnya. Membekaskan baretan-baretan yang akan
terasa ngilu dan perih.
*
Agni menatap keadaan di
luar kereta dengan pilu. Air matanya menggenang penuh di pelupuk matanya. Ingin
rasanya ia kembali menemui Cakka yang
dikabarkan kritis. Ingin rasanya ia memohon kepada sang Ayah agar mengulur
waktu keberangkatan mereka. Ingin rasanya, ingin rasanya, ingin rasanya dan
ingin rasanya ia melakukan apapun untuk melihat wajah Cakka dan mendengar
suaranya kembali. Tapi kalimat itu nyaris tidak bisa dilakukannya. Ia tak punya
kuasa. Keputusan Ayahnya sudah tersegel rapat. Tak bisa diganggu gugat.
“Cakka cape!” keluh Cakka.
Menahan sakit yang terus berkiprah, menciptakan sayatan luka dalam jantungnya.
Sekelebatan wajah gadis itu, gadis yang selama satu tahun ini menjadi tabib
terhebat, menjadi obat mujarab, pun menjadi ramuan paling ampuh dalam hidupnya,
menjamah pandangan matanya yang kian menutup rapat.
Lambaian tangan diiringi
senyuman khas itu tertuju padanya. Sejurus kemudian ia melihat tubuh itu
berbalik meninggalkannya. Jauh, jauh dan jauh. Tiba-tiba saja dadanya sesak
tiada tanding. Berusaha mengejar pun tak mampu. Tubuh itu menghilang ditelan
satu titik cahaya keemasan yang menyilaukan. Ia menangis. Menangis dalam
penyesalan yang bersedekap dalam jiwanya; andai ada waktu untuknya kembali,
satu jam saja!
“Agni!”
Suara bass itu memaksa
matanya terbuka. Ia mengerjap beberapa kali, menatap keadaan di sekitarnya.
Sama seperti sebelumnya. Kereta masih melaju dan belum berhenti.
“Mimpi, kah?” Agni melirik
Ayahnya yang masih memandangnya cemas. Laki-laki tua itu mengelus lembut kepala
Agni.
“Handphone-nya bunyi,
sayang!” Kata Ayah memberitahu.
Agni yang baru menyadari
ada getaran dalam saku bajunya, segera mengambil benda mungil berwarna hitam
polos itu, setelah sebelumnya menatap wajah teduh Ayahnya terlebih dahulu.
Dengan satu gerakan, ia mengangkat panggilan itu.
“Hallo!”
Agni diam. Membiarkan
orang di balik telepon berbicara panjang lebar. Dan tanpa disadari, ada air
mata yang secara tiba-tiba menetes di pipinya. Semakin lama semakin banyak.
Ponsel yang sedari tadi digenggamnya terlepas seiring tangannya yang melemas.
Tubuhnya serasa dihantam palu baja paling besar. Hatinya tertusuk ribuan anak
panah paling tajam. Ia menjatuhkan diri dalam dekapan sang Ayah.
Menangis....
“Harusnya aku yang
memintamu, jangan pergi!”
*
sedih amat cerpennya..
BalasHapus