Dalam Sebuah Nama

*
Hanif kembali harus berjalan di antara kekacauan yang terjadi. Kekacauan yang beberapa tahun 6belakangan ini telah menjadi gandengan hidupnya. Bersama dirinya. Bersama orang-orang di sekitarnya. Yang sebenarnya, teramat sangat ia sayangi.

Langkahnya terhenti sejenak, telapak kakinya tiba-tiba terasa perih. Hanif merubah posisinya hingga berjongkok, memeriksa apa yang terjadi. Sebuah helaan nafas keras telah ia hembuskan melihat darah segar mengalir perlahan dari telapak kaki kanannya. Pelan-pelan ia mengumpulkan pecahan kaca dari sebuah bingkai foto. Matanya menatap sejenak sekeping kaca yang ujung lancipnya terdapat corak merah, itu pasti darahnya. Ternyata, kaca yang ini yang berhasil menembus permukaan kulitnya.

Ia beranjak ke dapur dengan langkah yang tak seimbang. Pada lantai putih rumahnya, Hanif meninggalkan bercak darah di sepanjang langkahnya. Yang akhirnya berakhir saat ia memasuki kamar mandi. Sesekali ia meringis. Perih. Goresan lukanya akan terasa semakin perih saat dialiri air.

Hanif mendesah, menyadari perih di telapaknya sangat tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perih yang dirasakan hatinya. Saking perihnya, kadang Hanif malah merasa mati rasa. Tidak tahu lagi harus merasakannya seperti apa, hingga biasanya ia hanya diam termenung. Membiarkan dirinya layaknya seorang yang diambil segala akalnya.

Hanif berniat kembali ke ruang keluarga untuk membereskan segala kekacauan yang terjadi, tapi ia nomor dua kan saat mengingat ada hal yang jauh lebih penting yang harus ia lakukan.

Tanpa ragu Hanif memasuki kamar di depannya. Ia tidak heran lagi mendapati kamar Adik perempuannya yang begitu gelap, begitu kontras dengan pintunya yang dicat kuning cerah. Meski gelap, Hanif hafal tata letak kamar tersebut. Ia berjalan melewati single bed berselimut salah satu tokoh anime terkenal buatan salah seorang mangaka hebat Jepang dan ia juga melalui begitu saja lemari kayu yang hanya beberapa centi lebih tinggi darinya. Hanif berhenti di depan sebuah jendela berkusen putih, ia manarik seuntas tali tipis hingga krey yang menutupi jendela tersebut dapat terangkat. Lantas, tanganya kembali tergerak membuka kaca jendela tersebut. Membiarkan cahaya sore hari Rabu masuk ke dalam ruangan yang di tempeli begitu banyak foto piano. Memberikan kehangatan bagi jiwa-jiwa suram yang saat ini berada di dalam sana.

Hanif mengambil posisi di sebelah Adik cantiknya. Punggungnya ia senderkan pada sisi tembok yang kokoh, sedangkan Adiknya tetap menyembunyikan wajahnya di antara lututnya. Hanif dapat melihat pundak Adiknya yang berguncang kecil, menandakan ia masih setia dengan air matanya. Segera Hanif merengkuh Adik satu-satunya itu ke dalam peluknya, ia begitu sadar dan yakin, tidak hanya fisiknya saja yang terguncang, tapi jiwa Adiknya itu pasti berlipat-lipat ganda lebih terguncang.

“Semuanya udah selesai..” Lirih Hanif tanpa ada keyakinan dalam hatinya. Setidaknya, selesai untuk saat ini.

“Tapi semuanya akan terulang lagi, Kak.” Nada sedih Adiknya sukses membuat ia ingin menangis juga. Sukses membuat ia sesak tiada banding.

Adiknya sudah besar, tidak mungkin Hanif membohonginya dengan kalimat seperti itu. Adiknya punya telinga normal untuk mendengar segela perkelahian mulut yang terjadi antara dirinya dan seseorang yang telah melahirkannya. Adiknya punya sepasang mata yang masih berfungsi dengan baik, sehingga ia bisa melihat bagaimana perpecahan itu senantiasa terjadi. Dan Adiknya, sudah menghabiskan 14 tahun hidup di dunia, itu artinya ia sudah bisa berpikir, sudah bisa mengerti, dan mempelajari, mimpi buruk yang menjadi kenyataan seperti apa yang terjadi dalam keluarganya.

“Berhenti, Kak.” Tidak ada cara lain selain menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menghalau seluruh sedih yang bergejolak dalam hatinya. Hanif tidak pernah kuasa mendengar permintaan Adiknya yang satu ini.

Hanif mengeratkan pelukannya. Ia mencium puncak kepala Adiknya begitu lama. Hingga aroma lidah buaya yang berasal dari rambut hitam Adiknya terasa menyusuri rongga-ronga hidungnya. Sedikit menenangkannya.

Sejujurnya, Hanif juga tidak pernah mau selalu bertengkar dengan Ibunya. Kalau dipikir, anak waras mana yang mau menghabiskan waktunya hanya untuk bertengkar dengan sang Ibu. Tapi, Hanif melakukan itu bukan karena alasan. Ia punya begitu banyak alasan untuk terus perang mulut dengan wanita yang menyimpan surga untuknya dan Adiknya itu. Hingga begitu banyaknya, ia sampai tak pernah sanggup memenuhi permintaan Adiknya sendiri.
 
Hanif membiarkan Ranas, satu-satunya Adik yang ia miliki, tetap di kamarnya dan beristirahat. Sedangkan dirinya sendiri sibuk membereskan segala betuk kekacauan yang terjadi.

Ruang keluarganya sudah agak lebih baik sekarang, ia sudah mengembalikan letak kursi yang sempat bergeser posisi atau bahkan terbalik akibat sasaran kemarahan Ibunya. Ia juga sudah membersihkan bercak darah akibat lukanya tadi. Dan pekerjaannya yang terakhir adalah membersihkan segala jenis serpihan-serpihan tajam yang dihasilkan barang pecah belah yang sudah hancur berkeping-keping.

Hanif menatap miris pecahan guci di hadapannya. Dulu Ayahnya sering membelikan Ibunya guci-guci itu. Tapi sekarang, guci-guci itu harus pasrah menjadi sasaran amukan Ibunya. Harus rela ikut hancur bersama hatinya.

“Kak,” Tangan Hanif yang hendak memasukan pecahan guci terakhir ke dalam kantong sampah terhenti. Tanpa menoleh pun, ia sudah tahu siapa yang memanggilnya.

“Kenapa nggak istirahat di kamar aja?” Hanif mengelap tangannya pada celana trainning hitamnya.

“Kakak yang harusnya istirahat.”

“Kakak nggak apa-apa.”

“Aku lebih nggak apa-apa.” Hanif memutar tubuhnya, menghadap Ranas yang menatapnya dengan penuh sayang.

Ranas duduk bersila di sebelah Hanif, sekilas ia memandang kantong plastik hitam yang tampak berat itu. Untuk beberapa detik mereka sempat terdiam. Tapi mata keduanya sama-sama menyisir pemandangan di sekitar ruang keluarga. Semakin hari, ruang keluarga semakin terasa kosong. Bukan hanya kosong karena perabotnya sudah banyak yang dilungsurkan ke tempat sampah, tapi juga terasa kosong akan suasana kekeluargaan yang damai.

Ranas berpaling, hingga ia menemukan sebuah handsaplast yang membalut telapak kaki Kakaknya. “Kena beling lagi ya, Kak?”

Hanif tersenyum dan mengangguk pelan. Ia mengikuti sorot mata Ranas yang memperhatikan lukanya.

“Mentang-mentang di tangan lukanya udah banyak, sekarang jadi kaki yang kena.” Ranas mengangkat salah satu tangan Kakaknya. Pada tangan itu, ia bisa menemukan banyak sekali luka baret. Ada yang panjang, ada yang hanya sekitar dua centi saja. Ada yang tampak parah, ada yang hanya meninggalkan bekas garis merah saja.

Ranas meringis ngilu sambil mengusap pelan tangan Hanif. Hanif sendiri hanya bisa diam. Tidak mau bereaksi apa pun. Telapak tangan Adiknya itu halus, jadi ia begitu terbuai dengan sentuhan Adiknya sendiri. Begitu bisa menenangkan perasaannya.

“Besok-besok kalau Kak Hanif sama Ibu berantem lagi, yang bersihin belingnya biar Ranas aja, ya?”
Hanif menggeleng. “Jangan.”

Ranas melihat Hanif sebentar. Telunjuknya ia gunakan untuk menelusuri seluruh luka di tangan itu. “Ranas gak mau Kakak mati konyol gara-gara kehabisan darah kena beling terus.”

Hanif terkekeh pelan. Ia menggunakan tangannya yang bebas untuk mengelus puncak kepala Adiknya. “Kamu yang konyol!” Ranas merengut. Ia menepuk pelan tangan Kakaknya.

“Jaga diri Kakak. Ranas tinggal punya Kakak.” Hanif terenyuh mendengar permintaan Adiknya. Ia bisa melihat kesungguhan dalam bola mata Ranas. Dan ia juga ingin Ranas dapat melihat kesungguhan itu pula dalam pancaran sinar matanya.

Bahwa ia, tidak akan pernah sanggup meninggalkan apalagi ditinggalkan.

*

Hanif membuka sepatunya. Sepanjang pelajaran olahraga tadi, telapak kakinya terasa perih. Bahkan ia sempat berjalan terpincang-pincang. Hanif menyingkir ke pinggir lapangan. Sesekali mulutnya berteriak memberi semangat pada temannya yang masih betah panas-panasan memeperebutkan si bundar orange.
Perih kembali terasa. Ia memutuskan membuka kaus kaki putih pendeknya. Dan ringisannya kembali terdengar. Kali ini bukan karena perihnya, tapi karena tak percaya melihat handsaplast-nya yang lembab dan tembus warna merah.

“Nif,” Hanif mendongak untuk mengetahui siapa yang memanggilnya.

Ia hanya memberi respon berupa senyum kecil saat tahu siapa yang sedang berdiri di depannya.

“Hanif,” Panggilan dari suara yang sama. Tapi kali ini terdengar lebih lembut.

“Apa?”

Gadis dengan potongan rambut rata melebihi pundak itu tampak menghela nafasnya. Ia sudah kebal mendapat jawaban singkat dari laki-laki yang paling ia sayang setelah Ayah dan Kakeknya.

Gadis berlesung pipi itu berjongkok. Melihat ke titik yang sama dengan Hanif. “Kamu berantem lagi, ya?”

Sebenarnya, tanpa ada jawaban pun ia sudah tahu kalau Hanif pasti habis bertengkar lagi dengan Ibunya. Semua luka yang ada di tubuh Hanif, tidak mungkin sengaja dibuat. Ia sangat kenal bagaimana sifat laki-laki yang sangat di kasihinya ini, ia bukan tipe yang suka menyiksa fisiknya sendiri meski kehancuran macam apa pun melandanya.

Tanpa banyak pikir panjang, gadis berparas ayu itu meninggalkan lapangan. Hanif mengeryit, kedua alis tebalnya saling terpaut. Aneh!

Saat Hanif ingin melepaskan plester cokelat yang menempel di telapak kakinya, gadis itu sudah kembali lagi. Dan kali ini lengkap dengan kotak P3K dan sebotol air mineral.

Hanif hanya diam memperhatikan gerak-gerik makhluk di depannya ini. Bahkan sampai gadis itu duduk bersila di depannya, Hanif tetap memilih bungkam.

Hanif agak kaget begitu hansaplast-nya secara tiba-tiba dibuka. Meski gadis itu melakukannya dengan lembut, tetap saja perih.

Hanif ingin protes, tapi pada akhirnya ia hanya diam saja menyaksikan ketelatenan gadis di depannya ini dalam membersihkan lukanya.

“Kenya,” Begitulah Hanif memanggil gadis itu. Kenya berhenti membuka bungkus plester yang baru. Ia menatap Hanif melalui matanya yang melancip sempurna seperti biji Zaitun.

“Apa?” Bungkus plester kini sudah terbuka.

“Makasih, ya.” Sahut Hanif pelan, namun tegas.

Kenya terhanyut. Perkenalkan, ini adalah satu dari begitu banyak bagian yang ia suka dari Hanif. Apa pun yang Hanif katakan, nada bicaranya selalu menunjukkan ketegasan. Laki-laki memang harus selalu tegas, begitu pikir Kenya. Hanif tidak pernah berbicara kasar, apalagi membentak. Membuat Kenya enggan melirik laki-laki lain.

Kenya tersenyum. “Sama-sama.”

Selain cantik, Kenya juga punya senyum yang manis. Tidak heran kalau ada banyak laki-laki yang terpikat olehnya. Tapi yang diherankan, Hanif tidak seperti laki-laki kebanyakan. Kenya harus benar-benar tahan banting mengenai perasaannya ini. Ia tidak mau menghilangkan perasaannya begitu saja. Ia adalah tipe wanita pejuang!

“Nif, lain kali lebih hati-hati, ya.” Hanif tertegun. Ia dapat melihat kesungguhan yang sama dari Kenya seperti yang ia lihat dari Ranas.

Bersyukurlah ia, dikelilingi dewi-dewi Tuhan yang begitu memperhatikannya.

“Kenya,” Hanif menusuk Kenya dengan sorot lembutnya.

Kenya menelan ludahnya yang terasa kasar. Kenya ingin berpaling dari tatapan Hanif yang begitu lembut dan menenangkan. Baginya, itu adalah satu-satunya hal yang paling bisa membunuhnya detik itu juga. Kenya berpaling, ia harus berpaling atau Hanif akan menyaksikannya meleleh perlahan-lahan.

“Apa, Nif?” Sahut Kenya dengan suara gugupnya.

“Berhenti kasih perhatian itu ke aku.”

Kenya berbalik. Menatap Hanif. Saat ini ludahnya semakin kasar untuk ditelan. “Jangan mulai, Hanif.”
Dan Kenya berubah menjadi sosok yang tegas.

“Kamu tahu aku enggak bisa balas lebih selain dengan bilang terimakasih.”

“Dan kamu tahu aku enggak butuh balasan apa pun.” Kenya tidak mau kalah. Matanya begitu tegas menatap Hanif. Ia ingin Hanif tahu, ia tulus. Ia tidak pamrih meski Hanif harus selalu mengabaikan keberadaan perasaannya. Kenya hanya ingin menjaga hatinya, memelihara rasa sayangnya untuk laki-laki yang ia yakini memang tepat.

Hanif menunduk hingga dalam. Ia tidak mau melihat wajah Kenya yang selalu berpendar-pendar cahaya ketulusan. Ia tidak pernah sanggup menyakiti hati seorang gadis yang begitu baik padanya. Tapi kenyataan membuatnya gila, faktanya ia sudah menyakiti hati gadis itu. Ia juga menghancurkannya. Dan bisa dibilang ia juga mempermainkannya.

“Berhenti sakitin perasaan kamu sendiri.”

Suara Hanif begitu pelan Kenya dengar. Kenya bangkit dari duduknya, berdiri dengan begitu kokoh padahal hatinya sudah tidak utuh. “Harusnya kamu bilang itu ke diri kamu sendiri.”

Itulah kalimat terakhir Kenya sebelum ia pergi meninggalkan lapangan. Meninggalkan Hanif yang tetap mematung di tempatnya.

Hanif mengerang kesal. Namun tidak ia tumpahkan secara nyata. Ia hanya menyimpannya dalam hati, ia masih punya akal sehat untuk tidak uring-uringan di pinggir lapangan begini.

Ada suatu saat di mana Hanif sangat membenci dirinya sendiri. Ketika ia ingin untuk tidak menyakiti perasaan siapa pun, justru ia melakukan hal itu. Dan bodohnya, ia melakukannya dengan sadar.

*
Hari ini Hanif memilih jeans biru panjang dan kemeja polos berwarna biru tua untuk menemaninya bermain piano. Semenjak Ayahnya pergi begitu saja meninggalkan rumah dua tahun lalu dan Ibunya mulai menunjukan perubahan-peruhan drastis—yang sangat tidak ia inginkan—Hanif sadar kalau ia harus bekerja. Mencari penghasilan sendiri untuk menghidupinya dan sang Adik, karena ia tidak mungkin mengandalkan penghasilan Ibunya. Ralat! sama sekali tidak mau menggunakan penghasilan Ibunya, apalagi kalau sampai Ranas yang hidup dengan penghasilan Ibunya. Tidak-akan-boleh-terjadi.

Hanif melirik jam tangan hitamnya, sudah hampir jam setengah tujuh malam, ia harus segera berangkat atau manager Averas akan memarahinya karena telat datang serta kelimpungan mencari pemain piano yang dapat menggantikan dirinya. Hanif tidak mau itu terjadi, ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya yang bisa dibilang hobinya juga.

Hanif pergi ke teras rumah, bertepatan dengan berhentinya sebuah sedan hitam mewah di depan pagar rumahnya. Pintu penumpang terbuka, Hanif dapat melihat tubuh langsing Ibunya keluar dari sana menggunakan model pakaian yang paling Hanif benci.

Hanif menyimpan getir dalam hatinya. Ia ingin menangis. Tidak peduli ia seorang laki-laki. Yang ia inginkan hanya melepaskan penat yang bisa saja membunuhnya.

Wanita yang telah melahirkan Hanif dan Ranas dengan penuh perjuangan itu tetap berdiri di depan pagar seraya tangannya terus melambai mengiri kepergian sedan hitam keluaran Eropa itu.
“Bu,” Panggil Hanif saat Ibunya hendak berjalan melewatinya tanpa peduli.

“Hm?” Wanita itu tidak mau melihat anaknya. Tidak melihat aliran kesedihan yang dipancarkan anak laki-lakinya.

“Jangan lakuin itu, Bu.” Pinta Hanif dengan sungguh. Ia pergi ke hadapan Ibunya, berharap Ibunya itu mau melihat dirinya.

“Jangan pernah atur saya!” Hanif hancur berkeping-keping. Dan parahnya, Ibunya sendirilah yang telah menghancurkannnya.

“Ibu bisa cari pekerjaan lain, kan, Bu?” Suara Hanif bergetar. Ingin ia mengguncang pundak Ibunya agar wanita itu dapat tersadar, apa yang telah dilakukannya merupakan kesalahan besar.

“Kamu pikir itu gampang?!” Ibu menaikan suaranya. Sedangkan Hanif memberanikan diri menatap mata Ibunya, mencari kasih sayang yang mungkin saja terselip di antara kilatan amarah itu.
Ibu kembali bersikap tidak peduli. Ia berjalan melalui anak laki-lakinya, layaknya Hanif hanyalah makhluk asing yang menjadi polutan hidupnya.

Hanif mengepal tangannya kuat-kuat, merasakan sedih yang menjalari peredaran darahnya. Otaknya kembali dipenuhi pertanyaan-pertanyaan retoris, Kenapa harus Ibunya? Kenapa harus hidupnya? Hancur.

Kehancuran itu dimulai saat Ayahnya yang memang bersifat temprament secara tiba-tiba pergi meninggalkan rumah. Terang-terangan beliau mengatakan akan menikahi wanita lain. Bagaimana Hanif, Ranas, dan Ibunya tidak kaget mendengar itu? itu sama saja melihat kiamat kecil di mata mereka.

Berbulan-bulan mereka lalui dengan kesedihan yang tidak bisa ditinggalkan. Sampai Ibunya berubah menjadi sosok yang mengerikan untuk Hanif dan juga Ranas. Ibunya jadi sering mengeluarkan suara dengan nada keras dan kasar. Sampai Hanif sadar, Ibunya yang sekarang, bukanlah Ibunya yang dulu. Yang penuh kasih sayang dan juga perasaan. Ibunya sudah dipengaruhi sakit hati mendalam.

Hanif tahu, hati Ibunyalah yang paling terluka. Wanita mana pun tidak akan rela diperlakukan seperti itu. Hingga ia melampiaskan segala sedih dan kesalnya dengan cara yang sangat salah. Berteriak, hingga bertindak kasar. Hal inilah yang membuat Hanif mengerti, ditinggalkan oleh orang yang paling dicintai bukanlah hal yang baik, tapi bukan berarti juga harus menjadi lebih buruk.

Saat sadar krisis keuangan akan terjadi, Ibunya semakin uring-uringan. Beberapa bulan ia gunakan untuk mencari pekerjaan. Saat itu, Hanif bisa sedikit bernafas lega, ternyata Ibunya masih mau berjuang untuknya dan Ranas.

Tapi nafas lega itu nampaknya harus tertahan lagi. Ibunya selalu pulang dengan penolakan dari berbagai perusahaan. Hanif tidak heran kalau itu semakin membuat Ibunya menjadi wanita yang lebih kasar lagi. Sampai suatu saat, di mana ada hari yang Hanif tidak mengerti mengapa bisa terjadi, akhirnya Ibunya mendapatkan suatu pekerjaan.

Awalnya Hanif senang, hidupnya bisa kembali terjamin. Namun, omongan-omongan negativ para tetangganya membuat ia mengerti apa yang dilakukan Ibunya. Sungguh, Hanif rela bersumpah demi apa pun, Hanif benci pekerjaan Ibunya. Menemani laki-laki yang masih memliki istri begitu hina dilakukan Ibunya. Hanif benci itu. Ia tidak akan pernah mau hidup dengan penghasil dari itu semua. Meski pun ia sendiri sadar, ia membutuhkan biaya yang besar untuk bisa bertahan hidup.

“Kak Hanif!” Hanif menoleh ke pagar. Adiknya tampak lelah di sana.

“Maaf, Kak, lama. Tadi nunggu ojeknya lama banget.” Suara Ranas terus terdengar sampai ia berada di depan Kakaknya. Ia baru kembali dari minimarket dan itulah yang membuat Hanif tidak bisa langsung pergi ke Averas.

“Kak,” Ranas menyenggol tangan Hanif, menyadari ada yang tidak beres dengan Kakaknya.
Hanif yang akhirnya sadar, hanya bisa diam melihat Adiknya. Bayangan masa lalu itu membuat kepalanya pening.

“Kakak kenapa?”

“Kakak baik-baik aja.” Ranas tidak sepenuhnya percaya. Kakak nggak pernah baik-baik aja.

Mata tajam Kakaknya tampak sayu, bibirnya terlihat kering, ada peluh yang membanjiri kening Hanif. Apa Ranas masih harus percaya Kakanya baik-baik saja?

“Hari ini nggak usah kerja, deh, Kak.” Hanif membulatkan matanya. “Kakak keliatan gak sehat. Malam ini di rumah aja, ya, Kak?”

Hanif menepuk-nepuk pundak Adiknya. Ia tau Ranas khawatir padanya, tapi bekerja ya bekerja. Ini demi hidupnya. Hidup Ranas juga.

*

Hanif mengetuk-ngetuk botol obatnya di atas meja. Beberapa menit lagi ia harus mulai beraksi dengan pianonya, tapi nyeri di dadanya belum juga hilang. Mereda pun tidak. Ia mengernyit sesaat, kenapa obatnya tidak bereaksi dengan baik seperti biasanya?

Hanif menekan area dadanya, sedikit meremas kemejanya. Ia mulai memasukan beberapa pertanyaan ke dalam otaknya, Ini obatnya yang sudah tidak manjur lagi atau pleuritisnya yang semakin parah?

“Nif, siap-siap!” Hanif mengangguk sopan pada temannya. Ia menghembuskan nafas panjang yang justru semakin memperparah sesaknya. Lantas ia mulai bangkit dan menuju panggung.

Senyum terkembang seiring sejuk perasaannya. Denting-denting piano itu berhasil menyalurkan nada-nada indah sehingga menyapa ramah hatinya. Kenya tidak bisa menutupi perasaannya, ketenangan itu begitu bisa membuatnya bahagia, manakala ia selalu melihat Hanif berduet dengan sebuah grand piano di atas panggung kecil itu. Sungguh, hatinya tidak salah mencintai laki-laki yang begitu istimewa.

Kenya kembali menyedot ice lemon tea-nya, rasa masam menyegarkan seketika mengarungi tenggorokannya. Matanya begitu jelas terbuka saat dilihatnya pria yang sangat dikasihinya itu membungkukan badannya penuh hormat beberapa detik setelah jari terampilnya selasai menekan tuts piano. Memberikan nada terakhir untuk semua insan Averas.

Sementara tepuk tangan masih bergemuruh untuk sang pianist Averas, cahaya lampu yang sedemikian rupa di tata untuk cafe mewah itu mengantarkan sinar mata Kenya menuju manik mata Hanif. Ia tersenyum dari mejanya saat menyadari Hanif melihat keberadaannya. Beberapa detik ke depan Kenya menutup senyumnya. Kakinya yang dilapisi flat shoes hitam-pink melangkah bergantian menuju Hanif di belakang panggung.

Hanif menyenderkan tubuhnya pada sisi dinding, sesaknya datang lagi. Sakitnya datang lagi. Ia ingin bernafas lega karena masih bisa mempertahankan permainan nadanya meski sakitnya terus mendera, tapi nyatanya untuk hembusan nafas panjang pun ia harus membayaranya dengan rasa nyeri yang teramat sangat.
Mata sipitnya begitu rapat ia pejamkan, menimbulkan urat keungunan di sekitar lingkar matanya. Tangannya terangkat untuk merasakan sakit di dadanya.

“Hanif!” Hanif tetap terpejam meski pekikan itu menggetarkan telinganya.

“Obatmu mana, Nif?” Seperti sudah mengerti akan keadaan ini, Kenya mencoba mengguncang pundak Hanif. Jika saat ini ia bercermin, maka cermin itulah yang akan memberitahu wajah paniknya.
Hanif membuka matanya pelan. Tangannya bergetar menahan tangan Kenya agar berhenti mengguncang tubuh lemahnya.

“Sakit, Nya.” Aku Hanif pada akhirnya. Kenya menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba merasakan sakit yang terucap dari bibir pucat itu. Hanif tidak suka menutupi keadaannya saat penyakitnya mulai menyerang pernafasannya. Sakit seperti apa pun ia akan tetap mengakuinya. Itulah hal yang membuat Kenya semakin merasa bersyukur, ia tidak hanya bisa mencintai, tapi ia juga bisa merasakan sakit orang yang dicintainya. Ya, meski itu sangat sedikit.

Hanif menegakan pijakannya saat dirasa sesaknya berangsur pergi. Tangannya masih tetap menahan tangan mungil milik Kenya.

“Obatmu mana, Nif?” Kenya mengulang pertanyaan yang belum sempat dijawab itu. Raut paniknya pun berangsur pudar, tergantikan kelembutan khas yang ia miliki.

Hanif terkekeh pelan. “Kalau sakit sedikit aja aku minum obat bisa-bisa aku meninggal karena over dosis, bukan karena pleuritis.” Kenya seperti mersakan kembali asamnya lemon tea, tapi bedanya asam yang ini mencekatnnya.

“Yang tadi itu parah, Hanif.”

“Aku sering lebih parah dari tadi.” Hanif tidak mau kalah. Sejelan berikutnya, Hanif menyesali kalimatnya. Jujur saja, ia juga turut sedih melihat wajah manis Kenya diwarnai kekhawatiran.

Hening mengurung. Tak ada yang membuka suara. Latar pun seakan mendukung. Tempat mereka berada ini memang jarang dijamah. Pelayan Averas pun hanya sekedar melewati mereka tanpa memberi tanda tanya akan apa yang sedang terjadi antar pianist dan pelanggan mereka.

“I know you think that I shouldn’t still love you or tell you that,”

Suara merdu seorang penyanyi Averas berpadu dengan aluna instrument. Baik Hanif dan Kenya tetap bergeming. Tangan mereka masih menyatu, semakin mempermudah getar-getar aneh yang sudah mereka ketahui apa namanya menjalari peredaran darah mereka.

“Nif,” Panggil Kenya nyaris berbisik. Hanif hanya terlihat mengangkat sebelah alisnya. “Kalau alasan kamu nolak aku adalah penyakit ini, kamu salah besar.”

“Seandainya alasan aku cuma itu, aku gak peduli. Bahkan aku yang akan ngakuin perasaan aku lebih dulu.” Kenya menatap sendu bola mata cokelat di hadapannya. Di dalam sana seperti ada telaga yang selalu bisa menenangkannya.

Kenapa hidup lelaki ini begitu banyak dipenuhi alasan, sehingga untuk menyatukan perasaannya pun ia tidak bisa meninggalkan alasan itu.

“Lupain alasan-alasan itu, Nif.”

Hanif menggeleng pelan. Tangan Kenya semakin erat digenggamnya. “Nggak bisa.” Siapa pun yang bisa menerawang hatinya, percayalah, ada kebohongan di sana.

“But I will go down with this ship, I won’t put my hands up and surrender, There will be no white flag above my door, I’m in love and always will be.”

Kenya menunduk, ia hampir putus asa kala melihat gelengan Hanif. Namun ia juga tidak bisa menutup telinganya untuk tidak mendengar syair-syair White Flag itu menggelitiki gendang telinganya.
“I’m in love and always will be.”

Dan perlahan-lahan, ia mendapatkan kepercayaannya lagi.

Hanif punya alasan untuk menahan perasaannya sendiri. Dan Kenya juga punya alasan untuk terus memperjuangkan perasaannya. Atau setidaknya, mempertahankannya.

*
 
Hanif keluar dari kamarnya dalam keadaan rapi. Kemeja seragamnya berhasil membalut tubuhnya yang kian hari semakin menyusut bobotnya. Celana panjang abu-abunya juga jadi tampak kebesaran mengurung kedua kaki jenjangnya. Tapi ia tidak peduli. Yang tersimpan dalam processor-nya hanyalah berjuang selama ia masih sanggup, menepi saat ia lelah, dan berhenti saat Tuhan yang memintanya.

Laki-laki penyuka sepatu kets berwarna putih itu berjalan menuju meja makan sambil memperhatikan keadaan di rumahnya. Pagi ini tampak lebih sepi dari biasanya. Ranas masih di kamar mandi dan satu penghuni lagi, yaitu Ibunya, ia tidak tahu. Semalam saat pulang dari Averas, Ibuya tidak ada di rumah.

Belum sempat ia marik kursi dan duduk, hidungnya mencium bau yang paling tidak ia sukai. Ia berjalan mengikuti bau tersebut. Bau hasil pembakaran. Saat akan melalui pintu menuju teras belakang, Hanif merasa bau itu semakin menyengat. Ia harus menutup hidungnya, atau sebentar lagi paru-parunya yang penuh bakteri itu akan semakin kotor.

“Ibu!” Hanif mendapatkan suaranya yang tercekat. Matanya membulat tak percaya melihat dengan santainya sang Ibu menghembuskan asap rokok.

Mendengar suara anak laki-lakinya yang sarat akan rasa kaget, Ibu hanya menoleh tanpa niat beranjak dari kursinya.

“Ibu ngerokok?” Ibu tetap setia dengan rokok di tangannya. Asap tampak mengepul keluar dari mulutnya. Tak terlihat sedikit pun rasa terimakasihnya akan perhatian yang diberikan oleh jagoannya tersebut.
“Ibu jangan ngerokok!” Larang Hanif dengan tegas. Tapi semua itu bagaikan angin lalu untuk Ibunya.
Hanif mulai geram. Dadanya mulai sesak. “Bu!” Hanif mencoba mendesak. Namun seakan semua zat dalam lintingan kertas itu telah merenggut akal sehat Ibunya.

Ibu kembali melepaskan asap-asap laknat itu, tanpa mempedulikan Hanif yang mulai hilang kendali akan batuknya. “Apa?” Tanya Ibu tak acuh. Ia menekan ujung rokoknya yang mulai berubah menjadi abu ke atas asbak.

“Ibu jangan ngerokok!” Suara Hanif yang bergetar bercampur dengan emosinya yang mulai mendesak keluar.

Ibu berganti melihat tanaman soka yang tumbuh di sekitar kolam ikan. “Jangan suka atur-atur saya!” Auara batuk Hanif yang menyakitkan terdengar di antara bentakan keras Ibunya.

Tak peduli akan statusnya yang seorang laki-laki, Hanif membiarkan air mata menguasainya. Ini masih sangat pagi dan ia sudah harus bertengkar dengan Ibunya. Sungguh ia benci keadaan ini. ia benci Ibunya yang sekarang, makhluk asing yang setia memberinya luka. Apa ini yang di lakukan keluarga lain saat pagi? Apa Ibu lain ada yang seperti ini juga?

“Ibu berhenti!” Teriak Hanif. Ia mulai hilang kontrol.

Tangannya dengan sigap menahan tangan Ibunya yang hendak kembali menyelipkan batang kertas itu di antara bibirnya. Raut Ibu mulai menunjukan ketidak sukaan. Di matanya sudah jelas terlihat gurat-gurat kemarahan.

Ibu menahan batang rokoknya yang baru ia hisap beberapa kali dalam genggaman Hanif. Hanif meringis. Telapak tangannya terasa panas sekarang. Ujung rokok yang masih menyimpan api itu sukses melukai telapak tangannya. Meski begitu, Hanif tetap bertahan. Tangannya tetap berusaha menahan rokok itu meski rasanya semakin panas dan perih.

Kali ini, Hanif kesulitan memberi jalan untuk batuk dan ringisannya. Dengan tenaga yang masih singgah di tubuhnya, Hanif menghempas kencang tangannya. Hingga rokok itu akhirnya terjatuh ke lantai. Hanif menyimpan sakit di telapaknya dalam hati. Ibu semakin menunjukan kesalnya. Matanya begitu tajam menyorot seseorang yang dulu sangat ia tunggu kelahirannya.

“Tolong jangan ngerokok, Bu!” Nada itu melemah. Tapi entah bagaimana setiap katanya seakan menunjukan ketulusan mendalam. “Jangan sakitin diri Ibu sendiri.”

Hanif bersimpuh di samping Ibunya, tapi nampaknya wanita itu benar-benar sudah kehilangan warasnya. “Cukup Hanif yang sakit, Bu. Jangan Ibu sakitin diri Ibu sendiri. Kalau kita berdua sakit, yang jaga Ranas nanti siapa?” Hanif masih pada posisinya. Air matanya menetes pelan ke atas lantai. Bibir Ibu tetap membisu. Tubuhnya tetap mematung. Air mukanya kali ini tidak menunjukan kalimat.

Dari tempatnya berdiri, Ranas menyaksikan segelanya dengan air mata yang membasahi wajah mulusnya. Ia memikirkan banyak hal. Memikirkan begitu banyak pertanyaan yang ingin sekali ada yang bisa menjawabnya. Namun naasnya, pertanyaan itu hanya Tuhan yang punya jawabannya.

Ranas tetap terisak melihat Kakaknya yang masih bersimpuh di samping Ibunya. Kenapa ia harus memiliki Ayah yang tega meninggalkan keluarganya? Kenapa ia memiliki Ibu yang harus berubah menjadi orang yang mengerikan? Kenapa ia memiliki Kakak seperti Hanif yang lemah namun selalu berjuang untuk segala hal? Dan kenapa ia harus menjadi Ranas yang hanya bisa menangis melihat keluarganya semakin hari semakin hancur?

*

“Nif, gurunya bukan di jendela, tapi di depan. Lo jangan liat ke jendela terus dong! Lo lupa? Pak Akhyar yang paling mantep bentakannya?” Raga, sahabat Hanif yang merangkap chairmet-nya mulai memberikan bisikan peringatan.

Sudah sejak tadi ia memperhatikan Hanif yang terus melihat ke arah jendela. Raga menggeleng di hadapan buku catatannya.

“Kayaknya mau ujan deres, Ga. Ranas pasti gak bisa pulang.” Hanif memelankan suaranya, tidak ingin guru sejarah berkumis tipis itu melihat ke arahnya. Raga mengangkat kembali pulpennya, ia berbalik pada sahabatnya. “Hari ini gue gak ekskul, ya? Mau jemput Ranas.”

“Yaudah, tapi lo hati-hati naik motornya.” Sebuah tepukan pelan mendarat di pundak Raga. Dan ia mendapati bibir Hanif menyebutkan kata “Thanks” sebelum ia kembali lagi pada catatannya.

Ketika tangan Hanif mulai diturunkan dengan jelas Raga bisa melihat sebuah luka bakar terpakir sempurna di atas telapak tangan itu. Raga mendesah keras namun tak cukup membuat gurunya mendengar hal itu.

Berteman sejak SD membuat mereka saling memahami satu sama lain. Hanif yang sudah hapal akan sifat perhatian yang dimiliki oleh sahabatnya yang seorang pecinta Superman, dan Raga sendiri yang sudah tahu luar dalam bagaimana hari-hari kelam Hanif.

Kenya berdiri di depan kelas IPS, menunggu dua orang teman lelakinya yang pertama kali ia temui di kelas tujuh, lima tahun lalu. Tunggu! Dua teman lelaki? Mungkin lebih pantas kalau disebut satu orang teman dan satunya lagi orang yang ia tunggu cintanya.

Gadis dengan rambut terawat itu mendudukan tubuhnya pada kursi kayu di samping kelas. Dan tak lama kemudian, pintu bercat hijau tua itu mulai terbuka, menyembulkan pria bertubuh kekar yang ia kenal sebagai guru sejarah. Kenya cukup bersyukur karena guru tersebut tidak menyadari keberadaannya. Ia langsung berganti posisi ke pinggir pintu.

Kenya menahan suaranya saat Hanif hanya berjalan melewatinya dengan senyum menawan yang terhias di wajahnya. Laki-laki berhidung bangir itu tampak terburu-buru. Kenya tidak tahu tempat mana yang ingin dituju Hanif, padahal langit mulai menggelap dan bergemuruh.

Kenya yang saat itu menggunakan cardigan bermotif bung-bunga biru masih tetap terpaku meski Raga sudah berdiri tepat di depannya.

“Nya, mukanya santai aja. Baru dikasih senyum gitu doag sama Hanif, apalagi dikasih hatinya.” Kenya tersadar dan refleks meninju pelan lengan Raga.

“Hanif mau ke mana? Dia enggak ekskul?”

“Dia mau jemput Ranas. Sebentar lagi mau ujan dan dia nggak mau Ranas ketahan di sekolah.”
Kenya mengangguk tanda paham. “Hanif emang pengertian banget, ya.” Jujur Kenya dengan mata yang berbinar. Laki-laki itu, kenapa selalu menambahkan rasa sayang yang bersemi di hatinya?

“Woooo! Puji aja terus. Mentang-mentang lo suka dia.” Kenya mengkrucutkan bibirnya mendengar cibiran Raga yang berselingan dengan tawanya. Ia mencoba menyusul langkah Raga yang sudah beberapa jarak di depannya.

“Oh, iya, Hanif punya koleksi baru lho!” Seru Raga saat Kenya sudah berjalan di sampingnya. Kenya mencoba melihat wajah ramah Raga tanpa menghentikan langkahnya. Sebenarnya ia sudah tahu makna ‘koleksi’ yang disebut pria itu.

“Tapi koleksi yang ini rada beda.” Raga tampak berpikir. “Semacam kesundut rokok gitu.” Kenya mengangkat sebelah alisnya. Wajahnya dan Raga kini tampak sama. Sama-sama menyiratkan kebingungan.

*

Hanif berjalan terburu-buru memasuki koridor SMP Adiknya. Jaket biru Adidasnya sudah basah dan ia tidak peduli itu. Ia sengaja tetap menyimpan jas hujanya di bagasi motor untuk bisa dipakai Ranas.

Sepatu kets putih bermerk sama dengan jaketnya meninggalkan jejak-jejak basah di atas lantai putih koridor. Sekolah sudah tampak sepi, parkiran pun hanya diisi beberapa motor yang harus rela ditimpa air hujan. Dan pencahayaan dalam koridor pun tidak cukup terang akibat langit yang terlalu gelap.

Hanif bernafas lega menemukan Adiknya sedang duduk pada anak tangga paling bawah. Senyum kecil tersungging di bibirnya melihat wajah manis Ranas tampak kebosanan.

“Bosen, ya?” Ranas menegakan lehernya yang terasa pegal. Kontan senyumnya mengembang mendapati orang nomor satu yang paling ia sayangi sekarang sedang berdiri di depannya.

“Maaf, ya, Kak Hanif lama.” Hanif mengambil posisi di sebelah Ranas. Tangannya mengelus pelan punggung mungil saudara kandungnya.

“Yang penting Kak Hanif udah dateng.”

“Langsung pulang, yuk!” Ajak Hanif yang langsung dihadiahi gelengan kerasa Ranas.

“Nanti aja. Ranas males pulang, di rumah bau asap rokok. Ranas nggak suka.” Ranas menunjukan wajah polosnya. Ia memang semakin tidak suka keadaan rumahnya sendiri. Hanif tak merespon apa pun, kecuali tangannya yang tetap mengelus punggung Adiknya. Jujur, ia pun juga sama dengan Ranas.

“Kakak gak bawa jas hujan, ya? Jaketnya sampe basah kuyup gini, kalau nanti sakit gimana?” Ranas memborong pertanyaan dan berharap Kakaknya itu segera menjawabnya.

“Bawa, kok. Tapi itu buat kamu pake.” Pandangan iba langsung tertuju untuk Hanif. Ranas kembali diberi bukti betapa Hanif sangat menyayanginya. Yang perihnya ia tidak pernah tahu bagaimana cara untuk membalasnya.

Ranas menggosokan tangannya hingga ia rasa kehangatan itu menjalar dan segera ia menggenggam tangan Hanif yang tetap terasa dingin. Ia tidak kuasa melihat Kakaknya itu kedinginan seperti ini. Bibirnya sedikit membiru dan tampak bergetar. Terlebih yang ia takutkan akan tubuh Kakaknya yang sudah menjadi sarang pleuritis ini akan semakin menurun kondisinya.

Hanif hanya diam. Ia sedang menikmati kelembutan yang bercampur kehangatan yang berpangkal dari tangannya yang kemudian mengalir ke seluruh jaringan sarafnya. Kenapa ia lebih bisa menikmati kelembutan itu dari Adiknya sendiri? Bukan dari seseorang yang menyandang status sebagai Ibunya.

“Kak,” Hanif diam melihat Adiknya, ia menunggu kalimat selanjutnya. “Jangan terlalu banyak berkorban buat aku.” Ranas balas menatap Kakaknya. Mata itu tampak sayu di antara gurat wajah Hanif yang tegas.

“Kenapa gitu?”

“Kak Hanif sakit dan Kak Hanif masih terus berjuang buat aku. Kakak kerja sampai larut untuk menuhin kebutuhan aku, kadang Kakak bertengkar sama Ibu karena aku, Kakak rela kehujanan buat aku.” Ranas ingin menangis, tapi ia tahu Hanif tidak suka melihat itu. “Aku sehat, Kak, tapi aku gak pernah ngelakuin sesuatu yang berarti untuk Kakak.”

Seluruh kesadaran Hanif tersita. Bagaimana bisa Ranas berpikir seperti itu? Bahkan, untuk terus memanggilnya “Kakak” dan memberikan ketenangan saat hatinya kacau adalah hal paling tidak terbayar yang Hanif dapatkan dari Ranas.

“Dengar!” Hanif menggiring Ranas untuk lebih mendekat padanya. “Kita gak mungkin sama-sama terus, dan kemungkinan besar Kakak yang lebih dulu akan ninggalin kamu. Jadi, udah seharusnya Kakak berjuang buat kamu, seenggaknya untuk ngebayar waktu kita berdua yang akan terasa sebentar.”

Tanpa banyak berpikir lagi Ranas langsung menenggelamkan wajahnya pada dada Kakaknya. Wajahnya terasa amat basah. Air matanya bercampur dengan air yang merembas dari jaket Hanif. Seyakin itukah Kakaknya kalau penyakitnyalah yang akan membunuhnya? Mempersingkat waktu di antara mereka.

Sekelebat film-film semu itu hadir dalam ingatannya. Memaksa Ranas menemui layar besar yang sudah siap dengan berbagai potongan film bagaimana sakitnya Hanif saat penyakit itu kembali mengganggu tubuhnya. Bagaimana kuatnya tangan itu mencengkram dadanya sendiri. Bagaimana wajah lelah Hanif setiap pulang dari Averas. Seberapa kencang suara Kakak dan Ibunya saling berteriak, beradu, dan bersatu hingga hampir memecahkan telinga dan hatinya. Hingga ia sampai pada film baru yang belum pernah hadir dalam hidupnya sebelumnya. Bayangan itu, menyorot wajah pucat Hanif yang hampir membiru. Menunjukan kalau raga itu sudah tidak memiliki degup jantung lagi. Sampi akhirnya ia menukan dirinya hanya sendirian. Menangis tanpa ada yang bisa menenangkannya.

Ranas cepat-cepat menyingkirkan bayangan itu. Ia belum siap bahkan tidak akan pernah siap untuk menghadapi hal itu. Sekuat yang ia mampu di peluknya Hanif. Seakan menghalau malaikat pencabut nyawa untuk tidak mendekati bahkan menyentuh Kakaknya.

Untuk beberapa detik yang berlalu, Hanif tidak membiarkan matanya berkedip. Terlalu sayang untuk melewati sedikit saja waktu-waktu seperti ini. Ia balas memeluk tubuh mungil Adiknya. Untuk kali ini ia tidak ingin menyuruh Ranas menghentikan tangisnya. Hanif justru menghadiahi Ranas sebuah ciuman tepat di puncak kepalanya.

*
Harusnya soal matematika ini mudah untuk ia kerjakan. Ia sudah mengerti harus menggunakan rumus yang mana untuk menyelesaikan soal-soal yang hanya dipenuhi angka ini. Tapi sakit kepalanya sangat menghambat. Perih di matanya juga ikut-ikutan menyusahkan. Hanif meletakan Fasternya begitu saja. Tangannya ia gunakan untuk memijat pelan keningnya, berharap pening itu sedikit meninggalkan kepalanya.

Hanif menatap jam yang tergantung di salah satu dinding kamarnya. Ia menghitung waktu yang ditunjukan. 21.45, biasanya Ranas sudah terlelap di kamarnya. Ingin ia mengistirahatkan tubuhnya yang begitu sakit dan lelah, namun saat melihat kembali deretan angka di buku paketnya, Hanif mengurungkan niatnya.

Faster bertinta hitam itu berpindah posisi dalam genggamannya. Baru ia akan menuliskan rumus untuk menyelesaikan soal nomor delapan, suara nyaring terdengar dari telepon rumahnya. Dengan langkah terseok Hanif menjalankan tubuhnya, menuju telepon rumahnya yang belakangan ini jarang berbunyi.

“Halo?” Suara seraknya mulai terdengar.

Terdapat balasan suara dari ujung sana. Dan selanjutnya, suara si peneleponlah yang mendominasi. Pertama-tama Hanif mengangguk beberapa kali, kemudian mulai tampak perubahan air muka padanya. Tak ada hitungan menit kemudian, matanya membulat dan ia merasa seperti baru saja diserang guntur terdasyat.

Gagang telepon di tanganya kini terasa begitu berat, hampir saja terlepas dari pegangannya. Tangannya bergetar dan terasa begitu lemas. Seakan jari-jarinya kehilangan tulang-belulangnya hingga tak sanggup memegang apa pun. Kakinya lemas bukan main, sekuat tenaga Hanif mempertahankan keseimbangannya agar tidak jatuh.

Suara di seberang sana masih terdengar seiring bertambahnya segala sakit yang menghantam jiwa serta raga Hanif. Ia menggumamkan kata “terimakasih” sebelum sambungan itu diputuskan sendiri oleh si penelepon. Keseimbangan itu pun hilang juga, Hanif jatuh terduduk sesaat setelah ia meletakan gagang telepon ke tempat semula.

Matanya yang sudah perih harus bertambah perih lantaran menahan air mata yang seakan mendesak-desak ingin keluar. Kedua tangannya ia letakan di wajahnya, mengusapnya, dan seketika aliran sungai kecil itu terbentuk di pipinya. Ternyata ia tak sanggup menahannya. Sekarang, sesaknya kembali memonopoli. Tapi ia tahu, sesak ini bukan berasal dari bakteri-bateri yang menghuni paru-parunya, melainkan dari perasaannya yang bergejolak kalut.

Si penelepon itu, dialah yang sudah menambahkan kenyataan buruk hidup Hanif.

*

Hanif sudah siap dengan motornya untuk melesat ke suatu tempat yang paling tidak ingin ia kunjungi di dunia ini. Namun kenyataan menyuruhnya. Ia sudah meninggalkan pesan sedang pergi sebentar kalau-kalau nanti Ranas terbangun dan mencarinya.

Motornya mulai membelah gelapnya jalan. Dan di antara suara menderu mesin Vario hitamnya, suara tangisannya itu menyelinap. Saat ini, hanya Tuhanlah yang dapat mengerti bagaimana hancurnya perasaan Hanif.

*

Melalui cermin di depannyalah Hanif bisa mengetahui keadaannya sekarang. Matanya begitu sayu, sedangkan bibirnya sudah dipenuhi rona-rona pucat. Lebih pucat dari yang biasanya. Warna hitam di kantung matanya juga tidak mau kalah menambah buruk penampilannya saat ini.

Ia ingin bernafas dengan bebas, tapi sepertinya pagi ini pleuritisnya sedang mengganas. Sebisa yang ia mampu dicobanya untuk menahan sakit yang bersumber dari setiap sudut tubuhnya. Kepalanya sudah jelas lebih sakit dari semalam.

Semalam? Ah, iya, ia tidak akan melupakan bagaimana malam itu bisa terjadi. Satu malam yang lebih kelam walau harus dibandingkan satu minggu ia diserang pleuritis tanpa henti. Hanif memegang kepalanya, terasa ingin pecah. Ia tak mampu mengerang karena itu hanya akan menambah sakit di dadanya. Dengan kata lain, ia sulit berbicara.

“Kak, Ranas masuk, ya?” Hanif diam. Bukan karena keinginannya, tapi karena ia tak mampu merespon.
Perlahan-lahan pintu terbuka. Ranas yang sudah lengkap dengan seragam SMP-nya mulai terlihat. Tangan kanannya memegang Post-it berbentuk bunga, tempat Hanif kemarin menuliskan pesan.

“Kemarin Kakak dari ma—“ Buru-buru Ranas memotong kalimatnya. Wajahnya berubah panik melihat Hanif yang bersusah payah menahan tubuhnya sendiri dengan bersandar pada pintu lemari.

Ranas menghapus jarak antara dirinya dan Hanif. Tangannya langsung basah saat menyentuh lengan Kakaknya. Tubuh Hanif di penuhi peluh yang terasa dingin di tangan Ranas. Ranas mengerti keadaan Kakaknya, tanpa niat melancarkan pertanyaan, dengan sigapnya ia mencari botol obat Hanif. Saat ia tidak menemukan botol obat itu di atas meja kecil samping tempat tidur, Ranas beralih pada ransel Hanif.

Dapat! Tanpa banyak berpikir, segera ia mengangsurkan Hanif sebutir obatnya beserta segelas air mineral yang selalu tersedia di meja kecil itu.

Untuk beberapa menit, mereka berdua sama-sama terdiam. Hanif sedang merasakan bagaimana obat itu bereaksi, sedangkan Ranas sibuk melantunkan barisan doa pada Yang Kuasa untuk kesembuhan Kakaknya.

“Nas,” Suaranya mulai kembali. Ranas menangkap isyarat dari mata Kakaknya untuk membantunya duduk di atas tempat tidur.

“Hari ini gak usah masuk sekolah, ya, Kak? Bukan cuma penyakit Kakak yang lagi kambuh, tapi Kakak juga demam.” Ranas menurunkan tangannya yang ia tempelkan di kening Hanif. “Biar Ranas kasih tahu Kak Raga kalau Kakak sakit.”

Hanif segera menahan tangan Adiknya yang hendak mengeluarkan handphone dari saku seragamnya. “Kakak udah baik-baik aja.”

Ranas merengut. Ia paling tidak bisa mempercayai kata “baik-baik saja” yang diucapkan oleh Kakaknya. Baru ia ingin membantah, namun Hanif menyelanya duluan.

“Semalem Kakak pergi,” Kata-kata yang sengaja Hanif gantungkan itu membuat Ranas menautkan alisnya.

 “Semalem Kakak pergi ke kantor polisi.” Tuntas Hanif yang langsung diekori tatapan bertanya serta raut tak percaya dari Ranas.

“Ibu ditangkep polisi, Nas.” Tak diragukan lagi pasti wajahnya sekarang tampak aneh. Antara percaya tak percaya. Ranas mencari kebohongan di mata Kakaknya, namun kenyataannya mata itu selalu diliputi kejujuran.

“Kenapa, Kak?”

“Ibu terlibat kasus penganiayaan, Nas. Dia mukul seorang laki-laki waktu di cafe.” Ranas dapat mendengar suara giginya yang gemeretakan. Tubuhnya bergetar menahan tangis. Apa lagi ini?

“Berarti Ibu dipenjara?” Tanyanya dengan intonasi dan artikulasi yang aneh. Tapi Hanif tetap bisa mendengar dengan baik. Sekali Hanif menganggukan kepalanya. “Berapa lama, Kak?”

“Belum tahu, Nas. Semoga nggak lama,”

Hanif mencoba menenangkan Adiknya yang sudah menangis dalam dekapannya. Kalau boleh jujur, ia juga ingin menangis kencang seperti yang dilakukan Ranas. Meski hal itu tidak bisa membuat Ibunya keluar dari penjara, tapi setidaknya ia bisa sedikit mengutarakan bebannya.

*

Meski keadaannya belum kunjung membaik, tidak ada terlintas niatan Hanif untuk meninggalkan pekerjaannya malam ini. Ia sudah meminum obatnya untuk meredakan sesak yang sejujurnya masih betah bersamanya sejak semalam. Sepertinya, bebannya sangat pintar bekerja sama dengan penyakitnya hingga merubah Hanif menjadi laki-laki yang begitu ringkih.

Sebelum berangkat ke Averas, ia sudah berpesan pada Ranas untuk tetap di rumah dan mengunci gerbang serta pintu utama. Mulai hari ini, atau lebih tepatnya semalam, ia hanya akan hidup bersama Ranas. Ia harus lebih ekstra lagi menjaga Adiknya karena ia tahu, jiwa Adiknya belum cukup tangguh menerima semua kenyataan buruk ini.

Hanif berjalan menaiki panggung setelah soloist Averas selasai menyanyikan beberapa lagu yang bertemakan cinta. Ia suka karakter penyanyi itu, jenis suaranya tidak pasaran. Mudah dibedakan. Apalagi hari ini soloist itu menyanyikan Sorry, seems to be the hardest word, salah satu lagu kesukaannya yang dipopulerkan boyband laki-laki yang menamakan diri mereka Blue.

Hanif menguasai setiap nada yang ia mainkan. Matanya terpejam untuk merasakan bagaimana alunan itu menjadi harmoni untuk jiwanya. Untuk seluruh yang hadir di Averas. Ia suka dengan permainan pianonya hari ini, sedikit bisa mengesampingkan nyeri di dadanya. Dan ketika ia membuka matanya, hal yang pertama ia lihat adalah gadis yang ia sayangi sedang duduk dengan anggunnya pada salah satu kursi pengunjung. Ia tampak begitu manis dibalut dress biru tua dengan aksen renda di akhir dress-nya. Rambutnya dibiarkan menyatu dalam ikat rambut berwarna senada. Entah bagaimana bisa, jarinya semakin lincah menari di atas tuts.

*

Kenya memang tak mengenal nada lagu apa yang sedang Hanif mainkan. Ia tidak peduli. Tahu tidak tahu, Kenya selalu bisa menikmati alunan yang Hanif mainkan.

“Hai, Kenya!” Di sela kenikmatannya, Kenya mendapati sebuha suara yang tak asing baginya. Ia menoleh ke kiri dan mendapati Raga dengan kemeja kotak-kotak merahnya sudah mengambil alih kursi kosong di sampingnya.

“Kok lo di sini?” Bingung Kenya.

“Emang gak boleh?”

“Bukannya gitu. Tumben aja.”

Raga membenarkan letak kaca matanya sambil menatap wajah Kenya. “Gue cuma khawatir sama sahabat gue, hari ini dia keliatan lebih nggak sehat dari biasanya.” Sebenarnya bukan hanya itu. Raga juga khawatir agar kondisi Hanif pasca Ibunya masuk penjara.

Setelah ia dan Hanif selesai sholat dzuhur di sekolah, Raga tidak bisa lagi menahan tanyanya. Ia peka akan tingkah sahabatnya yang jauh lebih pendiam. Dengan sedikit mendesak, akhirnya Raga berhasil membuat Hanif menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya. Rasa simpatinya semakin bertambah. Ia kira Tuhan sudah cukup mengujinya selama ini, tapi ternyata beban sahabatnya itu masih saja ditambah. Seakan-akan Hanif adalah makhluk super kuat yang sanggup menjalani semuanya dengan baik.

“Gue seneng, Nya! Satu-satunya temen cewek yang paling deket sama gue menyayangi orang yang tepat.”

Denting piano tetap terdengar, sedangkan Kenya lebih memikirkan kalimat Raga barusan.

“Gue juga seneng karena gue bisa kenal Hanif. Apalagi kenal dari kecil. Gue jadi bisa tahu gimana kehidupannya dia, dari yang baik-baik aja sampe ancur berantakan kayak gini.” Oke! Sekarang kalimat-kalimat itu mulai menyita perhatian Kenya.

“Nya, gue jarang banget bisa salut sama seseorang. Tapi segala kekurangan yang Hanif punya, ternyata bikin gue salut sama dia. Biar dia kelihatannya ringkih, rapuh, tapi jiwanya kuat, Nya. Dia rela kerja sampe malem gini buat hidupnya, buat Ranas juga. Dia gak peduli sama dosanya karena terus bertengkar sama Ibunya untuk bikin Ibunya sadar.”

“Kalau gue jadi dia, mungkin gue lebih milih mati bunuh diri dari pada mati pelan-pelan kerana pleuritis. Nyiksa banget, kan?” Raga terkekeh, tapi Kenya tetap diam. Ia melihat Hanif di atas panggung sana. Laki-laki itu, ternyata lebih tangguh dari yang ia pikirkan.

Kenya kembali pada Raga saat suara bass cowok itu kembali terdengar. “Dan syukurnya Hanif nggak bego kayak gue.” Raga mendorong kaca matanya yang sempat turun. “He’s still alive dan gue yakin salah satu alasannya bertahan itu karena sebuah nama di hatinya. Kenya.” Raga menarik ujung bibirnya membentuk sebuah senyum. Ia tahu Kenya mulai kehilangan kepercayaannya, maka itu ia datang untuk menguatkan kembali gadis itu.

“Hanif berjuang buat Ranas.”

Raga menepuk pelan pundak sempit Kenya. “Ranas itu alasan mutlak. Dan Kenya adalah alasan tambahan yang nggak bisa Hanif tinggalin.”

Kenya dapat merasakan aliran positif Raga menular padanya. Ia tersenyum mantap pada Raga. Setelah itu ia kembali pada Hanif yang kebetulan juga sedang menatapnya.

“Kalau Hanif aja berjuang, kenapa lo nggak?”

Hati Kenya semakin mantap. Dilihatnya lekat-lekat seorang Hanif di balik grand piano itu. Malam ini, entah mengapa cahaya di Averas begitu terang. Membuat kulit cokelat Hanif seperti bersinar. Pancaran lampu sorot begitu tepat mengenai wajah tampan Hanif. Alisnya, matanya, hidung serta bibirnya tampak begitu jelas di antara guratan wajahnya yang mengesankan.

“Nya, ada hal yang perlu lo tahu.”

*

Setelah selesai dengan pertunjukannya, Hanif langsung berjalan menuju meja di samping kaca besar Averas. Riuh rendah tepuk tangan pengunjung seakan menjadi pengiring langkah Hanif menuju gadis pujaannya itu.
“Hai, Sob.” Sapa Raga meski Hanif belum benar-benar sampai di depan mereka. “Gue sengaja dateng buat liat lo, tapi ternyata ada Kenya juga.”

“Thanks udah dateng, Ga.”

Hanif menarik satu-satunya kursi yang masih kosong. Matanya tak lepas untuk melihat bulatan indah yang bersemayam di balik kelopak mata Kenya. “Makasih juga udah dateng, Nya.”
“Kenya, sih, emang hobinya liat lo main piano, Nif!” Refleks Kenya menyenggol lengan Raga. Semburat merah pasti sudah muncul di pipinya. Tapi, saat melihat senyuman Hanif, malunya menguap dan berganti rona-rona kesenangan.

“Ranas sama siapa, Nif?” Salah satu aksi Raga mencairkan suasana.

“Sendiri. Dia udah biasa, kok, sendirian di rumah.”

“Lo udah besuk Ibu lo lagi?”

Hanif agak tersentak mendengar pertanyaan Raga. Ia menoleh pada Kenya yang justru menunduk.
“Kenya udah tahu, Nif. Barusan gue ceritain. Nggak pa-pa, kan?” Keraguan mulai terlihat dari Raga. Ia memang sudah menceritakan semuanya pada Kenya. Ia pikir, Kenya harus tahu.

Hanif berpikir sejenak. Sebenarnya ia juga sudah berniat untuk menceritakan hal itu pada Kenya, hanya saja ia belum menemukan waktu yang tepat. Ingat! Hanif bukan tipe orang yang suka menutupi keadaannya. Ia akan berbagi hanya dengan orang-orang yang sudah bisa ia percayai. Karena hanya dengan begitulah ia bisa sedikit meringankan bebannya. Sedangkan Raga dan Kenya adalah dua orang yang sudah ia percayai.

“Nif,” Hanif tersadar saat suara lembut Kenya terdengar. “Apa pun yang terjadi, tetap berjuang, ya? Jangan berhenti sebelum kamu bener-bener lelah.” Hanif bisa merasakan tangan lembut Kenya yang menyentuh lengannya. Kalimat gadis itu memang benar. Itu memang pedoman hidupnya.

“Dan kalian, jangan capek berada di deket gue, ya?”

Dan Averas seakan berubah hening untuk ketiga remaja itu. Tangan mereka yang saling bersentuhan satu sama lain, seperti memiliki kekuatan masing-masing. Saling menguatkan, saling memahami, bahkan saling memberi cinta.

*

“Hanif,”
 
Mendengar suara itu, Hanif seperti mendapatkan kembali kelembutan Ibunya. Hari ini terhitung dua minggu Ibunya menjadi salah seorang penghuni rutan khusus wanita. Dan dalam pancaran mata itu, ia seakan menemukan lagi sosok Ibunya yang sempat hilang beberapa tahun belakangan ini.

“Ibu banyak salah sama kamu dan Ranas, maafin Ibu.” Hati Hanif bergetar melihat air mata mengalir di pipi Ibunya.

Ia sangat bersyukur, ternyata ditinggal Ibunya masuk tahanan adalah rencana terindah dari Tuhan. Hanif mencium punggung tangan Ibunya. Hingga lama, sampai ia bisa kembali merasakan aroma kehangatan yang sempat luput dari Ibunya.

“Hanif juga salah. Hanif minta maaf, Bu.”

“Nif, bilangin maaf Ibu ke Ranas. Sampaikan kalu Ibu kangen dia.” Ibu mengusap pelan pipi Hanif. Ia juga rindu saat-saat seperti ini. Sudah lama sekali ia tidak melakukan hal ini. Kenapa dulu ia begitu dibodohkan oleh sakit hati?

*
Langit gelap lengkap dengan garis-garis petirnya sumpurna menjadi atap mengerikan untuk Jakarta sore ini. Tetes-tetes berkah yang yang sering kali disesali kedatangannya itu semakin gencar turun ke bumi. Seakan satu tetes yang turun memanggil tetes-tetes lain untuk segera ikut turun sepertinya.

Hanif duduk termangu di lantai depan pintu kelasnya. Matanya memandang tak peduli pada hujan yang membayang di lensa matanya. Hari ini ia yang tertahan di sekolah akibat hujan deras yang melanda. Tapi baiknya, hari ini Ranas mengikuti sarannya beberapa waktu lalu untuk membawa payung lipat sehingga ia tidak perlu terlalu khawatir. Motornya harus masuk bengkel, ada sedikit masalah dengan remnya. Dan jadilah ia tidak bisa pulang.

“Hanif, belum pulang?”

Di antara suara-suara hujan yang berkejaran, Hanif mendengar suara Kenya. Ia memutar tubuhnya ke kanan dan sudah ada Kenya yang hendak duduk di sampingnya.

“Hujan, motor lagi masuk bengkel dan aku nggak bawa payung.” Kenya terlihat membulatkan permukaan bibirnya. “Kamu?”

“Abis ekskul saman.” Gantian Hanif yang membulatkan bibirnya.

Meski hujan identik dengan hawa dinginnya, tapi Kenya justru merasa begitu hangat. Itu terjadi karena saat ini ia sedang duduk di sebelah Hanif. Diam-diam Kenya tersenyum dalam hati, ia sangat suka waktunya saat ini. Duduk berdua dengan Hanif ditemani hujan yang justru memperindah suasana.

Saat tidak ada suara manusia yang terdengar, tiba-tiba saja Kenya mengingat semua percakapannya dengan Raga. Semua kalimat-kalimat cowok itu tiba-tiba saja terngiang dalam telinganya. Bagaimana ia menceritakan sosok Hanif, bagaimana rasa salutnya, dan bagaimana cara dia memberikan Kenya semangat untuk memperjuangkan hatinya.

“Hanif, rasa sayang kusemakin banyak buat kamu.”

Tidak dipungkiri lagi kalau Hanif benar-benar kaget mendengarnya. Kenapa gadis ini selalu mengejutkannya? Hanif membatu, ia bingung harus menjawab apa. Tapi, bohong jika ia bilang hatinya tidak senang mendengar kalimat itu. Bohong kalau ia katakan ia tidak menyayangi gadis itu. Bohong juga kalau ia tidak menginginkan gadis itu menjadi miliknya. Lantas, kenapa hatinya begitu keras menolak itu semua? Tidak ada yang sulit dalam menyatukan dua hati yang jelas-jelas saling menyayangi. Tapi, bukan hal yang mudah pula untuk Hanif melupakan semua alasannya.

Kenya menatap lembut wajah yang dikaguminya itu. Sorot matanya seakan memaksa Hanif untuk balas menatapnya. “Apa yang salah dari ini semua, Hanif?” Kenya tidak bisa lagi menahan perasaannya. “Harusnya ini mudah buat kita.”

Hanif menutup matanya. Sesaknya kembali lagi. Dan untuk kali ini saja, entah untuk alasan yang mana, ia tidak mau Kenya melihat kesakitannya. “Kenya, jangan mulai.” Hanif mencoba menetralkan suaranya. Ia merasa ada yang menyumbat saluran pernapasannya dengan sangat ketat.

“Apalagi alasan kamu, Hanif?”

Dengan perasaan yang tak karuan, Hanif mencoba membuka suara. Matanya sudah terbuka lagi sekarang.
“Ranas. Dia alasan aku.” Kenya menunduk. Ia sudah menduga. “Aku belum siap ngebagi waktu aku sama dia dengan orang lain. Aku seperti hidup dikawal dewa kematian, aku nggak pernah tahu kapan waktu aku berakhir. Aku cuma mau Ranas nggak ngerasa kesepian setelah aku pergi. Seenggaknya aku ninggalin banyak kenangan buat dia.” Sebisa mungkin Hanif menyembunyikan sakitnya, ia tidak mau Kenya melihatnya.

“Tapi aku juga mau kamu ninggalin kenangan buat aku.” Kenya menggigit bibirnya, menahan agar giginya tidak gemeretakan akibat menahan tangis.

“Kenya, orang tua kamu dosen-dosen hebat, mereka mau kamu jadi anak yang baik. Jangan kamu lukain hati mereka dengan cara kayak gini. Mereka akan sedih lihat anaknya menyayangi orang seperti aku.” Kenya menggeleng kasar. Apa yang Hanif katakan itu sangat salah. Ia yakin orang tuanya tidak sedangkal itu.

Hanif membawa tangan Kenya ke dalam genggamannya. Ia tidak bisa melihat wajah gadis itu karena Kenya terus menunduk. “Aku sayang kamu.” Hanif mengeja setiap suku katanya. Berharap Kenya bisa menerima dengan tulus setiap maknanya.

“Semoga itu bisa jadi kenangan buat kamu.” Hanif berbisik tepat di telinga Kenya. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara menahan laju air mata gadis itu. Sedangkan ia sendiri sedang menahan nyeri yang seperti ditikam.

*

Hanif berjalan terhuyung menuju tahanan. Hari ini terhitung dua bulan semenjak kejadian mengenaskannya bersama Kenya di sekolah saat hujan deras itu. Tapi yang ia herankan, Kenya tetap bersikap seakan apa yang mereka bicarakan saat itu tak pernah terjadi. Gadis itu cenderung semakin mendekatinya. Semakin menunjukan perasaannya. Membuat Hanif jadi semakin bersalah dan tersiksa.

Sebelum ia benar-benar memasuki ruang kunjungan, Hanif sempat mendudukan tubuhnya pada kursi yang disediakan di pekarangan tahanan. Ia tidak kuat jika harus terus berjalan kalau nyeri di dadanya semakin mengganas seperti ini. Ia meremas kuat jaket Adidasnya, tapi sakitnya juga semakin kuat menyiksanya. Hanif menyebut Tuhannya, hanya Beliau yang bisa membantu meredakan sakitnya. Bukan obatnya. Apalagi cengkramannya.

Kalau diingat-ingat, dua bulan ini sakitnya juga lebih sering mengunjunginya. Sedangkan ia harus mengirit obatnya lantaran pendapatannya dari Averas harus ia alokasikan untuk persiapan Ranas masuk SMA. Sakit itu juga semakin menyiksa, semakin lihai melumpuhkannya.

Hanif menguatkan dirinya untuk kembali melangkah atau kalau tidak jam besuk akan segera habis dan ia akan kehilangan satu hari untuk mengunjungi Ibunya.

“Sakit kamu kambuh, Nif?” Suara Ibu sarat akan kekhawatiran. Ia memegang pipi Hanif yang begitu dingin. Peluh sebesar biji jangung tampak mengalir dari kening Hanif.

“Tadi emang sempet kambuh, Bu, tapi sekarang udah gak pa-pa.” Bohong. Dengan berat hati Hanif harus berbohong. Ia tidak bisa membuat Ibunya khawatir kalau ia jujur sakitnya begitu hebat menyiksa.
“Obatnya jangan lupa diminum.” Hanif menganggukan kepalanya. Ia mencoba mengurai senyum yang begitu sulit dibuat karena bibirnya terasa kaku menahan sakit.

“Semoga Ibu cepet keluar dari tahanan, ya. Hanif nggak mau nanti Ranas sendirian, Bu.” Hanif mencium punggung tangan Ibunya. Ia merasa tubuhnya begitu lelah.

“Kan, ada kamu, Nif. Ranas nggak akan sendirian selama ada kamu.” Ibu mengusap rambut hitam Hanif yang dipotong pendek.

Hanif menatap lekat mata teduh Ibunya yang duduk bersebrangan dengannya. Ada banyak hal yang ingin ia katakan. “Ibu janji, ya, sama Hanif, keluar dari tahanan akan cari kerja yang lebih baik?” Tanpa ada jawaban Hanif dapat melihat kesungguhan di wajah Ibunya untuk memenuhi janji itu.

Hanif melirik jam tangannya disela nyeri yang semakin anarkis. Jam besuknya sudah hampir habis. “Hanif pulang dulu, Bu.”

Ibu mengangguk tanpa ada kerelaan. Raga putranya begitu dekat dengannya saat ini, tapi kenapa jiwanya seakan begitu jauh baginya. Ia memperhatikan wajah sayu Hanif. Di wajah itu, dalam mata itu, cahaya seperti semakin meredup. Siap menggelap dalam waktu yang tidak diinginkan.

Hanif sudah mengambil beberapa langkah meninggalkan Ibunya yang masih terduduk. Ia tidak ingin berbalik untuk sekedar memberikan salam pada Ibunya, ia tidak mau kesiapannnya hilang lagi saat melihat kesenduan yang terpahat di wajah itu.

“Jaga diri kamu. Bilang Ranas, dia harus jadi anak yang berani sampai Ibu kembali lagi.” Hatinya bergetar. Kalimat itu pun meluncur tanpa kendalinya. Ibu memandang sedih punggung Hanif yang semakin menjauh. Tidak berbalik, seakan putranya itu tidak mendengar pesannya.

*

Dihentikannya mesin motornya saat ia sudah berada di pekarangan rumahnya. Sebenarnya jarak dari tahanan ke rumahnya tidak terlalu jauh, tapi nyeri di dadanya memaksanya untuk melajukan motornya dengan kecepatan super pelan. Sampai tak jarang ia diklakson oleh pengendara lain.

“Kak Hanif!” Baru selangkah ia memasuki rumahnya, suara polos Ranas sudah menyambutnya.

Bukannya membalas atau menyebut salam, Hanif justru terpaku melihat siapa yang duduk di salah satu sofa ruang tamunya. Buru-buru ia melepas cengkramannya di dada.

“Hai, Nif!” Kenya berdiri. “Tadi kata Raga pulang sekolah kamu mau langsung besuk Ibu, makanya aku ke sini, mau nemenin Ranas.”

“Kak Hanif kenapa nggak bilang mau besuk Ibu? Ranas, kan, mau ikut.” Hanif beralih pada Adiknya, tapi ia masih bisu.

Kenya memperhatikan laki-laki yang jelas jauh lebih tinggi dari dirinya itu. Tampak ada yang berbeda. “Kamu kenapa?”

Ranas yang juga menyadari ada yang tidak beres, memilih pergi ke dapur mengambilkan segelas air mineral untuk Kakaknya. “Ranas ke dapur dulu.” Tidak ada yang menyahuti.

Susah payah Hanif menggerakan kakinya yang terasa lemas agar ia bisa duduk.

“Kamu keliatan payah, Nif.” Kenya segera ambil posisi di sebelah Hanif. Ia menahan tangannya pada lengan laki-laki itu. Ia merasakan perbedaan. Dulu, tangan itu begitu kekar, dibelit begitu banyak urat-urat semangat, tapi sekarang tangan itu seperti kehilangan daging-dagingnya. Kulitnya juga terlihat kusam pucat.

“Dari dulu aku memang payah.”

Hanif lelah. Dan untuk pertama kalinya ia mau bersandar di pundak Kenya. Matanya perih. Sesak itu membuat dirinya ingin menangis. Bahkan ia hampir tidak bisa merasakan oksigen di sekitarnya
.
Kenya dapat merasakan bagaimana sulitnya Hanif bernafas. Nafasnya berat dan terengah. Cepat dan menyakitkan. Kenya belum pernah melihat Hanif sepayah ini.

Kenya mengulurkan tangannya. Menyetuh rambut kasar Hanif yang basah oleh keringat. Tanpa rasa jijik, ia mengelus rambut itu. Pundaknya terasa basah dan tiba-tiba bulir air matanya ikut turun juga.
“Jangan nangis, sayang.”

Hati Kenya yang bersembunyi di balik tubuhnya terasa haru begitu Hanif memanggilnya “sayang”. Telinganya sangat senang mendengarnya. Mulutnya ingin meminta Hanif untuk selalu memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Begitu manis dan indah.

“Jangan pergi.” Kenya tak mengindahkan permintaan Hanif. Air matanya tetap mengalir.

Hanif memejamkan matanya. Ia dapat merasakan kawanan virus, bakteri dan teman-teman jahat mereka yang lain sedang menyerbu paru-parunya dengan kekuatan yang tak bisa ia tandingi.

“Apa air mata ini belum cukup nahan kamu untuk jangan pergi?”

Hanif meremas pahanya sendiri. Nyerinya benar-benar kurang ajar. “Dan apa kesakitan ini belum cukup bikin kamu relain aku pergi?”

Kenya menunduk agar ia bisa melihat wajah Hanif yang saat ini dipenuhi kesakitan.

“Kalau gitu,” Kenya manarik nafas dalam. Kalau perlu ia berbagi nafas dengan Hanif. “Izinkan aku menangis sampai mati.”

Hanif membuka matanya yang sempat terpejam. Ia bisa melihat wajah gadis kesayangannya itu basah air mata. “Jangan! Aku mau kamu selalu mendoakan ku.”

Kenya semakin merengkuh kepala Hanif. Tangan dan tubuhnya sama-sama bergetar hebat.

“Kenya,” Suara Hanif mulai sulit terdengar. “Tolong bilang ke Ranas, dia harus berani dan kuat. Sebentar lagi Ibu ku akan pulang, dia nggak perlu takut.” Kenya mengangguk paham.

Kenya menahan tangan Hanif agar tidak meremas pahanya lagi. Dan ia harus menahan sakit karena sekarang Hanif justru meremas kuat tangannya. Kenya rela. Kalau Hanif tidak mengizinkannya menangis sampai mati, biarkan ia mati akibat cengkraman itu.

Ketika keadaan semakin mencekam, tamu kasat mata yang tak diharapkan kedatangannya itu pun mulai menjalankan tugasnya. Hanif merasa ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya, yang justru menambah setiap sakitnya. Lambat-lambat, ia tidak bisa merasakan apa pun saat sesuatu yang sangat penting dalam tubuhnya ditarik perlahan namun menyakitkan. Matanya tidak bisa lagi melihat wajah Kenya yang basah dengan air matanya. Telinganya hilang fungsi. Tangannya tak mampu lagi mencengkram karena sakit itu pun semakin memudar. Ia merasa ringan, seperti ada tangan yang mengajaknya melayang.

Kenya menangis tanpa mengeluarkan suara. Ternyata menangis seperti ini rasanya lebih menyakitkan. Tapi kehilangan orang yang disayanginya sungguh jauh lebih menyesakan. Untuk terakhir kalinya, ia mencium rambut Hanif. Ia harus mengingat benar-benar aroma tubuh itu karena ia tidak akan bisa menghirupnya lagi setelah ini.

*
Ranas jatuh merosot di balik dinding ruang tamu. Ia melihat dan mendengar semuanya. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak menangis sehebat ini. Sangat kuat ia menggenggam gelas bening itu. Tak cukup memecahkannya, tapi cukup membuat tangannya perih. Tidak pa-pa, tidak apa-apa perih seperti ini. Toh, ia juga berharap akan segera mati rasa. Orang nomor satu yang paling ingin ia bahagiakan di dunia ini adalah Kakaknya. Dan hari ini, harapannya hilang seiring hilangnya jiwa itu.

TAMAT

Komentar

Postingan Populer