Yang Aku Tahu (Cerpen)

Hanif menghempaskan tubuhnya. Ada senyuman paling manis yang terpatri di bibirnya pertanda ia bahagia. Hatinya di selimuti kabut-kabut paling dingin, tapi menenangkan. Langit-langit kamarnya seperti menggantungkan miliaran bintang paling terang yang membuat matanya buta dan tak melihat perasaan apa pun selain bahagia.

“Aku Rima ...,” gadis itu tersenyum, mengulurkan tangannya. Hanif membalas uluran tangan itu. Dan ia tak bisa bernafas. Tak mampu mengucapkan namanya. Ia lupa siapa dirinya, ia lupa sagala hal. Paras gadis bernama Rima yang mempunyai sentuhan paling lembut itu mengutuknya menjadi bisu. Ia tak berkutik.
Pertemuan pertama itu, membuatnya benar-benar seperti orang gila. Entah kalimat apa yang bisa menjelaskan pertanyaan kenapa bisa terjadi. Yang pasti hanya kata jatuh cinta yang bisa menggambarkan seberapa gilanya ia saat ini. Nama Rima seperti mantra ajaib yang lembut terdengar di telinganya. Ia melanglangbuana. Beginilah jatuh cinta.
Tak ada yang ia pedulikan saat itu selain biusan pesona gadis itu. Sosok tampan yang saat itu berada di samping, Rima pun tidak membuatnya lantas berusaha melupakan bayang tentang Rima. Meski pemuda tampan itu berstatus sebagai kakak kandungnya. Ia mencintai calon tunangan kakaknya sendiri. Dan minggu depan ia akan pergi bersama Rima. Makan malam, nonton bioskop, jalan-jalan di pasar malam dan melakukan banyak hal berdua. Ia memang sudah gila! Yang ia tahu, Rima pun tertarik padanya. Gadis itu berpaling hati padanya.
*
Malam melukiskan diri lebih indah dari biasanya. Taburan bintang bukan lagi bintang biasa. Mereka menjadi venus paling terang yang menyinari bumi paling kelam. Segala sesuatu di sekitar menjadi lebih berwarna dan indah. Dan semua itu hanya tampak di pelupuk matanya.
“Harusnya tadi si tokoh ceweknya yang mati!” kata Rima sibuk menghabiskan popcorn sisa nonton beberapa jam yang lalu. “Tapi baguslah, aku lebih suka kalau tokoh cowoknya yang mati. Lebih dramatis gitu!”
Hanif hanya tersenyum mendengar komentar Rima tentang film yang baru saja ditontonya. Mereka berjalan menjauhi gedung bioskop. Beriringan melangkah menuju taman kota. Duduk berdua di sana, di samping jalan raya yang masih terlihat ramai. Menikmati apa saja yang ada. Yang mereka tahu apa pun itu, semuanya sudah menjelma menjadi pernak-pernik paling indah yang menghiasi malam itu.
“Yang aku tahu, inilah cinta. Tenang meski berpijak di puncak kekahawatiran. Damai meski terperangkap di medan perang. Indah meski terperosok di lembah paling mejijikan. Dan aku baru merasakan hal seperti ini seumur hidupku,” Rima memeluk lengan Hanif erat. Perasaan Hanif melayang tak tentu arah. Untuk kedua kalinya ia merasakan sentuhan paling lembut, lebih lembut dari kain seutera. Gadis cantik yang dijodohkan dengan kakaknya itu menatap Hanif lekat-lekat. Dan Hanif menahan nafas untuk membiarkan matanya bertemu dengan mata Rima.
Rima gadis cantik yang lugu, penurut dan pendiam. Ia tidak pernah menolak apa pun yang orangtuanya perintahkan. Termasuk dijodohkan dengan Rian—kakak kandung Hanif—meski ia tidak pernah mencintai pemuda itu. Dan kali ini, untuk pertama kalinya, saat ia dikenalkan dengan Hanif, ia merasa ada getaran aneh dalam dadanya. Membuatnya ingin memberontak. Menumbuhkan ribuan do’a dan asa dalam hatinya, agar Hanif lah yang dijodohkan dengannya.
“Yang aku tahu, inilah cinta. Menjadikanku orang paling nekat. Berani menerima resiko apa pun setelah ini,” setelah sepersekian detik terdiam, Hanif akhirnya bersuara.
Rima membiarkan kepalanya bersandar di bahu Hanif. “Ternyata cinta ajaib, ya?” ujar Rima pelan. “Aku hanya berharap, ia benar-benar memberikan keajaibanya untuk aku, untuk kamu.”
Hanif tersenyum. Rasanya ia tidak ingin malam ini berakhir. Ia ingin menikmati waktu yang singkat ini untuk duduk berdua bersama Rima sebelum esok ada sebuah benda paling berkilau di jari manis gadis itu. Namun, ia memang tidak berhak mendapatkan waktu itu lebih panjang lagi. Ia harus mengakhiri keindahan yang baru saja terjamah lahir batinya, saat tubuhnya ditarik paksa menjauh dari Rima. Rima terlonjak kaget saat ia juga merasa sesorang mencekal tangannya dengan begitu kuat.
“F@##ing, lo, Nif!”
“Ini sungguh memalukan!”
“Hanif!”
Hanif menunduk dalam-dalam. Tak berani menatap wajah orang-orang di sekitarnya. Yang ia tahu, memang caranya salah. Tapi ia tahu rasa dalam hatinya tidak pernah salah. Ia mencintai Rima, begitu pun sebaliknya.
“Rian!”
Hanif tahu, itu jeritan Ibu. Ibu menjerit panik saat dengan sempurna Rian memukul wajahnya. Ia diam saja. Tak ada niat untuk melawan. Ayah mencoba menghentikan aksi Rian. Dan Rima dalam rangkulan orangtuanya menangis tak bisa melakukan banyak hal.
“Rima tidak mencintai Rian, Yah. Rima mencintaiku! Harusnya kalian menjodohkan dia denganku!” Hanif berujar serak saat Ayah berhasil menghentikan Rian. Semua mata kini tertuju pada Rima. Meminta penjelasan dari primadona paling cantik itu. Dalam tangisnya Rima mengangguk pelan. Pelan sekali!
“Aaarrgghh! HANIF!”
Hanif tidak ingat apa-apa lagi saat itu. Ia hanya merasa sebelumnya ada sesuatu yang membentur tubuhnya, saat Rian mendorongnya kuat-kuat hingga tubuhnya tersungkur ke jalan raya dan terlempar jauh. Kesadarannya sudah tidak ada. Tapi ia masih merasakan sakit itu. Ia masih bisa merasakan nyeri di bagian kepalanya yang sudah pecah karena terbentur trotoar jalan raya. Ia juga masih bisa merasakan betapa perihnya kulit tubuhnya yang terkelupas karena bergesekan dengan aspal. Dan ia juga merasakan seberapa sakitnya denyutan pemompa darahnya yang mulai lupa bagaimana caranya bekerja. Tapi ia tidak pernah lupa senyuman paling indah dan sentuhan paling lembut yang pernah ia rasakan di hari pertama ia merasakan apa itu cinta.
“Aku Rima ...,”
Senyuman itu tidak akan pernah terlupa. Pun dengan nama itu. Hingga saatnya ia harus menemukan kegelapan yang nyata pun, ia tidak akan pernah melupakannya.
“Hanif! Bangun, Hanif! Bertahanlah!”
Entah suara siapa, tapi Hanif sudah menjadi bisu, tuli, dan buta saat ini. Ia tidak bisa merespon apa pun. Hanya ada keheningan dalam dirinya.
“Yang aku tahu, aku tidak pernah tahu kalau cinta semenyakitkan ini!”
TAMAT

Minggu, 21 Oktober 2012

Cinta Itu Rima (Cerpen)



for you... Maaf kalau tidak memuaskan... 

*

Air mata menggenang di pelupuk matanya yang mulai terasa panas. Seperti baru saja menghirup berbagai gas racun,  dadanya sesak luar biasa. Pemandangan di depannya bukan sekedar adegan drama. Ini nyata dan ia menontonnya secara langsung. Gosip yang selama beberapa minggu ini berdesis di telinganya, tidak bisa dipungkirinya lagi. Orang yang begitu dicintainya tega menghianatinya seperti ini.
Ia mundur beberapa langkah, menjauhi tempat itu. Tak kuasa lagi menahannya, cairan bening itu menetes membasahi pipinya. Ia berbalik dan berlari dengan sangat cepat saat orang yang sedari tadi dilihatinya menangkap sosok dirinya.
“Rima!” Laki-laki itu berlari mengejarnya setelah sebelumnya menatap gadis cantik yang sedari tadi dipeluknya. “Rima! Kau harus mendengar penjelasanku!”
Rima menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik ia  tahu laki-laki itu sudah berdiri di belakangnya. “Kamu jahat, Nif! Jahat banget, tahu!” masih dalam posisi yang sama, Rima berujar lirih di sela isakannya.
Hanif—laki-laki itu—meraih tangan Rima yang langsung ditepisnya kasar. “Rima...”
Rima kembali berlari tanpa ingin tahu apa yang akan Hanif katakan. Perasaannya terlanjur kecewa dan sakit hati. Selama beberapa minggu ini ia cukup kuat mendengar isu-isu tidak mengenakan soal Hanif. Ia tidak mempedulikan apa kata teman-teman satu sekolahnya tentang Hanif. Ia tetap menyimpan kepercayaan yang kuat untuk kekasihnya itu, karena ia mencintai Hanif lebih dari apapun.
Tapi sebegitu teganya Hanif membuat luka yang dalam dalam hatinya. Memecahkan gumpalan cinta tulus yang selama tiga tahun ini dijaganya. Tanpa ia tahu apa khilafnya sehingga ia tega menggoreskan  luka itu.
Hanif berhenti mengejar Rima saat diyakininya gadis itu tidak akan terkejar lagi. ia membungkukan badan, menahan lelah. Entah apa yang harus dilakukannya saat ini. Entah bagaimana juga persaannya kali ini. Yang pasti, tak ada secuil pun niat berkhianat dalam hatinya untuk melukai gadis itu. Karena ia begitu mencintai Rima.
*
“Apa aku bilang? Aku melihat dengan jelas dia sering  jalan berdua gitu sama cewek cantik. Lagian kamu, sih gak percaya banget sama aku,” Rosa, sahabat baik Rima nyerocos gak jelas saat Rima nangis-nangis memberi laporan soal apa yang dilihatnya tadi malam.
“Terus aku harus ngapain, Ros?” lirih Rima menenggelamkan wajahnya di balik tangannya yang terlipat di atas meja.
Rosa mengelus lembut punggung Rima. Menguatkan. “Kita harus beri dia pelajaran, Rim!”  tukasnya. Matanya berkilat-kilat mencari ide. Gadis itu tidak suka melihat sahabat baiknya disakiti seperti ini. Otak cerdasnya akan dengan sangat mudah mencari ide-ide cemerlang untuk melancarkan balas dendam terhadap orang yang telah melukai Rima. Siapa pun.
Sontak Rima mengangkat kepalanya dan memandang Rosa serius. “Beri pelajaran? Kamu mau ngapain?” tanya Rima panik. Takut kalau teman tomboinya itu melakukan hal macam-macam terhadap Hanif, mengingat Rosa anak karate yang bisa dengan sangat mudah melumpuhkan Hanif.
“Gak ngapa-ngapain. Cuma mau nyuruh pembunuh bayaran nyulik dia buat aku siksa, aku bunuh, aku mutilasi, aku preteli organ tubuhnya, lalu aku kasih hatinya ke kamu, biar kamu tahu ada nama yang lain selain kamu di dalamnya.”
“Rosa! Jangan becanda!” pekik Rima, ngeri membayangkan rencana gila temannya yang satu itu. Ia menangis semakin hebat.
Rosa tertawa renyah. Menatap manik mata Rima yang semakin banyak mengeluarkan air mata. “Haha, kamu fikir aku psikopat, apa? Mana berani juga aku lakuin itu?” dengan lembut Rosa menghapus air mata Rima. Dari sanalah Rima merasakan ketulusan seorang sahabat. Baginya, Rosa seorang pembela yang begitu berharga. “Kita lakukan yang lebih halus. Sesuatu yang kuat akan lebih mudah rapuh jika dilawan dengan sesuatu yang halus.”
Sesaat Rima tertegun mendengar kata-kata Rosa. Tapi setelah itu ia tersenyum. Selama bukan hal yang berbahaya, ia tidak akan melarang Rosa membalas perbuatan Hanif terhadapnya. Luka yang Hanif berikan, telah membuat baretan ngilu dalam hatinya. Dan Hanif harus mendapatkan balasan yang setimpal.
*
Hanif berjalan lesu melewati lorong-lorong sekolah. Ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk relung hatinya. Semacam panah beracun yang kemudian menyebar meracuni paru-parunya hingga ia kesulitan bernafas. Apa yang baru saja terjadi di kelas musik, benar-benar membuatnya seperti penderita kanker stadium akhir yang tidak punya harapan hidup. Dengan sebelah pihak, Rima memutuskannya tanpa memberi kesempatan untuknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kamu fikir, hanya kamu yang menduakanku dengan gadis lain? Asal kamu tahu, Hanif. Jauh sebelum kamu mengkhianatiku, aku lebih dulu melakukannya. Dengan temanmu sendiri! Mulai sekarang, kita putus!”
Tak pernah ia duga sebelumnya,  Rima dengan begitu tega melakukan hal itu. Bahkan Rima tidak pernah tahu kalau orang yang  dipeluknya itu bukan siapa-siapanya. Rima tidak pernah tahu dan tidak mau tahu dengan semua itu. Ia begitu mencintai Rima dan Rima menganggapnya telah mengkhianatinya. Padahal justru ia yang dikhianati hingga sesakit ini.
“Rima!” Hanif memanggil nama itu sembari mencekal tangan lembut Rima, saat Rima bejalan melewatinya, bersama Fahmi, temannya. “Denger penjelasanku, Rim!”
Dengan kasar Rima menepis tangan Hanif tanpa sedikit pun menatap wajah orang yang sebenarnya masih dicintainya itu. Ia harus membuat perhitungan dengan Hanif; Bahkan kamu tidak bisa mengucapkan maaf atas apa yang kamu lakukan sama aku, Nif! Batin Rima kesal. Ia hanya ingin Hanif mengucapkan kata maaf untuknya. Ia tidak butuh penjelasan. Ia hanya butuh pengakuan Hanif atas kesalahan itu.
“Ayo, Mi!” Rima menarik tangan Fahmi yang masih menatap Hanif iba. Sebenarnya ia tidak tega melihat Hanif seperti ini.  Jika bukan karena ancaman Rosa, ia tidak akan mau berpura-pura seperti ini.
“Shit!” umpat Hanif kesal. Ia mendudukan dirinya di beranda kelas. Rasanya kakinya tidak bisa lagi melangkah. Racun itu sudah hampir melumpuhkan persendian tubuhnya. Pengkhianatan itu ia dapat bukan dari kekasihnya saja, tapi juga sahabatnya sendiri.
*
“Pergi! Sampai kapanpun aku tidak akan mau mendengar penjelasanmu. Lagipula, mau kau jelaskan atau tidak, tidak berpengaruh untukku. Aku lebih mencintai Fahmi ketimbang kamu.”
Sebenarnya ada rasa sakit saat ia harus mengucapkan hal itu. Ia seperti menghantam keras batinnya sendiri. Sudah berkali-kali ia menolak kehadiran Hanif yang juga tak urung menyerah, padahal sudah jelas ia yang mengaku-ngaku telah menghianatinya. Bukankah, secara tidak langsung Hanif membuktikan cinta tulusnya kepada gadis itu? Lalu seegois itukah Rima terhadapnya, hingga ia bahkan selalu menolak berbicara dengan Hanif selama hampir satu minggu ini.
“Rim, aku mohon sekali saja! Aku mencintaimu, Rim! Percaya padaku!” Hanif memegang lengan Rima kuat-kuat saat Rima hendak masuk ke dalam rumah. Rima berbalik dan menatap Hanif tajam. Dan saat itu pula Hanif melihat dengan jelas pancaran ketulusan yang masih tersimpan aman dalam mata indah itu. Ia yakin bahwa Rima masih sangat mencintainya. “Bilang sama aku, kalau kamu tidak benar-benar mencintai Fahmi, Rim! Bilang sama aku kalau hanya aku yang kamu cintai!”
“Bulshit!” Rima berusaha melepaskan genggaman tangan Hanif dan segera masuk ke dalam rumah. Hanif diam mematung saat pintu ditutup dengan keras. Lebam dalam hatinya semakin sakit saja. Begitu pun dengan Rima. Ia terduduk, bersandar di balik pintu, menangis lirih. Sungguh ia ingin mengatakan apa yang Hanif katakan. Namun gengsinya terlalu kuat menggurita dalam dadanya.
Hanif melangkah menjauhi rumah Rima. Membawa kekecewaan.
“Hanif!”
Hanif membalikan badan saat suara seseorang tertangkap gendang telinganya, begitu ia melangkah agak jauh dari rumah Rima. Sesaat saja tatapan sayu yang sedari tadi terpasang, berubah menjadi kilatan-kilatan tajam. Ia berjalan mendekati si pemanggil dengan tergesa. Sejerus kemudian melayangkan pukulannya tepat di wajah orang itu—Fahmi.
“Nif, kamu kenapa, sih?” Fahmi berusaha menghindar, tapi rupanya amarah Hanif sedang memuncak. Ia dalam posisi tak terelakan. Tubuhnya terpaksa jadi sasaran kemarahan Hanif. Dan ia tidak ingin melakukan perlawanan sedikit pun. Ia merasa pantas untuk mendapatkan hal itu. Membohongi Hanif hingga menyakiti hati temannya itu, adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
“Apa salah aku, Mi? Kenapa kamu tega nusuk aku dari belakang? Kenapa, Mi?!” Hanif semakin hebat saja melakukan aksinya. Hingga akhirnya Fahmi sadar, kalau ia harus melawan untuk menghentikan Hanif. Dengan kuat ia mendorong tubuh Hanif agar menjauh darinya. Membiarkan tangan kekarnya memukul wajah Hanif sekuat tenaga. Setelah itu, posisi terbalik. Meski Fahmi tidak seanarkis Hanif, tetap Hanif paling payah setelahnya.
“Kamu harus dengerin aku, Nif!” Fahmi mencekal pundak Hanif dengan keras, membuat ringisan ngilu dari Hanif. “Aku gak pacaran sama Rima. Aku, gak pernah cinta sama Rima, begitu pun dengan dia. Ini hanya skenario buat bales semua penghianatan kamu sama Rima!” jelas Fahmi. Ia merasa dengan begitu, beban yang semula bertumpuk dalam hatinya ambruk begitu saja. Perasaannya seperti baru saja bebas dari sel tahanan paling kelam.
Hanif membatu. Tubuhnya merosot ke bawah. Ia tertawa gak jelas. “Bodoh!” desisnya tajam. “Aku sudah menduganya dari awal, kalau Rima gak bener-bener cinta sama kamu!” ujarnya masih dengan tawa sumbangnya.
“Nif, aku minta maaf! Kamu boleh pukul aku lagi kalau kamu belum puas.” Fahmi ikut duduk di samping Hanif. Menatap Hanif lekat-lekat, ada noda merah di sudut bibirnya. “Maaf juga aku udah buat kamu kayak gini!” dengan satu gerakan, Fahmi mengelap darah itu dengan ujung jarinya.
Hanif meringis pelan. Perih di bibirnya tidak seperih di hatinya, meski ia sudah mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi, tetaplah luka dalam tidak akan mudah disembuhkan. “Aku mau aja pukul kamu lagi, Mi. Kamu bohongi aku seperti ini bukan hal yang lucu, tahu, gak? Kamu gak berbakat jadi aktor! Ngapain juga kamu akting kayak gini?”
“Tapi kamu tertipu juga, kan?”
Hanif tertawa. Begitu pun dengan Fahmi. Meski ada rasa sakit, tapi suasana itu menggambarkan kalau keadaan mulai membaik.
“Terus, cewek yang kamu peluk itu siapa?” Fahmi menghentikan tawa itu.
“Sepupuku,” jawab Hanif tenang.
“Emang harus, ya, kamu sesering itu jalan sama sepupu kamu itu? terus peluk-pelukan gitu? Setahu aku, sebelumnya kamu gak pernah cerita soal kedekatan kamu sama sepupu mana pun,” Fahmi mulai curiga. Sebelumnya Hanif belum pernah cerita ada anggota keluarga yang begitu dekat dengannya.
Hanif diam.
“Sebenarnya ada apa, sih, Nif?” desak Fahmi.
Hanif menarik nafas dalam-dalam sebelum menjelaskan, mencari kata yang tepat. “Jadi, sepupuku sakit, Mi. Dia konsultasi gitu sama aku. Aku tahu, aku gak pernah deket sebelumnya sama dia. Tapi apa salahnya coba aku ada buat dia, sekedar menguatkan gitu. Lagian cuma aku juga sodara dia satu-satunya.” Jelas Hanif terlihat agak ragu.
Fahmi mengangguk-nganggukan kepala sok ngerti.
Keadaan hening. Lama.
“Kerjain Rima balik, yuk, Nif!” Fahmi tiba-tiba berujar, memecahkan keheningan. Hanif menoleh dan menatap wajah Fahmi yang sudah dihiasi luka memar akibat pukulannya, dengan serius. “Buat dia maafin kamu dengan cara kamu pura-pura....”
“Apa? Gak mau. This is crazy!” pekik Hanif begitu Fahmi menjelaskan rencananya.
“Terlalu sinetron, memang! Tapi aku yakin dia bakal jadi pemeran paling baik.”
“Tahu, ahh!”
*
Hanif menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Beberapa titik tubuhnya terasa ngilu. Efek pukulan Fahmi beberapa hari yang lalu masih terasa. Selama beberapa hari ini ia tidak bertemu dengan Fahmi, juga Rima. Sakit yang dideritanya akibat terlalu kelelahan memaksa ia harus beristirahat di rumah dan tidak masuk sekolah. Ia tidak tahu apa Fahmi sudah melakukan rencananya atau belum. Dan ia tidak begitu peduli dengan rencana gila itu.
Tidak ada yang mau pura-pura sakit parah dan tidak akan hidup lebih lama lagi. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan temannya yang satu itu. Yang jelas, ide itu bukan hal yang bagus untuk Hanif. Bukan terlalu sinetron, tapi justru ia tidak ingin hal seperti itu terjadi. Ia yakin, Fahmi mendapatkan ide itu hasil mendengar ceritanya tentang sepupunya itu.
“Hanif!”
Sontak Hanif mengangkat tubuhnya saat suara lembut itu menyapa  telinganya. Dilihatnya Rima berdiri di ambang pintu kamarnya. Wajah cantik itu jelas mengguratkan garis-garis kekhawatiran. Dan ia yakin, Fahmi sudah memulai aksinya.
“Kenapa kamu gak bilang sama aku, Nif!” Rima berlari menubruk tubuh kurus itu. Menjatuhkan diri dalam pelukan Hanif. “Harusnya kamu bilang kalau kamu sakit parah. Aku tidak akan sebodoh itu berakting untuk menyakiti kamu yang jelas sudah sakit. Dasar bodoh!” Rima membiarkan tanganya memukul-mukul dada Hanif pelan. Ia tidak habis fikir dengan jalan fikiran kekasihnya itu.
Hanif memegang tangan Rima untuk menghentikan tindakannya. Masih ada sakit yang tertinggal di bagian itu untuk dipukul meski hanya dengan pukulan pelan. “Aku sayang kamu, Rim. Aku fikir hanya terlalu dramatis kalau aku bilang aku sakit dan hidup aku tidak akan lama lagi,” yang jelas apa yang Hanif paparkan tidak terskenario terlebih dahulu. Ia sedang larut dalam perannya saat ini.
Fahmi yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu, hanya terkikik pelan melihat hal itu. Hanif yang juga melihatnya, menyeringai kesal. Tatapannya tajam. Fahmi berlari meninggalkan tempatnya, dan Hanif mulai menjiwai perannya kembali. Semuanya serba kebetulan.
“Hidup lebih lama untukku!” lirih Rima masih tetap pada posisinya. Ia merasa takut saat ini. Sungguh takut! Apa yang baru didengarnya kemarin seperti hantu paling menyeramkan yang menggentayangi jiwanya setiap saat.
“Kalau saja ini bukan skenario Tuhan, aku akan mengajukan beberapa tawaran agar Ia memberi waktu aku lebih lama lagi!”
Rima tertegun. Air matanya mengalir semakin deras.
*
Hanif berjalan gontai di koridor sekolah. Tubuhnya dibiarkan menempel dengan dinding-dinding kelas yang terasa dingin. Ada denyutan keras di kepalanya, sangat menyakitkan. Matanya seperti diserang asap neraka, panas dan perih. Ia kehilangan keseimbangannya untuk berjalan tegak, sehingga memaksa tembok-tembok bercat hijau cerah itu dijadikan tumpuan menahan tubuhnya.
Setelah berjam-jam dikurung di dalam ruangan musik bersama not-not balok yang entah kenapa tidak bersahabat seperti biasanya, Hanif keluar dalam keadaan setengah sadar. Tubuhnya yang memang belum fit total, berprotes saat ia beraktifitas terlalu over.
“Nif!” Fahmi menepuk pundak Hanif, Hanif menghentikan langkahnya. “Rima masih belum tahu, kan?”
Hanif menggeleng pelan, “belum.”
“Aku fikir, kamu cocok deh jadi aktor, menjiwai peran banget,” puji Fahmi yang hanya diberi senyuman aneh oleh Hanif. “Aku bilang juga apa? cewek itu suka yang dramatis-dramatis, gitu. Akting kamu, sih keren banget sampai si Rima gak sadar kalau sakit kamu cuma bohongan doang,” Fahmi tertawa. Hanif memukul lengannya pelan : dasar gila!
“Jadi?!”
Repleks, baik Hanif maupun Fahmi sama-sama balik kanan saat jeritan itu terdengar. Rima tengah berdiri agak jauh di hadapan mereka. Wajahnya sudah jelas mengekspresikan kemarahan. Ia berjalan mendekati Hanif dan Fahmi yang sama-sama tak berkutik.
“Tega kamu, Nif! Ini lebih jahat dari pada kesalahan kamu waktu itu, tahu, gak? Kamu fikir, enak gitu ditipu kayak gini sampai aku tiap malam nyaris tidak tidur hanya untuk mencemaskan kamu? Dan ternyata ini hanya sandiwara?! Argh!!” Rima menangis.
“Rima, aku tidak berniat membohongi kamu,” Hanif mencoba menjelaskan. Ia menarik Rima ke dalam pelukannya. “Aku gak pernah bohong sama kamu, Rim!”
Rima memberontak, mendorong tubuh Hanif dengan kasar hingga Hanif terhuyung dan hampir terjatuh. Sejurus kemudian ia berlari meninggalkan keduanya. Hanif berusaha mengejar semampunya.
“Nif, sorry!” ujar Fahmi lirih saat ia berhasil mengejar Hanif yang bahkan tidak sampai sepuluh langkah melangkahkan kakinya.
“Aku gak bohong, Mi! Aku gak pernah berakting,” desah Hanif sibuk mengelap darah yang tiba-tiba keluar dari hidungnya, dengan telapak tangannya. “Aku memang sakit!”
BRUK!
“Hanif!”
*
“Jadi, yang sakit itu Hanif? Bukan kamu?” Fahmi berdesis tak percaya. Nada suaranya pelan menegaskan.
Gadis cantik berambut ikal itu bernama Arin. Ia mengangguk pelan. Lugu, anggun, menawan. “Aku juga bukan sepupunya,” ia memainkan ponsel di tangannya.
Mata Fahmi  melebar. Lengkaplah kebohongan Hanif. Tak hanya Rima yang tertipu, tapi juga dirinya.
“Hanif itu pasien ibuku, aku berteman baik dengannya selama satu tahun ini. Dan selama setahun ini kondisi Hanif semakin memburuk. Ibu bilang, Hanif tidak akan sanggup bertahan lebih lama lagi. Makanya akhir-akhir ini aku selalu ingin menghabiskan waktu dengannya.”
Suasana hening. Fahmi mencari sesuatu dalam saku baju dan celananya. Yang dicari tidak ada. Ia baru ingat, ia belum pulang ke rumah, pakaiannya pun masih seragam sekolah.
“Kamu membutuhkan ini?” dengan tenang Arin menghadapkan ponsel yang sedari tadi digenggamnya. “Tapi orangtua Hanif sudah ditelepon lebih dulu oleh ibuku.”
“Aku ingin menghubungi seseorang,” kata Fahmi meraih telepon genggam berwarna putih polos itu. “Boleh aku memakainya?”
Arin tersenyum dan mengangguk.
Fahmi menjauh. Setelah memencet nomor yang dihafalnya luar kepala, ia mendekatkan handphone itu ke telinganya. Dadanya berdebar menunggu Rima mengangkat teleponnya.
“Siapa?”
Suaranya serak. Dapat dijamin Rima sudah atau mungkin masih menangis seharian ini. Fahmi merasa bersalah dengan semuanya.
“Aku Fahmi, Rim. Hanif di rumah sakit, dia sakit beneran.”
“Kamu fikir, aku mau tertipu untuk kedua kalinya? Tidak! Bilang sama Hanif, aku tidak mau bertemu dengan dia lagi. Aku ingin dia pergi jauh-jauh dari hidupku! Usah ganggu aku lagi!”
Suara Rima melengking kesal. Tapi ada tangisan lirih di baliknya. Fahmi terdiam dalam renyuhan. Dan tanpa ada yang tahu, saat kata-kata itu terlontar, ada rintihan panjang di ruangan pucat itu.
Hanif membuka mata. Tapi ia merasa dengan pulihnya kesadaran itu, ada sakit yang menghantam tubuhnya dengan keras. Tangannya yang terhubung dengan selang infus repleks memegang dadanya kuat-kuat. Ia merasa ada semacam dinamit berduri yang menyumbat dalam paru-parunya dan siap diledakkan kapan saja. Ia kesulitan bernafas, masker oksigen tidak berpengaruh untuknya.
“HANIF!”
Hanif sudah hampir kehilangan seluruh nyawanya saat seseorang memekik keras dan berlari menghampirinya. Fahmi yang juga mendengar jeritan histeris itu, segera menoleh ke arah ruang rawat Hanif. Dokter beserta pasukannya tergesa memasuki ruangan itu.
“Tarik ucapanmu atau kamu akan menyesal, Rim!”
Sambungan teputus!
“Hanif kenapa?”
Arin yang sempat masuk ke dalam ruangan itu, dan memanggil dokter, tertunduk gelisah di tempatnya tadi. Ia menggeleng lesu.
Fahmi duduk di sampingnya. Menunggu orang-orang berseragam putih di dalam sana selesai menangani Hanif. Orangtua Hanif yang baru saja tiba langsung mengerubuni Arin, juga Fahmi, dengan pertanyaan-pertanyaan perihal kondisi Hanif. Dan hanya gelengan pelan yang mereka lontarkan untuk menjawab semua pertanyaan itu.
Meski dipaksa, tetaplah jantung itu sudah terlalu lelah untuk berdetak dan bekerja kembali. Sudah saatnya ia berhenti dalam istirahat panjang.
Pintu ruangan itu terbuka. Mereka semua berdiri menyambut dokter dan pasukannya.
“Segala sesuatu yang kita miliki itu, milik Tuhan, kan? Dan Tuhan boleh mengambilnya kapan saja.”
Tanpa memberikan pertanyaan lagi, kata-kata dokter itu sudah cukup membuat mereka mengerti. Orangtua Hanif menerobos masuk ke dalam ruangan dan segera memeluk jasad putih pucat yang sudah ditutupi kain itu. Dan entah untuk alasan apa, Arin tiba-tiba memeluk Fahmi dengan erat. Fahmi membatu.
“Hanif pernah bilang, kekuatannya selama ini adalah cinta. Cinta yang membuat ia tidak pernah mau berpaling hati kepada siapa pun. Cinta yang membuat ia menolakku berkali-kali untuk menjadi kekasihnya. Cinta itu tak pernah kuketahui siapa. Yang Hanif bilang, cinta itu bernama Rima.”
*
Rima menangis pilu. Bantal yang sedari tadi dijadikannya benaman, sudah tak mampu lagi menampung air matanya. Dadanya dipenuhi polutan penyesalan kali ini.
“Bilang semua ini hanya sandiwara, Hanif!” Rima mengangkat tubuhnya. Melempar ponsel yang digenggamnya.
Pesan singkat yang diterimanya beberapa saat yang lalu dari Fahmi, seperti jarum-jarum kecil yang ditusukkan secara perlahan-lahan ke dalam hatinya. Ia sakit luar biasa.
“Rima, sumpah demi Tuhan, Hanif sudah tidak ada. Kamu boleh bersyukur karena Tuhan telah mengabulkan do’amu.”
Rima menangis histeris mengingat isi pesan itu. “Maafkan aku, Hanif!” ia meraih bingkai foto berukuran 40x35 cm di meja belajarnya. Mendekap erat bingkai dengan ornamen kerang-kerang kecil itu di dadanya. Hanif terasa begitu dekat dengannya.
“Rima,” seseorang memeluk Rima erat.
Rima berbalik, menatap lirih orang yang saat ini masih mempertahankan pelukannya. “Boleh aku menyesal, Ros?”
“Menyesal untuk memperbaiki kesalahan, Rim! Hanif selalu mencintaimu, tanpa kuperlihatkan hatinya padamu, aku yakin hanya ada nama kamu di dalamnya, tidak ada yang lain!”

Komentar

Postingan Populer