Tanpa Batas Waktu (Cerpen)

Pelan-pelan Alvin menutup mata sayunya. Merasakan tiap hembusan udara penat yang menyeruak, memaksa masuk ke dalam benaknya. Emisi kegalauan yang tiada henti memenuhi ruang hatinya, membuatnya sejenak saja merasa kalau tidak ada udara segar yang bisa ia hirup. Ia merasa dadanya sempit. Sangat sempit! Sesak itu menggedor jiwa rapuhnya hingga pecah berkeping-keping.
Beri keputusan, Al. Dia tuh sayang banget sama lo.”
Sesaat Alvin membuka matanya begitu kata-kata itu kembali berputar dalam kepalanya. Bola matanya terfokus pada langit-langit kamarnya. Dalam-dalam ia menghirup udara di ruangan bernuansa hijau cerah itu. Bukan lega, malah semakin sakit terasa. Ia terenyuh.
Bukan untuk yang pertama kalinya Alvin mendengar kata-kata itu. Tapi sudah berulang kali Rio—
 Sahabatnya—mengatakan itu. Sebenarnya ia bosan, tapi ia tidak tahu jalan mana yang harus diambilnya. Ia kehilangan arah. Dilema menyerangnya tiada ampun.
Sivia. Begitulah nama yang selama satu tahun ini menjadi kabut-kabut dingin yang menyelimuti hatinya. Tapi terkadang gadis itu menjadi udara pagi yang menyejukan sanubarinya. Atau sekedar menjadi sinar-sinar senja yang menghangatkan jiwanya. Ia hanya tidak tahu keputusan yang mana yang harus diambilnya, sehingga hampir satu tahun ini ia mengacuhkan keberadaan gadis itu. Meski sebenarnya batinnya lebih tersiksa dengan semua ini.
***
 [Flashback]
“Kak Alvin!”
Baru saja Alvin hendak masuk ke dalam perpustakaan saat indera pendengarannya menangkap suara seorang gadis. Segera ia menghentikan langkahnya dan membalikan badannya guna memastikan siapa yang baru saja memanggil namanya. Ia terdiam dalam waktu beberapa detik saat gadis ber-name tag Sivia Azizah itu berdiri di hadapannya. Pipinya merah. Gugup menemani gerak-geriknya. Alvin ingin tertawa sendiri melihat ekspresi wajah adik kelasnya itu.
“Ada apa?” tanya Alvin.
Sivia tidak menjawab. Tapi dengan tangan bergetar, ia menghadapkan selembar kertas berlipat. Setelah itu pergi berlalu meninggalkan Alvin yang hanya bisa cengo melihatnya. Pemuda berwajah oriental itu membeku sejenak sembari menatapi punggung Sivia yang perlahan menghilang di balik koridor sekolah. Sejurus kemudian ia mengamati kertas yang saat ini berada dalam genggamannya. Ia tersenyum tipis dan kembali melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Tujuannya mencari buku teralihkan oleh secarik risalah yang baru saja didapatkannya itu. Ia duduk di meja kosong dan segera membaca isi surat itu.
“Kak Alvin...
Aku tidak tahu perasaan apa ini. Aku tidak mengerti ada apa dengan diriku setiap kali aku melihatmu. Aku tidak tahu sama sekali. Mungkin aku suka padamu.”
Surat yang cukup singkat, tak kenal basa-basi, tepat langsung mengenai sasaran. Alvin tidak perlu repot-repot memahami isi surat adik kelasnya itu. Tapi justru ia merasa sulit memahami perasaannya. Ada yang menancap tepat dalam relung jiwanya dengan sangat tiba-tiba. Sebentar ia menarik nafas dalam-dalam. Entah kenapa ia tiba-tiba saja merasa sesak.
“Cie... cie... yang dapet surat,” goda Rio duduk tepat di samping Alvin. Alvin menoleh sejenak ke arah pemuda berkulit hitam manis itu. Setelah itu kembali menekuni suratnya. “Anaknya baik, Al. Cantik pula. Kenapa gak langsung diterima aja?” saran Rio yang hanya bisa direspon dengan gemingan oleh Alvin.
Semua orang di sekolah tahu siapa Sivia. Gadis cantik berpipi chubby itu dikenal banyak orang. Selain karena ia ketua Rohis sekolah, sifatnya yang baik, ramah, ceria, murah senyum, dan pintar membuat semua orang tahu padanya. Dan Alvin tentu mengenalnya dengan baik juga. Ia pernah menjadi mentor Sivia beberapa bulan yang lalu saat MOS berlangsung. Mereka juga satu ekskul di kelas musik. Tak ada Alasan untuk Alvin tidak mengenal gadis itu.
“Terima aja, Al! Jarang-jarang loh, cewek berani nembak,” bujuk Rio lagi.
“Apaan deh, lo. Udah ahh, pusing!” Alvin melipat kertas itu kembali dan segera beranjak dari duduknya. Bukan ia tidak mau mendengar saran dari Rio. Tapi ada sesuatu yang membuatnya harus benar-benar pergi. Rio hanya bisa berdecak melihat tingkah sahabat baiknya itu. Alvin terlalu menutup pintu hatinya untuk perempuan mana pun. Bahkan untuk gadis yang nyaris sempurna seperti Sivia pun.
*
Sivia tersenyum simpul saat sosok berkulit putih pucat itu masuk ke dalam kelas musik yang jadi latarnya saat ini. Pemuda bermata sipit itu membalas senyuman Sivia lantas duduk di tempat faforitnya. Di samping sebuah piano cokelat, membelakangi Sivia yang duduk di pojok ruangan. Sivia menghela nafas berat. Keadaan selalu sama. Tak ada basa-basi. Alvin selalu diam tanpa sedikit kata pun. Baik itu respon atas suratnya beberapa bulan yang lalu, atau sekedar menyapa dirinya. Ia diacuhkan perasaannya tak dihiraukan. Dan itu membuat hatinya terasa begitu ngilu.
Keadaan hening sejenak. Sebelum akhirnya, dengan gugup Sivia memanggil nama orang yang dicintainya itu.
“Kak Alvin...” Terdengar getaran dari suara Sivia. Alvin membalikan badannya dan menoleh ke arah Sivia.
“Iya, Vi?” tanya Alvin datar sampai Sivia mengira bahwa Alvin benar-benar lupa dengan suratnya beberapa bulan yang lalu. Ekspresi datarnya sama sekali tidak menunjukan ia ingat pada pesan itu.
Sivia menghela nafas berat. “Ajarkan aku lagu A Thousand Years-­nya Crhistina Perri dengan piano itu.” Hanya sedikit memecahkan kegugupan hatinya. Ia merasa tidak perlu lagi menanyakan perihal respon suratnya itu. Memang seharusnya Alvin tidak memberikan jawaban itu. Memang seharunya Alvin melupakan tentang perasaannya.
Alvin tersenyum dan sedikit menggeser posisi duduknya. Pertanda ia menyangupi permintaan Sivia. Sivia beranjak dan duduk di samping Alvin. Nervous menyelimuti sekujur tubuhnya...
“Aku main duluan ya...”
Sivia mengangguk seiring meluncurnya keringat di balik pelipisnya.
Dengan lembut Alvin menyentuh balok hitam putih itu. Menciptakan nada-nada halus yang membuat perasaan manampun terasa begitu tenang. Ia menutup mata sipitnya. Ada perasaan aneh saat ia duduk di dekat Sivia. Perasaan yang sesungguhnya tersimpan kelu di pedalaman hatinya. Perasaan yang membuatnya nyaris tidak pernah hidup dengan tenang. Perasaan yang terlampau sulit tuk terucap dan terlafal.
Bukan ia lupa. Bukan ia tidak bisa menerima cinta gadis sebaik Sivia. Bukan ia tidak mampu menolak Sivia, karena memang seperti itu keadaannya. Bukan karena perbedaan yang membuatnya tidak tahu harus memberi jawaban apa atas perasaan Sivia. Tapi karena ia pun tidak tahu sampai di mana batas waktunya. Karena ia tidak pernah mampu mencintai Sivia hanya untuk waktu yang hanya dijatahkannya sehari saja. Ia ingin mencintai Sivia dalam waktu yang begitu lama. Mungkin di keabadian nanti.
Perlahan jari-jemari lancip Sivia ikut menekan si piano cokelat itu. Menciptakan perpaduan nada yang begitu harmonis dan indah. Ia ikut memejamkan mata. Karena dengan begitu ia merasa segala beban yang ditumpahkan ke dalam hatinya lenyap seketika. Ia merasa tidak perlu jawaban lagi dari Alvin. Ia merasa tidak perlu lagi berharap menjadi sesuatu yang lebih dalam kehidupan Alvin. Karena dengan duduk berdua seperti ini saja, meski hanya sepersekian menit, ia merasa menjadi seorang yang begitu sempurna.
“Sungguh, Sivia... Jauh di pedalaman hatiku, aku sangat mencintaimu...” Batin Alvin.
*
[FlashbackEnd]
Alvin terhenyak saat tiba-tiba saja ada denyutan yang begitu menyiksa yang menyerang pusat kepalanya. Keadaan di sekitanya terlihat bergoyang. Ia memejamkan matanya. Bukan untuk kembali mengingat masa-masa yang pernah terlewatinya bersama Sivia. Tapi untuk menahan rasa sakit yang beberapa hari terakhir ini acap kali menyerangnya tiba-tiba dan tanpa ampun. Ia mengerang pelan. Tangannya ia gunakan untuk meremas seprai tempat tidur sekuat ia mampu. Sakit itu benar-benar tidak tertahankan. Ia menarik nafas dalam-dalam dan itu menyakiti alat pernafasannya.
“Sivia... sungguh aku mencintaimu. Kutunggu dibatas waktumu.” Disela erangan kecil itu, hati Alvin berbisik pilu seiring melemasnya seluruh persendian tubuhnya. Sungguh ia hanya mampu memberi keputusan dalam kesendirian saja. Ia hanya mampu menjawab perasaan Sivia dengan perkataan hatinya saja. Karena hanya itu yang bisa membuatnya meninggalkan segalanya dengan tenang tanpa rasa sakit yang lebih. Karena ia yakin ada hari lain di mana ia bisa mencintai Sivia sepenuhnya tanpa ada batas waktu.

Komentar

Postingan Populer