BECAUSE OF YOU (Cerpen)

Albi... Albi... Albi...

Entah sudah ke berapa kalinya Albi mendesah di 30 menit terakhir ini. Yang pasti, sudah lebih dari satu jam yang lalu ia merasa ada yang menumpuk dalam kepalanya. Semacam bahan peledak yang dalam hitungan detik saja akan meledak. Udara penat itu membuat ia terpaksa melewatkan jam istirahatnya. Ia tidurkan kepalanya yang terasa berat itu di atas tangannya yang terlipat di atas meja. Memejamkan mata, berharap dengan begitu rasa pusing itu hilang.

“Albi!”

Baru saja Albi merasa lebih baik dengan posisinya, suara cempreng seseorang mampir di telinganya. Membuat ia mau tidak mau mengangkat kepalanya dan memastikan siapa pemilik suara itu. Rayya. Teman baiknya itu tengah berdiri di samping mejanya.

“Keluar yuk! Lihat sesuatu yang amazing,” ajak Rayya, gadis berkulit putih itu tampak mengamati sahabatnya dengan lekat. “Kamu sakit, Al?” tanyanya melupakan tujuan awalnya dan duduk di sebelah Albi. Wajah Albi terlihat pucat.

Hanya tinggal satu senti saja tangan Rayya menyentuh kening Albi, saat Albi berdiri dan menghindari sentuhan itu. “Apa yang amazing, Ray?” tanyanya melupakan rasa nyeri yang berdenyut di kepala bagian belakangnya. Ia tidak suka melihat perempuan mana pun cemas karenanya.

Rayya mengernyit bingung, tapi seolah tak mau ambil pusing dengan tingkah Albi, ia segera berdiri dan menarik lengan Albi. Menyeret laki-laki yang selalu harum bulgari itu keluar kelas.

“Gadis-gadis itu sungguh terobsesi padamu.” Rayya menghentikan langkahnya tepat di ujung koridor sekolah.

Kepala Albi berdenyut lebih hebat. Ia bersandar di dinding kelas yang terasa bergoyang.

“Kemarin gue jalan bareng sama Albi.”

“Sebelum Albi jalan sama lo juga, dia jalan bareng gue.”

“Tiap hari gue pulang bareng sama dia.”

Albi bisa mendengar samar-samar suara gadis di depan loker itu sebelum akhirnya ia merasa ada yang berdenging di telinga kanannya. Repleks ia menutup kedua telinganya. Tubuhnya merosot saat ia merasa frekuensi getaran keadaan di sekitarnya semakin cepat.

Berputar. Ia merasakan perputaran yang begitu cepat. Albi menutup matanya rapat-rapat. Bibir bawahnya yang sama putihnya dengan kulit wajahnya, ia gigit kuat-kuat. Sakit sekali.

“Albi!” pekik Rayya yang baru menyadari keadaan mengenaskan sahabatnya, karena terlalu asyik menonton perang sengit ketiga gadis itu.

Mendengar suara jeritan Rayya, gadis-gadis itu menoleh ke arah sumber suara. Repleks bola mata mereka membulat saat melihat apa yang jadi objek kepanikan Rayya.

“Albi!” kompak. Menggema. Ketiga gadis yang sama-sama menyimpan rasa untuk Albi itu berlari menghampiri Albi.

“Kita ke UKS se―”

Rayya merasa tubuhnya didorong paksa oleh salah satu gadis itu, seolah hanya mereka yang berhak atas Albi kali ini. 'Heh! Siapa yang sahabatnya di sini? Dasar gadis-gadis gila!'

“Kita harus me―”

“Al, kamu kenapa?” gadis berambut lurus sepunggung yang Rayya kenal bernama Nami, dengan tanpa adab memotong ucapannya. Ia geram.

Albi tak merespon. Perutnya mual kali ini, dan apa yang gadis-gadis di hadapannya ucapkan tidak bisa ia dengar dengan baik. Ada yang menekan telinganya dengan kekuatan ekstra.

“Tolong beri aku celah atau Albi akan mati!”

“Sepertinya Albi harus ke UKS.”

Rayya benar-benar nyaris menangis. Ia tidak dianggap sama sekali, sementara ia yang paling mengerti kondisi Albi. Dan ia sama sekali tidak diberi celah untuk menyentuh sahabat baiknya itu.

Dengan sisa tenaga yang ada, Albi mendorong pelan gadis-gadis itu. Ia tidak butuh UKS. Ia perlu toilet untuk memuntahkan isi perutnya. Mual menyerangnya tanpa bisa diajak kompromi. Seolah semua rasa sakit yang ia rasa saat ini sudah bersekutu, bekerjasama untuk menyerangnya hingga payah.

Albi memasuki toilet yang sangat kebetulan tidak jauh dari tempatnya sekarang. Rayya dan gadis-gadis―yang menurut Rayya―gila, berhenti tepat saat pintu toilet tertutup dengan begitu keras. Guratan kecemasan itu belum mau terhapus sebelum akhirnya, setelah beberapa menit menunggu, pintu bewarna gading itu terbuka dan Albi berdiri di ambang pintu. Ia menyedihkan sekali!

“ALBI!”

*

Albi membuka matanya. Kepalanya masih terasa pusing, tapi setidaknya ia tidak merasakan ada rotasi besar-besaran lagi di sekitarnya, yang ia kenal sebagai kamarnya. Laki-laki beriris hitam bening itu meraba bagian dadanya yang entah kenapa terasa sesak.

“Kamu udah sadar?”

Kedua manik hitam itu berputar, mencari sumber suara. Rayya tampak berjalan memasuki kamarnya dengan membawa satu nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih. Albi mengangkat tubuhnya dan bersandar di kepala tempat tidur.

“Dari awal aku tuh udah tahu kalo kamu itu udah gak sehat. Sampe-sampe, cuma karena lihat ketiga cewek gila, gila karena ngerebutin kamu yang payah ini aja kamu pingsan.”

Albi hanya menyeringai mendengar cibiran Rayya.

“Gak usah menyeringai gitu ah! Seringaian kamu tuh gak sebagus Edward Cullen, tahu,” protes Rayya yang diselipi dengan ejekan. Ia menyodorkan semangkuk bubur ke hadapan Albi. “Makan dulu, nih! Tadi kamu pingsannya lama banget. Kasihan tuh perut. Demo loh entar.”

Albi mengambil bubur itu. Menatapnya dengan nanar. Ia malas makan. Palingan beberapa jam lagi bubur itu akan berakir menyedihkan di westafel sebelum dicerna dengan baik.

“Ayolah! Aku udah susah-susah bawa kamu pulang, nunggu kamu sampe sadar, buatin kamu bubur juga, masa kamu gak mau terimakasih dikit aja dengan makan tuh bubur!”

Albi mengalihkan tatapannya pada Rayya yang sudah tampak lelah. Setelah itu ia mulai memakan bubur itu. Rayya tersenyum puas. Ia tahu Albi tidak pernah suka mengecewakan siapa pun.

“Buburnya enak. Terimakasih.”

Rayya mengangguk senang.

*

“Al, udah sore nih, aku pul―”
Baru saja Rayya hendak pamit saat Albi yang tengah asyik menikmati senjanya di belakang rumah, memotong perkataannya.
 
Rayya berjalan menghampiri Albi lalu duduk di samping laki-laki yang tampak begitu pucat itu.“Tapi ini udah sore, Al. Aku takut ibuku nyariin. Ortu kamu juga bentar lagi pulang, kan?”

“Bentar lagi aja, Ray. Kamu bisa ketemu ibu kamu tiap saat, nanti, besok, dan kapan pun kamu mau. Tapi aku belum tentu bisa lihat kamu kapan pun kamu mau.”

Rayya mengernyit. Ucapan Albi aneh sekali! Dan tanpa mau memprotes, akhirnya Rayya memutuskan untuk tetap di sisi Albi. Hatinya mengatakan bahwa Albi begitu membutuhkannya.

Hening

Hening

Hening

“Kemarin malam, kamu benaran jalan sama Nami, ya?” suara Rayya memecahkan keheningan itu.

Albi mengangguk.“Dia minta aku buat nganterin dia beli peralatan mading,” jelas Albi sedikit menoleh ke arah Rayya. Sejurus kemudian ia meraih tangan Rayya yang bebas. Hangat. Suhu tangan gadis itu sungguh kontras dengan suhu tubuhnya yang dingin.“Aku dingin banget!”

Kalau saja Albi tidak bilang dingin, Rayya akan dengan cepat menepis tangan itu karena dengan seenaknya mampir di tangannya. Bukan apa-apa, hanya saja, entah kenapa tiba-tiba saja ada yang berdesir dalam dadanya saat tangan itu menempel dengan tangannya.

“Terus, sebelumnya kamu ngajak Zia jalan juga ya?”

“Dia yang ngajak aku jalan, Ray,” alasan Albi jengah. Ia tidak suka Rayya membahas ketiga gadis itu.

“Dan kamu sering pu―”

“Itu karena motor Mey sedang diservice dan ia bilang tidak punya tebengan lain selain sama aku.” Seolah tahu apa yang akan Rayya tanyakan, Albi dengan rajinnya menjelaskan tanpa menunggu pertanyaan itu selesai.

“Sebenarnya kau tuh sukanya sama siapa, sih? Nami, Zia atau Mey?”

“Aku gak suka tiga-tiganya.”

Rayya menautkan kedua alis tebalnya tak mengerti. Ia menatap mata sayu Albi dengan lekat. Mencari maksud sesungguhnya dari balik mata, yang entah kenapa terlihat akan redup itu.“Terus, kenapa sekali aja kamu gak pernah bisa nolak permintaan mereka?”

Albi menggenggam tangan Rayya semakin erat. Nafasnya terdengar tidak beraturan. Dadanya tiba-tiba sesak.

“Kamu PHP!” desis Rayya tajam. Matanya dibiarkan memandang tangan kanannya yang digenggam Albi dengan begitu erat.

“Aku takut buat mereka kecewa,”desah Albi.

Rayya menepis kasar tangan Albi, tapi Albi tetap tenang dalam posisinya. Ia tahu Rayya menatapnya tajam kali ini. “Aku gak suka kamu php-in cewek. Mereka bakal lebih kecewa dari sekedar kamu nolak ajakan mereka! Kamu selalu bersikap seolah paling ngerti perasaan cewek. Tapi kamu―”

“Aku hanya ingin berbuat baik sebelu aku mati, Ray!” Albi lagi-lagi memotong kata-kata Rayya. Mata gadis itu masih penuh dengan kilatan kemarahan. Sorotan tajam itu masih menusuk bola mata Albi. “Aku gak akan pernah bisa balas perasaan siapa pun meski aku suka ketiga-tiganya. Aku gak akan pernah bisa, Ray. Hidupku―”

“Berhenti bicara soal kematian, Al! Kenapa kamu itu bersikap seperti seorang penderita kanker, hah? Meniere itu gak akan pernah bunuh kamu. Aku belum pernah mendengar penyakit itu membunuh seseorang. Jangan kamu jadikan penyakit itu alasan buat kamu nyakitin cewek. Aku gak suka!” Nafas Rayya turun naik saking emosi. Ia nyerocos sementara Albi memperhatikannya dengn putus asa.

Hening untuk beberapa saat.

“Aku pulang!” Rayya berdiri dari duduknya. Namun, selangkah Rayya berjalan menjauhi Albi, Rayya merasa tangannya digenggam dengan begitu erat. Dan sejurus kemudian ia merasa tubuhnya ditarik paksa hingga akhirnya merapat dengan tubuh laki-laki dihadapannya. Ia meronta untuk beberapa saat sebelum desahan nafas Albi yang terdengar menyakitkan itu bertepi di telinganya.

“Meniere memang tidak banyak membunuh orang, Ray. Tapi gagal jantung udah bunuh jutaan orang di dunia, dan mungkin aku salah satunya.

Sesaat saja rontaan Rayya berhenti begitu kalimat itu meluncur dari bibir tipis yang sudah kehilangan gincu merahnya itu menyapa gendang telinganya dan lurus menusuk jantungnya. Ia tercekat dan mulai kesulitan bernafas.

Sejak kapan?

Sejak kapan, Al?

SEJAK KAPAN kanu nyembunyiin yang satu ini dariku?!

Batin Rayya menjerit. Ia merasa dikhianati oleh rahasia Albi. Tangannya yang menempel dengan dada Albi terkepal, hingga sedikit meremas pakaian Albi. Ia menahan tangisnya agar tidak jatuh.

“Katakan kamu cemburu sama Zia, Nami dan Mey, Ray! Katakan kamu cemburu!”

Rayya menggeleng tegas. “Nggak! Aku gak pernah cemburu. Aku gak cemburu, Al!”

Albi merasa sesak di dadanya semakin bertambah, berpadu dengan rasa nyeri. “Katakan, Ray! Bilang kalau kamu cemburu!”

Rayya menggeleng lagi. Kali ini air matanya menetes. Ia membenamkan wajahnya lebih dalam lagi di dada Albi hingga detak jantung pemuda itu terdengar. Lemah sekali!

Albi megeratkan pelukan itu lebih erat lagi. Dadanya sakit bukan buatan.“Bilang kamu cinta sama aku, Ray. Bilang kamu cinta! Karena sungguh alasan aku tidak pernah bisa mencintai ketiga gadis itu adalah kamu. Semuanya karena kamu.” Suara Albi terdengar begitu lemah, selemah detak jantung yang Rayya rasakan.

“Aku cinta kamu!

“Aku cinta kamu, Ray!

“Bilang kamu cinta juga sama aku!

“Kamu cinta sama aku kan, Ray?!”

Rayya menangis semakin deras. Terisak hebat di dada Albi. Kali ini justru ia yang berbalik memeluk Albi, begitu sadar pelukan Albi mulai melonggar. Nafasnya juga mulai terdengar sulit, ia bernafas satu-satu. Dan jantung Albi mulai berdetak seperti jam kehabisan bateray. Pelan. Pelan. Pelan sekali. Hingga akhirnya―
“Aku gak cemburu, Al. Tapi aku takut kehilangan kamu. Dan percuma aku bilang, aku cinta sama kamu kalau akhirnya kamu pergi ninggalin aku.”

Lirih. Suara Rayya terdengar begitu lirih di balik air matanya yang tak henti mengalir. Beban di tubuhnya terasa semakin berat. Dan beban itu dingin tersentuh kulit tubuhnya.

“Albi... Aku gak suka kamu dekat dengan Nami, Zia, Mey dan cewek mana pun. Aku gak suka, Al. Aku cemburu Karena aku... Aku cinta sama kamu!”

Komentar

Postingan Populer